Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Disusun Oleh :
Naufal Adi Pamungkas
30101800127
Pembimbing :
Dr. dr. Hj. Sri Priyantini., Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN
DATA KHUSUS
Riwayat Makan-Minum
Anak diberikan ASI eksklusif sejak lahir sampai saat ini. Makanan
pendamping mulai diberikan saat anak berusia 6 bulan berupa bubur, sekarang
pasien sudah diberikan nasi lembek/bubur dan lauk seperti orang dewasa yang
dihaluskan.
Kesan : Asi eksklusif dan MPASI sesuai usia
14−8,7
WAZ : = 4,41 D (Resiko berat badan lebih)
1,2
75−72,8
HAZ : = 0,88 SD (Normal)
2,5
14−9,1
WHZ : = 5,44 SD
0,9
(Obesitas)
Kesan : Gizi lebih (Obesitas)
Tanda-tanda Vital :
- Nadi : 135 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Tekanan darah :-
- Laju nafas : 40x/ menit
- Suhu : 38,1° C
- SpO2 : 99%
Status Internus
a. Kepala : Mesosefal.
b. Kulit : Tidak sianosis, turgor kembali lambat >2 detik, ikterus
(-), petekie (-)
c. Mata : Mata cowong (-), Pupil bulat, isokor, Ø 4mm/ 4mm,
refleks cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
d. Hidung : bentuk normal, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)
e. Telinga : bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri (-/-)
f. Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), pendarahan gusi (-),
g. Tenggorok : tonsil T1-T1, arcus faring simetris, uvula di tengah,
hiperemis (-), post nasal drip (-).
h. Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe.
i. Thorax
o Paru
Inspeksi : Hemithoraks dextra et sinistra simetris dalam
keadaan statis dan dinamis, retraksi suprasternal,
intercostal, epigastrical (-)
Palpasi : stem fremitus dextra et sinistra simetris
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar : vesikuler
suara tambahan : wheezing (-/-),
o Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICSV 2 cm medial linea mid
claviculasinistra, tidak melebar,tidak kuat angkat
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), bising (-)
j. Abdomen
Inspeksi :datar, hiperemis (-), jejas (-)
Auskultasi :bising usus (+) > 5 dalam 30 detik
Perkusi :timpani (+)
Palpasi :defense muscular (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
dalam batas normal
k. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Pemeriksaan neurologi
Superior Inferior
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan otot 5/5 5/5
Tonus Normotoni Normotoni
Klonus -/-
Refleks fisiologis N/N N/N
Refleks patologis -/- -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
IP. Dx : S : -
O : - Cek darah rutin
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
IP.Tx :
o Cairan Rumatan
Hitung cairan :
Anak perempuan 0 tahun 10 bulan 27 hari, berat badan 14 kg,
Panjang badan 75 cm.
10 kg I = 10 kg x 100 = 1000 ml
10 kg II = 4kg x 50 = 200 ml
selisih panas = 39,1 oC -37,5 oC = 1,6 oC
TX IGD :
o Infus Ringer laktat 15 tpm
o Inj. Paracetamol 280 mg
o Oksigenasi 5 liter/menit dengan simple mask
TX BANGSAL
o Inj. Sanmol 125 mg
o Inj Fartison 2x20 mg
o Inj. Phenitoin 100 mg (jika kejang)
o Inj Glybotik 2x100mg
IP. Mx :
TTV (HR, RR, Suhu, Tekanan darah), tanda dehidrasi, monitoring
kejang berulang
IP. Ex:
100
BB awal = x BB sekarang
100−% derajat dehidrasi
100
= x 14 kg
100−7,5
= 15,13 kg
Rumatan :
10 kg I = 10 x 100 ml = 1000 ml/hari
10 kg II = 5,13 x 50ml = 258 ml/hari
TX BANGSAL
Inf. Futrolit 10 tpm
L-bio 2x1 sachet
Dehidralit sue
Dariazinc drop 1x1cc
IP Mx :
Vital sign, tanda dehidrasi, adanya pernafasan kussmaul
IP Ex :
Menjaga pola makan yang cukup gizi dan higienis
Makan makanan yang dimasak terlebih dahulu
Menjaga lingkungan dan kebersihan diri (Jaga kebersihan tangan, alat makan)
