Anda di halaman 1dari 34

MASSIVE HEMOTHORAX

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Keperawatan Gawat Darurat
Yang dibina oleh Ns. Cipto Susilo, S.Pd., S.Kep., M. Kep

Oleh
Intan Mahrisa (1811011066)
Noviyanti Citra Agustin (1811011067)
Delilla Izza Hidayati (1811011068)
Meidy Berlian Salsabila (1811011069)
Maddadillah Nadhif (1811011070)

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
Mei, 2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadiran Allah Subhanahu Wata’ala yang
telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Judul makalah ilmiah ini adalah “Massive Hemothorax”
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
 Allah SWT atas nikmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas dengan usaha
dan kerja keras. Penulis juga berterima kasih kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari dunia yang gelap kedunia yang terang benderang.
 Ns. Cipto Susilo, S.Pd., S.Kep., M. Kep selaku dosem pembimbing mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat dengan segala wawasan ide, serta dengan memberikan
bimbingan, masukan dan saran dalam proses perkuliahan.
 Teman-teman seperjuangan yang membantu penulis untuk lehih
memahami materi yang ditugaskan
Akhir kata, sangat disadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, yang tak
lepas dari kesalahan dan kekurangan.

Jember, 3 Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................................1
BAB II KONSEP TEORI.....................................................................................................2
2.1 Definisi.......................................................................................................................2
2.2 Etiologi.......................................................................................................................2
2.3 Patofisiologi................................................................................................................3
2.4 WOC...........................................................................................................................3
2.5 Manifestasi Klinis.......................................................................................................4
2.6 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................................4
2.7 Penatalaksanaan Medis...............................................................................................4
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN................................................................................6
3.1 Pengkajian..................................................................................................................6
3.2 Diagnosa Keperawatan...............................................................................................7
3.3 Intervensi dan Implementasi.......................................................................................8
3.4 Evaluasi....................................................................................................................14
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................15
4.1 Kesimpulan...............................................................................................................15
4.2 Saran.........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemothorax adalah kondisi adanya darah pada cavum pleura. Hemothorax sering
dikaitkan dengan trauma tembus thoraks atau trauma tumpul yang disertai cedera skeletal.
Penyebab lain yang lebih jarang misalnya penyakit pada pleura, induksi iatrogenik, atau
hemothorax spontan.
Hemothorax merupakan kondisi dimana darah terkumpul di antara dinding dada dan
paru-paru. Daerah ini merupakan area di mana darah terkumpul, yang dikenal sebagai rongga
pleura. Penumpukan volume darah di ruang ini pada akhirnya dapat menyebabkan paru-paru
Anda runtuh ketika darah mendorong bagian luar paru-paru. Hemothorax dapat disebabkan
oleh faktor penyebab yang juga menyebabkan pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi ketika
terlalu banyak udara masuk antara dinding dada dan paru-paru. Hal ini mengakibatkan terlalu
banyak tekanan pada paru-paru dan menyebabkan paru-paru atau sebagian paru-paru runtuh.
(Ninomiya, Kuriyama, & Uchino, 2020)
Hemothorax massive adalah terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500 cc dalam
rongga pleura. Penyebabnya adalah luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau
pembuluh darah pada hilus paru. Selain itu juga dapat disebabkan cedera benda tumpul.
Kehilangan darah dapat menyebabkan hipoksia.(Mindaye & Zegeye, 2021)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Massive Hemothorax ?
2. Bagaimana konsep teori dasar medis dari Massive Hemothorax ?
3. Bagaimana konsep teori keperawatan dari Massive Hemothorax ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Massive Hemothorax
2. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit Hemothora

1
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Anatomi Fisiologi Thorax

Dinding toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, dimana pada


bagian bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih
panjang dari pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru - paru dan
mediastinum. Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua
paru - paru. Di dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu;
sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada
yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe (Ombregt,
2013). Tulang - tulang yang elastis dan otot - otot pernapasan menyokong dan
mengelilingi rongga toraks. Tiga dari bagian ruangan kompartemen ditempati oleh
dua buah paru - paru dengan lima segmennya yang terhubung oleh struktur
vaskuler kearah pusat kompartemen kardiovaskuler. Sebagai tambahan, trakea dan
bronkus menghubungkan paru - paru dan pharynk, dan beberapa saraf di dalam
rongga toraks. ( Ombregt, 2013 ).

Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di
anterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang
kosta berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru,
hati dan Lien seperti gambar 2.1 dan gambar 2.2. ( Drake, et al., 2010; Hansen,
2014)

Dinding toraks terdiri dari elemen tulang dan otot – otot. Bagian posterior
disusun oleh dua belas tulang vertebrae toraks. Bagian lateral dibentuk oleh tulang
costa ( masing – masing 12 pada setiap sisi ) dan 3 lapisan dari otot – otot datar
yang membentang pada ruang intercosta antara tulang osta yang berdeekatan,
menggerakkan kosta dan memberikan kekuatan pada ruang interkosta. Bagian
depan dibatasi oleh sternum yang terdiri dari manubrium sternum, body sternum
dan processus xiphoideus. (Drake, et al., 2010; Assi & Nazal, 2012; Hansen,
2014).

2
Gambar 2.1

Anatomi Organ Visceral pada Rongga Dada anterior view

(Hansen, 2014)

Gambar 2.2

3
Batas tulang pada dinding toraks (Drake, et al., 2010)

Gambar 2.3

Batas dinding toraks (Drake, et al., 2010

4
Muskulatur dinding dada terdiri atas otot-otot yang mengisi dan menyokong spatium
interkostalis, otot-otot yang berada antara sternum dan tulang rusuk, dan otot-otot yang
melintang melewati beberapa tulang rusuk di antara perlekatan tulang kosta seperti
gambar 2.4 dan 2.5. Otot-otot dinding dada, bersama dengan otot-otot di antara vertebra
dan tulang rusuk secara posterior ( m.levatores costarum, m.serratus posterior superior,
dan m.serratus posterior inferior) merubah posisi tulang rusuk dan sternum sehingga
merubah volume torakal selama bernapas. Otot-otot ini juga memperkuat dinding
thorakal seperti gambar 2.4 (Drake, et al., 2010).

Muskulus interkostal merupakan tiga otot pipih yang terdapat pada tiap spatium
interkostalis yang berjalan di antara tulang rusuk yang bersebelahan. Setiap otot pada
kelompok otot ini dinamai berdasarkan posisi mereka masing- masing:

 m.interkostal eksternal merupakan yang paling superfisial


 m.interkostal internal terletak diantara m.interkostal eksternal dan
profundal

Muskulus interkostal diinervasi oleh nervus interkostal terkait. Sebagai suatu


kelompok otot. Otot-otot interkostal menyediakan sokongan struktural untuk spatium
interkostalis selama respirasi. Mereka juga menggerakkan tulang rusuk. Sebelas pasang
m.interkostal eksternal memanjang dari tepi bawah tulang rusuk yang berada di atas
hingga tepi atas tulang rusuk di bawahnya. Otot-otot ini memanjang mengelilingi
dinding toraks dari regio tuberkel rusuk hingga kartilage kosta, dimana tiap lapisan
berlanjut sebagai suatu aponeurosis jaringan ikat tipis yang dinamai membrane
interkostal eksternal. Muskulus interkostal eksternal merupakan otot yang paling aktif
saat inspirasi.

Sebelas pasang m.interkostal internal berjalan diantara tepi lateral terbawah lekuk
kosta tulang rusuk, hingga permukaan superior rusuk di bawahnya. Otot- otot ini
memanjang dari regio parasternal, dimana mereka berjalan diantara kartilage kosta yang
bersebelahan, menuju angulus rusuk di posterior. Lapisan ini berlanjut ke medial menuju
kolumna vertebralis, pada setiap spatium interkostalis, sebagai membrane interkostal
internal. Serabut otot ini berjalan kearah yang berlawanan dengan m.interkostal
eksternal. Muskulus interkostal internal merupakan otot yang paling aktif selama
ekspirasi. (Drake, et al., 2010)

5
Muskulus interkostal profunda memiliki serabut dengan orientasi yang sama
dengan muskulus interkostal internal. Otot ini paling tampak pada dinding toraks
lateral. Mereka melekat pada permukaan internal rusuk - rusuk yang bersebelahan
sepanjang tepi medial lekuk kosta. Satu hal yang penting disini, berkas
neurovaskular yang terkait dengan spatium interkostalis berjalan mengelilingi
dinding toraks pada suatu bidang di antara muskulus interkostal profunda dan
internal.

Muskulus subkostal berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal


profunda, merentang diantara multiple rusuk, dan jumlahnya semakin banyak di
regio bawah dinding toraks posterior seperti gambar 2.4 dan 2.5. Otot - otot ini
memanjang dari permukaan interna satu rusuk sampai dengan permukaan interna
rusuk kedua atau ketiga di bawahnya. Serabut ototnya paralel terhadap jalur
m.interkostal internal dan memanjang dari angulus rusuk menuju posisi yang
lebih medial pada rusuk di bawahnya. (Drake, et al., 2010)

Muskulus torakal transversus terdapat pada permukaan dalam dinding toraks


anterior dan berada pada bidang yang sama dengan m.interkostal profunda seperti
gambar 2.4 dan 2.5. Muskulus torakal transversus muncul dari aspek posterior
prosesus xiphoideus, pars inferior badan sternum, dan kartilage kosta rusuk sejati
di bawahnya. Otot - otot ini berjalan secara superior dan lateral untuk memasuki
tepi bawah kartilage kostal tulang rusuk III hingga VI. Muskulus torakal
transversus terletak di bawah pembuluh - pembuluh torakal internal dan mengunci
pembuluh ini ke dinding toraks.

6
Gambar 2.4 Musculature Dinding Toraks ( Putz,2006 )

Gambar 2.5 Otot Interkosta (Drake, et al., 2010)

Suplai arterial
Pembuluh-pembuluh darah yang memvaskularisasi dinding toraks terutama
terdiri dari arteri interkostal posterior dan anterior, yang berjalan mengelilingi
dinding toraks dalam spatium interkostalis di antara rusuk - rusuk yang
bersebelahan seperti gambar 2.6. Arteri – arteri ini berasal dari aorta dan arteri
torakal internal, yang berbelok kemudian muncul dari arteri subklavian pada dasar
leher. Bersama - sama, arteri - arteri interkostal membentuk pola seperti keranjang
untuk vaskularisasi seluruh dinding dada.

