Anda di halaman 1dari 27

Referat

TONSILITIS KRONIS DAN HIPERTROFI ADENOID

Oleh:

Kemala Andini Prizara 04054821820046

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN......................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................19
BAB IV. ANALISIS KASUS...................................................................................35
Kesimpulan...............................................................................................................39
BAB V. KESIMPULAN..........................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................41

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis kronis adalah peradangan kronik dari tonsil sebagai lanjutan


peradangan, akut/subakut yang berulang/rekuren, dengan kuman penyebab
nonspesifik. Peradangan kronik ini dapat mengakibatkan pembesaran tonsil yang
menyebabkan gangguan menelan dan gangguan pernafasan.1 Adenotonsilitis
kronik (ATK) di Indonesia sering dijumpai pada anak. Berdasarkan survey
penyakit THT dari 7 provinsi di Indonesia (1994–1996), prevalensi ATK
didapatkan sebesar 3,8%.2
Tonsilitis kronis terjadi karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian
antibiotik pada penderita tonsilitis akut. 3 Ketidaktepatan terapi antibiotik akan
merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya
infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan penyebab terjadi tonsilitis
kronis.4 Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak langsung
yakni melalui tangan, menghirup udara setelah pasien dengan tonsilitis bersin atau
menggunakan sikat gigi orang yang terinfeksi.5
Gejala klinis tonsilitis kronik adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan,
kadang-kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok, mulut berbau, badan
lesu nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang.6 Berbagai
komplikasi dapat terjadi akibat ATK, antara lain sebagai fokus infeksi, sumbatan
jalan nafas dan/atau makan serta disfungsi tuba eustachius.
Adenotonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman untuk
pengobatan tonsilitis kronis atas pertimbangan pembesaran tonsil dan adenoid
dapat mengganggu fungsi pernafasan dan proses menelan dan dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis. Dengan demikian pertimbangan dilakukan
adenotonsilektomi masih bersifat subjektif.7,8,9

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tonsilitis Kronik
1. Definisi
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis
episode tunggal masih belum jelas. Diperkirakan akibat obstruksi kripta tonsil,
sehingga mengakibatkan terjadi multiplikasi bakteri patogen yang dalam
jumlah kecil didapatkan dalam kripta tonsil yang normal. Pendapat lain
patogenesis terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan erat dengan lokasi
maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen baik inhalan
maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil terjadi perlawanan
tubuh dan kemudian terbentuk fokus infeksi.1
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai
akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar
akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta
tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat
pembentukan sikatrik yang kronis.9
Menurut Brook dan Gober tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang
merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang
berulang. Brodsky menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri
tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan
dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap.9

2. Anatomi dan Fisiologi


Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal
/adenoid. Unsur yang lain adalah tonsil lingual & gugus limfoid lateral faring
dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller& di
bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.7

19
20

Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang
dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot
palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi
oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole,
bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang
dikenal dengan kripta.7
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga
epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun
pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan
mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan
epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi
kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil.7

Gambar 1. Gambar tonsil dan uvula


Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna,
melalui cabang-cabangnya.(gambar2) yaitu :1,7,14,15 A. maksilaris eksterna
(A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden. A.
maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden. A. lingualis
dengan cabangnya A. lingualis dorsal. A. faringeal asenden. Sumber

desenden.

Gambar 2. Perdarahan tonsil


Tonsil terdiri atas:
1. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas faring dan
terletak di belakang koana.
2. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.
3. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.
4. Tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/ geriach’s tonsil).

