Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

RINOSINUSITIS KRONIS DAN


RINITIS ALERGI DAN SUSPEK
LARINGOPHARYNGEAL REFLUX

Disusun Oleh:
Oktaviana Linda Fermina (112017156)

Pembimbing: dr. Daneswarry, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan Jakarta Pusat
Periode 09 Juli 2018 - 11 Agustus 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

NAMA : Oktaviana Linda Fermina

NIM : 112017156

PERIODE : 09 Juli 2018 - 11 Agustus 2018

JUDUL : Rinosinusitis kronis dan Rinitis alergi dan suspek laringopharyngeal reflux

TANGGAL PRESENTASI : 28 Juli 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Danneswarry, Sp. THT-KL

Jakarta, 28 Juli 2018

Yang Mengesahkan,

dr. Danneswarry, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul ”Rinosinusitis Kronis dan Rinitis Alergi dan Suspek Laringopharingeal
Reflux”.

Laporan kasus yang berjudul “Rinosinusitis Kronis dan Rinitis Alergi dan Suspek
Laringopharingeal Reflux” ini bertujuan untuk mengetahui dengan lebih mendalam mengenai infeksi
pada hidung dan sinus paranasal, tenggorokan serta penatalaksanaanya.

Saya menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan dan masih banyak
yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
menambah ilmu dan pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup Ilmu Telinga, Hidung dan
Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan laporan kasus ini.

Saya mengucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di Departemen THT RSUD
Tarakan, atas ilmu dan bimbingannya selama ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi para
pembaca.

3
BAB I
PENDAHULUAN
Rinosinusitis cukup sering dijumpai pada praktek sehari-hari, baik dokter umum maupun dokter
spesialis THT. Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala
berupa sumbat pada hidung, nyeri fasial dan pilek kental purulen. Umumnya disertai atau dipicu oleh
rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinus paranasal meliputi
sinus maksilaris yang terletak di pipi, sinus etmoidalis yang terletak di antara mata dan hidung, sinus
frontalis yang terletak di bawah dahi, dan sinus sfenoidalis yang terletak di bawah hipofisis.1
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh Ig E. Jadi, rhinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan
hidung yang disebabkan proses inflamasi yang diperantai oleh immunoglobulin E (IgE) akibat paparan
alergen pada mukosa hidung.1
Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung ke dalam esofagus.
Penyakit refluks gastroesofagus disebut sebagai refluks gastroesofagus patologik atau refluks gastro
esofagus simtomatik, merupakan kondisi kronik dan berulang, sehingga menimbulkan perubahan
patologik pada traktus aerodigestif atas dan organ lain diluar esofagus. Manifestasi klinis PRGE di luar
esofagus didefinisikan sebagai Refluks Ekstra Esofagus (REE). Istilah Refluks Laringo Faring (RLF)
adalah REE yang menimbulkan penyakit-penyakit oral, faring, laring, dan paru. Pasien REE akibat
PRGE sering datang ke ahli THT dengan keluhan tenggorok rasa nyeri dan kering, rasa panas di pipi,
sensasi ada yang menyumbat (globus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik,
asma. Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang datang berobat ke dokter THT
diakibatkan oleh RLF.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum
nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung
terhubung dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung yang dibentuk ossa nasalia. Kulit
pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan memiliki kelenjar sebasea, yang dapat
mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.2

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar.2

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari: 2

1. tulang hidung (os nasalis),

2. prosesus frontalis os maksila dan

3. prosesus nasalis os frontal

5
Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung.2

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu: 2

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

3. beberapa pasang kartilago alar minor dan

4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum
nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 2

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista
nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela.2

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang
disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.2

6
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior,
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter. 2

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam.2

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat
muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.2

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk
oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 2

Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding
lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan
drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan
pada sinus-sinus yang terkait.2

7
Perdarahan

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di
antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. 2

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior
dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.2

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 2

Gambar 4. Vaskularisasi hidung

Persarafan

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior,
yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 2

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan


vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari

8
n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. 2

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1

Gambar 5. Persarafan hidung

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
(pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.2

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan
silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian
mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda
asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 2

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan
keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak
mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 2

9
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada
bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini
memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari
anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang
dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom
dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan antigen banteri.2

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan
sinus paranasal adalah:

Fungsi Respirasi

Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik local. Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.2

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lender,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. 2

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi pengatur suhu ini
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh: 2

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lender

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.

Fungsi Penghidu

Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu.
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai
daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1

10
Gambar 6. Fungsi Penghidu

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang
berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat.
Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam jawa. 2

Fungsi Fonetik

Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia).

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung
terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.2

Fungsi Statik dan Mekanik

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti.
Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.2

2.2 RINITIS ALERGI


Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa

11
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.1 Jadi, rhinitis alergi merupakan suatu kumpulan
gejala kelainan hidung yang disebabkan proses inflamasi yang diperantai oleh immunoglobulin E (IgE)
akibat paparan alergen pada mukosa hidung.

Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kom-plek peptida MHC kelas II (Major Histo-
compatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji
akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan ThO untuk berproliferasi
menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL
4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi
aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yangtersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecah-nya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama his-tamin.
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)
dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1 Histamin akan merangsang reseptor
H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi

12
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). 1 Pada
RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh
faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambaran Histopatologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, Mukosa
kembali normal. Akan tetapi erangan dapat terjadi Terus menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga
lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadiproliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau debu rumah
(D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,
anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui sun-tikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan
lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.

13
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan
rinitis alergi.1

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari :

1. Respons primer:

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons sekunder.

2. Respons sekunder:

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.

3. Respons tertier:

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Klasifikasi Rinitis Alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rhinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau
rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata
merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-
menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling
sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor).
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena
lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.1

14
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlang-
sungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Pemeriksaan Penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri. Skin Endpoint Titration/SET), SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain aiergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak
dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi ("Challenge Test"). Alergen ingestan secara tuntas
lenyap :ari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu : ada "Challenge Test", makanan yang dicurigai ;
berikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

15
eliminasi, jenis makanan setiap kali: hilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

Penatalaksanaan

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.

1. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat farmakologik yang paling
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif).
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2
bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik, antiadrenergik dan efek pada
SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif
dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol
dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti
jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah diterik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, deslora tadin dan levosetirisin.1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.1
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan
triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi

16
aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung
tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion
kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan
monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.1
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.1
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotriene (zafirlukast /
montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.1
1. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor asetat.
2. Imunologi
Cara pengobatan ini dilakukan pada, inhalan dengan gejala yang berat: sudah
berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blc: ant1ibody dan penurunan IgE.
Ada 2 imunoterapi yang umum dilakukan intradermal dan sublingual.1

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residiual utama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal

17
2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Anatomi

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berada di dalam tulang wajah dan di sekitar
rongga hidung dan mata. Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga hidung. Jumlah, bentuk, ukuran dan simetri dapat bervariasi antara individu. Sinus-sinus ini
diberi nama yang sesuai posisi anatominya pada tengkorak manusia seperti sinus maksilaris, sinus
sfenoidalis, sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Sinus etmoidalis ini terdiri daripada sel-sel etmoidalis
anterior dan posterior yang saling berhubungan dan masing-masing kelompok bermuara ke dalam
kavum nasi. Seluruh sinus ini dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi dan
mampu menghasilkan mukus dan bersilia; dan sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi
melalui muara-muaranya. Sinus maksilaris dan sinus etmoid telah terbentuk pada saat lahir, sedangkan
sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior superior
rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.3

Gambar 7. Sinus Paranasal


Fungsi sinus tidak jelas. Diperkirakan bahwa mereka dapat berkontribusi pada pelembab udara
yang terinspirasi, resonansi suara, regulasi tekanan udara intranasal dan juga mengurangi berat
tengkorak. Permukaan bagian dalam sinus dilapisi oleh epitelium respiratorius (epitel berlapis kolumnar
bersilia).3,5

18
Gambar 8. Muara-muara Sinus Paranasal di Kavum Nasi

Sinus frontalis adalah rongga yang terletak di dalam tulang dahi di atas fossa orbitalis superior.
Sinus frontalis bervariasi dalam ukuran, tapi selalu berbentuk segitiga. Mukus yang terbentuk mengalir
ke rongga hidung melalui saluran frontonasal, yang terbuka pada hiatus semilunaris di dinding lateral
kavum nasi.3

Sinus etmoidalis terdiri dari 2 kelompok sinus-sinus kecil didalam tulang etmoid yaitu sinus
ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus etmoidalis anterior bermuara di meatus nasi medius dan sinus
etmoidalis posterior bermuara di meatus nasi superior. Sinus etmoidalis terletak di bagian bawah sudut
dalam tulang setiap mata dan terdiri dari 6-12 sinus-sinus kecil.3

Sinus sfenoidalis juga terletak relatif superior, pada setinggi tulang sfenoethmodialis. Sinus ini
ditemukan lebih posterior dari sinus etmoidalis, dan bagian superior dan lateralnya berhubungan ke
rongga kranial. Sinus sfenoidalis bermuara di atap rongga hidung melalui meatus nasi superior. Sinus
ini sangat penting secara klinis karena kelenjar hipofisis dapat diakses melalui atap hidung melalui
tulang sfenoidalis. Untuk ketiga sinus frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis dipersarafi oleh N.
trigeminus cabang oftalmikus.3,4

Sinus sinus maksilaris terletak di dalam tulang pipi kiri dan kanan. Ini merupakan sinus paranasal
terbesar, berada di bawah mata, di atas tulang rahang atas dan bermuara di hiatus semilunaris atau
meatus nasi medius. Ini adalah jalur potensial untuk penyebaran infeksi karena cairan dari sinus
frontalis dapat memasuki sinus maksilaris melalui hiatus semilunaris. Sinus ini diinervasi oleh N.
trigeminus cabang maksilaris. Oleh karena gigi rahang atas juga dipersarafi oleh saraf ini, dapat timbul
sakit gigi pada penderita sinus maksilaris.3,4

Karena sinus paranasal berlanjut dengan rongga hidung, infeksi saluran pernapasan bagian atas
dapat menyebar ke sinus. Infeksi sinus menyebabkan radang, terutama nyeri dan pembengkakan

19
mukosa, dan kondisi ini dikenal sebagai sinusitis. Jika semua sinus terpengaruh, ia disebut sebagai
pansinusitis. Kompleks osteomeatal merupakan suatu struktur kompleks yang terdiri daripada
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan
sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris.3,4

Gambar 9. Sinus-sinus Paranasal dan Kompleks Osteomeatal

Fisiologi
Seperti di mukosa hidung, di dalam sinus terdapat mukosa bersilia yang berfungsi untuk
mengeluarkan lendir dari rongga sinus melalui muaranya dan mengalir ke kavum nasi. Pada dinding
lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok
sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis,
dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Dari ruang hidung lendir masuk ke nasofaring
dan ditelan. Oleh sebab itulah, pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum
tentu ada sekret di rongga hidung. Dengan adanya penyakit itu adalah karena gangguan dari proses
dasar ini, biasanya dengan mengurangi aktivitas siliaris atau obstruksi, yang menimbulkan gejala. Ostia
dari etmoid anterior, sinus frontal dan maksilaris bermuara pada meatus nasi medius, sehingga apabila
timbul peradangan yang terkait dengan hiatus semilunaris atau meatus medius akan sering melibatkan
lebih dari satu sinus.5
Lapisan mukus yang terbentuk disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga
merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri.1 Lisozim yang terdapat pada lapisan mukus
bersifat destruktif terhadap dinding bakteri.1 Fagositosis aktif dalam membrane hidung merupakan
bentuk proteksi dibawah permukaan. Membrane sel pernafasan juga memberikan imunitas induksi
seluler. Sejumlah immunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian dari sel plasma yang

20
normal terdapat dalam jaringan tersebut. Sesuai kebutuhan fisiologik, telah diamati bahwa terdapat IgG,
IgA dan IgE di mukosa hidung.5

Ada beberapa teori mengenai fisiologi sinus paranasal; antara lain adalah fungsi sinus paranasal
yaitu (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai insulator suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu
produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.3

Untuk pengaturan kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan untuk memanaskan
dan mengatur kelembaban udara terinspirasi.1,6 Namun teori ini masih diperdebatkan karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara
dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Dan tambahan lagi, mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan mukosa sebanyak mukosa hidung.3

Sinus paranasal juga berfungsi untuk penahan panas atau insulator; melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Selain itu, terbentuknya sinus paranasal ini
membantu dalam mengurangi berat tulang kepala dan secara tidak langsung membantu keseimbangan
kepala.5

Fungsi lain dari sinus paranasal ini adalah untuk resonansi udara serta mempengaruhi kualitas
suara dan sebagai peredam tekanan udara; misalnya apabila terjadi perubahan tekanan yang mendadak
sewaktu bersin atau membuang ingus.3,5

Fungsi yang pasti dari sinus paranasal adalah membantu produksi mukus. Mukus yang diproduksi oleh
sinus paranasal memang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun
efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara terinspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.3,5

Rhinosinusitis

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS) 2012,
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung dan sinus paranasal, yang
ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus ada berupa obstruksi (hidung
tersumbat) atau nasal discharge (sekret hidung baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri
pada wajah dan berkurangnya sensitivitas pembau. Pada rhinosinusitis akut gejala berlangsung
≤ 12 minggu dan rhinosinusitis kronis berlangsung ≥ 12 minggu. Diagnosis rhinosinusitis
ditegakkan berdasarkan European Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS)
tahun 2012 adanya dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung
tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes
keluar bisa melalui anterior maupun posterior) disertai ± rasa sakit pada wajah / rasa tertekan

21
pada wajah atau ± berkurang / hilangnya penciuman dan salah satu dari temuan nasoendoskopi
yaitu:3

• Polip dan/ atau

• Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau

• Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau


• Gambaran tomografi computer (CT scan) : perubahan mukosa di kompleks osteomeatal
dan/atau sinus.

Gejala klinis

Setiap gejala rhinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi.The


American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) telah membuat
kriteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis
dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor dan minor adalah: 6

Gejala Mayor

- Obstruksi hidung.
- Sekret pada daerah hidung (nasal discharge)/ sekret belakang hidung yang sering
disebut PND (Post Nasal Drip).
- Kongesti pada daerah wajah.
- Nyeri/ rasa tertekan pada wajah.
- Kelainan penciuman (Hiposmia/ anosmia)
- Demam (hanya pada akut).
- Purulen pada pemeriksaan kavum nasi.

Gejala Minor

- Sakit kepala.
- Sakit/ rasa penuh pada telinga.
- Halitosis/ nafas berbau.
- Batuk dan iritabilitas.
- Demam (semua nonakut).
- Sakit gigi, Lemah.

22
Gejala ini disertai dengan kelainan yang terdeteksi dari endoskopi dan/ atau CT scan.
Pada endoskopi dapat terlihat polip nasi, dan/ atau sekret mukopurulen yang primer berasal dari
meatus medius, dan/ atau edema atau obstruksi mukosa yang primer berasal dari meatus
medius.Sedangkan pada CT scan dapat terlihat perubahan mukosa dari kompleks osteomeatal
dan/ atau sinus. 6 Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European
Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007.

Klasifikasi rhinosinusitis

Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama serangan.


Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10 cm:3

• Ringan = VAS 0-3

• Sedang= VAS > 3-7

• Berat= VAS > 7-10

Gambar 10. Visual Analog Scale

Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis saudara?” Nilai VAS >5 mempengaruhi
kualitas hidup pasien. Berdasarkan lamanya penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut
maupun kronik. Dikatakan akut apabila lamanya penyakit <12 minggu dan terjadi resolusi komplit
gejala sedangkan dikatakan kronik apabila lama penyakit >12 minggu dan tanpa resolusi gejala komplit
termasuk kronik eksaserbasi akut.

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Mukus juga

23
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Struktur yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium
sinus dapat diakibatkan edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus
respiratorius atas (hidung).3

Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam sinus,


hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme kompensasi.
Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat akan masuk ke sub mukosa
sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju ekstra vaskuler, menembus epitel hingga
masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan terdapat cairan transudat di rongga sinus yang mula-
mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.7

Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen yang berwarna kuning
kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Keadaan sinus yang hipooksigen
juga dapat mengganggu gerakan silia sehingga mekanisme klirens mukosiliar terganggu.
Akibatnya cairan transudat tidak dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam sinus.
Keadaan ini membuat pH sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi bakteri.8
Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus yang terus berputar
hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip
dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.

Hubungan rhinitis alergi dan rhinosinusitis

Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang meningkat seiring meningkatnya


kasus rhinitis alergi dan mengakibatkan peningkatan beban finansial terhadap penderitanya.
Pembengkakan mukosa hidung pada rhinitis alergi di ostium sinus dapat mengganggu
ventilasi bahkan menyumbat ostium sinus, yang akan mengakibatkan retensi sekret mukus dan
infeksi. Mukosa hidung dan sinus membentuk suatu rangkaian kesatuan, sehingga membran
mukosa sinus sering terlibat pada penyakit yang disebabkan inflamasi pada mukosa nasi.
Penderita rhinosinusitis kronik yang disertai rhinitis alergi memiliki keluhan rhinosinusitis
yang lebih berat. Diantara pasien alergi yang menjalankan imunoterapi, sebagian besar yang
merasa tertolong dengan terapi imun adalah pasien dengan riwayat rhinosinusitis berulang.