Arteri interkostal posterior berasal dari pembuluh-pembuluh yang


berhubungan dengan dinding toraks posterior. Dua arteri interkostal posterior
yang paling atas pada tiap sisinya berasal dari arteri interkostal suprima, yang
turun memasuki toraks sebagai percabangan trunkus kostoservikal pada leher.
Trunkus kostoservikal merupakan suatu cabang posterior dari arteri subklavian.
Sembilan pasang arteri interkostal posterior sisanya berasal dari permukaan
posterior aorta torakalis. Oleh karena aorta terletak pada sisi kiri kolumna
vertebralis, maka pembuluh-pembuluh interkostal posterior berjalan menuju sisi
kanan dinding toraks dengan menyeberang midline anterior dari badan vertebra,
sehingga pembuluh ini lebih panjang daripada pembuluh pada sisi kiri. Selain
memiliki banyak percabangan yang menyuplai berbagai komponen dinding toraks,

7
arteri interkostal posterior juga memiliki percabangan yang mengiringi cabang
kutaneus lateral dari nervus interkostal yang menuju area superfisial.

Arteri interkostal anterior berasal dari percabangan lateral arteri torakal


internal, baik secara direk maupun indirek. Setiap arteri interkostal anterior
muncul sebagai suatu cabang mayor dari arteri subkalvian pada leher. Arteri ini
berjalan secara anterior melewati kubah servikal pleura dan turun secara vertikal
melalui apertura torakal superior dan sepanjang aspek profunda dari dinding
torakal anterior. Pada tiap sisi, arteri interkostal anterior terletak posterior
terhadap kartilage kostal dari enam rusuk teratas dan sekitar 1 cm lateral terhadap
sternum. Pada sekitar level spatium interkostalis keenam, arteri ini bercabang
menjadi dua cabang terminal:

 arteri epigastrik superior, yang lanjut berjalan secara inferior menuju


dinding abdomen anterior

 arteri muskuloprenikus, yang berjalan sepanjang tepi kostal, melewati


diafragma, dan berakhir di dekat spatium interkostal terakhir
Arteri interkostal anterior yang menyuplai enam spatium interkostal teratas
muncul sebagai cabang lateral dari arteri torakal internal, sedangkan yang
menyuplai spatium yang lebih bawah berasal dari arteri muskuloprenikus.

Pada tiap spatium interkostalis, biasanya terdapat dua arteri interkostal anterior:

 satu yang lewat di bawah tepi rusuk di atasnya;


 satu lagi yang lewat di atas tepi rusuk di bawahnya dan kemudian bertemu
dengan sebuah kolateral percabangan arteri interkostal posterior

Distribusi pembuluh - pembuluh interkostal anterior dan posterior saling tumpang


tindih dan dapat berkembang menjadi hubungan anastomosis. Arteri interkostal anterior pada
umumnya berukuran lebih kecil dari pembuluh posterior

8
Gambar 2.6 Arteri Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)

Suplai Vena
Drainase vena dari dinding toraks pada umumnya paralel dengan pola suplai
arterialnya. Secara sentral, vena - vena interkostal pada akhirnya akan didrainase
menuju sistem vena atau ke dalam vena torakal internal, yang terhubung dengan
vena brakhiosefalika dalam leher. Vena - vena interkostal posterior pada sisi kiri
akan bergabung dan membentuk vena interkostal superior kiri, yang akan
didrainase ke dalam vena brakhiosefalik kiri. Begitu pula dengan vena-vena
interkostal posterior di sisi kanan dapat bergabung dan membentuk vena
interkostal superior kanan, yang akan mengalir ke dalam vena azygos

9
Gambar 2.7 Vena Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)

Drainase Limfatik
Pembuluh limfatik pada dinding toraks didrainase terutama ke dalam
limfonodi yang berhubungan dengan arteri torakal internal (nodus parasternal),
dengan kepala dan leher rusuk (nodus interkostal), dan dengan diafragma (nodus
diafrgamatikus). Nodus diafragmatikus terletak posterior terhadap xiphoideus dan
pada lokasi dimana nervus phrenikus memasuki diafragma. Mereka juga ada pada
region - regio dimana diafragma melekat dengan kolumna vertebralis. Nodus
parasternal didrainase ke dalam trunkus bronkhomediastinal. Nodus interkostal
pada toraks atas juga didrainase ke dalam trunkus bronkhomediastinal, sedangkan
nodus interkostal di toraks bawah didrainase ke dalam duktus torakalis. Nodus
yang berkaitan dengan diafragma terinterkoneksi dengan nodus parasternal,
prevertebral, juxtaesofageal, brakhioesefalik, dan aortik lateralis. Regio superfisial
dinding toraks didrainase terutama ke dalam limfonodi aksilaris pada nodus aksila
atau parasternal seperti gambar 2.8.

10
Innervasi
Innervasi dinding toraks terutama oleh nervus interkosta, yang merupakan
ramus anterior nervus spinalis T1 - T11 dan terletak pada spatium interkostalis di
antara rusuk-rusuk yang bersebelahan seperti gambar 2.9. Percabangan
terbesarnya adalah cabang kutaneus lateral, yang menembus dinding toraks lateral
dan terbagi menjadi cabang anterior dan cabang posterior yang menginervasi
lapisan kulit di atasnya. Nervus interkostal berakhir sebagai cabang kutaneus
anterior, yang muncul baik secara parasternal, di antara kartilage kosta yang
bersebelahan, ataupun secra lateral terhadap midline, pada dinding
abdomen anterior, untuk menyuplai kulit pada toraks, nervus interkostal
membawa :

 Inervasi somatik motorik kepada otot – otot dinding toraks ( intercostal,


subcostal, and transversus thoracis muscles )
 Innervasi somatik sensoris dari kulit dan pleura parietal;
 Serabut simpatis postganglionic ke perifer.
Innervasi sensori dari kulit yang melapisi dinding toraks bagian atas disuplai oleh
cabang kutaneus, yang turun dari pleksus servikal di leher. Selain menginnervasi
dinding toraks, nervus interkosta juga menginnervasi area lainnya :

 Ramus anterior T1 berkontribusi ke pleksus brakhialis


 Cabang kutaneus lateral dari nervus interkostalis kedua berkontribusi
kepada innervasi kutaneus permukaan medial lengan atas
 Nervus interkostal bawah menyuplai otot, kulit, dan peritoneum dinding
abdomen

11
Gambar 2.8 Sistem Limfatik Dinding Toraks (Drake, et al., 2010)

Fisiologi

Gerakan inspirasi atau tarik napas yang bekerja aktif karenakontraksi otot intercostals
menyebabkan rongga thoraxmengembang. Mekanisme ekspirasi atau keluar napas,
bekerja pasif karenaelastisitas/daya lentur jaringan paru ditambah relaksasi
ototintercostals, menekan rongga thorax hingga mengecilkanvolumenya, mengakibatkan
udara keluar melalui jalan napas.
1. Pernapasan : inspirasi dan ekspirasi
. Frekwensi 12 – 20 kali permenit
. > 24 kali permenit : tachypnoe
2. Ventilasi : oksigen yg masuk ke paru-paru melalui jalan napas berdifusi dlm darah
. Hipoksi : kadar oksigen rendah : dispnoe
. Hiperkapni : penimbunan CO2 dlm darah : sianosis

2.2 Definisi
Secara umum massive hemotoraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang
mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh
pada pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma tumpul maupun
oleh sebab trauma tajam. Peningkatan dalam pemahaman mekanisme fisiologis yang
terlibat, kemajuan dalam modalitas imaging yang lebih baru, pendekatan invasif yang
minimal, dan terapi farmakologis memberikan kontribusi dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera ini (Mayasari & Pratiwi, 2017).

12
Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera berat
meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks dan Pneumotoraks
juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien massive hemotoraks.
Penatalaksanaan pada cedera ini telah berkembang selama beberapa dekade terakhir.
Hal ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik imaging diagnostik dan peningkatan
dalam pemahaman patofisologi. Pemahaman ini akan meningkatkan kemampuan
deteksi dan identifikasi awal atas trauma toraks sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan segera

2.3 Etiologi
Maasive hemothorak atau trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena
trauma tumpul 65% dan trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma
toraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010).
Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu
depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang
memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam
dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti
trauma tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti
pada tembakan senjata militer. Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan
yang berlebihan pada paru - paru yang bisa menyebabkan Pneumotoraks seperti pada
aktivitas menyelam.
Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum,
rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat terjadi
tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera (Mahoozi et al., n.d.).

2.4 Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi pernapasan
yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot - otot pernapasan
diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negatif dari intratoraks.
Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru selama inspirasi. Trauma
toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbeda dari dinding toraks dan rongga
toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu dinding dada, rongga pleura,
parenkim paru, dan mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang - tulang dada
dan otot - otot yang terkait. Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal
dan dapat terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim
13
paru termasuk paru - paru dan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat
mengalami kontusio, laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk
jantung, aorta / pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus.
Secara normal toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner
dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh.
Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi keduanya
dapat timbul akibat dari cedera toraks (Mahoozi et al., n.d.).
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa faktor,
antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain yang terkait,
dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien - pasien trauma toraks
cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi respirasinya dan secara
sekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung. Pengobatan dari trauma Toraks
bertujuan untuk mengembalikan fungsi kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan
perdarahan dan mencegah sepsis.
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai berat
tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi
yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan
anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan komplikasi
pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio pulmonum. Trauma yang lebih berat
menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat mengganggu
fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan sistem respirasi
dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya.
Gangguan faal respirasi dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi, dan
gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks
adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah

14
2.4 WOC

2.5 Manifestasi Klinis


Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah di dinding
dada. Luka dipleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Anemia dan
syok hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul. Secara klinis
pasien menunjukkan distress pernafasan berat, agitasi, sianosis, takhipnea berat,
takhikardi dan peningkatan awal tekanan darah, diikuti dengan hipotensi sesuai dengan
penurunan curah jantung.
A. Water Seal Drainage (tube thoracostomy)

15
Modalitas terapi yang bekerja dengan menghubungkan cavum pleura berisi
cairan abnormal dengan botol s ebagai perangkat WSD yang nantinya akan menarik
keluar isi cairan abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan mengembalikan
cavum pleura seperti semula, menyebabkan berkurangnya kompresi terhadap paru
yang tertekan dan paru akan kembali mengembang.
Tindakan invasive yang dilakukan adalah tindakan WSD untuk mengeluarkan
udara, cairan baik darah atau pus dari rongga pleura ataupun rongga thorax
(mediastinum) dengan menggunakan selang penghubung dari rongga kebotol WSD.
Dengan tujuan antara lain:
1. Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorax
2. Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
3. Mengembangkan kolaps kembali paru yang
4. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
5. Mengembalikan fungsi paru yaitu “mechanis of breathing”
Indikasi:
1. Hematothorak:

Robekan pleura/trauma

Kelebihan antikoagulan

Pasca bedah thorak (Thorakotomie)

2. Efusi pleura: penumpukan cairan non fisiologis yang berlebih

Hal-hal yang perlu diperhatikan :


1. Perhatikan undulasi pada selang WSD, bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi
dapat terjadi antara lain :

 Motor suction tidak berjalan

 Selang tersumbat

 Selang terlipat

 Paru-paru telah mengembang

 Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi
sistem drainage

2. Amati tanda-tanda kesulitan bernafas.

3. Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar.

16
4. Cek batas cairan seal dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah
ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air.

5. Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah
cairan yg keluar.

6. Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama.

7. Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan.

8. Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai


selang terlipat.

9. Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi.

10. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu.

11. Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang
dibuang.

12. Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran.

13. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema


subkutan.

14. Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk efektif.

15. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh.

16. Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD.

17. Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan
gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD.
Prosedur Tindakan:
1. Cuci tangan

2. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea


aksilaris anterior dan media

3. Lakukan analgesia/anestesia pada tempat yang telah ditentukan

4. Buat insisi kulit dan subkutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai
muskulus interkostalis.

5. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan.

6. Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga
pleura atau menyentuh paru.

17
7. Masukan selang (chest tube) melalui lubang yang telah dibuat dengan
menggunakan Kelly forceps

8. Selang (chest tube) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding
dada

9. Selang (chest tube) disambungkan ke WSD yang telah disiapkan

10. Foto X-ray dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.

B. Thoracocentesis

Modalitas terapi yang bekerja dengan cara melakukan aspirasi menggunakan


jarum yang ditusukkan biasanya pada linea axillaris media spatium intercostalis 6.
Aspirasi dilakukan dengan menggunakan jarum dan spuit, atau dapat juga
menggunakan kateter. Aspirasi dilakukan dengan batas maksimal 1000 – 1500 cc
untuk menghindari komplikasi reekspansi edema pulmonum dan pneumothoraks
akibat terapi.

Tindakan intensive adalah suatu tindakan baik diagnostic maupun terapeutik


dengan cara memasukkan jarum ke rongga pleura untuk menemukan dan
mengeluarkan cairan pleura. Tujuannya mengeluarkan cairan dari rongga pleura.

Indikasi : pasien dengan effuse pleura

1. Pasien dengan terapi antikoagulan

2. Koagulapathy

3. Thrombositopenia

Persiapan

1. Pasien :

a. Persetujuan tindakan fungsi cairan pleura dari penderita yang diketahui


keluarga terdekat dengan saksi petugas medis, setelah pasien diberi penjelasan
tentang tindakan dan tujuan pemeriksaan serta komplikasinya (informed
consent)

b. Penerangan prosedur tindakan

c. Pemeriksaan factor pembekuan darah bila perlu

2. Alat dan bahan :

18
a. Foto Thoraks

b. Spuit 5cc, 10cc, 50cc lubang pinggir

c. Jarum catheter no 18

d. Three way stopcock

e. Transfusion set yang sudah dimodifikasi

f. Kontainer, duk steril

g. Handscoen steril

h. Lidocaine 1%/2%

i. Kapas, alkohol 70% dan povidon iodin.

 Lokasi Aspirasi Pleura

Posisi penderita duduk dengan lengan kedepan.

Tempat punksi: prinsip punksi dilakukan pada tempat yang paling rendah dari cavum
pleura dengan memperhatikan foto-foto thoraks dan pemeriksaan fisik, yaitu pada ICS
6-7 atau 7-8 (ada yang 8-9) linea aksilaris posterior atau ditempat ditemukan cairan
pleura.

Pasien yang tidak bisa dalam posisi duduk fungsi pleura bisa dilakukan dengan posisi
pasien miring pada sisi effuse pleura dengan posisi lateral decubitus. Fungsi pleura
dilakukan pada garis mid axillary.

 Disinfeksi

Kulit dibersihkan dengan pridon iodin dan sisanya dibersihkan dengan alkohol,
dipasang duk steril, pada lapang operasi

 Punksi Percobaan (Aspirasi untuk diagnosa)

Pada tempat yang telah ditentukan diaspirasi spuit 5/10 cc, apakah ada cairan atau
tidak. Apabila ada cairan dilakukan anestesi.

 Anesthesia

Dengan lidocain 1% atau 2% sebanyak 2-4 cc, infitrasi mulai dari kulit, subcutan
diteruskan kedalam secara perlahan sampai cavum pleura.

 Tehnik Aspirasi Pleura

1. Mencuci tangan sebelum tindakan dan menggunakan handscoen selama tindakan.

19
2. Tangan kiri memegang/ memfiksir intercostal (tepat yang telah ditentukan) dengan
tangan kanan memegang jarum yang tersambung dengan three waystopcok dengan
selang infusnya.

