Anda di halaman 1dari 46

Cased Based Discussion

ANAK KEJANG DEMAM KOMPLEKS, DIARE AKUT DEHIDRASI


RINGAN SEDANG DENGAN
STATUS GIZI LEBIH (OBESITAS)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung

Disusun Oleh :
Naufal Adi Pamungkas
30101800127

Pembimbing :
Dr. dr. Hj. Sri Priyantini., Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan


anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama : Naufal Adi Pamungkas


Judul : Anak Kejang Demam Kompleks, Diare Akut
Dehidrasi Ringan Sedang dengan Status Gizi Lebih
(Obesitas)

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas : Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung
Pembimbing : Dr.dr. Hj. Sri Priyantini Sp.A

Semarang, 2 Agust us 2022


Pembimbing,

( Dr.dr.Hj.Sri Priyantini., Sp.A)


I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. NS
Umur : 10 bulan 27 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sayung

Nama Ayah : Tn. N


Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Sayung

Nama Ibu : Ny. A


Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Sayung

II. DATA DASAR


Anamnesis
Alloanamnesis dengan ibu pasien dilakukan pada hari 28 Juni 2022
di Baitunnisa 1 Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang serta didukung
dengan catatan medis.

Keluhan utama : Kejang


Riwayat Penyakit Sekarang

- 9 Jam SMRS pasien mengalami diare, ibu pasien mengatakan pasien


mengalami diare sebanyak 5 kali. Diare disertai ampas, tidak nyemprot,
dan bau tidak sedap pada umumnya. Pasien juga mengalami mual dan
muntah satu kali. Ibu pasien juga mengatakan anak sering rewel dan
kehausan.
- 6 jam SMRS pasien mengalami demam tinggi kemudian pasien
mengalami kejang 2x di rumah, lama kejang berlangsung selama ± 5
menit. Ibu pasien mengatakan kejang hanya pada bagian tubuh tertentu
kemudian seluruh tubuh selama kejang pasien tidak sadar, sebelum
kejang pasien sadar dan sesudah kejang pasien menangis. Diantara kejang
pasien sadar, menangis dan terlihat lemas.
- 2 jam SMRS pasien juga mengalami sesak nafas. Pada pukul 21.50 WIB
pasien dibawa ibu ke IGD Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.
Keluhan lain seperti batuk dan pilek disangkal. Riwayat alergi juga
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit anak yang pernah diderita sebelumnya:


Faringitis/Tonsilitis : -/- Kejang : disangkal
Bronkitis : disangkal Scabies : disangkal
Konjungtivitis : disangkal Morbili : disangkal
Typh. abdominalis : disangkal Pertusis : disangkal
Cacing : disangkal Enteritis :disangkal
Varisela : disangkal Operasi : disangkal
Difteri : disangkal Trauma : disangkal
Malaria : disangkal Reaksi obat/ alergi : disangkal
Polio : disangkal TB Paru : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Kakak dari pasien pernah mengalami kejang demam.


 Ibu memiliki Riwayat diabetes mellitus.
 Keluarga tidak ada yang sedang diare, batuk, dan pilek.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Ayah bekerja sebagai karyawan Swasta dan Ibu sebagai IRT. Biaya
pengobatan menggunakan BPJS non PBI Kelas 3.
Kesan : Ekonomi cukup

DATA KHUSUS

Riwayat Persalinan dan Kehamilan :


Anak perempuan lahir dengan section cesaria dari ibu P3A0 38
minggu, BBL 3900 gram, PB 50 centimeter, langsung menangis, sehat,
kemerahan. antenatal care teratur, Ibu memiliki riwayat diabetes mellitus yang
terkontrol selama masa kehamilan.
Kesan : Neonatal aterm
Riwayat Pemeliharaan Prenatal :
Ibu rutin memeriksakan kandungan ke dokter kandungan selama
kehamilan. Ibu memiliki riwayat diabetes selama kehamilan. Riwayat
perdarahan dan trauma saat hamil disangkal. Riwayat minum obat selain
resep dokter saat hamil disangkal.
Kesan :Riwayat pemeliharaan prenatal baik

Riwayat Makan-Minum
Anak diberikan ASI eksklusif sejak lahir sampai saat ini. Makanan
pendamping mulai diberikan saat anak berusia 6 bulan berupa bubur, sekarang
pasien sudah diberikan nasi lembek/bubur dan lauk seperti orang dewasa yang
dihaluskan.
Kesan : Asi eksklusif dan MPASI sesuai usia

Riwayat Imunisasi Dasar

No Jenis Imunisasi Jumlah Umur


1. Hepatitis B 1x 0-24 jam
2. BCG,Polio 0 1x 1bulan
3. DPT-HB-Hib 1, 2 bulan
1x
polio 1
4. DPT-HB-Hib 2, 3 bulan
1x
polio 2
5. DPT-HB-Hib 3, 4 bulan
1x
polio 3
5. Campak/MR - Belum
diberikan

Kesan : Imunisasi dasar sesuai umur belum lengkap.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


- Tersenyum : 2 bulan
- Miring dan tengkurap : 3 bulan
- Duduk tanpa berpegangan : 5 bulan
- Merangkak : 8 bulan
- Berdiri : 11 bulan
Interpretasi hasil test

Kesan : Tidak terdapat delay pada perkembangan anak


Pemeriksaan Status Gizi :
Diketahui : Anak perempuan, 0 tahun 11 bulan 6 hari
 Berat Badan sekarang : 14 kg
 Panjang Badan : 75 cm

14−8,7
WAZ : = 4,41 D (Resiko berat badan lebih)
1,2

75−72,8
HAZ : = 0,88 SD (Normal)
2,5

14−9,1
WHZ : = 5,44 SD
0,9
(Obesitas)
Kesan : Gizi lebih (Obesitas)

Riwayat Keluarga Berencana :


Ibu pasien tidak menggunakan KB.

