Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

TONSIL HIPERTROFI

Disusun sebagai salah satu syarat lulus stase

Stase THT di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Maria Chrisma Pramana, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :
Amalia Mufid Fadhila
20234010023

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
2024

1
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsil palatina merupakan bagian dari cincin limfatik Waldeyer, yang


bertanggung jawab sebagai garis pertahanan pertama terhadap patogen karena
terletak di pintu masuk saluran udara dan pencernaan. Cincin limfatik ini juga
terdiri dari faring, lidah, dan tonsil torus tubarius, serta jaringan limfatik yang
tersebar di seluruh dinding orofaring posterior, dengan fungsi mengumpulkan
informasi antigenik (VCC, 2003). Jaringan limfatik biasanya tidak terlihat pada
awal masa kanak-kanak, tetapi secara bertahap berkembang dengan hipertrofi dan
hiperplasia dan mencapai ukuran terbesarnya antara usia 2 dan 5 tahun namun,
enyebabnya tidak diketahui. Dimulai pada masa pubertas, pada dewasa hanya
sedikit jaringan limfatik yang tersisa (Ml, 1999).

Peran lengkap cincin dalam fisiologi dan imunologi manusia serta efeknya
pada sistem kekebalan lokal dan sistemik belum sepenuhnya dipahami.
Tonsilektomi adalah salah satu operasi paling umum dalam praktik THT, terutama
pada anak-anak, karena aktivitas intens dan jumlah besar jaringan limfatik pada
periode ini. Meskipun kemajuan telah dicapai di berbagai bidang kedokteran,
infeksi saluran pernapasan atas seperti otitis media akut, sinusitis akut, sakit
tenggorokan, dan hipertrofi tonsil tetap merupakan penyakit yang sangat umum,
dan pengobatannya menyumbang sebagian besar biaya perawatan kesehatan
(Richtsmeier WJ, 1987).

Pada banyak anak, hipertrofi adenotonsilar dikaitkan dengan gangguan


pernapasan saat tidur, mulai dari penyumbatan menyebabkan mendengkur, hingga
sindrom apnea hipopnea obstruktif tidur (OSAHS). Dalam praktik klinis, kami
telah mencatat bahwa diagnosis histopatologis dalam sebagian besar tonsilektomi
adalah "keadaan hiperplastik reaktif jaringan limfoid" atau "hiperplasia limfatik
nonspesifik," tanpa memandang indikasi klinis dan bedah pasien terkait dengan
hipertrofi atau tonsilitis berulang (N, 2011).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan fisiologi tonsil


Jaringan limfoid yang terdapat di sekitar pintu masuk sistem respirasi dan
pencernaan membentuk sebuah cincin yang dinamakan cincin waldeyer. Bagian
lateral cincin dibentuk oleh tonsil palatina dan tonsil tubaria. Bagian atasnya
dibentuk oleh tonsila pharyngeus yang terdapat di atap nasopharynx dan bagian
bawahnya dibentuk oleh tonsila lingualis yang terdapat pada sepertiga posterior
lidah (Snell, 2012).

Gambar 1. Oropharynx dilihat dari mulut yang terbuka (Snell, 2012)


Tonsil palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid yang masing-masing
terletak di dalam cekungan di dinding lateral oropharynx di antara arcus
palatoglossus dan palatopharyngeus. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan
celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah
tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan tonsil yang berbintik
disebabkan oleh banyak muara kelenjar yang terbuka ke kripte tonsilaris. Setiap
tonsil diliputi oleh epitel skuamosa yang juga meliputi kripte. Di dalam kripte
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas dan sisa makanan.