3. Jarum ditusukkan pada tempat yang telah dianastesi.

4. Spuit 50cc dihubungkan dengan three waystopcok dan dilakukan penyedotan


secara perlahan, bila spuit terisi penuh, caira dibuang dst.

5. Bila dianggap cukup, jarum dilepas, jumlah cairan diambil sebanyak mungkin/
sampai habis, selama keadaan umum penderita baik (1000-1500 cc dihentikan).

6. Aspirasi dihentikan apabila ada tanda-tanda batuk, sesak nafas, nyeri dada,
presyok/syok.

7. Bekas luka jarum diberi alkohol/povidon iodine dan kemudian ditutup kain kassa
steril dan diplester.

8. Spesimen cairan pleura diperiksakan:

a. Mikrobiologi (ditampung steril)

b. Sitology (cairan pleura dicampur dengan alkohol 70%)

c. Analisa (PH. Protein, rivalta, LDH, glukosa, sel PMN dan MN)

Unit terkait menggunakan Radiologi, Mikrobiologi, PK, PA

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Melakukan pemeriksaan darah darah lengkap dan pemeriksaan radiologi yaitu foto
rontgen toraks AP
2. Hematokrit dan hemoglobin serial
3. Jenis dan metode crossmatch
4. Laktat serum dan gangguan basa
5. Koagulasi dan waktu perdarahan
6. Tes fungsi hari, amilasi dan lipase
7. Urinalisis

2.7 Penatalaksanaan Medis


Tujuan utama tatalaksana dari hemathoraks adalah untuk menstabilkan hemodinamik
pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta udara dari rongga pleura
(Mayasari & Pratiwi, 2017).

20
1. Melakukan resusitasi yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi cairan serta
dapat dilakukan dengan pemberian analgesic serta antibiotic.
2. Posisikan semi fowler
3. Pemberian cairan IVFD RL
4. Pantau HB serial
5. Pemasangan WSD/chest tube dihubungkan dengan tabung berisi air atau water
shield drainage (untuk mengeluarkan darah dari rongga pleura). Diberikan obat anti
fibrinolitik serta obat suportif lainnya berupa antibiotic.
Adapun Langkah-langkah dalam pemasangan chest tube adalah :
 Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
 Disinfektan daerah yang akan dipasang chest tube dengan menggunakan alcohol
atau pavidion iodine pada ICS V atau ICS VI posterior mid axillary line
pemilihan berdasarkan 2 alasan: lokasi ini aman karena berada diatas diafragma,
area ini merupakan dinding dada dengan lapisan otot paling tipis, oleh karena itu
pada lokasi ini dapat dilakukan pemasangan chest tube lebih cepat dan tidak
sakit
 Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakan lidokain
 Insisi sekitar 3-4 cm pada mid axillary line
 Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan selanjutnya dihubungkan
dengan WSD (Water Sealed Drainage)
 Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube.

21
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian Primer
A. Airway = Kaji tanda-tanda obstruksi jalan nafas, intruksi pasien untuk membuka
jalan nafas, kaji tanda / gejala sumbatan nafas partial, suara stridor, nafas
tambahan.
B. Breathing = Kaji dengan 3L (lihat pergerakan dada, dengarkan suara nafas,
rasakan hembusan nafas)
C. Circulation = Kaji RR (irama frekuensi), tekanan darah dan rasakan nadi.
D. Disability = Kaji kesadaran atau status neurologis
E. Exposure = Menjaga privasi pasien, membuka baju yang di perlukan, jaga suhu
tubuh, mengkaji tubuh yang luka.
Pengkajian Sekunder
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, no. register,
diagnosa medis.
2. Keluhan
3. Alergi terhadap obat, makanan tertentu. Pengobatan terakhir
4. Pengalaman pembedahan
5. Riwayat penyakit sekarang
6. Riwayat penyakit dahulu
7. Riwayat penyakit keluarga
8. Pemeriksaan Fisik
a) Sistem Pernapasan :
Sesak napas , Nyeri , batuk batuk , terdapat retraksi , klavikula dada ,
pengambangan paru tidak simetris, temitus menurun dibandingkan dengan sisi
yang lain , pada perkusi ditemukan adanya suara sonor hipersonor timpani ,
hematotrax ( redup ) pada asukultasi suara nafas , menurun , bising napas yang
berkurang menghilang Pekak dengan batas seperti , garis miring tidak jelas.
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat. Gerakan dada tidak sama waktu
bernapas.

b) Sistem Kardiovaskuler :

22
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk. Takhikardia , lemah , Pucat ,
Hb turun normal, Hipotensi.
c) Sistem Persyarafan :
Tidak ada kelainan
d) Sistem Perkemihan :
Tidak ada kelainan
e) Sistem Pencernaan :
Tidak ada kelainan.
f) Sistem Muskuloskeletal Integumen
Kemampuan sendi terbatas . Ada luka bekas tusukan benda tajam. Terdapat
kelemahan.Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
g) Sistem Endokrine :
Terjadi peningkatan metabolisme. Kelemahan
h) Sistem Sosial / Interaksi
Tidak ada hambatan
i) Spiritual : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan eckpansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2) Incfektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
4) Kurang pengetahuan / kebutuhan belajar (tentang kondisi dan aturan pengobatan b/d
kurang terpajan dengan informasi.

