Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK HIPERTOPI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL


Rumah Sakit Tentara dr.Soedjono
Kota Magelang

Disusun oleh :
Naufal Adi Pamungkas
30101800127

Pembimbing:
Letkol Ckm dr. Khairan Irmansyah Sp. THT-KL., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2022

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsilitis merupakan peradangan tonsila palatina oleh akibat


mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan jamur sehingga tonsil menjadi
bengkak, merah, dan memiliki bintik-bintik putih di permukaannya.
Tonsilitis berdasarkan onset penyakit dibagi menjadi dua, yaitu tonsilitis
akut dan tonsilitis kronis. Tonsilitis akut merupakan peradangan tonsil
kurang dari 2 minggu. Tonsilitis kronis merupakan peradangan tonsil lebih
yang menetap lebih dari 3 bulan dengan tanda kripte yang melebar
(Prasetya et al., 2018). Infeksi akut berulang akibat rokok, beberapa jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat menyebabkan tonsilitis
kronis. Tonsil saat meradang akan berubah menjadi berwarna kemerahan
dan terjadi pembesaran pada jaringan limfoid (Kumar et al., 2015).
World Health Organization (WHO) memperkirakan 287.000 anak
dibawah 15 tahun menjalani tonsilektomi dengan atau tanpa
adenoidektomi. Sebanyak 248.000 (86,4%) anak menjalani
tonsilioadenoidektomi dan 39.000 (13,6%) anak menjalani tonsilektomi
saja (Kraft, 2011). Tindakan tonsilektomi pada anak dibawah 10 tahun
telah dilaporkan sebanyak 129,4 setiap 100.000 anak (Gerhardsson et al.,
2016). Angka kejadian tonsilitis di Indonesia sekitar 23% (Depkes RI,
2013). Angka kejadian tonsilitis kronik dari 7 provinsi di Indonesia
sebesar 3,8% yang menjadikan tonsilitis adalah penyakit paling sering
ditemukan dibagian THT setelah nasofaringitis akut (Ramadhan et al.,
2017).
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan
gangguan pernapasan saat tidur dengan gejala utamanya adalah snoring
(mendengkur). Snoring adalah suara yang disebabkan oleh getaran
jaringan (dinding faring, langit-langit lunak, pilar tonsil, uvula, dan lidah)
saat tidur. Hal ini terkait dengan relaksasi otot-otot saluran napas dan
penyempitan saluran napas, yang menyebabkan aliran udara turbulen
(Thompson et al., 2021). Snoring merupakan gejala dari Obstructive Sleep
Apneu Syndrome (OSAS). Tonsilitis kronis hipertrofi dengan OSAS
merupakan indikasi dilakukannya tonsilektomi. (Adams G. L. et al., 2012).
Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin melaporan kasus ini
untuk mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat bagi penderita
tonsilitis kronik hipertrofi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsila Palatina
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga
macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer (Mescher, 2013). Tonsila palatina atau disebut tonsil adalah dua
massa jaringan limfoid berbentuk ovoid terlatak pada dinding lateral
orofaring dalam fossa tonsilaris dan dibatasi oleh pilar anterior dan pilar
posterior. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil
yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah (Paulsen & Waschke, 2019).
Tonsil memiliki 10 hingga 30 kripte dengan bentuk oval yang
panjangnya antara 2-5 cm. Permukaan lateral tonsil ditutupi jaringan
fibrosa yang disebut kapsula tonsilla palatina terletak berdekatan dengan
tonsil lingualis (Paulsen & Waschke, 2019). Kripte tonsil secara histologis
dapat dilihat hingga masuk kedalam jaringan tonsil. Tonsil terletak di
fossa tonsilaris, daerah kosong diatas tonsil disebut sebagai fossa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik
tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid) (Ovalle & Nahirney, 2013).
Gambar 2.1. Anatomi Tonsilla Palatina (Netter, 2014).
Permukaan tonsil palatine ditutupi oleh epitel skuamous kompleks
non keratin yang juga melapisi kripte tonsil. Epitel yang melapisi
permukaan tonsil mempunyai daya tahan lebih baik daripada jenis epitel
yang lain dimana mukosa tonsil palatine selalu bergesekan dalam tubuh.
Epitel yang melapisi tonsil dapat terinfiltrasi oleh sel dendritik dan limfosit
sehingga sulit dikenali. Suatu pita jaringan ikat padat yang bertindak
sebagai simpai atau sawar (kapsul) dari penjalaran infeksi tonsil
memisahkan jaringan limfoid dari struktur yang berdekatan.

b c

Gambar 2.2. Histologi Tonsila Palatina (a) Perbesaran Lemah (b, c)


Perbesaran Kuat. Gambar ini diambil dari website Histologyguide.com
(11 Mei 2022)
Letak tonsila palatina di orofaring dibatasi oleh jaringan atau organ
disekitarnya, yaitu (Paulsen & Waschke, 2019):
a. lateral: m. kontriktor faring superior
b. medial: ruang orofaring
c. anterior: m. palatoglossus, arcus anterior
d. posterior: m. palatofaringeus, arcus posterior
e. superior: palatum mole
f. inferior: tonsil lingual

Vaskularisasi tonsil diperoleh dari arteri terutama polus caudalis.


Melalui polus caudalis: rr. Tonsilaris a. dorsalis linguae, a. paltina
ascendens dan a. facialis. Melalui polus cranialis : rr. Tonsilaris a.
pharyngica ascendens dan a. palatine minor. Semua cabang tersebut
merupakan cabang dari a. carotis eksterna. Darah venous dari tonsil
terutama dibawa oleh r. tonsilaris v. lingualis dan disekitar kapsula
tonsilaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan dengan
pleksus pharyngealis. Persarafan tonsil berasal dari cabang serabut saraf ke
IX (nervus glossofaringeal) dan juga cabang desenden lesser palatine
nerves (Paulsen & Waschke, 2019).

Gambar 2.3. Mekanisme Sistem Pertahanan Tonsil (Soderholm, 2018).


Tonsila palatina berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh
terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau
masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme
pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen
menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-
tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen. Bahan asing atau antigen
yang terkumpul di tonsil akan digunakan untuk mensensititasi sel T dan
menstimulasi produksi produksi antibodi (Sherwood, 2019).
2.2 Tonsilitis

2.2.1 Definisi

Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang


merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri
atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut
yaitu: tonsila faringeal (adenoid), tonsila palatina (tonsil faucial),
tonsila lingual (tonsil pangkal lidah), tonsila tuba Eustachius
(lateral band dinding faring / Gerlach's tonsil). Penyebaran infeksi
melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat
terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Rusmarjono &
Efiaty Ardyad Soepardi, 2020).
2.2.2 Klasifikasi

a. Tonsilitis Akut

Tonsilitis akut adalah peradangan pada tonsil


disebabkan oleh bakteri atau virus dengan gejala odinofagia.
Kondisi ini ditandai dengan pembengkakan dan kemerahan
pada tonsil, bisa disertai eksudat, limfadenopati servikal dan
demam >38,3 0
C yang diukur pada rektal. Odinofagia
berlangsung selama 24 sampai 48 jam menyerupai gejala flu
biasa. Gejala tersebut biasanya dirasakan hingga 2 minggu
oleh penderita. Tonsilitis akut adalah proses inflamasi pada
jaringan tonsil dan umumnya menular. Hal ini disebabkan oleb
virus atau bakteri yang menyebabkan inflamasi pada tonsil.
Infeksi akut pada tonsil biasanya banyak terjadi pada anak usia
sekolah namun dapat mengenai semua kalangan usia. Tonsilitis
yang disebabkan oleh virus dapat diobati secara teratur dengan
perawatan suportif. Infeksi bakteri biasanya disebabkan oleh
Streptococcus pyogenes. Umumnya pasien tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit (Alotaibi, 2017).

b. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronis sering dikaitkan dengan sakit


tenggorokan kronis dimana infeksinya menetap dan dapat
terjadi gejala hingga 2 minggu lamanya atau lebih dari lima
serangan gejala dalam satu tahun yang berhubungan dengan
infeksi tenggorokan yang khas disertai hipertrofi tonsil akibat
bakteri patogen. Hal ini dapat terjadi akibat komplikasi dari
tonsilitis akut, khususnya yang tidak mendapatkan terapi
adekuat. Tonsilitis kronis biasanya digambarkan dengan
tonsilitis fokal, tonsilitis kriptik hipertrofi atau skleroatrofik
tipe berulang, dan tonsilitis hipertrofi tipe lunak sederhana
pada anak-anak dan tipe keras pada orang dewasa. Pada
sebagian besar kasus tonsilitis kronis, bentuk hipertrofi terjadi
pada orang dewasa dan anak yang lebih tua dimana tonsil
mengalami hipertrofi. Tonsilitis kronis juga bisa menjadi
tempat terjadinya beberapa infeksi lain seperti tuberkulosis dan
sifilis (Alotaibi, 2017).
c. Tonsilitis Eksaserbasi Akut

Tonsilitis rekuren/berulang menjukkan kembalinya


episode tonsilitis akut. Tonisilitis ini didefinisikan sebagai
empat sampai tujuh episode tonsilitis akut per tahun, sepuluh
episode dalam dua tahun, atau tiga episode dalam satu tahun
dalam tiga tahun berturut-turut. Pada tonsillitis rekuren jeda
antibiotik yang diberikan menyebabkan serangan infeksi
bakteri muncul lagi dalam beberapa minggu (Alotaibi, 2017).
d. Abses Peritonsillar

Abses peritonsillar adalah tonsilitis akut dengan


pembentukan abses, biasanya hanya pada satu sisi. Ketika
tonsilitis akut tidak diobati infeksi bakteri menyebabkan abses
peritonsillar, yang berkembang pada daerah lateral tonsil. Area
abses peritonsillar muncul dengan abses yang jelas atau zona
bengkak dengan penumpukan nanah. Staphylococci,
Streptococci, Haemophilus dan Fusobacterium necrophorum
adalah patogen paling umum yang menyebabkan abses
peritonsillar. Biasanya tidak ada virus yang terlibat. Gejala
utamanya adalak kualitas suara yang berubab, rasa tidak
nyaman ketika membuka mulut, bunyi suara napas yang kasar,
demam dan sakit tenggorokan (Alotaibi, 2017).
2.2.3 Etiologi

Tonsilitis paling sering disebabkan oleh virus seperti


rhinovirus, diikuti oleh coronavirus, dan adenovirus. Lebih jarang
hal ini disebabkan oleh virus influenza, virus parainfluenza,
enterovirus, atau virus herpes. Namun, pada tonsilitis yang
berhubungan dengan infeksi mononucleosis virus yang paling
umum adalah EBV yang terjadi pada 50% anak. Infeksi CMV,
hepatitis A, HIV, rubella, dan toksoplasmosis juga dapat
menyebabkan gambaran klinis mononukleosis yang menular.
Infeksi bakteri juga menjadi salah satu penyebab utama terjadinya
tonsillitis seperti bakteri beta-hemolitik dan streptokokus. Pada
awal ditemukannya demam rematik, semua kasus infeksi saluran
pernafasan bagian atas diduga disebabkan oleh Streptococcus grup
A, kemudian didapatkan bahwa terdapat bakteri anaerob yang
dapat menginfeksi seperti Fusobacterium necrophorum,
Streptococcus intermedius dan Prevotella melaninogenica serta
histicola yang patut dicurigai (Alotaibi, 2017).
Rongga mulut khususnya tonsil merupakan reservoir untuk
berbagai patogen termasuk virus, bakteri, parasit dan jamur. Lebih
dari 100 bakteri dapat dideteksi pada tonsil anak-anak dan orang
dewasa dengan dan tanpa tonsilitis berulang. Selain itu sekitar 52
strain bakteri yang berbeda dapat diidentifikasi pada setiap
mewakili 90% dari total patogen. Tonsilitis akut pada anak-anak
ditemukan streptokokus mencapai 30% dikuti oleh Haemophilus
influenzae dan Neisseria. Namun, infeksi campuran (baik bakteri
maupun virus) dapat menunjukkan gambaran klinis yang sama
(Alotaibi, 2017).
2.2.4 Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi penyebab terjadinya tonsilitis


kronis, yaitu (Rusmarjono & Efiaty Ardyad Soepardi, 2020):
a. Rangsanga kronis (rokok, makanan)
b. Higiene mulut yang buruk 
c. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-
ubah)
d. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
e. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
f. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

