Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS MYELODYSPLASTIC SINDROM


DI RUANG KEMOTERAPI ANAK RSUD ULIN BANJARMASIN

DISUSUN OLEH :

NAMA : MUHAMMAD ABDILLAH


NIM : 11409717012
TINGKAT : III
SEMESTER : V
RUANGAN : KEMOTERAPI ANAK

YAYASAN WAHANA BHAKTI KARYA HUSADA


AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM VI/TANJUNGPURA
BANJARMASIN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Myelodisplastic Sindrom dan Konsep Asuhan Keperawatan

Disusun oleh :

Disusun oleh : M.Abdillah

Nim : 11409717012

Tingkat : III

Semester : V

Ruangan : Kemoterapi Anak

Banjarmasin, Desember 2019

Mahasiswa

M.Abdillah

Mengetahui

Pembimbing Akademik (CT) Pembimbing Klinik (CI)


LAPORAN PENDAHULUAN
MYELODYSPLASTIC SYNDROM
A. DEFINISI
Myelodisplastic syndrome (MDS), adalah kelompok penyakit clonal
hematopoietic stem cell yang terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan
maturasi dari sumsum tulang, yang membawa pada kegagalan sumsum tulang
dengan sitopenia, disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi
leukemia. Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan normoselular,
walaupun begitu MDS dapat ditemukan dengan hiposelular. Penting untuk
membedakan MDS hiposelular dengan anemia aplastik untuk menentukan
manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan MDS hiposelular adalah
adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya abnormalitas pada tangan
kromosom. Pada MDS juga mungkin ditemukan adanya cincin sideroblas
(akumulasi besi pada mitokondria), (Lestari and Sutirta, 2014).
MDS hampir sama dengan anemia aplastic, perbedaannya, pada MDS sel darah
yang belum dewasa tidak dapat bertahan lama dan lebih cepat mati pada saat
masih berada di sumsum tulang belakang. Seseorang dengan penyakit ini lebih
mudah merasa lelah, lebih mudah terkena infeksi, mengalami pendarahan, dan
lebih mudah mengalami luka memar. MDS juga dapat berkontribusi
menyebabkan acute myelogenous leukemia (AML), sehingga sering juga disebut
dengan penyakit pre-leukemia.

B. Klasifikasi
Beberapa jenis sindrom mielodispastik menurut Barbara, 2014:
1. Anemia refraktori: anemia tanpa adanya peningkatan sel blast.
2. Sitopenia refraktori: neutropenia atau trombositopenia tanpa adanya
peningkatan sel blast.
3. Anemia refraktori dengan cincin sideroblast: anemia sideroblast tanpa
adanya peningkatan sel blast.
4. Sitopenia refraktori dengan dysplasia multigalur: anemia atau sitopenia
dengan dysplasia lebih dari satu galur tanpa adanya peningkatan sel
blast.
5. Anemia refraktori dengan sel blast berlebihhan: anemia dan displasia
dengan peningkatan sel blast didarah dan disusum tulang.
6. MDS dengan sel (5)(q) terisolasi: anemia refraktori dengan atau tanpa
cincin sideroblast tanpa peninngkatan sel blast.
7. MDS terkait terapi: MDS dalam kemoterapi sititoksik atau irradiasi.

C. Etiologi
1. Penyebab MDS
Penyebab MDS tidak diketahui, tetapi studi menunjukkan, bahwa ada faktor-
faktor risiko tertentu, terkait dengan terjadinya penyakit.
2. Faktor-faktor risiko sindrom myelodysplastic
Faktor-faktor lain, bahwa mungkin meningkatkan kemungkinan mengembangkan
MDS termasuk:
 Kehadiran anggota keluarga dengan MDS;
 Sindrom genetik tertentu:
 Sindrom Down:
 Fanconi Anemia;
 Neutropenia bawaan;
 Riwayat Keluarga gangguan trombosit;
 Paparan dosis besar radiasi;
 Paparan bahan kimia tertentu, seperti benzena;
 Dampak dari pestisida;
 Terapi radiasi atau kemoterapi untuk pengobatan kanker;
 Merokok.

D. Manifestasi klinis
Ciri umum yang bisa ditemukan pada MDS ini adalah turunya kadar HB atau
trombosit atau bahkan leukosit serta eritrosit yang terkadang jauh melampaui
jumlah normalnya. Namun untuk lebih memastikan seseorang terkena MDS atau
bukan haruslah melalui pemeriksaan sumsum tulang belakang (BMP), dimana
pada pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan kelainan bentuk sel serta
perubahan perubahan pada eritrosit dan neutrophil.

A. Patofisiologi
MDS berkembang ketika mutasi klonal mendominasi disumsum tulang, menekan
sel induk sehat. Mutasi klonal dapat terjadi akibat predisposisi genetik atau dari
kerusakan sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh paparan terhadap
salah satu dari berikut ini: kemoterapi sitotoksik, radiasi, infeksi virus, bahan
kimia genotoksik (misalnya benzena). MDS dapat diklasifikasikan sebagai primer
atau sekunder terhadap penanganan kanker lain yang agresif, dengan paparan
radiasi, agen alkilasi, atau inhibitor topoisomerase II; Hal ini juga terjadi pada
pasien dengan transplantasi sumsum tulang autologous. Pada tahap awal MDS,
penyebab utama sitopeni adalah peningkatan apoptosis (kematian sel
terprogram). Seiring perkembangan penyakit dan berubah menjadi leukemia,
mutasi gen lebih lanjut terjadi, dan proliferasi sel leukemia menguasai sumsum
sehat.

F. PATHWAY
Myelodisplastic syndrome
(MDS)

Komposisi darah jauh


dibawah normal

G. Pemeriksaan Penunjang
Diperkenalkan pada tahun 1997, IPSS diciptakan untuk menerjemahkan risiko
pengembangan penyakit pasien dari deskripsi yang luas ke dalam standar
objektif. IPSS mengidentifikasi tiga faktor penyakit pasien berikut:
1. The percentage of marrow leukemic blast cells (blasts).
2. The type of chromosomal changes, if any, in the marrow cells (cytogenetics).
3. The presence of one or more cytopenias (decrease in the number of cells
circulating in the blood)
Diagnosis Diferensial yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial
adalah penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki
gejala pansitopenia adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis,
aleukemic leukemia, dan pure red cell aplasia. Pemeriksaan sumsum tulang
belakang (BMP) dilakukan untuk mendiagnosa suatu penyakit yang berhubugan
dengan kelaian sumsum tulang.

H. Penatalaksanaan
Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab.
Tetapi sering sulit untuk mengetahui penyebab karena etiologinya yang tidak
jelas atau idiopatik.
Terapi suportif diberikan sesuai gejala yaitu: (1) anemia, (2) neutropenia, dan (3)
trombositopenia.
1. Pada anemia. Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika hemoglobin
kurang dari 7g/dl, berikan sampai hb 9-10 g/dl1. Pada pasien yang lebih
muda mempunyai toleransi kadar hemogoblin sampai 7-8g/dl; untuk pasien
yang lebih tua kadar hemoglobin dijaga diatas 8g/dl4.
2. Pada neutropenia. Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan sayur,
fokus dalam menjaga perawatan higienis mulut dan gigi, cuci tangan yang
sering. Jika terjadi infeksi maka identifikasi sumbernya, serta berikan
antibiotik spektrum luas sebelum mendapatkan kultur untuk mengetahui
bakteri gram positif atau negatif. Tranfusi granulosit diberikan pada keadaan
sepsis berat kuman gram negatif, dengan netropenia berat yang tidak
memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
3. Pada trombositopenia. Pada trombositopenia berikan tranfusi trombosit jika
terdapat pendarahan aktif atau trombosit kurang dari <20.000/mm.
Terapi jangka panjang terdiri dari: (1) Terapi imunosupresif, dan (2) terapi
transplantasi sumsum tulang.
1. Terapi transplantasi sumsum tulang lebih direkomendasikan sebagai terapi
pertama, dengan donor keluarga yang sesuai. Maka karena itu, terapi
imunosupresif direkomendasikan pada pasien: (a) lebih tua dari 40 tahun,
walaupun rekomendasi berdasarkan dokter dan faktor pasiennya, (b) tidak
mampu mentoleransi transplantasi sumsum tulang karena masalah penyakit
atau usia tua, (c) tidak mempunyai donor yang sesuai, (d) akan diterapi
tranplantasi sumsum tulang, tetapi sedang menunggu untuk donor yang
sesuai, dan (e) memilih terapi imunosupresif setelah menimbang faktor resiko
dan manfaat dari semua pilihan terapi.
2. Terapi imunosupresif adalah dengan pemberian anti lymphocyte globuline
(ALG) atau anti thymocyteglobulin (ATG), kortikosteroid, siklosporin yang
bertujuan untuk menekan proses imunologik. ALG dapat bekerja
meningkatkan pelepasan haemopoetic growth factor. Sekitar 40%70% dari
kasus memberi respon terhadap pemberian ALG. Terapi ATG dapat
menyebabkan reaksi alergi, dengan pasien mengalami demam, athralgia, dan
skin rash sehingga sering diberikan bersamaan dengan kortikosteroid.
Siklosporin menghambat produksi interleukin-2 oleh sel-T serta menghambat
ploriferasi sel-T dari respon oleh interleukin-2. Pasien yang diterapi dengan
siklosporin membutuhkan perawatan khusus karena obat dapat
menyebabkan disfungsi ginjal dan hipertensi serta perlu diawasi hubungan
interaksi dengan obat lainnya.

Adapun pengobatan pada MDS ini umumnya hanya sebatas mengatasi gejala
gejala yang timbul saja seperti tranfusi darah jika kadar hb anjlog, juga tranfusi
trombosit jika kadarnya juga turun. Namun pada tingkat lanjut pengobatan bisa
dengan menggunakan sitostatika jenis Dacogen, Lenalidomide oral atau
Hydroxyurea (Hydrea). Menjaga pola hidup sehat dengan memperbaiki pola
makan serta tidak terlalu banyak melakukan aktifitas aktifitas yang berat konon
dapat menyembuhkan penyakit ini atau minimal menjaga penyakit ini agar tidak
berkembang menjadi leukemia akut.
I. Masalah Keperawatan

Diagnosa NOC Intervensi (NIC)


Resiko NOC: NIC: Bleeding
perdarahan Blood lose severity precaution
Blood koagulation 1. Monitor ketat tanda-
tanda perdarahan
Setelah dilakukan tindakan 2. Catat dan monitor
keperawatan selama 3x24 jam nilai HB dan HT secara
diharapkan pasien dapat kontinu
mengontrol perdarahan dan 3. Monitor nilai lab PT,
meningkatkan kadar trombosit, PTT, Trombosit.
dengan kriteria hasil: 4. Monitor TTV.
5. Kolaborasi dengan
Indikator Awal Tujuan pemberian produk
Tidak ada darah.
hematuri dan 6. Identifikasi
hematemesis penyebab perdarahan.
Kehilangan
7. Monitor intake dan
darah yang
output cairan
terlihat
Haemoglobin 8. Lakukan manual
dan hematokrit pressure (tekan) pada
dalam batas area perdarahan.
normal 9. batasi aktifitas
Plasma, pasien.
trombosit
dalam batas
normal
Intoleransi NOC: Activity tolerance NIC: Activity therapy
aktifitas 1. Kolaborasi dengan
Setelah dilakukan tindakan tim kesehatan lain
keperawatan selama 3x24 jam untuk merencanakan
diharapkan pasien dapat terapi aktivitas yang
melakukan aktifitas yang sesuai sesuai.
dengan penyakitnya, dengan 2. monitoring program
kriteria hasil sebagai berikut: aktivitasi klien.
3. Bantu klien memilih
Indikator Awal Tujuan aktivitas yang sesuai
Status dengan kondisi.
cardiopulmonal
Level
Energy Management
ketidaknyamanan
Penghematan 1. Tentukan
Energy pembatasan aktivitas
Level lelah fisik pada klien
Status perawatan
2. Monitor efek dari
diri
Istirahat pengobatan klien.
3. Monitor intake nutrisi
yang adekuat sebagai
sumber energy.
4. Anjurkan klien dan
keluarga untuk
mengenali tanda dan
gejala kelelahan saat
aktivitas.
5. Anjurkan klien untuk
membatasi aktivitas
yang cukup berat.
Risiko infeksi NOC: NIC: Infection control
1. Ganti peralatan
Immune Status
perawatan per
Knowledge : Infection control
pasien sesuai
Risk control
protocol.
2. Tingkatkan intake
Setelah dilakukan tindakan
nutrisi yang tepat.
keperawatan selama 3x24 jam 3. Dorong intake cairan
diharapkan pasien mampu yang sesuai.
4. Dorong untuk
mengenal tanda-tanda infeksi dan
beristirahat.
mengontrol atau mencegah
5. Ajarkan pasien dan
terjadinya infeksi, dengan kriteria
keluarga mengenai
hasil:
tanda dan gejala
infeksi dan kapan
Indikator Awal Tujuan
harus melaporkan
Mencari
kepada penyedia
informasi terkait
perawatan
control infeksi
Mengidentifikasi kesehatan.
6. Ajarkan pasien dan
faktor risiko
anggota keluarga
infeksi
Mengidentifikasi mengenai hubungan
tanda dan gejala bagaimana
infeksi menghindari infeksi.
Memonitor faktor
lingkungan yang
berhubungan
dengan risiko
infeksi
Mempertahanka
n lingkungan
yang bersih
Mengebangkan
strategi efektif
untuk mengontrol
infeksi
Mempraktikan
strategi untuk
mengontrol
infeksi
Monitor
perubahan status
kesehatan

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.(2013). Nursing Intervention Classification (NIC).6th Edition.


Missouri:Elseiver Mosby
Herdman T.H and Komitsuru. S. 2014. Nanda Internasional Nursing Diagnosis,
Definition and Clasification 2015-2017. EGC. Jakarta

Jane Bain, Barbara. (2014). Hematologi: Kurikulum inti. Barbara Jane Bain; Alih
Bahasa, Anggraini Iriani, dkk. Jakarta: EGC.

Moorhead, S. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of Health


Outcomes.5th Edition. Missouri: Elsevier Saunder

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC

Thaha,Wiradewi, L.AA,Sutirta, Y. (2014). Diagnosis, Diagnosis Differensial dan


Penatalaksanaan Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien
Anemia Aplastik. Sanglah Denpasar: Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.

What are the key statistics about myelodysplastic syndromes? American Cancer
Society. Available.
at http://www.cancer.org/cancer/myelodysplasticsyndrome/detailedguide/myelodysplasti
csyndromes-key-statistics. Accessed: Mei, 23. 2017

Anda mungkin juga menyukai