Anda di halaman 1dari 12

TONSILEKTOMI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperaatan Periperatif

Dosen Mata Ajar:

Disusun Oleh :

3A

Dara Anggun Mustika 2720162821

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO

YOGYAKARTA

2018
BAB I
LATAR BELAKANG

Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang terletak


pada kerongkongan di belakang kedua ujung lipatan belakang mulut. Tonsil
berfungsi sebagai mencegah agar infeksi tidak menyebar keseluruh tubuh dengan
cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung dan kerongkongan,
oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan (tonsilitis). (Hembing,
2004)
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi kuman golongan streptococcus atau
virus yang dapat bersifat akut atau kronis (Rukmini, 2003). Pada umumnya
serangan tonsillitis dapat sembuh sendiri apabila daya tahan tubuh penderita baik.
Tonsil yang mengalami peradangan terus-menerus sebaiknya dilakukan
tonsilektomi (operasi pengangkatan amandel) yang harus dipenuhi terlebih dahulu
indikasinya. Tindakan tonsilektomi mempunyai risiko yaitu hilangnya sebagian
peran tubuh melawan penyakit yang dimiliki jaringan amandel (Syaifudin, 2002).
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit (Wanri A, 2007).
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada
tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak
(86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani
tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72
per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun
1996 (3.200 operasi) (Hermani B, 2004).
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) di Jakarta selama 5 tahun terakhir (1999-
2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari Rumah Sakit
Fatmawati di Jakarta dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan
kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah
operasi tonsiloadenoidektomi (Wanri A, 2007).
Dari catatan medis RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, tonsilektomi
merupakan lebih dari separuh dari seluruh tindakan pembedahan di bagian THT.
Data pada tahun 1996 dan tahun 1997 sejumlah 107 tindakan, tahun 1998 ada 102
tindakan, dan tahun 1999 sejumlah 94 tindakan. Tonsilektomi tahun 2003 tercatat
sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga bulan Agustus sebanyak 45 kasus, rentang
umur terbanyak 5-15 tahun dan indikasi tersering adalah tonsilitis kronis
(Amarudin T, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sapitri (2013) menyatakan
bahwa prevalemsi tonsilitis kronis 4,6% di tujuh provinsi di Indonesia. Sedangkan
di RS Dr. Kariadi Semarang insiden tonsilitis kronis sebesar 23,36% dan 47%
dialami oleh anak usia 6-15 tahun.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan
terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil
oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita
tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).Tonsilitis kronis timbul karena
rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut
yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat (Soepardi et al.,2007)
B. Etiologi
Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes
(GABHS), Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan virus
campak merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsilitis
akut.Bakteri menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah
penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak (American Academy of Otolaryng
ology — Head and Neck Surgery, 2011).
Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada
tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil
penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab
tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus,
Streptokokus β hemolitikus grup A, Enterobakter, Streptokokus pneumonie,
Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus
epidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah, 2005).
C. Klasifikasi
Tonsilitis Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:
1) Tonsilitis akut - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu
bakteri atau virus.Infeksi ini biasanya sembuh sendiri (Eunice, 2014).
2) Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh
Actinomyces bakteri - organisme anaerob yang bertanggungjawab
untuk keadaan suppuratif pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa bertahan
antara tiga minggu dan tiga bulan (Eunice, 2014).
3) Tonsilitis kronis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi
bakteri yang dapat bertahan jika tidak diobati (Eunice, 2014).
D. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor risiko:
1) Eksposi kepada orang yang terinfeksi;
2) Eksposi kepada asap rokok; Paparan asap beracun, asap industri dan
polusi udara lainnya;
3) Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
4) Kanak-kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas;
5) Stres;
6) Traveler
7) Mulut yang tidak higiene
8) Kondisi ko-morbid yang mempengaruh sistem imun seperti
hayfever,alergi,kemoterapi,infeksi Epstein-barr virus (EBV), infeksi
herpes simplexvirus (HSV), infeksi sitomegalovirus (CMV) dan
infeksi human immune virus (HIV) atau acquired immune deficiency
syndrome (AIDS) (Sasaki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy, 2008).
9) Jenis kelamin. Lebih sering terjadi pada wanita (Abouzied, 2010)

E. Patofisiologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses
berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula (Soepardi,
2007).
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas.
Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini,
nyeri menelan, disfagia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi uvula
dapat menyebabkan kesulitan bernafas.Apabila kedua tonsil bertemu pada
garis tengah yang disebut kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pengaliran
udara dan makanan. Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan nyeri
saat menelan, penderita akan mengalami malnutrisi yang ditandai dengan
gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah mengantuk (Stephanie, 2011).
Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping belakang
hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke tenggorokan,
sehingga akan bernafas melalui mulut.Bila bernafas terus lewat mulut maka
mukosa membrane dari orofaring menjadi kering dan teriritasi, adenoid yang
mendekati tuba eustachus dapat meyumbat saluran mengakibatkan
berkembangnya otitis media (Reeves, Charlene, 2001 ).
PATHWAY