3
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari A. Palatina minor, A.
Palatina ascendens, cabang tonsil A. Maksila eksternaa, A. Faring ascendens dan
A. lingualis posterior (Snell, 2012). Tonsil palatina mencapai ukuran maksimum
pada masa kanak-kanak dan ukurannya menjadi sangat berkurang seiring
bertambahnya usia. Tonsil ini berfungsi sebagai proteksi imunologis terhadap
patogen yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem pencernaan dan pernapasan
(Rusmarjono, 2014)

II. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Penyakit ini disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tonsil
menjadi bengkak, merah, melunak dan memiliki bintik-bintik putih pada
permukaannya (Sundaryati, 2017).
Tonsilitis diklasifikasikan menjadi: (Dhingra, 2010)
1. Tonsillitis akut
Berdasarkan penyebabnya, tonsillitis akut dibagi menjadi dua kelompok yaitu
tonsilitis viral dan tonsilitis bakterial.
2. Tonsillitis membranosa
a. Tonsillitis difteri
b. Tonsillitis septik (Septic sore throat)
c. Angina Plaut Vincent
d. Penyakit kelainan darah
e. Proses spesifik luas dan tuberculosis
f. Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis
g. Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina
3. Tonsilitis kronik.
Secara umum, penyakit ini diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsil
palatina yang menetap (Sundariyati, 2017).

Ada tiga jenis tonsillitis kronik, yaitu: (Dhingra, 2010)

4
a. Tonsilitis folikular kronik
Pada tonsilitis folikular kronik, kripte terisi oleh material perkejuan yang
tampak sebagai bintik kekuningan.
b. Tonsilitis parenkimatous kronik
Pada tonsilits parenkimatous kronik terdapat hiperplasia kelenjar limfoid.
Tonsil berukuran besar dan dapat mengganggu bicara, menelan dan
pernapasan.
c. Tonsilitis fibrosa kronik
Pada tonsilitis fibrosa kronik, tonsil yang terinfeksi berukuran kecil dan
didapatkan riwayat nyeri tenggorok berulang.

III.Epidemiologi
Di Indonesia, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) masih merupakan
penyakit yang sering ditemukan. Tonsillitis merupakan salah satu yang sering
terjadi. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2018, tercatat prevalensi ISPA
berdasarkan diagnosis dan gejala sebesar 9.3% dari total penduduk dengan
prevalensi tertinggi (15%) di daerah NTT disusul Papua, Banten, Bengkulu dan
NTB. Berdasarkan sumber yang sama, didapatkan prevalensi ISPA di Provinsi
Sulawesi Selatan berkisar 8-9% (RISKESDAS, 2018).
Tonsilitis dapat terjadi pada semua umur namun paling sering terjadi pada
anak-anak. Meskipun demikian, penyakit ini jarang ditemukan pada anak < 2
tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada
anak usia 5 – 15 tahun sementara tonsilitis viral lebih sering terjadi pada usia yang
lebih muda. Pada dewasa muda, penyakit ini biasanya ditemukan pada rentang
usia 15 – 25 tahun (K Shah, 2018).

IV. Etiologi
Tonsilitis kronik dapat terjadi sebagai komplikasi dari tonsilitis akut.
Selain itu, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh infeksi subklinis tonsil tanpa
serangan akut (Dhingra, 2010). Faktor-faktor predisposisi penyakit ini adalah
sebagai berikut: (Rusmarjono, 2014)
a. Rangsangan menahun dari rokok,

5
b. Beberapa jenis makanan,
c. Higienitas mulut yang buruk,
d. Pengaruh cuaca,
e. Kelelahan fisik
f. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.
Kuman penyebab tonsillitis kronik sama dengan tonsillitis akut yaitu virus
Epstein Barr, Hemofilus influenza, Streptococcus β group A yang dikenal sebagai
Pneumococcus, Streptococcus viridian dan Streptococcus pyogens (Rusmarjono,
2014).

V. Patofisiologi
Tonsilitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana
kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Proses radang berulang menyebabkan epitel
mukosa dan limfoid terkikis sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte
melebar. Kripte yang melebar memungkinkan makanan dan mukosa yang
terkelupas menumpuk di dalamnya sehingga memberikan lingkungan yang ideal
untuk pertumbuhan bakteri, terutama bakteri anaerob. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi Secara klinis, kripte
ini tampak diisi oleh detritus. Proses ini berlangsung terus menerus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak, proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar
limfa submandibula (Flint, 2016).

VI. Manifestasi klinis


Tonsilitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri maupun virus. Manifestasi
klinis yang ditemukan juga berdasarkan dari etiologi penyakit ini. Nyeri
tenggorokan merupakan gejala utama dari penyakit ini. Beberapa pasien
mengalami nyeri tenggorokan kronis karena infeksi persisten. Nyeri tenggorokan
yang parah biasanya dikaitkan dengan disfagia. Pasien tonsillitis biasanya
menggeluhkan rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di
tenggorok dan napas berbau (Yellon, 2018).

6
Eritema merupakan temuan fisik yang paling umum dan bervariasi dari
sedikit merah hingga sangat merah. Juga dapat ditemukan tonsil membesar
dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh
detritus. Dalam menilai pembesaran tonsil, perlu untuk menggunakan sistem
pengukuran standar seperti gambar berikut (Yellon, 2018).

Gambar 2. Pembesaran tonsil (Yellon, 2018).

Gambar 3. Tonsilitis yang disebabkan Streptococcus dan virus Epstein barr


(Yellon, 2018).

Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau atrofi.
Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 – T4. Cody& Thane (1993)
membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut :

7
 T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula
 T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai
½ jarak pilar anterior-uvula
 T3
jarak pilar anterior-uvula
 T4

Gambar 4. Klasifikasi Cody&


Thane

Pada tonsillitis yang disebabkan


oleh bakteri streptococcus dapat dijumpai gejala infeksi sistemik seperti demam
tinggi, nyeri kepala, odinofagia, nyeri tenggorok, lidah merah dengan pembesaran
papil, tonsil berwarna merah terang dan membesar (dengan atau tanpa detritus),
peteki palatum, pembengkakan uvula dan pembesaran kelenjar limfa cervical
anterior. Pada infeksi virus herpes simplex atau enterovirus dapat ditemukan
adanya vesikel. Demam, malaise, tonsillitis eksudatif dan splenomegali mungkin
disebabkan oleh virus Epstein-Barr (Fort, 2019).

Gambar 5. Tonsilitis kronik (Sundariyati, 2017)

8
Tonsilitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul
servikal. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsilitis kronik berupa (Sundariyati, 2017):
1. Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripte melebar di atasnya tertutup eksudat yang purulent
2. Tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripte melebar dan
diatasnya tampak eksudat yang purulent.

VII. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis kronik dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan keluhan lokal seperti nyeri
menelan, nyeri tenggorok, rasa mengganjal di tenggorok, mulut berbau, demam,
mendengkur, gangguan bernapas, hidung tersumbat dan batuk pilek berulang.
Selain itu, juga dapat ditemukan keluhan sistemik seperti rasa lemah, nafsu makan
berkurang, nyeri kepala dan nyeri sendi (PERHATI, 2015).
Pada pemeriksaan didapatkan pembesaran tonsil, permukaan kripte tonsil
melebar, detritus pada penekanan kripte, arkus anterior atau posterior hiperemis
dan pembesaran kelenjar submanibula. Adapun pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan meliputi (PERHATI, 2015) :
1. Kultur retensi dari swab tenggorok
2. Rinofaringolaringoskopi (RFL), foto polos nasofaring lateral, polisomnografi
3. Pasca operasi: pemeriksaan histopatologi jaringan tonsil dan atau adenoid bila
dicurigai keganasan
Diagnosis dapat ditegakkan jika didapatkan satu atau lebih keluhan dari
anamnesis yang berulang disertai dengan pembesaran ukuran tonsil dan atau
pemeriksaan fisik lainnya (PERHATI, 2015).