24
Dan setengah dari pasien yang pernah menjalankan operasi sinus lalu mendapat imunoterapi
spesifik menyatakan bahwa operasi saja tidak dapat menuntaskan episode berulang dari
rhinosinusitisnya. Hubungan antara faktor alergi dan beratnya gejala rhinosinusitis
berdasarkan pemeriksaan CT scan, terbukti bahwa jika terdapat faktor alergi pada
rhinosinusitis kronik, maka semakin berat gejala rhinosinusitisnya. Dengan pemeriksaan CT
scan diketahui bahwa serum total IgE berkorelasi dengan penebalan mukosa sinus. Dengan
demikian penderita rhinosinusitis kronik yang akan menjalankan operasi sebaiknya diperiksa
dahulu apakah terdapat faktor alergi. Jika positif terdapat faktor alergi, sebaiknya alerginya
diterapi terlebih dahulu, sehingga kesembuhan akan lebih cepat dan kemungkinan
berulangnya rhinosinusitis pasca operasi dapat dikurangi.

Rhinosinusitis akut

Rhinosinusitis akut dibagi menjadi rhinosinusitis akut viral (gejala <10 hari) dan
rhinosinusitis non-viral akut (terjadi perburukan gejala > hari atau gejala menetap > 10 hari
dengan lama sakit <12 minggu). Jika penyebab rhinosinusitis akut adalah bakteri maka gejala
yang timbul adalah lendir yang tidak berwarna dan biasanya unilateral serta adanya sekret
yang purulen dalam cavum nasi. Selain itu terdapat nyeri lokal yang berat serta unilateral,
demam >38◦C dan adanya peningkatan CRP. Prevalensi kasus rhinosinusitis akut bervariasi
dan dipengaruhi oleh cuaca dan variasi iklim dan meningkat di lingkungan yang lembab serta
banyak polusi udara. Rokok juga berpengaruh terhadap rhinosinusitis akut karena
mempengaruhi fungsi dan motilititas dari silia. Laringofaringel refluks juga memiliki kaitan
dengan rhinosinusitis akut. Faktor predisposisi rhinosinusitis akut adalah lingkungan, rokok,
laringofaringeal refluks, cemas dan depresi.6

Tatalaksana rhinosinusitis akut

Gambar 11. Tatalaksana Rhinosinusitis Akut pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer.

25
Rhinosinusitis kronik

Pada rhinosinusitis kronik, dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu disertai
polip hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya
harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior) disertai:3

• nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

• penurunan/ hilangnya penghidu

Dan dari anamnesis didapatkan gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata gatal
dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto polos sinus
paranasal/tomografi komputer tidak direkomendasikan). Berdasarkan EPOS, faktor yang
dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment,
alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan
refluks laringofaringeal”.

Penatalaksaaan rhinosinusitis kronik

Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.

Diagnosis rhinosinusitis kronis pada dewasa

Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan. Anamnesis yaitu riwayat


gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International
Consensus on Sinus Disease, 1993 dan 2004. Keluhan rinosinusitus kronik seringkali tidak khas
dan ringan bahkan kadang kala tanpa keluhan dan baru diketahui karena mengalami beberapa
episode serangan akut. 6 Rinoskopi anterior terlihat adanya sekret purulen di meatus medius
atau meatus superior. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.
Pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak
dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus medius

26
atau superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka
paradoksikal, spina septum dan lain-lain. Pemeriksaan foto polos sinus Dapat dilakukan
mengingat biayanya murah, cepat, dan tidak invasif, meskipun hanya dapat mengevaluasi
kelainan di sinus paranasal yang besar. CT-scan dianjurkan dibuat untuk pasien rinosinusitis
kronik yang tidak ada perbaikan dengan terapi medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup
potongan koronal tanpa kontras.Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas
perluasan penyakit di dalam rongga sinus dan adanya kelainan di KOM. Sebaiknya
pemeriksaan CT scan dilakukan setelah pemberian antibiotik yang adekuat, agar proses
eliminasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomis dapat terlihat dengan jelas. 5
Pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostic untuk mengetahui adanya sekret
di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk pemeriksaan kultur dan resistensi.
Sinoskopi dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa kanina.
Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus maksila serta
bagaimana keadaan mukosanya apakah kemungkinan kelainnya masih reversible atau sudah
irreversible. 6

Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik


yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya
fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung. Jenis
terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa antara lain:

Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik mengingat terapi


utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas
antara lain:

• Amoksisilin + asam klavulanat

• Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime

• Florokuinolon : ciprofloksasin

• Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin

27
• Klindamisin

• Metronidazole

Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik. Kortikosteroid


topikal : beklometason, flutikason, mometason. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat
pada rhinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi. Terapi penunjang
lainnya meliputi:

• Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik

• Antihistamin
• Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedocromil

• Mukolitik

• Antagonis leukotriene

• Imunoterapi

• Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi
yang cukup

Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:3

• Sinus maksila:

• Irigasi sinus (antrum lavage)


• Nasal antrostomy
• Operasi Caldwell-Luc

Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronis adalah membuat suatu
lubang drainase yang memadai. Prosedur yang paling lazim adalah nasoantrostomi atau
pembentukan fenestra nasoantral.7 Pembuatan lubang dari dinding medial meatus inferior
dilakukan agar memungkinkan terjadinya drainse gravitasional dan ventilasi, sehingga
memungkinkan pula regenerasi membran mukosa yang sehat di dalam sinus maksilaris.

28
Prosedur yang lebih radikal adalah prosedur Calldwell-Luc, dimana dilakukan insisi pada fosa
kanina dan pengangkatan sepotong tulang dinding anterior sinus, epitel rongga sinus
maksilaris diangkat seluruhnya, dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi untukdrainase
seperti cara di atas. Pembedahan sinus endoskopik fungsional (Functional Endoscopic Sinus
Surgery/ FESS) merupakan suatu teknik pembedahan sinus yang memungkinkan visualisasi
dan magnifikasi anatomi hidung dan sinus yang baik, dengan menggunakan bantuan
endoskopi. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang
menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar
kembali melalui ostium alami.

 Sinus etmoid: Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral.


 Sinus frontal: Intranasal, ekstranasal, Frontal sinus septoplasty, Fronto-etmoidektomi.
 Sinus sfenoid : Trans nasal, Trans sfenoidal.
 Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah: Sinusitis kronis yang
tidak membaik setelah terapi adekuat, Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang
irreversible, Polip ekstensif, Adanya komplikasi sinusitis, Sinusitis jamur

Tujuan FESS adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan


endoskop dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami.
Prinsip FESS adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat
dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang
secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka FESS jauh lebih
konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya lebih rendah. Indikasi umumnya adalah untuk
rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut yang berulang dan polip hidung yang telah diberi
terapi medikamentosa yang optimal. Indikasi lain dari FESS termasuk di dalamnya adalah
rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang
berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif atau neoplasia. Bedah sinus endoskopi sudah
meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal
kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media
bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
kelainan congenital (atresia koana) dan lainnya. Kontraindikasi dilakukannya FESS antara lain
adanya osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester, pasca
operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi), serta penderita yang disertai
hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostatis yang tidak terkontrol oleh dokter
spesialis yang sesuai.8

29
Gambar 12. Skema Penanganan Rhinosinusitis Kronis pada Dewasa untuk Pelayanan
Kesehatan Primer.3
Komplikasi

Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.3
 Komplikasi orbita yang disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata, yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, disusul sinusitis frontal dan maksila.Penyebaran infeksi
terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum :
- Selulitis periorbita
- Selulitis orbita
- Abses subperiosteal
- Abses orbita

30
 Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
 Komplikasi intrakranial: Abses epidural / subdural, Abses otak, Meningitis, Serebritis,
Trombosis sinus kavernosus

Laryngopharingeal Reflux

Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam lambung ke
ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang berdekatan dengan
jaringan di traktus aerodigestive atas.7

Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literature kedokteran: Reflux Laryngitis,
Laryngeal Reflux, Gastropharyngeal Reflux, Pharyngoesophageal Reflux, Supraesophageal
Reflux, Extraesophageal Reflux, Atypical Reflux. Dan yang paling diterima dari beberapa
sinonim tersebut adalah Extraesophageal Reflux.9

Etiologi

Etiologi LPR dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya gangguan fungsional
dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya
pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi, vocal abuse,
alergi, iritasi dari polusi udara, dan gaya hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat,
NSAID, makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.9

Epidemiologi

Selama dekade terakhir ada peningkatan dan kepedulian terhadapat penyakit yang
disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini. Pada penelitian yang di
lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan menderita GERD, dimana
50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau extraesophageal reflux (EER).10

Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15%
pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR
4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria, wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa
mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering terlewatkan.10

Prevalensi variasi GERD dengan lokasi geografik menurut studi epidemiologi


terhadpat lima belas penelitian didapatkan bahwa 8-27% pada populasi kelompok western
mempunyai rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi asam satu atau lebih perminggunya. Di
asia sendiri di laporkan prevalensi cukup rendah yaitu 3-5 %.10

31
Patofisiologi

Patofisiologi LPR masih menjadi kajian banyak ilmuan. Sampai saat ini ada dua
hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya LPR. Hipotesis yang
pertama yaitu asam lambung secara langsung mencederai laring dan jaringan sekitarnya.
Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam lambung dalam esofagus distal merangsang
refleks vagal yang mengakibatkan bronkokontriksi dan gerakan mendehem dan batuk kronis,
yang pada akhirnya menimbulkan lesi pada mukosa saluran napas atas.9,10

Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif dari cedera
refluks yaitu LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik esofageal dengan
pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa esofageal, dan spingter esofageal
atas.8

LES (Lower Esophageal Spinchter)

Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal junction.


Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari lower esophageal sphincter
(LES) dan otot lurik dari diafragma bagian bawah, yang berkombinasi untuk menjaga tekanan
GEJ, hal ini penting untuk menahan tekanan intraabdominal, dan mencegah isi lambung
melewati esofagus. Secara fisiologis LES merupakan sphincter dengan panjang 3-4 cm dengan
otot yang dapat berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses
menelan makanan dan memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini mempunyai
ketebalan 2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal esofagus. 9,10

Fungsi motorik esofageal dengan pembersihan asam lambung

Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari esofagus. bolus
makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari gerak peristaltik dari
pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai ke gastroesophageal junction dan ke
dalam lambung. Gerak peristaltik secara primer dirangsang oleh proses menelan di faring atau
secara sekunder dengan stimulasi langsung pada mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini
penting untuk membersihkan refluks ke dalam lambung. Adanya gangguan gerakan esofagus
akan meningkatkan refluk dengan melewati esofagus sampai ke laringofaring. Dengan
pengukuran manometric, pada pasien LPR didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.9,10

Resistensi jaringan mukosa esofageal

Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laringofaring akan
menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala leher. Pada keadaan ini

32
hanya ada satu pertahanan untuk mencegah inflamasi dan kerusakan dari komponen korosif
refluks yaitu resistensi dari mukosa faring dan laring. 9,10

Spingter esofageal atas

Pertahanan antirefluks yang keempat adalah Upper Esophageal sphincter (UES).


Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan antara GERD dan LPR. UES
didefinisikan sebagai daerah yang dapat berkonstriksi secara tonik di pharyngoesofageal
junction. Seperti pada LES, UES akan berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan
masuk pada proses menelan. Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari otot
cricopharyngeus dan bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot cricopharyngeus
memegang peranan penting pada tekanan di UES. Fungsi utama dari UES adalah menjaga
masuknya udara masuk kedalam esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk
ke faring sewaktu refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi sfingter yang kedua tersebut
diyakini sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi terjadinya refluks
yang mencapai laryngopharyngeal.9,10

Gambar 13. Patofisiologi LPR.10

Gejala Klinis

Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di jumpai adalah suara serak.
Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia, throat clearing, globus pharingeus, disfagia,
post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan
menelan.9

33
Gambar 14. Manifestasi klinik laryngipharyngeal reflux
Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema, edema serta gambaran
cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan gambaran ulkus, nodul, polip, leukoplakia
dan kerusakan ventrikular band.9

Diagnosis

Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan


penunjang. Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh American Bronchoesophagological
Association ditemukan dari anamesis pasien yang dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak
(95%), throat clearing (98%), batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%).7

Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan diagnosis LPR,
yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Penilaian skor RSI
dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem RSI ini didasarkan oleh 9
pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap pertanyaan memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai
0 menampilkan tidak ada masalah sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah
total dari RSI adalah 45 dan dikatakan sugestif LPR apabila skor RSI >13.7

34
Tabel 1. Reflux Score Index10

Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang berhubungan dengan
gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan jumlah total skor 26. Apabila skor
yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif untuk terjadinya LPR.10

Tabel 2. Reflux Finding Score10

Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada setiap kasus

yang dicurigai LPR, yaitu:9,10

Laringoskopi

Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu laringoskopi
indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel (flexible fibreobtic
laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan ditemukan hipertrofi dari komissura

35
posterior, edema dan eritema pada plica vokalis dan kerusakan pada ventrikular band.
Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya edema dan
eritema pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun sudah dapat
menguatkan adanya tanda peradangan pada laring. Temuan lain yang sering adalah
granuloma, sekitar 65-75% pasien yang terkonfirmasi LPR dengan monitoring pH akan
tampak granuloma pada pemeriksaan laringoskopi. Gambaran pseudokulkus juga merupakan
salah satu temuan fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang terkonfirmasi LPR
memperlihatkan gambaran pseudokulkus.

Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun pemeriksaan ini
dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada esofagus. Pada LPR hanya 30%
temuan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi.

24-hour pH Monitoring

Pemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring berfungsi


untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun LPR. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan apabila pengobatan tidak memberikan respon yang baik dan gejala yang
ditampilkan cukup berat. Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk LPR karena dapat
membedakan refluks asam yang terjadi pada sfingter esofagus atas ataupun bawah.10

Pemeriksaan ini menggunakan dua elektroda yang dapat memantau perubahan pH,
elektroda pertama di pasang 5 cm di bawah sfingter esofagus bawah dan elektroda kedua di
letakkan pada laringofaring (hipofaring). Elektroda tersebut tersambung pada komputer yang
akan merekam setiap perubahan dari pH, setelah pemeriksaan selama 24 jam, hasil data
tersebut akan di analisa.8

36
Gambar 15. Gambaran 24-hour pH Monitoring10

Tatalaksana

Terdapat algoritma penatalaksanaan LPR, namun penatalaksanaan LPR tidak lepas dari
3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan perubahan pola hidup, terapi medikomentosa serta
terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan bahwa penyakit ini merupakan penyakit dengan
kondisi kronik yang berulang sehingga pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan
proses penyembuhan yang cepat. 9,10

Gambar 16. Algoritma penatalaksanaan LPR10

37
1. Edukasi pasien dan Perubahan pola hidup

Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat meningkatkan aliran
refluks asam lambung. Pasien sebaiknya mengurangi atau hentikan merokok, kurangi
berat badan, tidak makan 2-3 jam sebelum tidur, tidak memakai pakaian yang ketat
atau ikat pinggang yang terlalu ketat serta meninggikan kepala tempat tidur. Pasien
juga harus diingatkan untuk memodifikasi dietnya, seperti tidak memakan makanan
yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus seperti kopi, minuman berkarbonasi,
coklat, jus citrus, alkohol, tomat ataupun makanan berlemak.10

2. Terapi Medikamentosa

Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau Protonpump
Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-obat proteksi sel atau
cytoprotective. Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan sebagai pengobatan utama
dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya diberikan adalah Omeprazole
dengan dosis 20mg perhari (terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih seperti
Lanzoprazole dengan dosis 30mg per hari. Pengobatan PPI ini diberikan selama 6
bulan sebelum di follow up kembali apakah pengobatan berhasil atau tidak.10

Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan golongan antagonis
reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat proteksi yang
sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik yang sering dipakai adalah
metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4 kali dalam sehari. Obat proteksi
dapat menetralisasi refluks asam serta mengurangi kerusakan dari mukosa serta
mencegah aktivitas pepsin.10

3. Terapi Bedah

Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi mengobati
LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi bedah yang
dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau Toupet atau Bore (parsial).
Tujuan dari operasi ini adalah untuk memperbaiki kompetensi dari sfingter esofagus
bawah (SEB). Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah terapi bedah standar yang
aman dan efektif dalam pengobatan LPR. 10

38
Komplikasi

Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada saluran pernafasan
seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat
mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis
media efusi. Pada orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan
mengakibatkan karsinoma esofagus.10

39
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Sabtu/ 28 Juli 2018
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Oktaviana Linda Fermina Tanda Tangan

Nim : 112017156

Dokter Pembimbing/Penguji : dr. Daneswarry, Sp. THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama: Ny. M Jenis Kelamin: Perampuan
Umur: 39 Tahun Agama : Muslim
Pekerjaan: IRT Pendidikan : SMA
Alamat : Garut Status : Sudah Menikah

ANAMNESA

Diambil secara : Autoanamnesis


Pada tanggal : 24 Juli 2018 Jam : 10.00 WIB

Keluhan utama
Keluar sekret bening, encer dan bau sejak 3 bulan SMRS

40
Keluhan tambahan
Keluhan disertai Nyeri dada dan sakit kepala, mual muntah, terasa ada yang mengganjal saat
menelan, Nyeri tekan pada wajah.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang dengan keluhan hidung keluar sekret bening, encer dan bau sejak 3 bulan SMRS
disertai nyeri dada dan sakit kepala terutama di dahi seperti berdenyut-denyut, nyeri tekan pada wajah,
mual muntah, terasa ada yang mengganjal dileher. Apabila keluhan seperti ini kambuh, pasien
mengatakan mengganggu aktivitas harian. Pasien juga mengatakan adanya cairan yang menetes di
tenggorokan.

Pasien juga mengatakan hidung sering gatal dan tersumbat terutama saat pagi hari dan saat
berada diruangan ber-AC sejak 1 tahun SMRS. Tidak ada darah keluar dari hidung. Pasien mengatakan
tidak ada riwayat trauma telinga, tidak ada riwayat keluarnya cairan dari telinga, pendengaran tidak
terganggu. Pasien juga mengatakan tidak ada bunyi berdenging dan nyeri pada telinga. Keluhan pusing
seperti berputar disangkal.

Pasien menyangkal sering minum alkohol dan pasien mengatakan tidak pernah merokok.

Riwayat Penyakit Dahulu


Alergi (+). Riwayat maag, asma, trauma, kencing manis, darah tinggi, kolesterol, dan batuk
kronis disangkal.

Pemeriksaan Fisik
TELINGA

Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), anotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-), anotia
atresia (-), fistula (-), bat’s ear (-), (-), atresia (-), fistula (-), bat’s
lop’s ear (-), cryptotia (-), satyr ear (-) ear (-), lop’s ear (-), cryptotia (-
), satyr ear (-)
Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis (-), Nyeri (-), massa (-), hiperemis (-
edema (-) ), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), hematoma (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler laserasi (-), abses (-), sikatriks (-), hematoma (-), laserasi (-), abses

41
massa (-), hiperemis (-), nyeri (-), (-), sikatriks (-), massa (-),
edema (-) hiperemis (-), nyeri (-), edema (-
)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri (-), Massa (-), hiperemis (-), odem
edema (-), abses (-) (-), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga Lapang (+) Lapang (+)

Membran Timpani Intak (+), suram(+), Reflek cahaya (-) , Intak (+), suram (+), Reflek
hiperemis (-),retraksi (-), buldging (-) cahaya (-) , hiperemis (-
),retraksi (-), buldging (-)

Tes Penala

Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach Memendek Memendek
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan :.

HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
atresia nares anterior (-), tidak atresia nares anterior (-), tidak
ada deformitas. ada deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa Hiperemis (-), nyeri (-), massa
(-) (-),
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (- Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (-
maxillaris ), krepitasi (-) ), krepitasi (-)
Vestibulum Tampak bulu hidung (+), Tampak bulu hidung (+),
laserasi (-), sekret (-), furunkel laserasi (-), sekret (-), furunkel
(-), krusta (-), hiperemis (+), (-), krusta (-), hiperemis (+),
nyeri (-), massa (-), benda asing nyeri (-), massa (-), benda asing
(-) (-)
Cavum Nasi Sempit (+) Sekret (-) serosa (-), Sempit (+) Sekret (-) serosa (-),
massa (-), krusta (-), benda massa (-), krusta (-), benda

42
asing (-), edema (-), asing (-), edema (-), pendarahan
pendarahan aktif (-), clotting (-) aktif (-), clotting (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), atropi (-), Hipertrofi (-), atropi (-),
hiperemis (+), livide (+), hiperemis (+), livide (+),
edema (-) edema (-)
Meatus nasi inferior Sekret (-), massa (-), sempit (+) Sekret (-), massa (-), sempit (+)
Konka Medius Edema (+), atropi (-), hipertrofi Edema (+), atropi (-), hipertrofi
(-), hiperemis (-), livide (-), (-), hiperemis (-), livide (-),
konka bulosa (-) konka bulosa (-)
Meatus nasi medius Sekret (-), massa (-), sempit (-) Sekret (-), massa (-), sempit (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), Deviasi (-), spina (-), hematoma
hematoma (-), abses (-), (-), abses (-), perforasi (-), crista
perforasi (-), crista (-) (-)

RINOPHARING

 Koana : Tidak dilakukan

 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan

 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan

 Torus tubarius : Tidak dilakukan

 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan

 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan

 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan

 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

FARING
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-), clotting (-), post
nasal drip (-), massa (-).

43
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-),
laserasi (-)
Tonsil : T2-T2, hiperemis (+), kripta (-), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (+), bifida (-), massa (-), memanjang
(-), edema (-).
Gigi : caries (-).

LARING
Epiglottis : Tidak dilakukan

Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan

Arytenoids : Tidak dilakukan

Ventricular band : Tidak dilakukan

Pita suara : Tidak dilakukan

Rima glotis : Tidak dilakukan

Cincin trachea : Tidak dilakukan

Sinus Piriformis: Tidak dilakukan

Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi.

RESUME
Seorang wanita berusia 39 tahun datang ke poli THT RSUD Tarakan dengan keluhan hidung
keluar sekret kekuningan, encer dan bau sejak 3 bulan yang lalu. nyeri dada dan sakit kepala terutama
di dahi seperti berdenyut-denyut, nyeri tekan pada wajah, mual muntah, terasa ada yang mengganjal
dileher. Apabila keluhan seperti ini kambuh, pasien mengatakan mengganggu aktivitas harian. Pasien
juga mengatakan adanya cairan yang menetes ke tenggorokan.

Pasien juga mengatakan hidung sering gatal dan tersumbat terutama saat pagi hari dan saat
berada diruangan ber-AC sejak 1 tahun SMRS. Tidak ada darah keluar dari hidung. Pasien mengatakan
tidak ada riwayat trauma telinga, tidak ada riwayat keluarnya cairan dari telinga, pendengaran tidak
terganggu. Pasien juga mengatakan tidak ada bunyi berdenging dan nyeri pada telinga. Keluhan pusing
seperti berputar disangkal.

Pasien menyangkal sering minum alkohol dan pasien mengatakan tidak pernah merokok. Pasien
sudah berobat ke puskesmas tapi tidak ada perubahan. Pada pemerriksaan fisik didapatkan mukosa hidung
livide dan hiperemis, nyeri tekan pada frontalis dan maxillaris. Pemeiksaan swabach telinga kanan dan
kiri memendek.

44
Working diagnosa (WD)

Rhinosinusitis kronis
Dasar yang mendukung :
• Anamnesis: hidung keluar sekret bening, dan encer dan bau. Dan terdapat nyeri tekan wajah
diantara kedua mata dan pipi. Keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan smrs. Riwayat rinitis alergi
(+).

• Pemeriksaan fisik:

Cavum nasi: Sempit

Mukosa konka inferior dan konka media tampak livide, edem dan hiperemis.

Rinitis Alergi

• Dasar yang mendukung:


Hidung sering gatal dan tersumbat terutama pagi hari dan jika berada diruangan diruangan ber-
AC hampir tiap hari
Riwayat alergi
• Pemeriksaan Fisik:
Pada rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior dan media tampak livide, edem dan
Hiperemis.

Suspect Laringopharyngeal Reflux

• Dasar yang mendukung:


Terasa ada yang mengganjal saat menelan.
• Pemeriksaan Fisik:
Dinding faring posterior Hiperemis

Differential Diagnosis
Rhinosinusitis Akut
• Dasar yang mendukung:
hidung keluar sekret bening, dan encer dan bau. Dan terdapat nyeri tekan wajah diantara
kedua mata dan pipi.
• Dasar yang tidak mendukung: keluhan sejak 3 bulan yang lalu

Rinitis Vasomotor

• Dasar yang mendukung :


Hidung tersumbat

45
• Dasar yang tidak mendukung :
 Hidung tersumbat yang bergantian dan tidak tergantung posisi pasien
 Rinore tidak mukoid

Penatalaksanaan

Medika Mentosa :
Rinitis Alergi
- Antihistamin: Loratadin 10 mg 1 x 1
- Dekongestan oral: Pseudoefedrin 30 mg 3 x 1
Rinosinusitis Kronik
- Kortikosteroid topikal: fluticasone furoate nasal spray 2 dd puff 2
- Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%)

Non Medika Mentosa :


 Hindari allergen pencetus
 Menggunakan masker saat melakukan perkerjaan yang kontak dengan debu
 Menjaga kebersihan hidung dan mulut
 Menjaga kesehatan tubuh dengan meminum vitamin dan makanan bergizi
 Istirahat cukup
 Hindari Makanan atau kebiasaan yang bisa mencetuskan LPR

Prognosis

Rinitis Alergi

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Rinosinusitis Kronis

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

46
Suspect Laringopharyngeal Reflux
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien ini, maka dapat
ditegakan diagnosis kerja rinosinusitis kronis dan rinitis alergi dan suspect Laringophayngeal reflux.
Diagnosa tersebut didukung dengan adanya gejala keluar sekret bening, encer dan bau sejak 3 bulan
yang lalu. nyeri dada dan sakit kepala terutama di dahi seperti berdenyut-denyut, nyeri tekan pada
wajah, mual muntah, terasa ada yang mengganjal dileher. Apabila keluhan seperti ini kambuh, pasien
mengatakan mengganggu aktivitas harian. Pasien juga mengatakan adanya cairan yang menetes ke
tenggorokan. Pasien juga mengatakan hidung sering gatal dan tersumbat terutama saat pagi hari dan
saat berada diruangan ber-AC sejak 1 tahun.
Pada pemerriksaan fisik didapatkan mukosa hidung livide dan hiperemis, nyeri tekan pada
frontalis dan maxillaris. Pemeiksaan swabach telinga kanan dan kiri memendek.

Penatalaksanaan medika mentosa yang diberikan pada pasien ini adalah antihistamin dan
dekongestan untuk rhinitis alergi. Antihistamin yang diberikan dalam hal ini adalah antihistamin
generasi kedua yang tidak menimbulkan efek sedatif seperti loratadin 10 mg diberikan 1 kali sehari
selama 5 hari dan dekongestan oral, seperti pseudoefedrin 30 mg 3 kali sehari selama 3 hari. Sedangkan
untuk mengatasi rinosinusitis kronik dapat diberikan terapi kortikosteroid topical yaitu fluticasone
furoate nasal spray disemprotkan pada hidung 2 kali sehari, dan cuci hidung dengan larutan garam
fisiologis (NaCl 0.9%). Jika terdapat demam dapat diberikan antipiretik, seperti paracetamol 500 mg
yang diminum 3 kali sehari.
Prognosis ad vitam adalah dubia ad bonam karena pada dasarnya alergi tidak dapat sembuh,
sehingga pasien harus menghindari alergen untuk mencegah infeksi berulang agar tidak menimbulkan
komplikasi yang lebih lanjut. Ad sanationam adalah dubia ad bonam karena bila pengobatan tidak
adekuat dan kontak dengan alergen tidak dihindari maka dapat menimbulkan komplikasi. Ad
functionam adalah dubia ad bonam.

47
BAB IV

KESIMPULAN

Rinosinusitis merupakan sebagai inflamasi pada mukosa sinus paranasal yang disertai atau
dipicu oleh rinitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan
inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks osteomeatal. Oedem mukosa akan menyebabkan
obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus stasis).

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi pada mukosa hidung yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal,
tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair dan bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu berair,
kemerahan dan gatal. Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dan sering dijumpai.

48
DAFTAR PUSTAKA
1. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2012.h.106-12.
2. Damayanti S, Endang M, Retno SW. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2012.h.96-100.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Penerbit buku
kedokteran EGC. 1997; H. 173-260.
5. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM. Acute and chronic
rhinosinusitis, pathophysiology and treatment. IJPSI. 2015;4(2):306.

6. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012 Mar

(23): 1-298.
7. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam: Lalwani KA,Ed.
Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. 3 rd edition. New
York: Lange McGrawHill Comp, 2012.p. 112-7

8. Departemen Kesehatan RI. HTA Indonesia: Functional endoscopic sinus surgery di Indonesia.
2006. Diunduh dari buk.depkes.go.id, 14 Maret 2015.

9. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 edisi IV. FKUI: Jakarta; 2013. h. 315-319.

10. Falk GL, Vivian SJ. Laryngopharyngeal reflux: diagnosis, treatment and latest research. Eur
Surg - Acta Chir Austriaca. 2016;48(2):74–91.

49

Anda mungkin juga menyukai