2.2.5 Patogenesis

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui


droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi
berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh
dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh (Nelson
WE et al., 2000).
Peradangan tonsil yang berulang menyebabkan peradangan
kronis. Akibat peradangan kronis tersebut, maka ukuran tonsil akan
membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid
dengan obstruksi kripta tonsil. Proses peradangan terjadi pada satu
atau lebih kripte tonsil. Inflamasi berulang menyebabkan epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut.
Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte akan melebar, ruang
antara kripte yang melebar akan diisi oleh detritus (akumulasi
epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi
kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini
meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar submandibular (Rusmarjono
& Efiaty Ardyad Soepardi, 2020).
2.2.6 Gejala Klinis

Penderita umunya sering mengeluh oleh karena serangan


tonsilitis akut yang berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang
terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan
atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan,
terasa kering dan pernafasan berbau. Ukuran tonsil sangat besar
sehingga tonsil kiri dan kanan saling bertemu dan dapat
mengganggu jalan pernapasan. Tonsilitis pada anak biasanya dapat
mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur, gangguan tidur
karena obstruksi jalan nafas sehingga sleep Apnea, keluhan sesak
nafas dapat terjadi apabila pemebesaran tonsil telah menutup jalur
pernafasan.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripte
terisi oleh detritus, pilar anterior hiperemis dan terjadi
pembengkakan kelenjar limfe.
Gambar 2.3. Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut
2.2.7 Diagnosis

Dasar diagnosis tonsilitis dapat ditegakkan dengan


melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2.2.6.1Anamnesis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh
karena serangan tonsilitis akut yang berulang ulang,
adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada
sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan,
terasa kering, mengorok saat tidur atau bahkan terbangun
tiba-tiba saat tidur dan pernafasan berbau.
2.2.7.1Pemeriksaan Fisik
Tonsil hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi,
hiperemi dan oedema yang tidak jelas. Didapatkan detritus
atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula
lidah namun juga bisa tanpa detritus. Kelenjar leher dapat
membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan. Ukuran tonsil
pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran
T0 – T4 membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut :
Gambar 2.4. Derajat hipertrofi tonsila palatina
Derajat hipertrofi tonsil menurut L Brodsky
(Brodsky & Poje, 2006):
a. T0: Tonsil dalam fosa tonsil atau telah diangkat
b. T1: Batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai
¼ jarak pilar santerior uvula
c. T2: Batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-
uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula
d. T3: Batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-
uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula
e. T4: Batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-
uvula atau lebih.
2.2.8.1Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya pemeriksaan penunjang tidak
diperlukan untuk mendiagnosis tonsilitis kronis.
Pemeriksaan penunjang dapat ditambahkan untuk menilai
dari penyakit lain yang biasa muncul dibarengi dengan
tonsilitis, yaitu :
a. RFL (Rinofaringolaringoskopi) untuk menilai dari
Laringopharingeal Reflux (LPR)
b. X foto Polos untuk menilai hipertofi adenoid
2.2.8 Diagnosis Banding

Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronis,


di antaranya (Rusmarjono & Efiaty Ardyad Soepardi, 2020):
1) Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran atau
adanya membran semu yang menutupi tonsil (tonsilitis
membranosa)
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman
ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal
dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti
gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan
nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan membentuk  pseudomembran yang melekat
erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada
saraf  kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot pernafasan dan pada ginjal dapat
pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albumi
menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39°C),
nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan
lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada
pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil,
uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris.
Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor
ex ore) ddan kelenjar submandibula membesa kelenjar
submandibula membesar.
c. Mononukleos Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa
bilateral. Membran semu yang menutup ulkus mudah
diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran
kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran
darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam
jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan
serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah
domba (Reaksi Paul Bunnel).
2) Penyakit kronik faring granulomatus
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru.
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan
umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien
mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga
(otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit
primer, sekunder, atau tersier. Pada penyakit ini dapat
terjadi ulserasi superfisial yang superfisial yang sembuh
disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma
bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar
tonsil.
c. Tumor Tonsil
Gejala klinis tumor ganas tonsil pada stadium
permulaan tidak jelas dan tidak khas. Gejala yang sering
ditemukan ialah rasa seperti benda asing di tenggorok
karena pembesaran kelenjar tonsil yang biasanya unilateral,
rasa nyeri di tenggorok bila tumor sudah menginfiltrasi
daerah sekitarnya atau terdapat ulserasi. Jika tumor sudah
stadium lanjut dapat terjadi perdarahan, disfagi, trismus,
pembengkakan leher dan gangguan benafas dan menelan.

2.2.8 Tatalaksana

2.2.8.1.Tatalaksana Farmakologi dan Non-Farmakologi


Tabel 2.1. Pilihan Terapi Tonsilitis (Klarisa C & Fardizza
F, 2014)
Dewasa Anak
Penisilin V 500mg PO 10 Penisilin V 25-50
hari mg/kg/hari PO 10 hari
Benzathine penisilin G 1.2 Benzathine penisilin G
juta U IM 25.000 U/kg 1x IM
Amoksisilin 2x500-875mg Amoksisilin 50mg/kg/hari
atau 3x250-500mg PO 10 dibagi dalam 2/3 dosis PO
hari 10 hari
Cefdinir 1x600mg atau Cefdinir 14mg/kg 1 kali
2x300mg PO 10 hari PO selama 10 hari
Cefuroxime axertil 1x250mg Cefuroxime axertil
PO 4 hari 10mg/kg PO 4-10 hari

Steroid per oral atau intramuskular pada dewasa atau


anak-anak menunjukan pembaikan symptom dengan efek
samping yang minimal dan tidak ada efek negative pada
perkembangan penyakit. Pemberian dexamethasone
(10mg), betamethasone (8mg) atau prednisone (60mg)
dapat meringankan rasa nyeri pada tonsilitis akut (Stelter,
2014).
Menurut Bhattacharyya dan Patel (2012) istirahat
yang cukup dapat mempercepat pasien sembuh dan
mencegah penderita dari penyakit tonsilitis. Selain itu,
dengan memperbaiki higienitas mulut dan menggunakan
obat kumur (mouthwashes) dapat mengurangi resiko
terjadinya tonsilitis (Klarisa C & Fardizza F, 2014)
2.2.8.2.Tonsilektomi
Prosedur pembedahan pada tonsil. Tetapi apabila
tidak terdapat pembesaran yang memenuhi kriteria untuk
dilakukan tonsilektomi dapat diberikan obat kumur atau
tablet hisap untuk menjaga oral hygiene.
Dua indikasi utama tonsilektomi pada anak dan
remaja adalah tonsilitis rekuran dan sleep-disordered
breathing obstructive sleep apneu. Indikasi tonsilektomi
bervariasi tiap negara. Indikasi tonsilektomi dikelompokkan
menjadi indikasi absolut dan relatif. Indikasi-indikasi untuk
tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini:
a. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas
yang kronis.
b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea
waktu tidur.
c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia
dengan penurunan berat badan penyerta.
d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
e. Abses peritonsilaris berulang alau abses yang meluas
pada ruang jaringan sekitarnya.
Indikasi relatif tonsilketomi yaitu seluruh indikasi
lain untuk tonsilektomi dianggap relatif yaitu terjadi 3
episode atau lebih infeksi tonsil dalam 1 tahun dengan
terapi antibiotic adekuat, halitosis akibat tonsillitis kronis
yang tidak membaik dengan terapi antibiotik adekuat, dan
tonsillitis kronis berulang pada karier streptokokus beta
hemolitikus grup A yang tidak membaik dengan antibiotik.
Adapun kontraindikasi dari tonsilektomi yaitu infeksi
pernapasan bagian atas yang berulang, infeksi sistemik atau
kronis, demam yang tidak diketahui penyebabnya,
pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi, asma,
sinusitis, rhinitis alergi, diskrasia darah dan tonus otot yang
lemah (Adams G. L. et al., 2012).
Pada penderita dengan tonsilitis akut rekuren
direkomendasikan untuk observasi, kecuali bila memenuhi
Kriteria Paradise, yaitu mengalami episode infeksi tujuh
kali atau lebih pada satu tabun terakhir, lima atau lebih
episode dalam dua tahun terakhir, tiga atau lebih episode
dalam tiga tahun terakhir. Gambaran infeksi tiap episode
memiliki gejala satu atau lebih tanda berikut ini: panas lebih
dari 38,5C, limfadenopati lebih dari 2 cm, eksudat dan
eritema pada tonsil dan faring, test B-hemolitik
streptokokus yang positif dan sudah mendapat terapi
antibiotik (Kentjono W et al., 2016).
Komplikasi yang timbul merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi sebagai berikut :
a. Komplikasi Anestesi
Komplikasi dari Tindakan anastesi saat oprasi
tonsilektomi adalah: laringospasme, gelisah pasca
operasi, mual muntah, kematian saat induksi pada
pasien hipovolemi, hipersensitif terhadap obat anestesi,
hingga hipotensi dan henti jantung.
b. Komplikasi Bedah
 Perdarahan
Perdarahan primer didefinisikan sebagai
perdarahan pasca operasi dalam 24 jam pertama
setelah operasi. Insiden perdarahan primer antara
0,2% dan 2,2%. Perdarahan sekunder didefinisikan
sebagai perdarahan lebih dari 24 jam setelah
operasi dilakukan. Insiden perdarahan sekunder
antara 0,1% dan 4,8%, dengan waktu rata-rata dari
tonsilektomi hingga perdarahan dari 5-7 hingga 7-8
hari (Wall & Tay, 2018).
 Nyeri
Nyeri pasca operasi merupakan hal yang
hamper dirasakan oleh semua pasien, oleh karena
itu perawatan manajemen nyeri pasca operasi
penting dilakukan untuk mengurangi nyeri.
Deksametason intraoperatif diberikan untuk
mengurangi mual dan muntah pasca operasi serta
mengurangi nyeri dan pembengkakan. Pasien pasca
tonsilektomi biasanya diberikan obat opiat, seperti
oxycodone atau acetaminophen-oxycodone untuk
mengontrol nyeri. Pengobatan dengan obat non-
opiat pada minggu pertama cukup efektif untuk
mengurangi rasa nyeri (Wall & Tay, 2018).
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernafas, gangguan
terhadap suara, aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula,
insufisiensi velofaringeal, stenosis faring, lesi di bibir,
lidah, gigi, dan pneumonia.
2.2.9 Komplikasi