Pemeriksaan Fisik (28 Juni 2022)


Anak Perempuan 0 tahun 10 bulan 27 hari, berat badan 14 kg, Panjang
badan 75 cm.
Keadaan Umum : Lemas
Kesadaran : Komposmentis

Tanda-tanda Vital :
- Nadi : 135 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Tekanan darah :-
- Laju nafas : 40x/ menit
- Suhu : 38,1° C
- SpO2 : 99%

Status Internus
a. Kepala : Mesosefal.
b. Kulit : Tidak sianosis, turgor kembali lambat >2 detik, ikterus
(-), petekie (-)
c. Mata : Mata cowong (-), Pupil bulat, isokor, Ø 4mm/ 4mm,
refleks cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
d. Hidung : bentuk normal, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)
e. Telinga : bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri (-/-)
f. Mulut : bibir kering (+), sianosis (-), pendarahan gusi (-),
g. Tenggorok : tonsil T1-T1, arcus faring simetris, uvula di tengah,
hiperemis (-), post nasal drip (-).
h. Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe.
i. Thorax
o Paru
 Inspeksi : Hemithoraks dextra et sinistra simetris dalam
keadaan statis dan dinamis, retraksi suprasternal,
intercostal, epigastrical (-)
 Palpasi : stem fremitus dextra et sinistra simetris
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : suara dasar : vesikuler
suara tambahan : wheezing (-/-),

o Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICSV 2 cm medial linea mid
claviculasinistra, tidak melebar,tidak kuat angkat
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), bising (-)

j. Abdomen
 Inspeksi :datar, hiperemis (-), jejas (-)
 Auskultasi :bising usus (+) > 5 dalam 30 detik
 Perkusi :timpani (+)
 Palpasi :defense muscular (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
dalam batas normal

k. Ekstremitas

Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-

Akral Sianosis -/- -/-


Capillary Refill Time <2" <2"
Bengkak -/- -/-
Pitting edema -/- -/-

Pemeriksaan rangsang meningeal

1. Kaku kuduk (-)


2. Bruzinski I (-)
3. Bruzinki II (-)
4. Kernique sign (-)

Pemeriksaan neurologi
Superior Inferior
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan otot 5/5 5/5
Tonus Normotoni Normotoni
Klonus -/-
Refleks fisiologis N/N N/N
Refleks patologis -/- -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium Klinik ( 28 Juni 2022)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 12.2 10.5 - 12.9 g/dL
Hematokrit 37.4 31.0 - 43.0%
Leukosit 14.14 6.00 – 17.50 ribu/uL
Trombosit 332 229 – 553 ribu/uL
Elektrolit
Natrium (Na) 130 129-143 mmol/L
Kalium (K) 4.80 3.6-5.8 mmol/L
Klorida (Cl) 108.0 93-112 mmol/L
III. ASSESMENT (Diagnosis Kerja) :
a. Kejang Demam Kompleks
b. Diare akut dehidrasi sedang
c. Obesitas

IV. INITIAL PLAN DIAGNOSIS


1. Assesment : Kejang Demam Kompleks
DD :
- Kejang Demam Simpleks

IP. Dx : S : -
O : - Cek darah rutin
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
IP.Tx :
o Cairan Rumatan
 Hitung cairan :
Anak perempuan 0 tahun 10 bulan 27 hari, berat badan 14 kg,
Panjang badan 75 cm.
10 kg I = 10 kg x 100 = 1000 ml
10 kg II = 4kg x 50 = 200 ml
selisih panas = 39,1 oC -37,5 oC = 1,6 oC

(1200ml x 1,6 oC x 12.5 %) = 240 cc

Total = 1200 + 240 = 1440 cc/hari

(Kebutuhan cairan per hari) x 15


Hitung infus =
24 x 60
1440 x 15
=
24 x 60
= 15  15 tpm dalam 24 jam

TX IGD :
o Infus Ringer laktat 15 tpm
o Inj. Paracetamol 280 mg
o Oksigenasi 5 liter/menit dengan simple mask
TX BANGSAL
o Inj. Sanmol 125 mg
o Inj Fartison 2x20 mg
o Inj. Phenitoin 100 mg (jika kejang)
o Inj Glybotik 2x100mg

IP. Mx :
 TTV (HR, RR, Suhu, Tekanan darah), tanda dehidrasi, monitoring
kejang berulang

IP. Ex:

• Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya prognosis baik


• Memberitahukan cara penanganan kejang, meliputi mengendorkan
pakaian sekitar leher, jangan memasukkan benda kedalam mulut, serta
memberikan obat anti kejang melalui dubur
• Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali,
sehingga tetap tenang dan tidak panik
• Berikan anak lebih banyak minum
2. Assesment: Diare akut dehidrasi ringan-sedang
DD :
- Faktor Infeksi :
enteral (bakteri: shigella, e.coli, vibrio cholera; virus: rotavirus; protozoa:
entamoebahistolytica) dan parenteral (bakteri : Haemophillus influenza,
streptococcus pneumonia; virus : RSV)
- Alergi makanan
- Keracunan
- Konstitusi
- Malabsorbsi
IP Dx
 S : Bab cair
 O : Feses rutin, kadar elektrolit tubuh
IP Tx
TX IGD
• Infus RL 15 tpm
• Inj. Ranitidine 15 mg
• DADRS : Terapi B
3 jam pertama observasi diberikan oralit 75 ml/kgBB
BB = 14 kg x 75 ml = 1050 ml

100
BB awal = x BB sekarang
100−% derajat dehidrasi
100
= x 14 kg
100−7,5
= 15,13 kg
Rumatan :
10 kg I = 10 x 100 ml = 1000 ml/hari
10 kg II = 5,13 x 50ml = 258 ml/hari

Rumus Kehilangan Cairan


7,5% x 1258 ml = 95 ml
Total Kebutuhan Cairan
1258+95=1353 ml/hari
1353 x 15
Tpm = = 14,09  14 tpm
24 x 60

TX BANGSAL
Inf. Futrolit 10 tpm
L-bio 2x1 sachet
Dehidralit sue
Dariazinc drop 1x1cc

IP Mx :
 Vital sign, tanda dehidrasi, adanya pernafasan kussmaul

IP Ex :
 Menjaga pola makan yang cukup gizi dan higienis
 Makan makanan yang dimasak terlebih dahulu
 Menjaga lingkungan dan kebersihan diri (Jaga kebersihan tangan, alat makan)
 Kunjungan ulang jika anak tidak menunjukan perbaikan atau memburuk

3. Assesment : Obesitas
DD:
- Gizi Kurang
- Gizi Baik

IP Dx: S: Kualitas dan kuantitas makanan


O: -
IP Tx :

Anak perempuan 10 bulan 27 hari


Kebutuhan kalori BB: 14 kg
(60,9 x BB) - 54 = (60,9x8,2) -54 = 445,38 kkal
Terdiri dari :
Karbohidrat : 60% x 445,38 =267 kkal
Lemak : 40% x 445,38 = 178 kkal
Protein : 10% x 445,38 = 44,5 kkal

IP Mx :
 Keadaan umum pasien
 Data antropometri (berat badan, tinggi badan)
 Asupan Makanan

IP Ex :
• Makan sesuai indikasi gizi
• Asupan makanan yang bergizi dan higenis
• Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
• Istirahat yang cukup
FOLLOW UP di Baitunnisa 1

Waktu Hari ke-1 perawatan Hari ke-2 perawatan Hari ke-3 perawatan
(IGD)
Tanggal 28 juni 2022 29 juni 2022 30 juni 2022
Keluhan Kejang, demam, diare Bab >2x ampas (+) BAB 1x cair, ampas (+)
Keadaan Tampak lemah, Composmentis, tampak Composmentis,
Umum composmentis, tampak gizi lebih tampak gizi lebih
gizi lebih
TTV : Nadi 190/menit isi dan  115x/menit isi dan 110x/mnt isi cukup
RR tegangan kurang tegangan cukup 24x/menit
Suhu 60x/menit 30x/menit 36,7 C
39,5 C 39 C
Assesment KDK, Febris akut, KDK, DADRS KDK, DADRS
DADRS
Terapi Infus RL 15 tpm Infus futrolit 10tpm Infus futrolit 10tpm
Oksigenasi O2 Mask 5 Glybotik 2x100 mg Glybotik 2x100 mg
ltpm
Sanmol 125mg k/p Sanmol 125mg k/p
Paracetamol 280 mg
Phenytoin 100 mg (jika Phenytoin 100 mg (jika
Ranitidine 15 mg kejang) kejang)
Tx Bangsal : Dehidralit Dehidralit
Infus futrolit 10tpm L-Bio 2x1 L-Bio 2x1
Glybotik 2x100 mg Dariazinc syr 1x1cc Dariazinc syr 1x1cc
Sanmol 125mg k/p Fartison 2x250 mg Fartison 2x250 mg
Phenytoin 100 mg (jika
kejang)
Dehidralit
L-Bio 2x1
Dariazinc syr 1x1cc
Fartison 2x250 mg
Waktu Hari ke-4 perawatan Hari ke-5 perawatan Hari ke-6 perawatan
Tanggal 1 Juli 2022 2 Juli 2022 3 Juli 2022
Keluhan Demam Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Keadaan composmentis, tampak Composmentis, tampak Composmentis,
Umum gizi lebih gizi lebih tampak gizi lebih

TTV : Nadi 110/menit isi cukup  120x/menit isi cukup 110x/mnt isi cukup
RR 28x/menit 30x/menit 24x/menit
Suhu 38 C 38 C 38 C
Assesment KDK, DADRS KDK, DADRS KDK, DADRS

Terapi Paracetamol 120 mg - Observasi, BLPL


Futrolit 10 tpm
Inf. Futrolit 10 tpm
Phenytoin 100 mg (jika
Phenytoin 100 mg (jika kejang)
kejang)
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kejang Demam

1.1 Definisi
Kejang demam merupakan suatu keadaan kejang yang terjadi saat suhu
tubuh mengalami kenaikan (suhu rektal lebih dari 38 OC) diakibatkan oleh
proses ekstra kranial. Berdasarkan Consensus Statement on Febrile Seizure
definisi kejang demam adalah suatu kejadian yang sering terjadi pada bayi
atau anak berumur antara 3 bulan dan 5 tahun yang berhubungan dengan
demam tetapi tidak ditandai infeksi intrakranial atau penyebab tertentu
(Pusponegoro et al., 2019).
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
 Berlangsung singkat (< 15 menit)
 Umumnya akan berhenti sendiri
 Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
 Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam
 Merupakan 80% diantara seluruh kejang demam

2. Kejang demam komplek (complex fibrile seizure)


 Kejang lama > 15 menit
 Kejang fokal satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
 Berulang atau lebih dari 1 x dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang terjadi lebih dari 15 menit atau kejang
yang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang fokal adalah kejang parsial salah satu sisi atau kejang umum
yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau
lebih dalam sehari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. (Pusponegoro et al.,
2019)
1.3 Faktor Resiko
Faktor resiko paling utama dalam kejang demam adalah demam.
Terdapat riwayat kejang demam di keluarga pada saudara kandung dan orang
tua juga beresiko tinggi terjadi kejang demam pada anak . Faktor resiko lain
dari kejang demam adalah usia. Usia tersering terjadinya kejang demam
adalah 6 bulan hingga 5 tahun. Diluar usia tersebut jarang terjadi kejang
demam maka perlu dipertimbangkan penyebab lain seperti pengaruh dari
intraranial (Pusponegoro et al., 2019)
1.4 Epidemiologi
Kejang demam adalah jenis kejang yang sering terjadi pada anak-
anak. Berdasarkan studi epidemiologi angka kejadian kejang demam di
Amerika Serikat dan Eropa berkisar 2-7%. Pada negara Jepang dilaporkan
angka kejadiannya berkisar 9-10%. Peak incidence pada usia 14-18 bulan.
Kejang demam agak lebih sering dijumpai pada anak laki daripada
perempuan. Predisposisi genetik diperkirakan berperan pada penderita kejang
demam yang memiliki saudara kandung dan orang tua dengan riwayat
kejang demam. Sebanyak 21% kejang demam berdurasi kurang dari 1 jam
(Pusponegoro et al., 2019).
1.5 Etiologi

Etiologi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang memicu eksitasi
sel saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Semua kenaikan suhu tubuh bisa
menyebabkan kejang demam. Kenaikan suhu ini paling sering disebabkan oleh
infeksi virus. Infeksi virus lebih sering menyebabkan kejang demam daripada
infeksi bakteri seperti campak, rubella, dan cacar air. Akan tetapi demam tertinggi
yang diperlukan untuk menyebabkan kejang demam spesifik pada individu karena
ambang batas suhu kejang setiap anak bervariasi (Xixis et al., 2021).
1.6 Patofisiologi

Peningkatan temperature dalam otak mempengaruhi aktivitas neuronal.


Perubahan temperature menyebabkan sekresi pyrogen endogen, jumlah sitokin
yang meningkat seiring terjadinya demam dan respon inflamasi akut. Respons
terhadap demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang
merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram
negatif sebagai pirogen eksogen. Makrofag yang terstimulus akan memproduksi
stikoin pro dan anti-inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-
6, interleukin-1 receptor antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2)
(Mosili et al., 2020). Reaksi sitokin tersebut melalui sel endotelial
circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang
mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 kemudian menstimulus
pusat termoregulasi di hipotalamus sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh.
Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Sitokin
interleukin 1ß akan meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan
menghambat GABA, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan
kejang (Pb et al., 2015).

Gambar 2.1 Mekanisme kejang demam (Mosili et al., 2020)


1.7 Manifestasi Klinis
Kejang pada bayi dan anak terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, misalnya tonsillitis, otitis media akuta, bronchitis, flurunkulosis dan lain-
lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberikan
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberpa detik atau menit anak akan
terbangun dan sadar (Ngastiyah., 2014).

Gambaran klinis yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam


adalah (Ngastiyah., 2014) :
 Suhu tubuh mencapai 39oC
 Anak sering hilang kesadaran saat kejang
 Kepala anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan lengan
mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang
bergantung pada jenis kejang
 Kulit pucat dan mungkin menjadi biru
 Serangan terjadi beberapa menit setelah itu anak sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf.
1.8 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam. Akan tetapi dapat untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain seperti
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah (Pb et al., 2015).
B. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
2. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
3. Bayi >18 bulan – tidak rutin
Apabila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal (Pb et al.,
2015).
C. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG
masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal
(Pb et al., 2015).
D. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT
scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat
sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti
Computed Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti (Pb et al., 2015):
1. Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
1.9 Penatalaksanaan

Saat Kejang

Kejang demam berlangsung singkat dan saat pasien datang


kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang, obat yang
paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5
mg/kgBB, dengan cara pemberian secara perlahan dengan kecepatan
1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal yang dapat
diberikan adalah 20 mg. Kejang yang belum berhenti dengan
diazepam rektal dapat diulangi dengan cara dan dosis yang sama
dalam interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal
masih kejang dianjurkan ke rumah sakit dan dapat diberikan
diazepam intravena dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Bila kejang masih
belum berhenti diberikan fenitoin intravena dengan dosis awal 10-
20 mg/kgBB. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8
mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan telah
berhenti pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demamnya dan faktor resikonya.

Saat demam

Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun


para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak boleh lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali
sehari. Meskipun jarang, acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom
Reye, terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak dianjurkan
(Pb et al., 2015).
1.10 PENGOBATAN RUMATAN
Obat rumatan diberikan apabila kejang demam menunjukkan
salah satu ciri sebagai berikut:

 Kejang lama dengan durasi >15 menit.

Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya


hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, dan
hidrosefalus.

 Kejang fokal.

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24


jam.

 Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan.

 Kejang demam dengan frekuensi >4 kali per tahun.

Menurut beberapa ahli setuju bahwa kejang demam >15 menit


merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak
nyata, seperti keterlambatan perkembangan ringan, bukan termasuk
indikasi pengobatan rumatan.

Obat pilihan saat ini adalah valproic acid . Phenobarbital atau


valproic acid dapat menurunkan risiko berulangnya kejang.
Berdasarkan bukti ilmiah, kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, oleh karena itu
pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus selektif dan jangka
pendek. Phenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40–50% kasus. Pada sebagian kecil kasus,
terutama pada usia kurang dari 2 tahun, valproic acid dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis valproic acid 15-40 mg/
kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari
dalam 1-2 dosis (Pb et al., 2015).

1.11 KOMPLIKASI

Komplikasi kejang demam meliputi:

1. Kejang Demam Berulang.

Faktor risiko terjadinya kejang demam berulang adalah (Whelan et al., 2017):

a. Riwayat keluarga dengan kejang demam (derajat pertama)


b. Durasi yang terjadi antara demam dan kejang kurang dari 1 jam
c. Usia < 18 bulan
d. Temperatur yang rendah yang membangkitkan bangkitan kejang.
2. Epilepsi
Faktor risiko kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi adalah (Shinnar
& Glauser, 2002) :
a. Kejang demam kompleks
b. Riwayat keluarga dengan epilepsi
c. Durasi demam kurang dari 1 jam sebelum terjadinya bangkitan kejang
d. Gangguan pertumbuhan neurologis (contoh: cerebral palsy, hidrosefalus)

3. Gangguan tingkah laku dan kognitif


Meskipun gangguan kognitif, motorik dan adaptif pada bulan pertama dan tahun
pertama setelah kejang demam ditemukan tidak bermakna, tetapi banyak faktor
independen yang berpengaruh seperti status sosial-ekonomi yang buruk,
kebiasaan menonton televisi, kurangnya asupan ASI dan kejang demam
kompleks (Leung et al., 2018).

1.12 PROGNOSIS

Prognosis kejang demam umumnya baik. Terdapat beberapa kasus


saja yang mengalami kekambuhan atau bangkitan. Sebagian kecil
beresiko mengalami morbiditas neurologis 2-4% (seperti epilepsy, cacat
neurologis atau gangguan perkembangan mental) dan kematian (0,64-
0,75%) (Sihaloho, 2015).
1.13 PENCEGAHAN
Edukasi pada Orang Tua
- Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya memiliki
prognosis yang baik
- Memberitahukan cara penanganan kejang
- Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.
2. Diare

2.1 Definisi

Diare adalah buang air besar lembek atau dapat berupa air saja dengan
frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih dari biasanya dan berlangsung kurang dari
14 hari. Sedangkan diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24
jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu. Kematian
pada kasus diare paling sering disebabkan karena dehidrasi. Diare juga dapat
menyebabkan gangguan pada gizi dan juga dapat menyebabkan kematian.
Penyebab tersering kasus diare adalah infeksi rotavirus (Drancourt, 2017).
Beberapa mikroorganisme patogen hanya terjadi dalam beberapa waktu
saja dan beberapa patogen bertanggung jawab atas epidemi, prevalensi berbagai
patogen yang menyebabkan diare dapat bervariasi. Bakteri patogen yang paling
sering ditemukan adalah enteropatogenik seperti E. coli, Shigella spp.,
Salmonella enterica subsp., Campylobacter spp. dan Aeromonas spp. Virus
penyebab yang paling sering ditemukan adalah rotavirus, calicivirus (norovirus
dan sapovirus), astrovirus, dan adenovirus enteric (Camilleri et al., 2017).

2.2 Etiologi

Diare dapat dikelompokkan menjadi akut atau kronis menurut durasi


dan jenis gejala. Diare akut adalah diare dengan episode yang berlangsung
kurang dari 2 minggu. Infeksi merupakan penyebab paling sering diare akut.
Sebagian besar kasus diare disebabkan oleh infeksi virus, dan biasanya dapat
sembuh sendiri. Sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih
dari 4 minggu dan cenderung tidak menular. Penyebab umum termasuk
malabsorpsi, penyakit radang usus, dan efek samping obat (Drancourt, 2017).

Diare dapat disebabkan oleh :


a. Faktor Makanan
- Makanan busuk, mengandung racun
- Perubahan susunan makanan yang mendadak, sering terjadi pada bayi- bayi
- Susunan makanan yang tidak sesuai dengan umur bayi.
b. Faktor Infeksi :
- Faktor Parenteral :
Infeksi parenteral adalah infeksi yang terjadi di bagian tubuh lain diluar alat
pencernaan, seperti infeksi saluran nafas, ISK, Otitis Media Akut (OMA),
Tonsilofringitis, Bronkopneumoni, Ensefalitis, dll.
- Faktor Enteral
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab
utama
diare pada anak.