3.3 Intervensi dan Implementasi


Diagnosa Rencana Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Intervensi
SDKI 2017 Hasil SIKI,2018

23
SLKI,2019
1. Pola Napas Tujuan : Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Tidak Efektif b.d Setelah di lakukan Observasi :
ekspansi paru yang tindakan keperawatan Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, dan
tidak maksimal selama 3x24, pola napas usaha napas)
karena akumulasi menjadi efektif dengan Monitor bunyi napas tambahan (mis, gurgling,
udara/cairan Kriteria Hasil : (L.01004) mengi, wheezing, ronkhi kering)
(D.0005). Memperlihatkan frekuensi Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
pernafasan yang efektif. Terapeutik :
Tidak ada sianosis dan Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-
dyspnea tilt and chin-lift
Tanda-tanda vital dalam Posisikan semi fowler atau fowler
rentang normal Berikan minum hangat
Tingkat nyeri menurun Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Menunjukkan jalan napas Lakukan penghisapan lender >15 detik
yang paten (klien tidak Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
merasa tercekik endotrakeal
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
Berikan oksige, jika perlu

Edukasi :
Anjurkan asupan cairan 2000m/hari, jika tidak
kontraindikasi
Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

2. Risiko Infeksi Setelah di lakukan Perawatan Selang Dada (I.01022)


b.d tindakan keperawatan Observasi : Identifikasi indikasi di lakukan
ketidakadekuatan selama 3x24 jam, derajat pemasangan selang dada
pertahanan tubuh risiko infeksi menurun Monitor kebocoran udara dari selang dada
primer dengan Monitor fungsi, posisi, dan kepatenan aliran
(D.0142) Kriteria Hasil : (L.14137) selang (undulasi cairan pada selang

24
Tidak ada tanda-tanda Monitor tanda & gejala pneumothorax
infeksi Monitor penurunan produksi gelembung, undulasi,
Mengetahui cara dan gelombang pada tabung penampung cairan
mengurangi penularan Monitor jumlah cairan pada tabung (seal)
infeksi Monitor posisi selang dengan sinar X
Mengenali tanda & gejala Monitor krepitasi di sekitar dada
yang mengindikasi risiko Monitor tanda-tanda akumulasi cairan intrapleural
dalam penyebaran infeksi Monitor volume, warna, dan konsistensi drainase
Mengetahui aktivitas yang dari paru-paru
dapat meningkatkan Monitor tanda-tanda infkesi
infeksi Terapeutik :
Lakukan kebersihan tangan sebelum dan setelah
pemasangan atau perawatan selang dada
Pastikan sambungan selang tertutup sempurna
Klem selang saat penggantian tabung
Berikan selang yang cukup Panjang untuk
mempermudah gerakan
Lakukan kultur cairan dari selang dada, jika perlu
Fasilitasi batuk, napas dalam dan ubah posisi
setiap 2 jam
Lakukan perawatan di area pemasangan selang
setiap 48-72 jam atau sesuai kebutuhan
Lakukan pergantian tabung (seal) secara berkala
Lakukan pelepasan selang dada, sesuai indikasi
Edukasi :
Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan selang
Ajarka cara perawatan selang
Ajarkan mengenali tanda-tanda infeksi

3. Nyeri Akut b.d Setelah di lakukan Manajemen Nyeri (I.08238)


trauma jaringan tindakan keperawatan Observasi :
dan reflek spasme selama 3x24 jam, keluhan Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
otot sekunder. nyeri menurun dengan kualitas, intensitas nyeri
(D.0077) Kriteria Hasil : (L.08066) Identifikasi skala nyeri

25
Keluhan nyeri menurun Identifikasi factor yang memperberat dan
Meringis menurun memperingan nyeri
Gelisah menurun Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Kesulitan tidur menurun Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
Frekuensi nadi membaik, nyeri
TD membaik Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
Skala nyeri menurun sudah di berikan
Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik :
Berikan Teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kontrol ruangan yang memperberat rasa nyeri
Fasilitasi istirahat tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi :
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Ajarkan menggunakan analgetik secara tepat
Ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk
megurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

4. Bersihan Jalan Setelah di lakukan Latihan Batuk Efektif (I.01006)


Napas Tidak tindakan keperawatan Observasi : (I.01006)
Efektif b.d selama 3x24 jam, klien Identifikasi kemampuan batuk
peningkatan mampu batuk secara Monitor adanya retensi sputum
sekresi sekret dan efektif dengan Monitor tanda dan gejala infeksi napas
penurunan batuk Kriteria Hasil : (L.01001) Monitor input dan output cairan(mis. Jumlah &
sekunder akibat Batuk efektif meningkat karakteristik)
penumpukan Produksi sputum, mengi,
cairan atau udara wheezing, meconium Terapeutik :
(D.0149) menurun Atur posisi semi fowler atau fowler

26
Dispnea, ortopnea, sulit Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
bicara, sianosis, gelisah Buang sekret pada tempat sputum
membaik
Frekuensi pola napas Edukasi :
membaik Jelaskan tujuan & prosedur batuk efektif
Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung
selama 4 detik, di tahan 2 detik,, di keluarkan dari
mulut 8 detik
Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3x
Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah
Tarik napas dalam yang ke 3

Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu

3.4 Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan mencakup pencapaian terhadap tujuan
apakah masalah teratasi atau tidak, dan apabila tidak berhasil perlu dikaji, direncanakan
dan dilaksanakan dalam jangka waktu panjang dan pendek tergantung respon dalam
keefektifan intervensi.
1. Napas kembali normal
2. Batuk yang efektif
3. Tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan
4. Klien nyaman
5. Nyeri tidak terjadi lagi
6. Memahami kondisi /proses dan tindakan yang berhubumgam dengan penyakit.