VIII. Diagnosis banding


Faringitis, faringitis merupakan peradangan pada dinding faring yang
dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan

9
lain-lain. Penularan penyakit ini melalui sekret hidung dan ludah (droplet
infection). Pada pemeriksaan, penyakit ini dapat memberikan gambaran faring dan
tonsil hiperemis dengan atau tanpa eksudat di permukaannya (Rusmarjono, 2014).
Scarlet fever, penyakit ini disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh
strain Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptococcus beta-hemolitic
group A. Penyakit menular melalui udara (droplet). Masa inkubasi penyakit ini
sekitar 2-3 hari. Ruam pucat biasanya muncul pada hari kedua, mulai dari dada
dan menyebar ke daerah abdomen dan ekstremitas. Dapat ditemukan
tonsilofaringitis eksudatif juga bintik perdarahan kecil pada palatum (Walijee,
2017).
HIV, penyakit ini dapat meyebabkan tonsillitis ulseratif, dan faringitis
dengan gejala demam. Kondisi ini terjadi setelah masa inkubasi selama 3-5
minggu dengan gejala myalgia, arthralgia, lethragia dan ruam makulopapular yang
tidak gatal pada sebagian penderita (Walijee, 2017).

IX. Tatalaksana
Terapi diberikan sesuai gejala yang ada. Dapat diberikan analgetik-
antipiretik dan atau antiinflamasi. Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut.
Termasuk berkumur dengan obat kumur hydrogen peroksida 3%, air garam (1/4
sendok teh garam dalam 1 gelas air hangat) atau obat isap dan sesekali
mengeluarkan debris dari tonsil secara manual (Physicians, 2017)
Pada tonsillitis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus
group A, selain pengobatan simptomatis juga diberikan antibiotik golongan
penisillin atau amoxicillin selama 10 hari. Infeksi organisme actynomices yang
merupakan bakteri komensal rongga mulut dan nasofaring merupakan indikasi
infeksi kronis (Fort, 2019).
Penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
riitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum sehingga
tonsilektomi mungkin perlu untuk dipertimbangkan. Tonsilektomi adalah
prosedur pengangkatan tonsil yang dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi.
Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat seluruh tonsil dan kapsulnya dengan

10
melakukan diseksi pada ruang peritonsil di antara kapsul tonsil dan otot dinding
fossa tonsil. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta adanya kecurigaan neoplasma (Flint, 2016). Berikut adalah
indikasi tonsilektomi berdasarkan The American Academy of Otolaryngology –
Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995
(Rusmarjono, 2014):
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale
4. Rhinitis dan sinusitis kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri Stroptococcus β hemoliticus
group A
7. Hipertofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusi/ otitis media supuratif.
Kontra indikasi relatif dari tindakan ini meliputi penyakit kelainan darah seperti
hemophilia, diskrasia darah dan anemia serta adanya risiko tinggi pembiusan
umum (Physicians, 2017).

X. Pencegahan
Tonsillitis kronik dapat terjadi sebagai komplikasi dari tonsillitis akut juga
karena pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat sehingga perlu untuk
memberikan edukasi kepada pasien tentang pencegahan yang dapat dilakukan.
Perlu dipahami bahwa tonsillitis dapat menular melalui kontak dengan penderita
tonsillitis sehingga menjaga higienitas seperti mencuci tangan secara rutin dapat
mencegah penularan bakteri dan virus. Selain itu, menjaga kebersihan rongga
mulut dengan sikat gigi dan kumur-kumur teratur. Pencegahan juga dapat

11
dilakukan dengan tidak berbagi alat makan dan minum serta menghindari kontak
dengan penderita (Physicians, 2017).