Infeksi enteral meliputi:


 Infeksi bakteri: Vibrio, E coli, Salmonela, Shigella, Campylobacter,
yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
 Infeksi Virus : Entero virus, (virus ECHO, Coxsakie, Poliomielitis),
Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll.
 Infeksi Parasit :Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Tricomonas hominis), cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris,
Strongiloides), jamur (Candida albicans).
c. Faktor malabsorbsi
- Malabsorbsi karbohidrat.
- Malabsorbsi lemak.
- Malabsorbsi protein.
d. Faktor psikologis : Rasa takut dan cemas.

2.3 Macam-macam diare

Secara klinik dibedakan 3 macam sindroma diare (Rudolph & Rufo, 2008) :
a. Diare cair akut
Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (beberapa kasus ditemukan
juga kurang dari 7 hari), dengan pengeluaran tinja yang lunak atau cair
yang sering dan tanpa darah.
b. Disentri
Diare yang disertai darah dalam tinja. Masalah penting akibat dari
disentri yaitu anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat dan
kerusakan mukosa usus karena bakteri bersifat invasif. Penyebab utama
disenri akut adalah Shigella.
c. Diare persisten
Diare yang mula-mula bersifat akut namun berlangsung lebih dari 14
hari.
2.4 Patogenesis diare

Patogenesis diare yang disebabkan virus yaitu berawal dari virus yang masuk
melalui makanan dan minuman sampai ke enterosit kemudian menyebabkan
infeksi dan kerusakan villi di usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang
baru dan fungsinya belum sempurna. Villi mengalami atropi dan tidak dapat
mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik kemudian dmeningkatkan tekanan
koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul diare.
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan
dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP, cGMP dan Ca
dependent. Patogenesis terjadinya diare oleh Salmonella, Shigella, E.Coli sedikit
berbeda dengan diare oleh virus tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini
dapat menginvasi sel mukosa usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi
sistemik. Toksin Shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga
menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan darah dalam
tinja yang disebut disentri.
Jumlah cairan dalam feses ditentukan oleh kandungan zat terlarutnya. Pada
pasien dengan diare cair, zat terlarut tidak cukup diserap, disekresikan secara aktif
ke dalam lumen, atau keduanya. Kemampuan, biasanya, untuk mendehidrasi tinja
juga tergantung pada fungsi penghalang epitel, untuk mencegah difusi kembali
elektrolit dan zat terlarut lainnya setelah mereka diserap melintasi epitel
(Dadiyanto, 2011).
Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu :
1. Diare osmotik
Akibat adanya makanan yang tak dapat diserap, kandungan makanan yang tak
dapat diserap tersebut menyebabkan tekanan osmotic dalam lumen usus
meningkat, sehingga terjadi pergeseran cairan dan elektrolit ke dalam lumen
usus. Isi lumen usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare.

2. Diare sekretorik
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus.dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.

3. Diare oleh karena gangguan motilitas usus


Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan, sehingga timbul diare.

2.5 Derajat Dehidrasi

Diare dapat menyebabkan hilangnya air dan elektrolit dalam jumlah yang cukup
besar. Kehilangan air dan elektrolit dalam jumlah besar dapat menyebabkan asisdosis
metabolik karena kehilangan ion yang bersifat basa. Dehidrasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan defisit air dan keseimbangan elektrolit. Dehidrasi ringan bila penurunan
berat badan kurang dari 5%, dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 5%-
10% dan dehidrasi berat bila penurunan lebih dari 10% (Wenzl, 2012).

Tabel 2.1 Derajat dehidrasi


Gejala & Keadaan Mulut/ % turun Estimasi def.
Mata Rasa Haus Kulit
Tanda Umum Lidah BB cairan
Dicubit
Tanpa Minum Normal,
Baik, Sadar Normal Basah kembali <5 50 %
Dehidrasi Tidak Haus
cepat
Dehidrasi
Tampak Kembali
Ringan – Gelisah Rewel Cekung Kering 5 – 10 50–100 %
Kehausan lambat
Sedang
Letargik, Sangat
Sangat Sulit, tidak bisa Kembali
Dehidrasi Berat Kesadaran cekung >10 >100 %
kering minum sangat lambat
Menurun dan kering

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan feses tidak rutin dilakukan pada kasus diare akut, kecuali terdapat
tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis
Hal yang dinilai pada pemeriksaan feses :
 Makroskopis : konsistensi, warna, lendir, darah, bau
 Mikroskopis : leukosit, eritrosit, parasit dan bakteri
 Kimia : pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)
Kultur dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada kasus diare akut. Analisis gas
darah dan elektrolit dilakukan apabila secara klinis dicurigai adanya gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit (Drancourt, 2017).

2.7 Penatalaksanaan

Menurut Buku Tatalaksana Diare yang diterbitkan oleh WHO, terdapat


Lima Lintas Tata Laksana yaitu :
 Rehidrasi

 Dukungan Nutrisi

 Suplementasi Zinc

 Antibiotika selektif

 Edukasi orang tua

A. Rehidrasi
I. Tanpa dehidrasi
 Anak dirawat jalan
 Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:
o Pemberian cairan tambahan
Jika anak masih dapat ASI, nasihati ibu untuk memberi ASI lebih sering
dan lebih lama, kemudian larutan oralit atau air matang sebagai tambahan
ASI diberikan dengan sendok.
 Jika tidak memperoleh ASI, maka beri oralit atau cairan makanan
(kuah sayur, air tajin) atau air matang.
Dosis pemberian cairan tambahan:
 Anak <2 tahun  50-100 ml setiap kali anak BAB
 Anak >=2 tahun  100-200 ml setiap kali anak BAB
Minum diberikan sedikit demi sedikit dengan cangkir, jika anak
muntah, tunggu 10 menit dan berikan kembali lebih lambat
Ajari ibu untuk menyiapkan larutan oralit dan beri 6 bungkus
(200 ml).
o Pemberian zinc tablet
 Anak <6 bulan  10mg (1/2 tablet) / hari
 Anak >=6 bulan  20 mg (1 tablet) / hari
Cara pemberiannya dapat dilarutkan mapun dikunyah, ingatkan ibu untuk
memberikan selama 10 hari
o Lanjutkan pemberian makan
o Nasihati kapan harus kembali
Anak harus kembali jika bertambah parah, atau tidak bisa
minum/menyusu, atau malas minum, atau timbul demam, atau ada darah
dalam tinja. Jika anak tidak menunjukkan gejala perbaikan, nasihati
untuk kunjungan hari ke-5

 Dehidrasi ringan – sedang


 Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah sesuai
dengan berat badan anak (atau umur anak jika berat badan anak tidak diketahui),
seperti yang ditunjukkan dalam bagan 15 berikut ini. Namun demikian, jika anak
ingin minum lebih banyak, beri minum lebih banyak. Tunjukkan pada ibu cara
memberi larutan oralit pada anak, satu sendok teh setiap 1 – 2 menit jika anak
berumur di bawah 2 tahun; dan pada anak yang lebih besar, berikan minuman
oralit lebih sering dengan menggunakan cangkir.
 Lakukan pemeriksaan rutin jika terdapat masalah
o Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih
lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit)
o Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri
minum air matang atau ASI.
 Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.
Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu cara
menyiapkan larutan oralit dan oralit secukupnya kepada ibu agar dapat
menyelesaikan rehidrasi dirumah dan dapat juga ditambah untuk rehidrasi
dua hari berikutnya. Nilai Kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa
tanda dehidrasi yang terlihat sebelumnnya. Periksa Kembali juga apabila
anak sebelum 3 jam tidak bisa minum larutan oralit atau keadaanya
bertambah buruk.
 Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk
perawatan di rumah
a. beri cairan tambahan.
b. beri tablet Zinc selama 10 hari
c. lanjutkan pemberian minum/makan (lihat bab 10, halaman 281)
d. kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:
1. anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu
2. kondisi anak memburuk
3. anak demam
4. terdapat darah dalam tinja anak
 Jika anak mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi pengobatan
untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas dan mulai
beri anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering mungkin
 Jika timbul tanda dehidrasi berat, Meskipun belum terjadi
dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa minum oralit
misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan infus dengan cara:
beri cairan intravena secepatnya. Beri- kan 70 ml/kg BB cairan Ringer
Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl)
yang dibagi sebagai berikut :
Umur Pemberian 70 ml/kg
selama
Bayi (di bawah 5 jam
umur 12 bulan)
Anak (12 bulan 2½ jam
sampai 5 tahun)

 Periksa kembali anak setiap 1-2 jam.


 Juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.
 Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam.
Klasifikasikan Dehidrasi Kemudian pilih rencana terapi yang sesuai (A,
B, atau C) untuk melanjutkan penanganan.

 Diare Berat
 Rehidrasi
Mulai berikan cairan intravena secara cepat dengan diikuti terapi rehidrasi
oral. Cairan yang digunakan RL, Ringer asetat, NaCl 0,9% D5%.
Dosis cairan: 100 ml/kgBB
B. Kapan Harus Kembali
- Jika berak cair lebih sering
- Muntah berulang
- Anak kehausan
- Makan-minum sedikit
- Feses bercampur darah
Tidak ada perbaikan dalam 3 hari
3. Obesitas pada Anak

3.1 Definisi obesitas pada anak

Obesitas atau kelebihan berat badan didefinisikan sebagai suatu kondisi


dimana terdapat akumulasi lemak tubuh yang abnormal (umumnya 20% diatas
berat badan normal) dan dapat menganggu fungsi kesehatan (Agha & Agha,
2017). Kondisi obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan asupan energi harian
(intake) dengan pengeluaran energi (output). Beberapa sindrom yang dapat
menyebabkan obesitas, antara lain sindrom Prader Willi, fragile X, sindrom
Wilson Turner, dan sindrom Alstrom. Selain itu, beberapa faktor seperti genetik,
metabolik, gaya hidup, dan konsumsi obat-obatan tertentu juga dapat
meningkatkan risiko obesitas (Panuganti et al., 2022) .

3.2 Epidemiologi

Prevalensi obesitas di seluruh dunia semakin meningkat. Pada tahun


2016 terdapat lebih dari 1,9 miliar orang dewasa berusia di atas 18 tahun
mengalami overweight dan lebih dari 650 juta di antaranya mengalami obesitas.
Prevalensi overweight dan obesitas pada anak di dunia juga meningkat dari
4,2% pada tahun 1990 menjadi 6,7% di tahun 2010 dan akan mencapai 9,1%
pada tahun 2020 (de Onis et al., 2010). Prevalensi overweight dan obesitas
hampir dua kali lipat lebih besar pada negara maju dibanding negara
berkembang yakni 11,7% dan 6,1%. Obesitas pada anak dan remaja dapat
menjadi prediktor terjadinya obesitas saat dewasa. Sekitar 80% dari remaja
umur 10-15 tahun yang mengalami obesitas akan didapati obesitas pada usia 25
tahun (Spruijt-Metz, 2011). Angka obesitas di Indonesia berdasarkan data
Riskesda oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018,
prevalensi overweight dan obesitas balita mencapai 8%. Menurut data Riskesda
2018, prevalensi obesitas umum pada penduduk berusia ≥15 tahun sebanyak
31% . Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang prevalensi
obesitas sebesar 26,6% (Kemenkes RI, 2018).

3.3 Etiologi dan faktor resiko

Penyebab utama obesitas adalah ketidakseimbangan antara asupan


energi harian (intake) dan pengeluaran energi (energy expenditure). Hal ini dapat
berhubungan dengan kelebihan intake makanan, kurangnya keluaran energi
(rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik, efek termogenesis makanan sesuai
komposisi makanan), atau kombinasi keduanya sehingga kelebihan energi
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Panuganti et al., 2022).
Faktor genetik yang berpengaruh terhadap terjadinya obesitas adalah mutasi
melanocortin receptor 4, yang ditemukan pada sekitar 1% populasi umum dan
6% pada obesitas onset dini. Sindrom Preder-Willi dan Sindrom Laurence-Moon-
Bield juga disebut memiliki hubungan dengan terjadinya obesitas. Penyebab
sekunder, seperti cedera hipotalamus, hipotiroidisme, sindrom Cushing, insulin-
secreting tumor juga dapat menimbulkan kenaikan berat badan (Longo et al.,
2012).

Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya obesitas antara
lain genetik, metabolik, gaya hidup, dan konsumsi obat-obatan tertentu, seperti
golongan antikonvulsan (McKinney et al., 2013) :
1) Faktor Genetik
Kejadian overweight ditemukan meningkat hingga 25% jika salah
satu atau kedua orang tua mengalami obesitas.

2) Faktor Metabolisme
Faktor metabolisme setiap orang berbeda-beda. Studi menunjukkan
bahwa kadar ghrelin, hormon peptida yang berfungsi mengatur nafsu makan,
beserta peptida lain pada saluran cerna berperan memicu rasa lapar dan
memberikan perasaan kenyang.

3) Gaya Hidup
Konsumsi makanan berlebihan seperti makanan dengan kalori tinggi
yang berasal dari makanan tinggi gula, tinggi lemak, makanan cepat saji,
makanan ringan, dan minuman manis (jus, minuman ringan, susu aneka rasa).
Gaya hidup sedenter (tidak banyak melakukan aktivitas fisik), seperti
menghabiskan lebih banyak waktu menonton televisi, dan duduk di depan
komputer.

4) Penggunaan Obat - obatan


Penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan berat badan,
seperti golongan antikonvulsan (asam valproat, karbamazepin), antidepresan
(amitriptyline, imipramine, phenelzine), antihipertensi (clonidine, guanaberz,
metildopa, prazosin, terazosin, propanolol, nisoldipine), antipsikotik
(chlorpromazine, thiotixene, haloperidol, olanzapine, clozapine, risperidon,
quetiapine), kortikosteroid, psikotropik (litium), dan sulfonilurea (glipizide,
glyburide) .

3.4 Patofisiologi

Beberapa penelitian membuktikan bahwa terjadinya obesitas sebagian


besar berkaitan dengan faktor genetik. Gen fat mass and obesity-associated
(FTO) dikaitkan dengan adipositas (penumpukan lemak). Gen ini memiliki
banyak varian yang meningkatkan risiko obesitas (Panuganti et al., 2022).
Terdapat hormon perifer pada sistem saraf pusat yang berperan dalam kontrol
nafsu makan, intake makanan, food reward, dan adiksi makanan dalam jumlah
yang banyak. Makanan dan obat dapat mengaktifkan sistem reward mesolimbik
dopamin yang penting dalam regulasi adiksi pada manusia. Leptin, hormon
anoreksigenik, meregulasi metabolisme lemak dengan menstimulasi lipolisis dan
inhibisi lipogenesis. Leptin memberi sinyal rasa kenyang pada hipotalamus
menyebabkan pengurangan intake makanan dan menyimpan lemak. Proses
tersebut juga terjadi modulasi pengeluaran energi dan metabolisme karbohidrat
untuk mencegah pertambahan berat badan. Defek pada leptin atau reseptor leptin
berakibat pada peningkatan kadar leptin pada sirkulasi (Zhang et al., 2014).
Hormon insulin memiliki peranan dalam homeostasis glukosa. Hormon insulin
juga dapat menembus sawar darah otak dan berikatan dengan reseptor di nukleus
arkuata hipotalamus untuk mengurangi asupan makanan. Resistensi insulin
sentral dan resistensi leptin sentral berpengaruh pada perkembangan obesitas.
Selain itu substansi yang berasal dari saluran pencernaan seperti kolesistokinin
(CCK), glucagon-like peptide-l (GLP-1), peptide YY3-36 (PYY3-36), dan
ghrelin juga terlibat dalam memberikan informasi status energi melalui hormonal
gut-brain axis primarily targeting the hypothalamus (HPAL) dan batang otak.
Hal tersebut juga dapat berinteraksi dengan jalur mesolimbik dopamin otak
tengah untuk mempengaruhi intake makanan baik secara langsung atau tidak
langsung (Zhang et al., 2014).
3.5 Penilaian status gizi

Obesitas atau peningkatan adipositas didefinisikan menggunakan indeks


massa tubuh (IMT), yang merupakan indikator yang sangat baik untuk
pengukuran lebih langsung dari lemak tubuh. IMT = berat badan dalam kg/(tinggi
dalam meter). Orang dewasa dengan IMT ≥30 memenuhi kriteria untuk obesitas,
dan orang-orang dengan IMT 25-30 jatuh di kisaran kelebihan berat badan.
Menurut WHO, kriteria IMT untuk Asia IMT = 23-24,9 termasuk dalam kriteria
kelebihan berat badan, IMT = 25-29,9 termasuk dalam kriteria obesitas tipe 1 dan
IMT ≥ 30 termasuk kriteria dalam kriteria obesitas tipe 2 (Zhang et al., 2014).
Obesitas dan kelebihan berat badan pada anak umur 5-19 tahun dapat
menggunakan indeks masa Tubuh menurut umur (BB/U). Anak dikatakann
obesitas badan bila IMT/U > +2 SD anak dikatakan kelebihan berat bila IMT/U >
+1SD, anak dikatakan kurus IMT/U < -2 SD, dan anak dikatakan sangat kurus
bila IMT/U < -3 SD (Kinlen et al., 2018).

3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan obesitas meliputi modifikasi gaya hidup dan terapi


medikamentosa.

1) Modifikasi Gaya Hidup


Penatalaksanaan modifikasi gaya hidup berupa konseling, perubahan
diet, aktivitas fisik, dan terapi perilaku diindikasikan pada IMT ≥ 25 kg/m2.

A. Konseling
Konseling pada obesitas dianjurkan ≥14 kali sesi baik secara
individual maupun grup dalam jangka waktu 6 bulan, dilanjutkan setiap
bulan atau bisa lebih sering dalam ≥ 1 tahun masa pemeliharaan (Longo
et al., 2012).

B. Diet
Pengaturan diet pada anak obesitas dilakukan dengan diet
seimbang (komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 30%, dan protein
cukup untuk tumbuh kembang normal 15-20%). Penjadwalan makan juga
penting dilakukan dengan makanan besar 3x/hari dan camilan 2x/hari
yang terjadwal dengan camilan diutamakan dalam bentuk buah segar
(Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI,
2014) .
Feeding rules perlu diterapkan dalam pengaturan diet anak, seperti
berikut:
1) Di antara jadwal makan utama dan camilan hanya boleh diberikan air
putih,
2) Lama makan 30 menit/kali
3) Ciptakan lingkungan netral dengan cara tidak memaksa anak
4) Berikan bentuk dan jenis makanan harus dapat diterima anak
5) Tidak dipaksa mengonsumsi makanan yang tidak disukai
6) Pengurangan kalori sekitar 200-500 kalori per hari dengan target
penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan
ditargetkan sampai mencapai kira-kira 20% di atas berat badan ideal atau
cukup dipertahankan agar tidak bertambah karena pertumbuhan linier
masih berlangsung.

C. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik anak dapat disesuaikan dengan tingkat
perkembangan motorik, kemampuan fisik, dan umur. Pada anak berusia
usia sekolah dapat memulai aktivitas fisik dengan keterampilan otot
seperti bersepeda, berenang, menari, karate, senam, sepak bola, dan
basket. Aktivitas sehari-hari juga dapat dioptimalkan seperti berjalan kaki
atau bersepeda ke sekolah atau tempat kerja, menempati kamar tingkat
agar naik dan turun tangga, mengurangi lama menonton televisi atau
bermain games di komputer, dan menganjurkan anak bermain di luar
rumah (Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik
IDAI, 2014).

