Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

TONSILEKTOMI

A. PENGERTIAN
Tonsilektomi adalah mengeluarkan seluruh tonsil dengan pembedahan. (Kamus Kedokteran,
2000).

B. PATOFISIOLOGI
Pada waktu anak lahir belum mempunyai folikal dan biasanya berukuran kecil, dengan
demikian habisnya material antibodi , maka secara berangsur terjadi pembesaran tonsil.
Pembesaran ini dapat melebihi normal, oleh karena infeksi saluran pernafasan berat.
Pembesaran tonsil yang sampai menimbulkan gangguan serius biasanya terjadi pada anak
berumur 3-5 tahun. Keadaan ini ditandai dengan gangguan bernafas atau gangguan
pemenuhan kebutuhan nutrisi, karena usia tersebut mudah menderita infeksi saluran nafas
atas. Apabila satu atau dua tonsil meradang membesar sampai ketengah uvofaring maka
sebaiknya dilakukan tindakan pengangkatan tonsil atau disebut Tonsilektomi.
Derajat pembesaran tonsil :
a. Derajat I (Normal)
Tonsil berada dibelakang pilar tonsil (struktur lunak dipotong oleh palatina lunak).
b. Derajat II
Tonsil berada diantara pilar dan uvula.
c. Derajat III
Tonsil menyentuh uvula.
d. Derajat IV
Satu atau dua tonsil meluas ketengah uvofaring. (Kozier,ERB Blains, Wilkinson,1992)
Pathway

Folikal

Maternal Antibody

Pembesaran Tonsil Tonsil Normal

Infeksi Saluran Nafas Berat

Gangguan Nafas/ Gangguan Menelan

Tonsilektomi

Resiko kekurangan Resiko infeksi Nyeri Resiko nutrisi kurang Resiko ketidakefektifan
volume cairan dari kebutuhan tubuh penatalaksanaan
terapeutik
C. ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis adalah virus dan bekteri sebagian besar disebabkan oleh virus yang
merupakan juga faktor predisposisi dari infeksi bakterial.
Golongan Virus :
1. Adenovirus
2. Virus echo
3. Virus influenza
Golongan Bakteri :
1. Streptococcus
2. Mycrococcus
3. Corine bakterium diphterial
Pembesaran tonsil jarang merupakan indikasi untuk pengakalan kebanyakan anak-anak
mempunyai tonsil yang besar, yang ukuranya akan menurun sejalan dengan perlambatan
usia.
Tonsilektomi dilakukan hanya jika pasien mempunyai masalah-masalah berikut :
1. Menderita tonsillitis berulang
2. Hipertrifi tonsil dan adenoid yang dapat menyebabkan obstruksi.
3. Serangan otitis media purulens berulang.
4. Diduga kehilangan pendengaran akibat otitis media serosa yang terjadidalam kalbunya
dengan pembasaran konal dan adenoid.
5. Kecurigaan keganasan tonsil pada orang dewasa muda dan dewasa.
6. Indikasi khusus anak adalah tonsillitis rekurens yang kambuh lebih dari 3 kali,
hyperplasia setelah infeksi mononukleus dan riwayat demam rheumatik dengan gangguan
jantung yang berhubungan dengan tonsillitis kronik yang sukar diatasi dengan antibiotic.
7. Tonsilektomi pada orang dewasa dapat dikerjakan dalam narkose atau dengan anestesi
local, pada anak biasanya dilakukan dalam narkose.

D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala dari tonsilitis terbagi atas tonsilitis akut dan kronis. Kepekaan tonsil
terhadap infeksi akut dapat meningkat apabila keadaan organisme dari luar berlebihan.
Tanda dan gejala tonsilitis akut :
1. Penderita terlihat seperti sakit demam.
2. Mengeluh sakit tenggorokan dan sakit menelan.
3. Tonsil hyperemia.
4. Kelenjar lymphe jugularis membesar dan nyeri bila diraba.
Setelah serangan tonsilitis akut jaringan tonsil biasanya dapat kembali normal tetapi ada
juga yang tidak. Keadaan jaringan yang tidak normal ini merupakan terbentuknya abses-
abses kecil dan folikal limphoid disekitar krypta dan dibatasi oleh jaringan ikat. Tonsil yang
seperti ini dapat menimbulkan gejala infeksi berulang tiga sampai empat bulan sekali.
Keadaan ini merupakan proses awal terjadinya tonsilitis kronis.
Tanda dan gejala tonsilitis kronis :
1. Tonsil hyperemia dan edema.
2. Kripta melebar dan tonsil berbenjol-benjol.
3. Suhu badan sub febris.
4. Penderita merasa tidak enak badan.

E. PROSEDUR DIAGNOSTIK
Untuk menegakkan diagnostik tonsilitis dapat digunakan dengan adanya gejala yang muncul
seperti : demam, sulit menelan, tonsil tampak membesar dan hyperemia.
Diagnosa banding :
1. Infeksi mononuchosis
Untuk membedakannya dengan tonsilitis akut diperlukan pemeriksaan hitung jenis
leucocyt.
2. Angina Vincent
Menyebabkan ulsurasi yang luas di rongga mulut atau hanya terbatas disekitar tonsil.
Penyakit ini dibedakan dari tonsilitis akut dengan pemeriksaan usap tenggorokan.
3. Agranusitosis
Penyakit ini menimbulkan ulsurasi yang dirongga mulut dan faring. Selain ulsurasi terjadi
pengelupasan mukosa mulut, lidah dan tonsil, penderita dapat membantu menegakkan
diagnosa.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM
1. Golongan darah.
2. Kadar Hb.
3. Hitung Leukosit dan Hitung Jenis.
4. Untuk penentuan kadar klorida keringat atau imunoglobulin serum mengevaluasi
diagnosis banding medis yang mencakup fibrosis kistik atau imunodefisiensi.

G. INDIKASI TONSILEKTOMI
Sebelum tonsilektomi dilakukan ditemukannya indikasi seperti :
1. Tonsilitis akut residivan yaitu tonsilitis akut yang berulang-ulang 4-5 kali tiap tahun.
2. Tonsilitis kronis dengan eksasurbasi yaitu tonsilitis akut dengan keluhan ringan tapi terus
menerus.
3. Abses Peritonsil / Tonsilitis akut dengan komplikasi
Jika sudah pernah terjadi abses peritonsil maka kemungkinan untuk kambuh berulang-
ulangnya dikemudian hari besar sekali. Pada abses peritonsil jaringan sekitar tonsil turut
meradang sehingga perasaan sakit melebihi dari tonsilitis akut biasa.
4. Streptokok tonsilitis yang berulang.
Infeksi kuman streptokok yang berulang dan tidak teratasi oleh berbagai antibiotik akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan yang besar pada jaringan tonsil. Akibatnya tonsil
tidak lagi berfungsi sebagai alat penangkis kuman dan merupakan fokal infeksi yang
tidak dapat dikontrol.
5. Tonsil palatina sebagai fokat infeksi demam rematik.
6. Tonsil palatina menjadi serangan kuman atau diptheria cariur, misal tonsilitis proso
diphteria.
7. Tonsil Hipertropi sehingga timbul obstruksi mekanik.
Adanya pembesaran tonsil yang sedemikian maka makan, minum bahkan bernafas
terutama dimalam hari sudah terganggu. Jika tonsil hipertropi tidak segera diangkat maka
komplikasi seperti faringitis, bronkitis sering terjadi dan sukat diatasi.
8. Otitis media purulen yang berulang.
9. Tonsil yang menunjukkan tanda maligna
Indikasi ini sangat definitif dan tonsilektomi harus dilakukan karena kalau tumor ganas
masih bersifat insitu, tonsilektomi akan memberi hasil yang memuaskan tetapi bilamana
tumos sudah menjalar ke daerah sekitar tonsil, maka tonsilektomi akan sia-sia, bahkan
pembesaran tonsil unilateral yang luar biasa harus dicurigai kemungkinan terjadinya
maligna.

H. KONTRAINDIKASI TONSILEKTOMI
1. Alergi yang mendasari. Tonsilektomi dapat memperburuk alergi pada beberapa pasien.
2. Pilek berulang dan masalah kesehatan menahun jarang karena “tonsil”.
3. Pasien dibawah umur 3 atau 4 tahun.
4. Tonsil besar tanpa gejala. Harus diingat bahwa tonsil cenderung membesar sampai sekitar
umur 10-12 tahun, dan kemudian berinvolusio mantap.
5. Adenitis cervicalis tuberkulosis tidak lagi dianggap sebagai indikasi.
6. Demam reumatik dan nefritis bukan indikasi, kecuali bila terapi antibiotika intensif gagal
menghilangkan streptokokus hemolitikus.
7. Desakan orang tua untuk tonsilektomi bukan merupakan suatu indikasi.

I. KOMPLIKASI
1. Perdarahan pasca tonsilektomy.
2. Menyebabkan hypertropi.
3. Atelektase.
4. Bronkhitis.
5. Pneumonia.
6. Abses paru.

J. TREATMENT / Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


Metode Tonsilektomi yaitu :
1. Guillotine Tonsilektomi/Sluder.
Biasanya dilakukan pada jaringan tonsil yang diduga hubungannya dengan jaringan
sekitarnya masih longgar, misal pada anak. Dengan metode ini operasi lebih cepat dan
jaringan tonsil dapat diangkat seluruhnya dengan menimbulkan manipulasi yang tidak
begitu banyak. Perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibanding dengan metode Diseksi.
2. Diseksi Tonsilektomi
Pada Diseksi jaringan tonsil dipisahkan dari daerah sekitarnya satu per satu. Tonsilektomi
secara Diseksi ini umumnya dilakukan pada penderita dengan dugaan jaringan tonsil
sudah mengadakan perlengketan dengan jaringan sekitarnya sehingga kalau dilaksanakan
metode Guillotine, maka jaringan tonsil tidak akan dapat diangkat sebersih mungkin.
3. Pengobatan yang diberikan setelah tonsilektomy.
a. Diberikan cairan IV selama 24 jam untuk menghindari dehidrasi.
b. Diberikan 1,5 mg Kodein Fosfat/Kg BB setiap 3 jam untuk mengatasi nyeri.
4. Perawatan pasca tonsilektomi
a. Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal.
b. Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur.
c. Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah yang
terkumpul di faring dan.
d. Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok. Bila
diduga ada perdarahan, periksa fosa tonsil. Bekuan darah di fosa tonsil diangkat,
karena tindakan ini dapat menyebabkan jaringan berkontraksi dan perdarahan
berhenti spontan. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan penekanan dengan
tampon yang mengandung adrenalin 1:1000. Selanjutnya bila masih gagal dapat
dicoba dengan pemberian hemostatik topikal di fosa tonsil dan hemostatik parenteral
dapat diberikan. Bila dengan cara di atas perdarahan belum berhasil dihentikan,
pasien dibawa ke kamar operasi dan dilakukan perawatan perdarahan seperti saat
operasi.Mengenai hubungan perdarahan primer dengan cara operasi, laporan di
berbagai kepustakaan menunjukkan hasil yang berbeda-beda, tetapi umumnya
perdarahan primer lebih sering dijumpai pada cara guillotine.  Komplikasi yang
berhubungan dengan tindakan anestesi segera pasca bedah umumnya dikaitkan
dengan perawatan terhadap jalan napas. Lendir, bekuan darah atau kadang-kadang
tampon yang tertinggal dapat menyebabkan asfiksi.
K. ASHUAN KEPERAWATAN / Data Yang Perlu Dikaji
1. PENGKAJIAN
a. Kaji kesulitan menelan, mudah tersedak.
b. Kaji sakit tenggorokan akut/kronis.
c. Kaji riwayat sakit tenggorokan dan influenza.
d. Kaji riwayat alergi.
e. Kaji adanya perdarahan per oral.
f. Kaji adanya penyakit asma, fibrosis kistik.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko tinggi terhadap komplikasi infeksi berhubungan dengan faktor pembedahan.
b. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
c. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan
masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
d. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan masukan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
e. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan terapeutik yang berhubungan dengan
ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi, nyeri, pengaturan posisi dan
penatalaksanaan aktifitas.

M. INTERVENSI / Rencana Keperawatan


1. Resiko tinggi terhadap komplikasi infeksi berhubungan dengan faktor pembedahan.
Tujuan :
- Tidak ada infeksi.
- Tidak ada komplikasi.
Intervensi :
- Pantau suhu badan tiap 4 jam, keadaan luka ketika melakukan perawatan.
- Berikan antibiotik yang diresepkan, berikan paling sedikit 2 liter cairan setiap hari
ketika melaksanakan terapi antibiotik.
- Berikan antipiretik yang ditentukan jika terdapat demam.
2. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
Tujuan :
- Klien menyatakan nyeri hilang / terkontrol.
- Klien menunjukkan rileks, istirajat / tidur dan peningkatan aktifitas dengan tepat.
Intervensi :
- Pantau TTV.
- Berikan tindakan kenyamanan, misal : perubahan posisi, musik, relaksasi.
- Jika diresepkan analgesik IV, aturlah analgesik secara rutin selama 24 jam pertama,
tidak menunggu pasien memintanya.
- Beritahu dokter jika analgesik tidak dapat menghilangkan sakit.

3. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan


masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
Tujuan :
- Klien dapat meningkatkan masukan cairan minimal 2000 ml.
- Memberitahu perlunya untuk meningkatkan masukan cairan selama stress atau panas.
- Memperlihatkan tidak adanya tanda dan gejala dehidrasi.
Intervensi :
- Kaji perubahan TTV, contoh peningkatan suhu tubuh / demam memanjang, takikardi,
hipotensi artostatik.
- Kaji turgor kulit, kelembapan membran mukosa.
- Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter, urine. Hitung keseimbangan
cairan , waspadai kehilangan yang tak tampak , ukur BB sesuai indikasi.
- Catat laporan mual/muntah.

4. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan masukan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
Tujuan :
- Klien menunjukkan peningkatan nafsu makan.
- Klien dapat mempertahankan / meningkatkan berat badan.
-
Intervensi :
- Berikan makan porsi kecil dan sering atau makanan yang menarik pasien.
- Monitor status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
- Observasi distensi abdomen.
- Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau menghilangkan bau yang
menyebabkan ingin muntah atau prosedur yang dilakukan mendekati waktu makan.

5. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan terapeutik yang berhubungan dengan


ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi, nyeri, pengaturan posisi dan
penatalaksanaan aktifitas.
Tujuan :
- Klien dapat menggambarkan proses penyakit, penyebab-penyebab dan faktor
penunjang pada gejala dan aturan untuk penyakit atau kontrol gejala.
- Klien dapat mengungkapkan maksud untuk melakukan perilaku kesehatan yang
diperlukan atau keinginan untuk pulih dari penyakit dan pencegahan kekambuhan
atau komplikasi.
Intervensi :
- Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan
harapan kesembuhan, identifikasi perawatan diri dan kebutuhan/sumber pemeliharaan
rumah.
- Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
- Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.
- Tekankan pentingnya melanjutkan evaluasi medik dan vaksin/imunisasi dengan tepat.
- Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan pelaporan pemberian perawatan
kesehatan, misal : kehilangan BB, demam.

N. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
               Menurut Setiadi, (2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan,
implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan.
O. EVALUASI

               Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan,


Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencaan tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.
Komponen catatan perkembangan, antara lain sebagai berikut:

1. Kartu SOAP (data subjektif, data objektif, analisis/assessment, dan perencanaan/plan)


dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan pengkajian ulang.
2. Kartu SOAPIER sesuai sebagai catatan yang ringkas mengenai penilaian diagnosis
keperawatan dan penyelesaiannya. SOAPIER merupakan komponen utama dalam catatan
perkembangan yang terdiri atas:

1. S (Subjektif): data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali


pada  klien yang afasia.
2. O (Objektif): data objektif yang diperoleh dari hasil observasi
perawat, misalnya tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan,
atau akibat pengobatan.
3. A (Analisis/assessment): masalah dan diagnosis keperawatan klien
yang dianalisis/dikaji dari data subjektif dan data objektif. Karena status klien selalu
berubah yang mengakibatkan informasi/data perlu pembaharuan, proses
analisis/assessment bersifat diinamis. Oleh karena itu sering memerlukan pengkajian
ulang untuk menentukan perubahan diagnosis, rencana, dan tindakan.
4. P (Perencanaan/planning): perencanaan kembali tentang
pengembangan tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang
(hasil modifikasi rencana keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan
kesehatan klien. Proses ini berdasarkan kriteria tujaun yang spesifik dan periode yang
telah ditentukan.
5. I (Intervensi): tindakan keperawatan yang digunakan untuk
memecahkan atau menghilangkan masalah klien. Karena status klien selalu berubah,
intervensi harus dimodifikasi atau diubah sesuai rencana yang telah ditetapkan.
6. E (Evaluasi): penilaian tindakan yang diberikan pada klien dan
analisis respons klien terhadapintervensi yang berfokus pada kriteria evaluasi tidak
tercapai, harus dicari alternatif intervensiyang memungkinkan kriteria tujuan tercapai.
7. R (Revisi): tindakan revisi/modifikasi proses keperawatan terutama
diagnosis dan tujuan jika ada indikasi perubahan intervensi atau pengobatan klien.
Revisi proses asuhan keperawatan ini untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam
kerangka waktu yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
2. Behrman, Richard E. (1995). Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta.
3. Catzel, Pincus. (1992). Kapita Selekta Pediatri. EGC : Jakarta.
4. Cody,D.dan Thane R. (1993). Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC : Jakarta.
5. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
6. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
7. Lynda Juall Carpenito. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi VIII. EGC : Jakarta.
8. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
9. Rizal Basjrah. Dr. (1986). Faringologi. Penerbit Alumni : Bandung

Anda mungkin juga menyukai