12
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Banyakan, Mertoyudan, Magelang
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Status pernikahan : Belum menikah

B. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA: Nyeri menelan
1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
MA datang bersama dengan orangtua nya ke poliklinik THT RSUD
Tidar dengan keluhan nyeri saat menelan yang dirasakan sejak ± 1 bulan yang
lalu, nyeri dirasakan terus menerus dan semakin berat sejak ± 2 minggu
terakhir. MA juga mengeluhkan ada rasa yang mengganjal pada tenggorokan,
rasa kering (-), dan gatal pada tenggorokan (-), batuk dan demam yang
dirasakan MA terutama ketika serangan. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan
hilang timbul sejak 1 tahun lalu. Orang tua MA juga mengeluhkan saat tidur,
MA mendengkur (ngorok).
Pasien MA mengeluhkan batuk, demam, dan mengantuk. Keluhan
bersin-bersin dan sakit kepala/ sakit didaerah wajah dan rasa adanya cairan
yang mengalir di tenggorokan disangkal. Keluhan nyeri pada telinga, telingga
terasa mendengung dan rasa penuh di telinga disangkal. Keluhan gangguan
suara/suara serak, sukar membuka mulut, sesak nafas disangkal.

13
Riwayat berobat karena keluhan yang sama ada, dan diberikan terapi
beberapa jenis obat, salah satunya antibiotik, namun keluhannya hanya hilang
sementara kemudian muncul kembali.
2. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Riwayat mengeluhkan keluhan yang sama ada sejak 1 tahun yang lalu
- Riwayat alergi obat, makanan, debu/ udara dingin disangkal.
- Riwayat dirawat di RS, operasi THT disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tensi : 110/78 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36.4˚C
Pernapasan : 20 x/menit
Berat badan : 56 kg

II. TELINGA
Kanan Kiri
Bentuk Daun Telinga Normal Normal
Deformitas (-) Deformitas (-)
Kelainan Congenital Tidak ada Tidak ada
Radang, Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan Daun Tidak ada Tidak ada
Telinga
Kelainan pre-, infra-, Tidak ada Tidak ada
retroaurikuler
Regio Mastoid Tidak ada kelaianan Tidak ada kelaianan
Liang Telinga CAE lapang, CAE lapang,

14
serumen tidak ada serumen tidak ada
Valsava Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Toyinbee Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Membran Timpani MT intak, hiperemis MT intak, hiperemis
(-), edema (-), refleks (-), edema (-), refleks
cahaya (+) jam 5 cahaya (+) jam 7

III. HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS


 Bentuk : Normal, tidak ada deformitas
 Tanda peradangan : Hiperemis (-), Panas (-), Nyeri (-),
Bengkak (-)
 Vestibulum : Hiperemis -/-, sekret -/-
 Cavum nasi : Lapang +/+, edema -/-, hiperemis -/-
 Konka inferior : Eutrofi/eutrofi
 Meatus nasi inferior : Eutrofi/eutrofi
 Konka medius : Eutrofi/eutrofi
 Meatus nasi medius : Sekret -/-
 Septum nasi : Deviasi -/-
 Pasase udara : Hambatan -/-
 Daerah sinus frontalis : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)
 Daerah sinus maksilaris : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Kanan Kiri
Sinus frontalis Bayangan kemerahan Bayangan kemerahan
(+) terang (+) terang
Sinus maksilaris Bayangan kemerahan Bayangan kemerahan
(+) terang (+) terang

RHINOSKOPI POSTERIOR

15
 Koana : polip (-)
 Septum nasi : Deviasi -/-
 Muara tuba eustachius : penonjolan (-)
 Torus tubarius : penonjolan (-)
 Konka superior dan media : Eutrofi/eutrofi
 Dinding posterior faring : adenoid (-)

IV. TENGGOROK
PHARYNX
 Dinding pharynx : merah muda, hiperemis (-), granular (-)
 Arkus pharynx : simetris, hiperemis (-), edema (-)
 Tonsil :
- T3/T3
- hiperemis -/-
- permukaan mukosa tidak rata/ granular +/+
- Kripta melebar -/-
- Detritus -/-
- Perlengketan -/-
 Uvula : letak di tengah, hiperemis (-)
 Gigi : gigi geligi lengkap,caries (-)
 Lain-lain : radang ginggiva (-),mukosa pharynx tenang,post
nasal drip (-)