27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Akumulasi darah dalam dada atau hemottohorax adalah masalah yarg relative
umum paling sering akibat cedera untuk intrathoracice struktur atau dinding dada.
Hematothorax tidak berhubungan dengan trauma adalah kurang umum dan dapat
disebabkan berbagai penyebab. Identifikasi dan pengobatan traumatik hematothorax
adalah bagian penting dari perawatan pasien yang terluka. Dalam kasus hematothorax
tidak berhubungan dengan trauma, penyelidikan yang hati-hati untuk sumber yang
mendasari harus dilakukan ketika perawatan terjadi
Hematothorax mengacu pada koleksi darah dalam rongga pleura. Walaupun
beberapa penulis menyatakan bahwa nilai hematokrit setidaknya 50% diperlukan untuk
mendefinisikan hematothorax (di bandingkan dengan berdarah efusi pleura). Sebagian
besar tidak setuju pada perbedaan tertentu. Meskipun etiologi paling umum adalah
hematothorax tumpul atau trauma tembus, itu juga dapat hasil dari sejumlah
nontraumatic menyebabkan atau dapat terjadi secara spontan.

28
4.2 Saran
Massive Hematothorax sering terjadi dalam kecelakan pada bagian dada manusia,
dalam kasus yang sering terjadi diketahui bahwa pasien mengalami sesak nafas ketika
terjadi massive hematothorax. Saran yang dapat diberikan dalam kasus ini adalah lebih
ditingkatkan lagi sumber daya manusia atau teknologi yang berkaitan dengan kasus ini
agar dapat mempercepat proses penanganan atau penyembuhan terutama di negara kita.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bae, J.-M. (2015). A Rare Case of Massive Hemothorax due to Central Venous
Catheterization Treated with Angiographic Stent Implantation. The Korean Journal of
Critical Care Medicine, 30(1), 18–21. https://doi.org/10.4266/kjccm.2015.30.1.18
Föhrding, L. Z. acaria., Sellmann, T., Angenendt, S., Kindgen-Milles, D., Topp, S. A.,
Korbmacher, B., … Knoefel, W. T. (2014). A case of lethal spontaneous massive
hemothorax in a patient with neurofibromatosis 1. Journal of Cardiothoracic Surgery, 9,
172. https://doi.org/10.1186/s13019-014-0172-y
Huang, J., Lin, W., Lv, D., Yu, L., Wu, L., Jin, H., … Ding, Q. (2017). Dabigatran-Induced
Massive Spontaneous Hemothorax. Drug Safety - Case Reports, 4(1).
https://doi.org/10.1007/s40800-017-0054-z
Huang, P. M., Ko, W. J., Tsai, P. R., Kuo, S. W., Hsu, H. H., Chen, J. S., … Lee, Y. C.
(2012). Aggressive management of massive hemothorax in patients on extracorporeal
membrane oxygenation. Asian Journal of Surgery, 35(1), 16–22.
https://doi.org/10.1016/j.asjsur.2012.04.003
Mahoozi, H. R., Volmerig, J., Hecker, E., Ruhrgebiet, T., Krankenhaus, E., Ruhrgebiet, T., &
Krankenhaus, E. (n.d.). Modern Management of Traumatic Hemothorax. 5(3).
https://doi.org/10.4172/2167-1222.1000326
Mayasari, D., & Pratiwi, A. I. (2017). Penatalaksanaan Hematotoraks Sedang Et Causa
Trauma Tumpul Management of Moderate Hematotoraks Et Causa Blunt Trauma.
Jurnal AgromedUnila, 4(1), 37–42.
Mindaye, E. T., & Zegeye, A. (2021). Massive left hemothorax following left diaphragmatic
and splenic rupture with visceral herniation: A case report. International Journal of
Surgery Case Reports. https://doi.org/10.1016/j.ijscr.2020.11.144
Ninomiya, K., Kuriyama, A., & Uchino, H. (2020). Massive hemothorax due to bleeding from
thoracic spinal fractures: A case series and systematic review. Scandinavian Journal of
Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. https://doi.org/10.1186/s13049-020-
00783-0
Patrini, D., Panagiotopoulos, N., Pararajasingham, J., Gvinianidze, L., Iqbal, Y., & Lawrence,
D. R. (2015). Etiology and management of spontaneous haemothorax. Journal of
Thoracic Disease, 7(3), 520–526. https://doi.org/10.3978/j.issn.2072-1439.2014.12.50
Pohnán, R., Blažková, Š., Hytych, V., Svoboda, P., Makeľ, M., Holmquist, I., & Ryska, M.
(2019). Treatment of hemothorax in the era of the minimaly invasive surgery. Military
Medical Science Letters (Vojenske Zdravotnicke Listy), 88(4), 180–187.

30
https://doi.org/10.31482/mmsl.2019.011

31

Anda mungkin juga menyukai