Peradangan kronis pada tonsil dapat menimbulkan beberapa


komplikasi antara lain (Rusmarjono & Efiaty Ardyad Soepardi,
2020):
a. Abses peritonsillar
Abses ini terjadi karena adanya perluasan infeksi ke kapsul
tonsil hingga mengenai jaringan sekitarnya. Pasien akan
mengeluhkan demam, nyeri tenggorok, sulit menelan,
pemebesaran tonsil unilateral, kesulitan membuka mulut
(trismus) dan membutuhkan penanganan berupa insisi dan
drainase abses, pemberian antibiotic dan tonsilektomi.
Komplikasi ini paling sering terjadi pada kasus tonsillitis
berulang.
b. Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusistis atau otitis media
secara perkontinuatum.
c. Komplikasi jauh dapat terjadi secara hematogen atau lifogen
dan dapat timbul endokarditis, nefritis, uveitis dan iridosiklitis.
d.
BAB III

LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn.VN
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Mekarsari
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
CM : 00-12-xx-xx
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
terhadap pasien di poli THT RST dr.Soedjono Magelang.
a. Keluhan utama
Rasa mengganjal di tenggorok
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan tenggorokan terasa mengganjal.
Pasien mengatakan keluhan dirasakan sudah sejak 1 tahun yang
lalu. Pasien mengatakan sering merasa kering dan sakit pada
tenggorokan terutama saat bangun tidur. Pasien mengeluhkan
sering mengantuk yang berlebihan. Pasien juga mengatakan nyeri
menelan saat mengkonsumsi makanan keras. Pasien juga
mengeluhkan tidur mengorok. Keluhan lain berupa demam,
tenggorokan gatal, kesulitan bicara, keluar cairan dari telinga,
telinga gatal, hidung tersumbat, batuk, nyeri daerah wajah, sesak
nafas, nyeri ulu hati, dan mual muntah disangkal. Pasien
mengatakan tidak merokok.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan serupa : sejak 1 tahun yang lalu
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit gigi : disangkal
Riwayat sakit telinga : disangkal
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat ISPA : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat social ekonomi
Pasien menggunakan BPJS untuk berobat
III. Pemeriksaan Fisik
a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 118/72 mmHg
Nadi : 77 x/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C
b. Status Gizi
Berat badan : 56 kg
Tinggi Badan : 167 cm
BMI : 20,1 kg/m2 (normoweight)
c. Status lokalis THT
Kepala dan Leher
• Kepala : Normocephale
• Wajah : Simetris
• Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-)
d. Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa normal, merah muda
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Kalkulus (-), Karies (-), Gangren (-)
Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam
batas normal
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), posisi ditengah
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)
Tonsila palatine
Dextra Sinistra
Ukuran T3 T3
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Kripte Melebar Melebar
Detritus + +
Peri Tonsil Abses (-) Abses (-)
Pilar anterior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-),
postnasal drip (-), secret bening dan bebuih (-)

e. Pemeriksaan Telinga
Telinga Dexter Sinister

Auricula Bentuk normal Bentuk normal

Nyeri tragus (-) Nyeri tragus (-)

Nyeri tarik auricula (-) Nyeri tarik auricula (-)


Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Pre auricular Bengkak (-) Bengkak (-)

Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Fistula (-) Fistula (-)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Retro Bengkak (-) Bengkak (-)


auricular
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Fistula (-) Fistula (-)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Mastoid Bengkak (-) Bengkak (-)

Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Fistula (-) Fistula (-)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)

CAE Serumen (-) Serumen (-)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Sekret (-) Sekret (-)

Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)

Membran Intak Intak


timpani
Putih mengkilat Putih mengkilat

Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)

Retraksi (-) Retraksi (-)

Bulging (-) Bulging (-)

Air bubble (-) Air bubble (-)


Pemeriksaan Garputala : Tidak dilakukan

f. Pemeriksaan Hidung
Bagian Hidung Luar

Dextra Sinistra

Bentuk Normal Normal

Inflamasi atau tumor - -

Rhinoskopi Anterior

Vestibulum nasi Normal Normal

Sekret + -

Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Benda asing - -

Perdarahan - -

Konka nasi inferior. Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)


Edem (-) Edem (-)
Pucat (-) Pucat (-)
Sekret serous (-) Sekret serous (-)

Massa - -

Rhinoskopi posterior : tidak dilakukan


g. Pemeriksaan Sinus Paranasal
LOKASI DEKSTRA SINISTRA
Sinus Maxilla Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)

Sinus Ethmoid Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)


Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)
Sinus Frontal Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)

h. Pemeriksaan penunjang
-
IV. Resume
a. Pemeriksaan subjektif
 Keluhan utama : Rasa mengganjal di tenggorok
 RPS
 Sakit saat menelan
 Halitosis
 Menggorok saat tidur (snoring)
 Tenggorok terasa kering
 Daytime Sleepiness
 RPD
 Pembesaran tonsil dengan keluhan nyeri saat menelan
 Riwayat social & kebiasaan
 Pasien BPJS
b. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan tenggorok : didapatkan hipertrofi tonsil (T3-T3)
dengan permukaan tidak rata dan kripte yang melebar disertai
detritus..
V. Diagnosis Banding
Tonsilitis kronik
Tonsilofaringitis kronik
Faringitis kronik

VI. Diagnosis Kerja


Tonsilitis kronis hipertrofi

VII. Tatalaksana
1) Non medikamentosa
 Bed rest
 Menghindari makanan pedas, gorengan, dan minuman
dingin yang dapat mengiritasi tenggorokan
 Menjaga oral higiene
2) Medikamentosa
Rawat jalan :
 Azithromycin Tab 1x500 mg selama 5 hari
 Methylprednisolone 4mg tab 3x1 selama 5 hari
 Paracetamol 500 mg Tab 2x1 selama 5 hari
3) Operatif :
 Rencana operasi tonsilektomi setelah pasien kembali kontrol..
VIII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
Adams G. L., Boies L. R., & Higler P. A. (2012). BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Boies Fundamental and Otolaryngology.
Alatas, F. (2019). PENATALAKSANAAN HOLISTIK DAN KOMPREHENSIF
PADA BATITA DENGAN TONSILITIS KRONIS DAN RIWAYAT KEJANG
DEMAM. JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 7(1), 14–22.
https://doi.org/10.53366/JIMKI.V7I1.379
Alotaibi, A. D. (2017). Tonsillitis in children diagnosis and treatment measures. Saudi
Journal of Medicine, 2(8), 2018–2215.
Bakry, B. A., Tumbelaka, A. R., & Chair, I. (2016). Etiologi dan Karakteristik Demam
Berkepanjangan pada Anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari
Pediatri, 10(2), 83–88. https://doi.org/10.14238/SP10.2.2008.83-88
Brodsky, L., & Poje, C. (2006). Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In
Head & Neck Surgery-Otolaryngology (4th ed., pp. 1183–1198). Lippincott
Williams & Wilkins.
Carlson, & Kurnia, B. (2020). Tatalaksana Demam pada Anak. Cermin Dunia
Kedokteran, 47(11), 698–702. https://doi.org/10.55175/CDK.V47I11.1200
Depkes RI. (2013). Tonsilektomi Pada Anak dan Dewasa. Cermin Dunia Kedokteran.
Gerhardsson, H., Stalfors, J., Odhagen, E., & Sunnergren, O. (2016). Pediatric adenoid
surgery in Sweden 2004–2013: Incidence, indications and concomitant surgical
procedures. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 87, 61–66.
https://doi.org/10.1016/J.IJPORL.2016.05.020
Kentjono W, Juniati S, & Sutikno B. (2016). Pediatric Otolaryngology Head and Neck
Surgery: Commons Clinical Aspects. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Klarisa C, & Fardizza F. (2014). Tonsilitis. In Kapita Selekta (4th ed., p. 1067). Media
Aesculapius.
Kraft, K. (2011). Tonsillitis. MMW - Fortschritte Der Medizin, 153(32–34), 18–18.
https://doi.org/10.1007/BF03368657
Kumar, V., Abbas, A., & Aster, J. (2015). Robbins Basic Pathology (9th ed.). Elsevier.
Mescher, A. L. (2013). Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas Thirteenth Edition
(13th ed.). McGraw-Hill Education.
Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, & Arvin AM. (2000). Adenoid Dan Tonsil. In
Ilmu Kesehatan Anak (15th ed., Vol. 2, pp. 1463–1464). EGC.
Netter, F. H. (2014). ATLAS OF HUMAN ANATOMY (25th ed.). Buku Kedokteran
EGC.
Ovalle, W., & Nahirney, P. (2013). Netter’s Essential Histology (2nd ed.). Elsevier.
Paulsen, F., & Waschke, J. (2019). Sobottta Atlas Anatomi Manusia Organ Interna
(Edisi 24). Elsevier.
Prasetya, G. Z., Kusumastuti, A. C., & Kurniawati, D. M. (2018). Pengaruh
Suplementasi Seng terhadap Kejadian Tonsilitis pada Balita. Journal of Nutrition
College, 7(4), 186. https://doi.org/10.14710/jnc.v7i4.22278
Ramadhan, F., Sahrudin, S., & Ibrahim, K. (2017). Analisis Faktor Risiko Kejadian
Tonsilitis Kronis pada Anak Usia 5-11 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas
Puuwatu Kota Kendari Tahun 2017. 2(6).
Rohit Jaysing Bhor, Mahesh Kolhe, & Sagar Magar. (2021). An Overview on
“Symptoms, Causes and Treatment of Upper Respiratory Tract Infections.
International Journal of Pharmaceutical Science, 10(9), 33–38.
Rusmarjono, & Efiaty Ardyad Soepardi. (2020). Faringitis, Tonsilitis, Dan Hipertrofi
Adenoid. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidup Tenggorok Kepala &
Leher (7th ed.). Universitas Indonesia Publishing.
Sherwood, L. (2019). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem (Edisi 9). Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Soderholm, A. (2018). The Group A Streptococcus M1T1 clone post-transcriptionally
modifies innate immune signalling to promote infection.
Stelter, K. (2014). Tonsillitis and sore throat in children. GMS Current Topics in
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, 13, Doc07.
https://doi.org/10.3205/CTO000110
Tanwar, A., Zhang, J., Ive, J., Gupta, V., & Guo, Y. (2022). Unsupervised Numerical
Reasoning to Extract Phenotypes from Clinical Text by Leveraging External
Knowledge. https://doi.org/10.48550/arxiv.2204.10202
Thompson, R., Splaingard, M., & Adam, H. M. (2021). Management of Snoring.
Pediatrics In Review, 42(8), 471–473. https://doi.org/10.1542/PIR.2020-000950
Wall, J. J., & Tay, K. Y. (2018). Postoperative Tonsillectomy Hemorrhage. Emergency
Medicine Clinics, 36(2), 415–426. https://doi.org/10.1016/J.EMC.2017.12.009
 

Anda mungkin juga menyukai