LARING (Laringoskopi) --- tidak dilakukan


 Epiglotis :-
 Plika aryepiglotis : -
 Arytenoid :-
 Ventrikular band : -
 Pita suara asli :-
 Rima glotis :-

16
 Cincin trakea :-
 Sinus piriformis : -

V. LEHER
 Kelenjar limfe submandibula : tidak teraba membesar
 Kelenjar limfe servikal : tidak teraba membesar

VI. MAKSILO-FASIAL
 Parese nervus cranial : tidak ada
 Bentuk : Deformitas (-); Hematom (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium darah
- Hemoglobin : 12,6 mg/dl
- Hematokrit : 36,7 g%
- Leukosit : 7.300/uL
- Trombosit : 315.000/uL
- PT : 10 detik
- APTT : 25,9 detik

E. RESUME
Dari anamnesis didapatkan :
MA datang bersama dengan orangtua nya ke poliklinik THT RS dengan
keluhan nyeri saat menelan yang dirasakan sejak ± 1 bulan yang lalu, nyeri
dirasakan terus menerus dan semakin berat sejak ± 2 minggu terakhir. MA juga
mengeluhkan ada rasa yang mengganjal pada tenggorokan, rasa kering (-), dan
gatal pada tenggorokan (-), batuk dan demam yang dirasakan MA terutama
ketika serangan. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan hilang timbul sejak 1
tahun lalu. Orang tua MA juga mengeluhkan saat tidur, MA mendengkur
(ngorok) selain itu MA juga sering mengantuk. Keluhan-keluhan dirasakan
terutama setelah MA mengkonsumsi gorengan, dan minuman dingin dan

17
terkadang keluhan tersebut akan hilang sendiri tanpa pengobatan. Riwayat
berobat karena keluhan yang sama ada, dan diberikan terapi beberapa jenis
obat, salah satunya antibiotik, namun keluhannya hanya hilang sementara
kemudian muncul kembali.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan :


Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan:
- tonsil hipertrofi dengan ukuran T3/T3
- tonsil hiperemis -/-
- permukaan mukosa tidak rata/ granular +/+
- Kripta melebar -/-
- Detritus -/-
- Kelejar limfe tidak teraba

F. DIAGNOSIS KERJA
Hipertrofi tonsil

G. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
1. Ivfd RL 20 tpm
2. Inj Pantoprazole 40mg/ 1 jam pre op
3. Inj Dexamethasone 1 amp malam
4. Inj Omeprazole 1 amp malam
5. Inj Ceftriaxon 1 gr 2 amp sore
6. Inj Ketorolac 30 mg 3 x 1 amp
Operatif: Tonsilektomi
Obat Pulang :
1. Cefditoren pivoxil 200 mg tab 2x1 no.10
2. Dexketoprofen 25 mg tab 2x1 no.10
3. Metilprednisolon 4 mg tab 2 x 1 no.10

18
H. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan berusia 17 tahun datang ke Poli THT RSUD Tidar Kota
Magelang pada tanggal 19 Januari 2024 dengan keluhan sulit menelan sejak satu
bulan yang lalu. Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu tidur mendengkur dan
gampang tertidur. Pasien tidak memiliki Riwayat penyakit lain. Pasien juga tidak
memiliki Riwayat penyakit keluarga. Pasien tidak memiliki alergi terhadap dingin
dan debu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan perbesaran pada tonsil. Pasien
didiagnosis tonsil hipertrofi. Pasien disarankan dilakukan tindakan pembedahan
berupa tonsilektomi untuk menghilangkan pembesaran tonsil. Pasien diberikan
obat-obatan secara intravena seperti infus asering, injeksi dexametason, injeksi
ceftriaxone, injeksi ketorolac, injeksi omeprazole, serta obat-obatan oral seperti
metilprednisolone, dexketoprofen dan cefditoren.
Tatalaksana yang dilakuakan untuk menghilangkan tonsil hipertrofi berupa
tindakan pembedahan tonsilektomi. Setelah dilakukan Tindakan operasi tersebut
pasien masih mengeluhkan nyeri saat menelan karena masih dalam proses
penyembuhan.