Kunjungan ulang jika anak tidak menunjukan perbaikan atau memburuk
3. Assesment : Obesitas
DD:
- Gizi Kurang
- Gizi Baik
IP Mx :
Keadaan umum pasien
Data antropometri (berat badan, tinggi badan)
Asupan Makanan
IP Ex :
• Makan sesuai indikasi gizi
• Asupan makanan yang bergizi dan higenis
• Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
• Istirahat yang cukup
FOLLOW UP di Baitunnisa 1
Waktu Hari ke-1 perawatan Hari ke-2 perawatan Hari ke-3 perawatan
(IGD)
Tanggal 28 juni 2022 29 juni 2022 30 juni 2022
Keluhan Kejang, demam, diare Bab >2x ampas (+) BAB 1x cair, ampas (+)
Keadaan Tampak lemah, Composmentis, tampak Composmentis,
Umum composmentis, tampak gizi lebih tampak gizi lebih
gizi lebih
TTV : Nadi 190/menit isi dan 115x/menit isi dan 110x/mnt isi cukup
RR tegangan kurang tegangan cukup 24x/menit
Suhu 60x/menit 30x/menit 36,7 C
39,5 C 39 C
Assesment KDK, Febris akut, KDK, DADRS KDK, DADRS
DADRS
Terapi Infus RL 15 tpm Infus futrolit 10tpm Infus futrolit 10tpm
Oksigenasi O2 Mask 5 Glybotik 2x100 mg Glybotik 2x100 mg
ltpm
Sanmol 125mg k/p Sanmol 125mg k/p
Paracetamol 280 mg
Phenytoin 100 mg (jika Phenytoin 100 mg (jika
Ranitidine 15 mg kejang) kejang)
Tx Bangsal : Dehidralit Dehidralit
Infus futrolit 10tpm L-Bio 2x1 L-Bio 2x1
Glybotik 2x100 mg Dariazinc syr 1x1cc Dariazinc syr 1x1cc
Sanmol 125mg k/p Fartison 2x250 mg Fartison 2x250 mg
Phenytoin 100 mg (jika
kejang)
Dehidralit
L-Bio 2x1
Dariazinc syr 1x1cc
Fartison 2x250 mg
Waktu Hari ke-4 perawatan Hari ke-5 perawatan Hari ke-6 perawatan
Tanggal 1 Juli 2022 2 Juli 2022 3 Juli 2022
Keluhan Demam Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Keadaan composmentis, tampak Composmentis, tampak Composmentis,
Umum gizi lebih gizi lebih tampak gizi lebih
TTV : Nadi 110/menit isi cukup 120x/menit isi cukup 110x/mnt isi cukup
RR 28x/menit 30x/menit 24x/menit
Suhu 38 C 38 C 38 C
Assesment KDK, DADRS KDK, DADRS KDK, DADRS
1.1 Definisi
Kejang demam merupakan suatu keadaan kejang yang terjadi saat suhu
tubuh mengalami kenaikan (suhu rektal lebih dari 38 OC) diakibatkan oleh
proses ekstra kranial. Berdasarkan Consensus Statement on Febrile Seizure
definisi kejang demam adalah suatu kejadian yang sering terjadi pada bayi
atau anak berumur antara 3 bulan dan 5 tahun yang berhubungan dengan
demam tetapi tidak ditandai infeksi intrakranial atau penyebab tertentu
(Pusponegoro et al., 2019).
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Berlangsung singkat (< 15 menit)
Umumnya akan berhenti sendiri
Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam
Merupakan 80% diantara seluruh kejang demam
Etiologi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang memicu eksitasi
sel saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Semua kenaikan suhu tubuh bisa
menyebabkan kejang demam. Kenaikan suhu ini paling sering disebabkan oleh
infeksi virus. Infeksi virus lebih sering menyebabkan kejang demam daripada
infeksi bakteri seperti campak, rubella, dan cacar air. Akan tetapi demam tertinggi
yang diperlukan untuk menyebabkan kejang demam spesifik pada individu karena
ambang batas suhu kejang setiap anak bervariasi (Xixis et al., 2021).
1.6 Patofisiologi
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam. Akan tetapi dapat untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain seperti
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah (Pb et al., 2015).
B. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
2. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
3. Bayi >18 bulan – tidak rutin
Apabila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal (Pb et al.,
2015).
C. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG
masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal
(Pb et al., 2015).
D. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT
scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat
sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti
Computed Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti (Pb et al., 2015):
1. Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
1.9 Penatalaksanaan
Saat Kejang
Saat demam
Kejang fokal.
1.11 KOMPLIKASI
Faktor risiko terjadinya kejang demam berulang adalah (Whelan et al., 2017):
1.12 PROGNOSIS
2.1 Definisi
Diare adalah buang air besar lembek atau dapat berupa air saja dengan
frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih dari biasanya dan berlangsung kurang dari
14 hari. Sedangkan diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24
jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu. Kematian
pada kasus diare paling sering disebabkan karena dehidrasi. Diare juga dapat
menyebabkan gangguan pada gizi dan juga dapat menyebabkan kematian.
Penyebab tersering kasus diare adalah infeksi rotavirus (Drancourt, 2017).
Beberapa mikroorganisme patogen hanya terjadi dalam beberapa waktu
saja dan beberapa patogen bertanggung jawab atas epidemi, prevalensi berbagai
patogen yang menyebabkan diare dapat bervariasi. Bakteri patogen yang paling
sering ditemukan adalah enteropatogenik seperti E. coli, Shigella spp.,
Salmonella enterica subsp., Campylobacter spp. dan Aeromonas spp. Virus
penyebab yang paling sering ditemukan adalah rotavirus, calicivirus (norovirus
dan sapovirus), astrovirus, dan adenovirus enteric (Camilleri et al., 2017).
2.2 Etiologi
Secara klinik dibedakan 3 macam sindroma diare (Rudolph & Rufo, 2008) :
a. Diare cair akut
Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (beberapa kasus ditemukan
juga kurang dari 7 hari), dengan pengeluaran tinja yang lunak atau cair
yang sering dan tanpa darah.
b. Disentri
Diare yang disertai darah dalam tinja. Masalah penting akibat dari
disentri yaitu anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat dan
kerusakan mukosa usus karena bakteri bersifat invasif. Penyebab utama
disenri akut adalah Shigella.
c. Diare persisten
Diare yang mula-mula bersifat akut namun berlangsung lebih dari 14
hari.
2.4 Patogenesis diare
Patogenesis diare yang disebabkan virus yaitu berawal dari virus yang masuk
melalui makanan dan minuman sampai ke enterosit kemudian menyebabkan
infeksi dan kerusakan villi di usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang
baru dan fungsinya belum sempurna. Villi mengalami atropi dan tidak dapat
mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik kemudian dmeningkatkan tekanan
koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul diare.
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan
dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP, cGMP dan Ca
dependent. Patogenesis terjadinya diare oleh Salmonella, Shigella, E.Coli sedikit
berbeda dengan diare oleh virus tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini
dapat menginvasi sel mukosa usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi
sistemik. Toksin Shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga
menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan darah dalam
tinja yang disebut disentri.
Jumlah cairan dalam feses ditentukan oleh kandungan zat terlarutnya. Pada
pasien dengan diare cair, zat terlarut tidak cukup diserap, disekresikan secara aktif
ke dalam lumen, atau keduanya. Kemampuan, biasanya, untuk mendehidrasi tinja
juga tergantung pada fungsi penghalang epitel, untuk mencegah difusi kembali
elektrolit dan zat terlarut lainnya setelah mereka diserap melintasi epitel
(Dadiyanto, 2011).
Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu :
1. Diare osmotik
Akibat adanya makanan yang tak dapat diserap, kandungan makanan yang tak
dapat diserap tersebut menyebabkan tekanan osmotic dalam lumen usus
meningkat, sehingga terjadi pergeseran cairan dan elektrolit ke dalam lumen
usus. Isi lumen usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2. Diare sekretorik
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus.dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Diare dapat menyebabkan hilangnya air dan elektrolit dalam jumlah yang cukup
besar. Kehilangan air dan elektrolit dalam jumlah besar dapat menyebabkan asisdosis
metabolik karena kehilangan ion yang bersifat basa. Dehidrasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan defisit air dan keseimbangan elektrolit. Dehidrasi ringan bila penurunan
berat badan kurang dari 5%, dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 5%-
10% dan dehidrasi berat bila penurunan lebih dari 10% (Wenzl, 2012).
Pemeriksaan feses tidak rutin dilakukan pada kasus diare akut, kecuali terdapat
tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis
Hal yang dinilai pada pemeriksaan feses :
Makroskopis : konsistensi, warna, lendir, darah, bau
Mikroskopis : leukosit, eritrosit, parasit dan bakteri
Kimia : pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)
Kultur dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada kasus diare akut. Analisis gas
darah dan elektrolit dilakukan apabila secara klinis dicurigai adanya gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit (Drancourt, 2017).
2.7 Penatalaksanaan
Dukungan Nutrisi
Suplementasi Zinc
Antibiotika selektif
A. Rehidrasi
I. Tanpa dehidrasi
Anak dirawat jalan
Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:
o Pemberian cairan tambahan
Jika anak masih dapat ASI, nasihati ibu untuk memberi ASI lebih sering
dan lebih lama, kemudian larutan oralit atau air matang sebagai tambahan
ASI diberikan dengan sendok.
Jika tidak memperoleh ASI, maka beri oralit atau cairan makanan
(kuah sayur, air tajin) atau air matang.
Dosis pemberian cairan tambahan:
Anak <2 tahun 50-100 ml setiap kali anak BAB
Anak >=2 tahun 100-200 ml setiap kali anak BAB
Minum diberikan sedikit demi sedikit dengan cangkir, jika anak
muntah, tunggu 10 menit dan berikan kembali lebih lambat
Ajari ibu untuk menyiapkan larutan oralit dan beri 6 bungkus
(200 ml).
o Pemberian zinc tablet
Anak <6 bulan 10mg (1/2 tablet) / hari
Anak >=6 bulan 20 mg (1 tablet) / hari
Cara pemberiannya dapat dilarutkan mapun dikunyah, ingatkan ibu untuk
memberikan selama 10 hari
o Lanjutkan pemberian makan
o Nasihati kapan harus kembali
Anak harus kembali jika bertambah parah, atau tidak bisa
minum/menyusu, atau malas minum, atau timbul demam, atau ada darah
dalam tinja. Jika anak tidak menunjukkan gejala perbaikan, nasihati
untuk kunjungan hari ke-5
Diare Berat
Rehidrasi
Mulai berikan cairan intravena secara cepat dengan diikuti terapi rehidrasi
oral. Cairan yang digunakan RL, Ringer asetat, NaCl 0,9% D5%.
Dosis cairan: 100 ml/kgBB
B. Kapan Harus Kembali
- Jika berak cair lebih sering
- Muntah berulang
- Anak kehausan
- Makan-minum sedikit
- Feses bercampur darah
Tidak ada perbaikan dalam 3 hari
3. Obesitas pada Anak
3.2 Epidemiologi
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya obesitas antara
lain genetik, metabolik, gaya hidup, dan konsumsi obat-obatan tertentu, seperti
golongan antikonvulsan (McKinney et al., 2013) :
1) Faktor Genetik
Kejadian overweight ditemukan meningkat hingga 25% jika salah
satu atau kedua orang tua mengalami obesitas.
2) Faktor Metabolisme
Faktor metabolisme setiap orang berbeda-beda. Studi menunjukkan
bahwa kadar ghrelin, hormon peptida yang berfungsi mengatur nafsu makan,
beserta peptida lain pada saluran cerna berperan memicu rasa lapar dan
memberikan perasaan kenyang.
3) Gaya Hidup
Konsumsi makanan berlebihan seperti makanan dengan kalori tinggi
yang berasal dari makanan tinggi gula, tinggi lemak, makanan cepat saji,
makanan ringan, dan minuman manis (jus, minuman ringan, susu aneka rasa).
Gaya hidup sedenter (tidak banyak melakukan aktivitas fisik), seperti
menghabiskan lebih banyak waktu menonton televisi, dan duduk di depan
komputer.
3.4 Patofisiologi
3.6 Penatalaksanaan
A. Konseling
Konseling pada obesitas dianjurkan ≥14 kali sesi baik secara
individual maupun grup dalam jangka waktu 6 bulan, dilanjutkan setiap
bulan atau bisa lebih sering dalam ≥ 1 tahun masa pemeliharaan (Longo
et al., 2012).
B. Diet
Pengaturan diet pada anak obesitas dilakukan dengan diet
seimbang (komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 30%, dan protein
cukup untuk tumbuh kembang normal 15-20%). Penjadwalan makan juga
penting dilakukan dengan makanan besar 3x/hari dan camilan 2x/hari
yang terjadwal dengan camilan diutamakan dalam bentuk buah segar
(Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI,
2014) .
Feeding rules perlu diterapkan dalam pengaturan diet anak, seperti
berikut:
1) Di antara jadwal makan utama dan camilan hanya boleh diberikan air
putih,
2) Lama makan 30 menit/kali
3) Ciptakan lingkungan netral dengan cara tidak memaksa anak
4) Berikan bentuk dan jenis makanan harus dapat diterima anak
5) Tidak dipaksa mengonsumsi makanan yang tidak disukai
6) Pengurangan kalori sekitar 200-500 kalori per hari dengan target
penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan
ditargetkan sampai mencapai kira-kira 20% di atas berat badan ideal atau
cukup dipertahankan agar tidak bertambah karena pertumbuhan linier
masih berlangsung.
C. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik anak dapat disesuaikan dengan tingkat
perkembangan motorik, kemampuan fisik, dan umur. Pada anak berusia
usia sekolah dapat memulai aktivitas fisik dengan keterampilan otot
seperti bersepeda, berenang, menari, karate, senam, sepak bola, dan
basket. Aktivitas sehari-hari juga dapat dioptimalkan seperti berjalan kaki
atau bersepeda ke sekolah atau tempat kerja, menempati kamar tingkat
agar naik dan turun tangga, mengurangi lama menonton televisi atau
bermain games di komputer, dan menganjurkan anak bermain di luar
rumah (Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik
IDAI, 2014).
D. Terapi Perilaku
Terapi perilaku dilakukan untuk mengurangi hambatan dalam
mengurangi berat badan, seperti kebiasaan makan yang berlebihan,
pilihan makanan yang berlemak, atau kebiasaan makan berlebihan saat
malam hari, serta kebiasaan aktivitas sedenter yang menetap. Strategi
yang dapat digunakan untuk terapi perilaku antara lain monitoring
mandiri terhadap kebiasaan dan kemajuan, kontrol stimulus, menetapkan
tujuan, mengurangi kecepatan makan, memastikan dukungan sosial,
pemecahan masalah, ketegasan, restrukturisasi kognitif, penguatan
perubahan, pencegahan relaps, dan strategi mengatasi berat badan yang
kembali meningkat (Screening & Audience, 2021).
2) Medikamentosa
Medikamentosa dapat ditambahkan pada pasien obesitas dengan
IMT ≥30 kg/m2 atau IMT ≥27 kg/m2 yang disertai dengan penyakit
yang berhubungan dengan obesitas. Obat yang telah disetujui Food
and Drug Administration (FDA) untuk kasus obesitas anak usia diatas
12 tahun antara lain orlistat dan sibutramine.
a. Orlistat
Orlistat biasanya menjadi pilihan pertama karena mempunyai efek
sistemik yang lebih sedikit. Obat ini merupakan inhibitor lipase intestinal,
yang mengakibatkan malabsorpsi lemak yang diinduksi obat, sehingga
mampu menurunkan berat badan hingga 9-10% pada 12 bulan disertai
modifikasi gaya hidup (Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan
Penyakit Metabolik IDAI, 2014) .
b. Sibutramin
Sibutramin bekerja dengan cara menimbulkan rasa kenyang dan
meningkatkan pengeluaran energi dengan menghambat reuptake noraderenalin
dan serotonin. Akan tetapi penggunaan obat-obatan sebagai penatalaksanaan
obesitas anak tidak terlalu disarankan karena beberapa penelitian
menunjukkan pemberian obat tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan
berat badan. Efek samping jangka panjang dalam penggunaan obat tersebut
pada kasus obesitas anak juga masih belum banyak (Unit Kerja Koordinasi
(UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, 2014) .
DAFTAR PUSTAKA
Agha, M., & Agha, R. (2017). The rising prevalence of obesity: part A: impact on public
health. International Journal of Surgery. Oncology, 2(7), e17.
https://doi.org/10.1097/IJ9.0000000000000017
Camilleri, M., Sellin, J. H., & Barrett, K. E. (2017). Pathophysiology, evaluation, and
management of chronic watery diarrhea. Gastroenterology, 152(3), 515–532.
Dadiyanto, W. D. (2011). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro.
de Onis, M., Blössner, M., & Borghi, E. (2010). Global prevalence and trends of
overweight and obesity among preschool children. The American Journal of
Clinical Nutrition, 92(5), 1257–1264. https://doi.org/10.3945/ajcn.2010.29786
Drancourt, M. (2017). Acute Diarrhea. In Infectious Diseases (pp. 335-340.e2).
https://doi.org/10.1016/B978-0-7020-6285-8.00038-1
Kemenkes RI. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan
RI, 53(9), 1689–1699.
Kinlen, D., Cody, D., & O’Shea, D. (2018). Complications of obesity. QJM: An
International Journal of Medicine, 111(7), 437–443.
https://doi.org/10.1093/qjmed/hcx152
Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. (2018). Febrile seizures: an overview. Drugs in
Context, 7, 212536. https://doi.org/10.7573/dic.212536
Longo, D., Fauci, A., Kasper, D., Hauser, S., Jameson, J., & Loscalzo, J. (2012).
Harrisons Manual of Medicine, 18th Edition. McGraw-Hill Professional.
https://doi.org/doi:10.1036/9780071808309
McKinney, L., Skolnik, N., & Chrusch, A. (2013). Diagnosis and Management of
Obesity. American Academy of Family Physician, 1–26. www.aafp.org
Mosili, P., Maikoo, S., Mabandla, V., & Qulu, L. (2020). The Pathogenesis of Fever-
Induced Febrile Seizures and Its Current State.
https://doi.org/10.1177/2633105520956973
Ngastiyah. (2014). Perawatan Anak Sakit. Buku Kedokteran EGC.
Panuganti, K. K., Nguyen, M., & Kshirsagar, R. K. (2022). Obesity. Antenatal Disorders
for the MRCOG and Beyond, 135–138.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459357/
Pb, A., Skp, I. D. I., & Arief, R. F. (2015). Penatalaksanaan Kejang Demam. 42(9), 658–
661.
Pusponegoro, H., Widodo, D. P., & Ismael, S. (Ikatan D. A. I. (2019). Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 1–23.
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-
Penatalaksanaan-Kejang-Demam.pdf
Rudolph, J. A., & Rufo, P. A. (2008). Diarrhea. In Encyclopedia of Infant and Early
Childhood Development (pp. 394–401). https://doi.org/10.1016/B978-012370877-
9.00342-X
Screening, C., & Audience, I. (2021). Clinical Guideline for the Management of Children
and Young People who are Overweight and Obese. 1–15.
Shinnar, S., & Glauser, T. A. (2002). Febrile seizures. Journal of Child Neurology,
17(1_suppl), S44–S52.
Sihaloho, U. K. (2015). Kejang Demam Kompleks. Jurnal Medula, 4(1).
Spruijt-Metz, D. (2011). Etiology, Treatment and Prevention of Obesity in Childhood and
Adolescence: A Decade in Review. Journal of Research on Adolescence : The
Official Journal of the Society for Research on Adolescence, 21(1), 129–152.
https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2010.00719.x
Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI. (2014). Diagnosis,
Tata Laksana dan Pencegahan Obesitas pada Anak dan Remaja. Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 7.
Wenzl, H. H. (2012). Diarrhea in chronic inflammatory bowel diseases. Gastroenterology
Clinics of North America, 41(3), 651–675. https://doi.org/10.1016/j.gtc.2012.06.006
Whelan, H., Whelan, H., & Harmelink, M. (2017). Complex febrile seizures — A
systematic review Disease-a-Month Complex febrile seizures — A systematic
review. Disease-a-Month, January, 1–19.
https://doi.org/10.1016/j.disamonth.2016.12.001
Xixis, K. L., Samanta, D., & Keenaghan, M. (2021). Febrile seizure. In StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing.
Zhang, Y., Liu, J., Yao, J., Ji, G., Qian, L., Wang, J., Zhang, G., Tian, J., Nie, Y., Zhang,
Y. E., Gold, M. S., & Liu, Y. (2014). Obesity: pathophysiology and intervention.
Nutrients, 6(11), 5153–5183. https://doi.org/10.3390/nu6115153