D. Terapi Perilaku
Terapi perilaku dilakukan untuk mengurangi hambatan dalam
mengurangi berat badan, seperti kebiasaan makan yang berlebihan,
pilihan makanan yang berlemak, atau kebiasaan makan berlebihan saat
malam hari, serta kebiasaan aktivitas sedenter yang menetap. Strategi
yang dapat digunakan untuk terapi perilaku antara lain monitoring
mandiri terhadap kebiasaan dan kemajuan, kontrol stimulus, menetapkan
tujuan, mengurangi kecepatan makan, memastikan dukungan sosial,
pemecahan masalah, ketegasan, restrukturisasi kognitif, penguatan
perubahan, pencegahan relaps, dan strategi mengatasi berat badan yang
kembali meningkat (Screening & Audience, 2021).

2) Medikamentosa
Medikamentosa dapat ditambahkan pada pasien obesitas dengan
IMT ≥30 kg/m2 atau IMT ≥27 kg/m2 yang disertai dengan penyakit
yang berhubungan dengan obesitas. Obat yang telah disetujui Food
and Drug Administration (FDA) untuk kasus obesitas anak usia diatas
12 tahun antara lain orlistat dan sibutramine.

a. Orlistat
Orlistat biasanya menjadi pilihan pertama karena mempunyai efek
sistemik yang lebih sedikit. Obat ini merupakan inhibitor lipase intestinal,
yang mengakibatkan malabsorpsi lemak yang diinduksi obat, sehingga
mampu menurunkan berat badan hingga 9-10% pada 12 bulan disertai
modifikasi gaya hidup (Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan
Penyakit Metabolik IDAI, 2014) .

b. Sibutramin
Sibutramin bekerja dengan cara menimbulkan rasa kenyang dan
meningkatkan pengeluaran energi dengan menghambat reuptake noraderenalin
dan serotonin. Akan tetapi penggunaan obat-obatan sebagai penatalaksanaan
obesitas anak tidak terlalu disarankan karena beberapa penelitian
menunjukkan pemberian obat tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan
berat badan. Efek samping jangka panjang dalam penggunaan obat tersebut
pada kasus obesitas anak juga masih belum banyak (Unit Kerja Koordinasi
(UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, 2014) .
DAFTAR PUSTAKA

Agha, M., & Agha, R. (2017). The rising prevalence of obesity: part A: impact on public
health. International Journal of Surgery. Oncology, 2(7), e17.
https://doi.org/10.1097/IJ9.0000000000000017
Camilleri, M., Sellin, J. H., & Barrett, K. E. (2017). Pathophysiology, evaluation, and
management of chronic watery diarrhea. Gastroenterology, 152(3), 515–532.
Dadiyanto, W. D. (2011). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro.
de Onis, M., Blössner, M., & Borghi, E. (2010). Global prevalence and trends of
overweight and obesity among preschool children. The American Journal of
Clinical Nutrition, 92(5), 1257–1264. https://doi.org/10.3945/ajcn.2010.29786
Drancourt, M. (2017). Acute Diarrhea. In Infectious Diseases (pp. 335-340.e2).
https://doi.org/10.1016/B978-0-7020-6285-8.00038-1
Kemenkes RI. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan
RI, 53(9), 1689–1699.
Kinlen, D., Cody, D., & O’Shea, D. (2018). Complications of obesity. QJM: An
International Journal of Medicine, 111(7), 437–443.
https://doi.org/10.1093/qjmed/hcx152
Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. (2018). Febrile seizures: an overview. Drugs in
Context, 7, 212536. https://doi.org/10.7573/dic.212536
Longo, D., Fauci, A., Kasper, D., Hauser, S., Jameson, J., & Loscalzo, J. (2012).
Harrisons Manual of Medicine, 18th Edition. McGraw-Hill Professional.
https://doi.org/doi:10.1036/9780071808309
McKinney, L., Skolnik, N., & Chrusch, A. (2013). Diagnosis and Management of
Obesity. American Academy of Family Physician, 1–26. www.aafp.org
Mosili, P., Maikoo, S., Mabandla, V., & Qulu, L. (2020). The Pathogenesis of Fever-
Induced Febrile Seizures and Its Current State.
https://doi.org/10.1177/2633105520956973
Ngastiyah. (2014). Perawatan Anak Sakit. Buku Kedokteran EGC.
Panuganti, K. K., Nguyen, M., & Kshirsagar, R. K. (2022). Obesity. Antenatal Disorders
for the MRCOG and Beyond, 135–138.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459357/
Pb, A., Skp, I. D. I., & Arief, R. F. (2015). Penatalaksanaan Kejang Demam. 42(9), 658–
661.
Pusponegoro, H., Widodo, D. P., & Ismael, S. (Ikatan D. A. I. (2019). Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 1–23.
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-
Penatalaksanaan-Kejang-Demam.pdf
Rudolph, J. A., & Rufo, P. A. (2008). Diarrhea. In Encyclopedia of Infant and Early
Childhood Development (pp. 394–401). https://doi.org/10.1016/B978-012370877-
9.00342-X
Screening, C., & Audience, I. (2021). Clinical Guideline for the Management of Children
and Young People who are Overweight and Obese. 1–15.
Shinnar, S., & Glauser, T. A. (2002). Febrile seizures. Journal of Child Neurology,
17(1_suppl), S44–S52.
Sihaloho, U. K. (2015). Kejang Demam Kompleks. Jurnal Medula, 4(1).
Spruijt-Metz, D. (2011). Etiology, Treatment and Prevention of Obesity in Childhood and
Adolescence: A Decade in Review. Journal of Research on Adolescence : The
Official Journal of the Society for Research on Adolescence, 21(1), 129–152.
https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2010.00719.x
Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI. (2014). Diagnosis,
Tata Laksana dan Pencegahan Obesitas pada Anak dan Remaja. Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 7.
Wenzl, H. H. (2012). Diarrhea in chronic inflammatory bowel diseases. Gastroenterology
Clinics of North America, 41(3), 651–675. https://doi.org/10.1016/j.gtc.2012.06.006
Whelan, H., Whelan, H., & Harmelink, M. (2017). Complex febrile seizures — A
systematic review Disease-a-Month Complex febrile seizures — A systematic
review. Disease-a-Month, January, 1–19.
https://doi.org/10.1016/j.disamonth.2016.12.001
Xixis, K. L., Samanta, D., & Keenaghan, M. (2021). Febrile seizure. In StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing.
Zhang, Y., Liu, J., Yao, J., Ji, G., Qian, L., Wang, J., Zhang, G., Tian, J., Nie, Y., Zhang,
Y. E., Gold, M. S., & Liu, Y. (2014). Obesity: pathophysiology and intervention.
Nutrients, 6(11), 5153–5183. https://doi.org/10.3390/nu6115153

Anda mungkin juga menyukai