20
BAB V
KESIMPULAN

Pasien Sdr. MA usia 17 tahun datang ke Poli THT RSUD Tidar Kota
Magelang dengan keluhan sulit menelan. Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis Tonsil
Hipertrofi. Tatalaksana pada pasien berupa dilakukan tindakan pembedahan
Tonsilektomi untuk menghilangkan pembesaran pada tonsil.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Harry Sundariyati, I. G. (2017). “Tonsilitis kronis Eksaserbasi Akut”.


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Dhingra, P. L. (2010). Diseases of Ear, Nose & Throat fourth edition. Elsevier
India. Elsevier India.

Flint, P. W. (2016). Throat disorder. Goldman, Lee., Scafer, Andrew. Goldman-


Cecil Medicine. Elsevier.

Fort, G. G. (2019). Pharyngitis/ Tonsillitis. Ferri, Fred F. Ferri’s Clinical


Advisor. Elsevier.

Galli J, S. S. (2020). Narrow Band Imaging for lingual tonsil hypertrophy. Eur
Arch Oto-Rhino-Laryngology, 277(3):819–25.

Iannella G, M. G. ( 2019). Lingual tonsil lymphatic tissue regrowth in patients


undergoing transoral robotic surgery. Laryngoscope, 129(11):2652–7.

Indonesia, P. d.-K. (2015). Panduan Praktik Klinis, Panduan Praktik Klinis


Prosedur Tindakan, Clinical Pathways di bidang THT-KL, Volume 1.

K Shah, U. (. (2018). Tonsillitis and Peritonsillar Abscess.

Marcotegui Barber I, B. A. (2019). Lingual tonsillar hypertrophy. Colomb J


Anesthesiol, 47(4):245–8.

Ml, C. (1999). What is wrong in chronic adenoiditis/tonsillitis anatomical


considerations. Int J Pediatr Otorhinolaryngol, 49 Suppl 1:S133-5.

N, Y. (2011). Moving towards a new era in the research of tonsils and mucosal
barriers. Adv Otorhinolaryngol, 72:6-19.

Physicians, T. A. (2017). Tonsillitis. Patient education.

Richtsmeier WJ, S. A. (1987). The physiology and immunology of the pharyngeal


lymphoid tissue. Otolaryngol Clin North Am, 20(2):219-28.

RISKESDAS. (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Kementrian Masyarakat. Hasil Utama Riskesdas 2018.

Rusmarjono., A. S. (2014). Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid. Efiaty A.


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Edisi ke tujuh: h 195, 199-202.

22
Sherwood, L. (2014). Fisiologi manusia dari sel ke sistem . Jakarta: ECG, 488.

Snell, R. S. (2012). Anatomi klinis berdasarkan sistem. Jakarta: EGC, h. 59, 275.

VCC, F. (2003). Imunologia do anel linfático de waldeyer In: Sociedade


Brasileira de Otorrinolaringologia. Tratado de otorrinol ringologia, p.712-
3.

Walijee, H. P. (2017). Tonsillitis. InnovAiT, 10(10),.

Yellon, R. C. (2018). Otolaryngology. Zitelli, Basil., McIntire, Sara., Nowalk,


Andrew. Zitelli and Davis’ Atlas of Pediatric Physical Diagnosis. Elsevier.
Pittsburgh.

Zeny Prasetya, G. C. ( 2018). Pengaruh Suplementasi Seng Terhadap Kejadian


Tonsilitis pada Balita. Journal of Nutrition College, Volume 7

23

Anda mungkin juga menyukai