F. Gejala Klinis
Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala
klinis:
1) Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok,
sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan.
2) Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri
kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.
3) Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis
folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis
parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik
kronis),plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan
kelenjar limfe regional.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar
dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa
kriptus terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorokan, dirasakan kering di tenggorokan dan nafas berbau.
Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis: Pada
pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis
Kronis yang mungkin tampak, yakni:
1) Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan
perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil
ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
2) Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-
kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang
hiperemis, kripte yang melebar dan ditutup eksudat yang
purulen.
Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala
klinis:
1) Sakit kepala
2) Malaise
3) Demam
4) Sakit saat menelan (Disfagia)
5) Halitosis
6) Kurangnya nafsu makan
7) Mual dan muntah
8) Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah
bening servikal serta sakit telinga disebabkan persarafan
yang sama kepada kedua telinga serta tenggorokan
G. Pemeriksaan penunjang
Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi
streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes
ini lebih mahal daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang
lebih cepat. RADT memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95%
dibandingkan dengan kultur darah. Hasil tes false positive jarang berlaku.
Identifikasi yang cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko
penyebaran tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi
yang tepat dapat diperkenalkan (Bisno et al., 2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab
tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi
sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora
normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan
9,59% di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian
Kurien, et al.,(2000)],yang menemukan patogen pada 55% dari swab
tenggorokan dan 72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).
H. Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene
mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi
konservatif tidak memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan
menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10
hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau
sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin
atau klindamisin (Soepardi et al., 2007).
Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien tonsilitis
kronis dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf, 2014).
Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana dengan memasang nasal airway
device, diberi kortikosteroid secara intravena dan diadministrasi humidified
oxygen. Pasien harus diobservasi sehingga terbebas dari obstruksi jalan
nafas (Udayan et al., 2014).
2) Operatif
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007).
Pada penelitian Vivit Sapitri mengenai karakteristik penderita tonsilitis
kronis yang diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi dari
bulan Mei-Juli 2013 didapatkan data bahawa dari 30 orang, ditemukan
penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi terbanyak pada
rentang usia antara 5-14 tahun yaitu 15 orang (50%), jenis kelamin
terbanyak adalah perempuan yaitu 17 orang (56,7%), semua keluhan
utamanya adalah nyeri pada tenggorok/ sakit menelan sebanyak 30 orang
(100%), indikasi tonsilektomi terbanyak adalah indikasi relatif sebanyak 22
orang (73,3%) yaitu terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun
dengan terapi antibiotik adekuat (Sapitri, 2013). Tonsilektomi juga
merupakan tatalaksana yang diaplikasikan untuk Sleep-Disordered
Breathing (SDB) serta untuk tonsilitis rekuren yang lebih sering terjadi pada
anak –anak (Shishegar dan Ashraf, 2014).
3) Indikasi tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada
saat ini.Dulu diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.Saat
ini indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil.
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck
Surgery (AAO-HNS) tahun 2011 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:
a. Indikasi absolut
- Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas
atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi
kardiopulmonal.
- Abses peritonsilar yang tidak respon terhadap pengobatan
medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
- Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
- Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan
patologi.
b. Indikasi relatif
- Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun
tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat.
- Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon
terhadap pengobatan medik.
- Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus
yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman
resisten terhadap β-laktamase.
c. Kontra-indikasi
- Riwayat penyakit perdaraha
- Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang
tidak terkontrol
- Anemia
- Infeksi akut
4) Teknik Operasi Tonsilektomi (Dingar, 2008)
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai
sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki
kelebihan dan kekurangan.Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi
per sekundam.Jenis pemilihan iaitu jenis teknik operasi difokuskan pada
morbiditas seperti nyeri, perdarahan pre operatif dan pasca operatif serta
durasi operasi.Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan
disamping teknik tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi
yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
a. Guillotine Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil
secara cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine
digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil.
Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau
timbul perdarahan yang hebat. 2. Teknik Diseksi Kebanyakan tonsilektomi
saat ini dilakukan dengan metode diseksi.Metode pengangkatan tonsil
dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.Tonsil
digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan
sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut. 3. Teknik
elektrokauter Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan
tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik
transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek
pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang
pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau
jantung. 15 4. Radio frekuensi Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda
disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektroda
cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui
pembentukan panas.Selama periode 4- 6 minggu, daerah jaringan yang
rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. 5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. 6. Teknik
Coblation Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang
unuk karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang
terionisasi untuk mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini
adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah
sodium sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma
dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebutakan
mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan
partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan
tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan
disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat
meminimalkan kerusakan jaringan sekitar. 7. Intracapsular partial
tonsillectomy Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial
yang dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi.
Mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan
tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan
dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai
kapsulnya. 8. Laser (CO2-KTP) Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan
CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan
mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan
rekuren.
BAB III
KASUS
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

BAB V
PENUTUP
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56151/Chapter
%20III.pdf?sequence=4&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai