Anda di halaman 1dari 17

Refarat

RHINITIS TUBERKULOSIS

Disusun oleh:

Rekki Samson Dakhi

102119071

Pembimbing:

dr. Emilia Syafi’i, Sp. THT-KL

Kepaniteraan Klinik Senior SMF Ilmu Penyakit THT

RSUD. Dr. RM. Djoelham, Kota Binjai

Fakultas Kedokteran Universitas Batam

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan keselamatan bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. selaku dokter
pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini.
Judul makalah ini adalah mengenai “Rhinitis Tuberkulosis”. Adapun tujuan penulisan
makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai berbagai hal yang berhubungan
dengan penyakit ini. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam
sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritikan yang bersifat membangun
dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan manfaat bagi makalah ini. Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih.

Binjai, September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1. Anatomi Nasal 2
2.2. Fisiologi Hidung 5
2.3. Defenisi Rhinitis Tuberculosis 6
2.4. Epidemiologi 6
2.5. Etiologi 6
2.6. Klasifikasi 7
2.7. patofisiologi 10
2.8. manifestasi 22
2.9. Penatalaksanaan 29

BAB 3 KESIMPULAN 16

DAFTAR PUSTAKA 17
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang1


Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis” (radang).
Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (membran
mukosa) hidung.
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis
akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri.
Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau
trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke
dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri
akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis
kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang
disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca),
dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak
disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan
rhinitis medikamentosa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasal2


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (hip)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung ( nares anterior )
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, tepat dibelakang disebut dengan
vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan
rambut panjang yang disebut vibrise. Sedangkan nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah
dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior.

Gambar 1.1 Anatomi Hidung


Gambar 1.2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis
os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.

Gambar 1.3. Kartilago septum nasi sisi lateral


Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah konka inferior
kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi konka superior dan yang
terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral
hidung terdapat meatus nasi yang jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media,
dan meatus superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.
Gambar 1.4. Konka nasi
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi atas mukosa
pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktori). Mukosa pernafasan
dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet.
Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan obat-obatan. Mukosa penghidu
terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa
dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan.
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. splenopalatina yang keluar dari
foramen splenopalatina bersama n. splenopalatina. Hidung bagian depan mendapat
perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis cabang a.
splenopalatina, a. etmoidalis anterior, a. palatina mayor, dan a. labialis superior yang
membentuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi
sumber epistaksis anterior. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal
dari n. ophtalmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris
dari n. maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion spenopalatina selain memberikan
persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus
profunda.
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga
atas hidung.

2.2. Fisiologi Hidung2


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi hidung dan
sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4)
fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan
pelindung panas, 5) refleks nasal.

2.3. Defenisi Rhinitis Tuberkulosis

Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner.


Penyebab rinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Seiring dengan
peningkatan kasus tuberkulosis (new emerging disease) yang berhubungan dengan kasus
HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung
berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat
mengakibatkan perforasi.
2.4 Epedemiologi
Tuberkulosis (TBC) hidung primer sangat jarang terjadi. Dalam dua dekade
terakhir,TBC paru maupun ekstraparu muncul kembali sebagai masalah besar dalam bidang
kesehatan di dunia. Penegakkan diagnosis TBC hidung juga tidak mudah baik secara klinis
maupun dalam pemeriksaan laboratorium. Gejala dan tanda klinisnya bervariasi dan tidak
spesifik, menyerupai lesi granuloma akibat infeksi lainnya, non-infeksi, atau keganasan.
TBC ekstraparu meliputi 20-25% dari kasus yang dilaporkan pada negara dengan
sistem diagnostik dan pelaporan yang komprehensif. Secara global, TBC ekstraparu tanpa
adanya keterlibatan paru ditemukan sebanyak 14% dari kasus yang dilaporkan pada tahun
2007.5 Tuberkulosis pada saluran pernapasan atas tidak khas terjadi pada 1,8% dari seluruh
pasien TBC.6 TBC hidung pertama kali digambarkan pada tahun 1761 oleh seorang ahli
anatomi Italia, Giovanni Morgagni, ketika melaporkan hasil temuan otopsi laki-laki muda
penderita TBC dengan ulserasi pada hidung, palatum mole, dan nasofaring. Kasus TBC
primer pada saluran napas atas dan hidung pertama kali dipresentasikan pada Pathological
Society of London oleh Clarke tahun 1852. Dalam tinjauan literatur medis abad ke 20 yang
dipublikasikan pada tahun 1997, dilaporkan 35 kasus TBC hidung dan hanya sepertiganya
merupakan infeksi primer tanpa keterlibatan paru.1,7 TBC hidung umumnya terjadi pada
pasien berusia lebih dari 20 tahun dan perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki
dengan rasio 3:1.3 Literatur terkini menemukan kurang dari 100 kasus TBC hidung yang
dilaporkan.8 Angka kejadian TBC hidung di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung dari Januari 2007 sampai Desember 2013 hanya terdapat satu kasus.
Tuberkulosis hidung dapat terjadi secara primer dan sekunder.

2.5 Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asamdan
tahan alkohol yang termasuk familiMyco-bacteriaceae, yaitu kompleks
Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis, M. bovis, M. caprae, M.africanum, M.
microti, M. pinnipedii, dan M. canetti). Spesies yang paling penting dan sering
dijumpai pada manusia adalah M.tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis biasanya
menyerang paru, meskipun pada sepertiga kasus dapat mengenai organ lain. 2 TBC
hidung primer sangat jarang terjadi, bahkan lebih jarang lagi ditemukan kasus TBC
hidung disertai keterlibatan kelenjar getah bening tanpa disertai keterlibatan paru.
2.6 Klasifikasi
Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya.
Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur).

Rhinitis Hipertrofi
Etiologi
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus atau
sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. 8
Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan
sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol
ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi. 8
Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis hipertrofi.
Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat) atau dengan
kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan konkotomi.

Rinitis Sika
Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan
yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia, peminum alkohol, dan gizi
buruk.

Manifestasi Klinis

Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien
mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang disertai epitaksis.

Terapi

Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.


Rhinitis Difteri

Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

Manifestasi klinis

Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret hidung
bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta
coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.

Terapi

Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal, dan
intramuskular.

Rhinitis Atrofi

Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi kuman
Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal, dan
penyakit kolagen. 26

Manifestasi Klinis

Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang hidung. Mukosa
hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau,
gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat. 26

Terapi

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika berspektrum


luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika tidak ada perbaikan, maka dilakukan
operasi penutupan lubang hidung untuk mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa
menjadi normal kembali.
Rhinitis Sifilis

Etiologi

Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum. 26

Manifestasi Klinis
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut lainnya. Hanya
pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada rhinitis sifilis tertier
ditemukan gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang
dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang berbau. 26
Terapi

Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.

Rhinitis Tuberkulosa
Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.

Manifestasi Klinis

Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang mukopurulen dan
krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau ulkus, jika mengenai tulang
rawan septum dapat mengakibatkan perforasi26

Terapi

Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung. 26

Rhinitis Lepra

Etiologi

Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae. 26

Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan produksi sekret
yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya destruksi tulang dan kartilago
hidung. 26

Terapi

Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan clofazimin selama
beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.

Rhinitis Jamur

Etiologi

Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan aspergilosis,


Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida yang menyebabkan
kandidiasis. 26

Manifestasi Klinis

Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Pada
mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri kepala, demam, oftalmoplegia
interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.

Terapi

Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci hidung.

2.7 Patofisologi
Tuberkulosis hidung dapat terjadi secara primer dan sekunder. TBC hidung sekunder
biasanya terjadi akibat penyebaran dari TBC paru atau laring. Penyakit primer dapat terjadi
melewati jalur inhalasi atau inokulasi langsung melalui jari yang terkontaminasi, selanjutnya
akan terjadi inflamasi kronis pada kulit dan mukosa yang ditandai dengan terbentuknya
granuloma (tuberkuloma) yang mengalami nekrosis dan berubah menjadi parut.
2.8 Manifestasi klinis

Gejala klinis pasien dengan TBC hidung biasanya adalah hidung tersumbat dan rinore.
Gejala lainnya adalah rasa tidak nyaman di hidung, epistaksis, hidung berkrusta, postnasal
drip, ulserasi, polip rekuren, dan mata berair.

2.9 Penegakkan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret
hidung. Pada pemeriksaan hispatologi ditemukan sel datia Langhans dan Limfositosis.

2.10 Penatalaksanaan

Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.

a. Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT)

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok


yaitu:
Obat primer:
- INH (isoniazid)
- Rifampisin
- Etambutol
- Streptomisin
- Pirazinamid
Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis

Obat Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu


(mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)
INH 5-15 (maks. 300 mg) 15-40 (maks. 900 15-40 (maks. 900
mg) mg)
Rifampisin 10-20 (maks. 600 10-20 (maks. 600 15-20 (maks. 600
mg) mg) mg)
Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)
Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25.40maks. 1,5 g)
b. Obat cuci Hidung

Beberapa alat yang harus dipersiapkan antara lain cairan pencuci hidung (cairan
infus NaCl 0,9%), transofix, spuit 10 cc, dan wadah (gelas atau mangkuk) untuk
menaruh cairan. Semua alat ini dapat dibeli bebas di apotek terdekat.

2.11 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari TBC hidung secara klinis meliputi


1. rinoskleroma,
2. rinosporidiosis,
3. sifilis,
4. lepra,
5. granuloma jamur,
6. granulomatosis Wagener,
7. midline lethal granuloma dan keganasan.
BAB 3
KESIMPULAN

Rhinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di


hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan
oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai
reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya
adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza dan rhinitis bakteri akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri,
atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh
peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis
medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,


Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 118-122
3. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 221
4. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,
Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
5. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.
6. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134
7. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-217
8. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136
9. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 218
10. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 137-138
11. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 219-222

Anda mungkin juga menyukai