DISUSUN OLEH :
Disusun oleh :
Nim : 11409717012
Tingkat : III
Semester : V
Mahasiswa
M.Abdillah
Mengetahui
B. Klasifikasi
Beberapa jenis sindrom mielodispastik menurut Barbara, 2014:
1. Anemia refraktori: anemia tanpa adanya peningkatan sel blast.
2. Sitopenia refraktori: neutropenia atau trombositopenia tanpa adanya
peningkatan sel blast.
3. Anemia refraktori dengan cincin sideroblast: anemia sideroblast tanpa
adanya peningkatan sel blast.
4. Sitopenia refraktori dengan dysplasia multigalur: anemia atau sitopenia
dengan dysplasia lebih dari satu galur tanpa adanya peningkatan sel
blast.
5. Anemia refraktori dengan sel blast berlebihhan: anemia dan displasia
dengan peningkatan sel blast didarah dan disusum tulang.
6. MDS dengan sel (5)(q) terisolasi: anemia refraktori dengan atau tanpa
cincin sideroblast tanpa peninngkatan sel blast.
7. MDS terkait terapi: MDS dalam kemoterapi sititoksik atau irradiasi.
C. Etiologi
1. Penyebab MDS
Penyebab MDS tidak diketahui, tetapi studi menunjukkan, bahwa ada faktor-
faktor risiko tertentu, terkait dengan terjadinya penyakit.
2. Faktor-faktor risiko sindrom myelodysplastic
Faktor-faktor lain, bahwa mungkin meningkatkan kemungkinan mengembangkan
MDS termasuk:
Kehadiran anggota keluarga dengan MDS;
Sindrom genetik tertentu:
Sindrom Down:
Fanconi Anemia;
Neutropenia bawaan;
Riwayat Keluarga gangguan trombosit;
Paparan dosis besar radiasi;
Paparan bahan kimia tertentu, seperti benzena;
Dampak dari pestisida;
Terapi radiasi atau kemoterapi untuk pengobatan kanker;
Merokok.
D. Manifestasi klinis
Ciri umum yang bisa ditemukan pada MDS ini adalah turunya kadar HB atau
trombosit atau bahkan leukosit serta eritrosit yang terkadang jauh melampaui
jumlah normalnya. Namun untuk lebih memastikan seseorang terkena MDS atau
bukan haruslah melalui pemeriksaan sumsum tulang belakang (BMP), dimana
pada pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan kelainan bentuk sel serta
perubahan perubahan pada eritrosit dan neutrophil.
A. Patofisiologi
MDS berkembang ketika mutasi klonal mendominasi disumsum tulang, menekan
sel induk sehat. Mutasi klonal dapat terjadi akibat predisposisi genetik atau dari
kerusakan sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh paparan terhadap
salah satu dari berikut ini: kemoterapi sitotoksik, radiasi, infeksi virus, bahan
kimia genotoksik (misalnya benzena). MDS dapat diklasifikasikan sebagai primer
atau sekunder terhadap penanganan kanker lain yang agresif, dengan paparan
radiasi, agen alkilasi, atau inhibitor topoisomerase II; Hal ini juga terjadi pada
pasien dengan transplantasi sumsum tulang autologous. Pada tahap awal MDS,
penyebab utama sitopeni adalah peningkatan apoptosis (kematian sel
terprogram). Seiring perkembangan penyakit dan berubah menjadi leukemia,
mutasi gen lebih lanjut terjadi, dan proliferasi sel leukemia menguasai sumsum
sehat.
F. PATHWAY
Myelodisplastic syndrome
(MDS)
G. Pemeriksaan Penunjang
Diperkenalkan pada tahun 1997, IPSS diciptakan untuk menerjemahkan risiko
pengembangan penyakit pasien dari deskripsi yang luas ke dalam standar
objektif. IPSS mengidentifikasi tiga faktor penyakit pasien berikut:
1. The percentage of marrow leukemic blast cells (blasts).
2. The type of chromosomal changes, if any, in the marrow cells (cytogenetics).
3. The presence of one or more cytopenias (decrease in the number of cells
circulating in the blood)
Diagnosis Diferensial yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial
adalah penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki
gejala pansitopenia adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis,
aleukemic leukemia, dan pure red cell aplasia. Pemeriksaan sumsum tulang
belakang (BMP) dilakukan untuk mendiagnosa suatu penyakit yang berhubugan
dengan kelaian sumsum tulang.
H. Penatalaksanaan
Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab.
Tetapi sering sulit untuk mengetahui penyebab karena etiologinya yang tidak
jelas atau idiopatik.
Terapi suportif diberikan sesuai gejala yaitu: (1) anemia, (2) neutropenia, dan (3)
trombositopenia.
1. Pada anemia. Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika hemoglobin
kurang dari 7g/dl, berikan sampai hb 9-10 g/dl1. Pada pasien yang lebih
muda mempunyai toleransi kadar hemogoblin sampai 7-8g/dl; untuk pasien
yang lebih tua kadar hemoglobin dijaga diatas 8g/dl4.
2. Pada neutropenia. Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan sayur,
fokus dalam menjaga perawatan higienis mulut dan gigi, cuci tangan yang
sering. Jika terjadi infeksi maka identifikasi sumbernya, serta berikan
antibiotik spektrum luas sebelum mendapatkan kultur untuk mengetahui
bakteri gram positif atau negatif. Tranfusi granulosit diberikan pada keadaan
sepsis berat kuman gram negatif, dengan netropenia berat yang tidak
memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
3. Pada trombositopenia. Pada trombositopenia berikan tranfusi trombosit jika
terdapat pendarahan aktif atau trombosit kurang dari <20.000/mm.
Terapi jangka panjang terdiri dari: (1) Terapi imunosupresif, dan (2) terapi
transplantasi sumsum tulang.
1. Terapi transplantasi sumsum tulang lebih direkomendasikan sebagai terapi
pertama, dengan donor keluarga yang sesuai. Maka karena itu, terapi
imunosupresif direkomendasikan pada pasien: (a) lebih tua dari 40 tahun,
walaupun rekomendasi berdasarkan dokter dan faktor pasiennya, (b) tidak
mampu mentoleransi transplantasi sumsum tulang karena masalah penyakit
atau usia tua, (c) tidak mempunyai donor yang sesuai, (d) akan diterapi
tranplantasi sumsum tulang, tetapi sedang menunggu untuk donor yang
sesuai, dan (e) memilih terapi imunosupresif setelah menimbang faktor resiko
dan manfaat dari semua pilihan terapi.
2. Terapi imunosupresif adalah dengan pemberian anti lymphocyte globuline
(ALG) atau anti thymocyteglobulin (ATG), kortikosteroid, siklosporin yang
bertujuan untuk menekan proses imunologik. ALG dapat bekerja
meningkatkan pelepasan haemopoetic growth factor. Sekitar 40%70% dari
kasus memberi respon terhadap pemberian ALG. Terapi ATG dapat
menyebabkan reaksi alergi, dengan pasien mengalami demam, athralgia, dan
skin rash sehingga sering diberikan bersamaan dengan kortikosteroid.
Siklosporin menghambat produksi interleukin-2 oleh sel-T serta menghambat
ploriferasi sel-T dari respon oleh interleukin-2. Pasien yang diterapi dengan
siklosporin membutuhkan perawatan khusus karena obat dapat
menyebabkan disfungsi ginjal dan hipertensi serta perlu diawasi hubungan
interaksi dengan obat lainnya.
Adapun pengobatan pada MDS ini umumnya hanya sebatas mengatasi gejala
gejala yang timbul saja seperti tranfusi darah jika kadar hb anjlog, juga tranfusi
trombosit jika kadarnya juga turun. Namun pada tingkat lanjut pengobatan bisa
dengan menggunakan sitostatika jenis Dacogen, Lenalidomide oral atau
Hydroxyurea (Hydrea). Menjaga pola hidup sehat dengan memperbaiki pola
makan serta tidak terlalu banyak melakukan aktifitas aktifitas yang berat konon
dapat menyembuhkan penyakit ini atau minimal menjaga penyakit ini agar tidak
berkembang menjadi leukemia akut.
I. Masalah Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Jane Bain, Barbara. (2014). Hematologi: Kurikulum inti. Barbara Jane Bain; Alih
Bahasa, Anggraini Iriani, dkk. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC
What are the key statistics about myelodysplastic syndromes? American Cancer
Society. Available.
at http://www.cancer.org/cancer/myelodysplasticsyndrome/detailedguide/myelodysplasti
csyndromes-key-statistics. Accessed: Mei, 23. 2017