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh


tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung,
dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah
satu gangguan Telinga, Hidung dan Tenggorokan ( THT ).8
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu: 1. Menangkap dan mengumpulkan benda
asing dengan efektif 2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel
plasma yang bersal dari diferensiasi limfosit B. Limfosit terbanyak ditemukan
dalam tonsil adalah limfosit B.8
Bersama-sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari
seluruh limfosit pada kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari
seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel
limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju
mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. 15 Antigen dari luar, kontak
dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa ( sel M ), antigen
presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada
tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan
melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk
imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA.
Sebagian sel B menjadi sel memori. Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara fasif
akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen rendah akan dihancurkan
oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon
proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap
antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi
respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel
dan pembentukan imunoglobulin.12 Aktivitas tonsil paling maksimal antara
umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat puberitas,
sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif
meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler
terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya
aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini
menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi.
Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga berkurang.8
3. Epidemiologi
Menurut National Center of Health Statistics pada Januari 1997 di United
States seperti dikutip oleh Edayu (2011), prevalensi penyakit tonsilitis kronis
pada anak yang berusia di bawah 18 tahun didapatkan 24,9% dari 1000 orang
anak. Pada penelitian Khasanov et al di Rusia mengenai prevalensi tonsilitis
kronis pada keluarga, didapatkan 335 anak usia 1-15 tahun dari 321 keluarga
mengalami penyakit tonsilitis kronis. Seperti halnya pada penelitian Khan et al
di RS Khyber Peshawar Pakistan pada periode April 2011 sampai dengan Mei
2012, dilakukan analisa tentang distribusi penyakit Telinga Hidung Tenggorok
(THT) dan didapatkan 8980 orang menderita tonsilitis kronis (27,37%) dari
32.800 total sampel. Dalam penelitian ini tonsilitis kronis berada di urutan
teratas dari insiden penyakit THT lainnya. Tarasov dan Morozov juga
melakukan pemeriksaan kesehatan pada anak dan dewasa, mendapatkan total
penyakit THT berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk, dan 38,4% di
antaranya menderita penyakit tonsilitis kronis.2
Di Indonesia, tonsilitis kronis juga menjadi salah satu peyakit THT yang
paling banyak dijumpai terutama pada anak.10 Penelitian Sapitri tentang
karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi di
RSUD Raden Mattaher Jambi, dari 30 sampel didapatkan distribusi terbanyak
usia 5-14 tahun (50%), jenis kelamin perempuan (56,7%) dan memiliki
keluhan nyeri pada tenggorok/sakit menelan (100%). Menurut data dari RSUD
Raden Mattaher Jambi diketahui jumlah penderita tonsilitis kronis pada tahun
2010 berjumlah 978 dari 1365 jumlah kunjungan dan pada tahun 2011
berjumlah 789 dari 1144 jumlah kunjungan, sedangkan tonsilitis yang
diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010 berjumlah 44 orang dan data pada
tahun 2011 berjumlah 58 orang. Ada peningkatan jumlah penderita tonsilitis
kronis yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010-2011 di RSUD Raden
Mattaher Jambi. Berdasarkan data rekam medis tahun 2010 di RSUP dr. M.
Djamil Padang bagian Poliklinik THT-KL subbagian laring faring ditemukan
tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan.2
4. Faktor Risiko dan Etiologi
Penyebabnya infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil
berfungsi untuk membuat limfosit, yaitu sejenis sel darah putih yang bertugas
membunuh kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Tonsil akan
berubah menjadi tempat infeksi bakteri maupun virus, sehingga membengkak
dan meradang, menyebabkan tonsillitis.3
Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi, Effiaty
Arsyad,dkk, 2007) adalah infeksi kuman Streptococcus beta Hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Streptococcus pyogenes
merupakan patogen utama pada manusia yang menimbulkan invasi lokal,
sistemik dan kelainan imunologi pasca streptococcus.3
Faktor predisposisi tonsillitis kronik adalah rangsangan yang
menahun dari rokok & beberapa jenis makanan & higine mulut yang buruk &
pengaruh cuaca & kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang
tidak adekuat.3

5. Patogenesis
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk
dan membentuk antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut
tonsillitis falikularis. Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa
sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam tinggi (39C-40C).
Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan
akan terasa mengental. (Charlene J. Reeves,2001). Tetapi bila penjamu
memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi terhadap
infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh
ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan terjadi
penyakit (Arwin, 2010). Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan,
sel imun juga membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan
jaringan (Sterwood, 2001). Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses
radang berulang yang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti
jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus. Infiltrasi bakteri pada epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan radang berupa keluarnya leukosit
polymorphnuklear serta terbentuk detritus yang terdiri dari kumpulan
leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas.3
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah,2003 bahwa adanya
infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi
tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun. Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus.
Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. roses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.3
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan
peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi
penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke
parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan
mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang
ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa
ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripta
tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil.1
6. Tanda dan Gejala Klinis
Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala tonsilitis akut seperti
nyeri tenggorok yang tidak hilang sempurna. Halitosis akibat debris yang
tertahan di dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi
berikutnya. Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi
sehingga timbul gangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan
suara. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam
berbagai ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan
tonsil, arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil
dan sikatrik pada pilar.1

7. Pemeriksaan Penunjang
Bila perlu, dilakukan kultur swab tenggorok, rinofaringolaringoskop
(RFL) foto polos nasofaring lateral dan paska operasi dilakukan pemeriksaan
histopatologi jaringan tonsil atau adenoid.

8. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi
tonsil seperti tonsilitis difteri, angina plaut vincent, mononukleosis
infeksiosa, serta penyakit kronik faring granulomatous seperti faringitis
tuberkulosa.5

9. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan local : nyeri menelan, nyeri tenggorok, rasa mengganjal di
tenggorok, mulut berbau (halitosis), demam, mendengkur, gangguan
bernafas, hidung tersumbat, batuk pilek berulang.
Keluhan sistemik: rasa lemah, nafsu makan berkurang, sakit kepala dan
nyeri sendi.
b. Pemeriksaan fisik
Gambaran klinis bervariasi, dan diagnosis sebagian besar tergantung pada
inspe ksi. Pada umumnya, terdapat dua gambaran yang secara
menyeluruh berbeda yang taurpaknya cocok dimasukkan kategori
tonsilitis kronis. Pada satu jenis tonsila membesar, dengan adanya
hipertrofi dan jaringan parut (Gbr. I7-ll). Sebagian kripta tampak
mengalami stenosis, tapi eksudat, yang seringkali purulen, dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tenebut. Pada beberapa kasus safu atau
dua kripta membesar, dan suatu bahan "seperti keju" atau "seperti
dempul" amat banyak dapat diperlihatkan dari kripta. Infeksi kronis
biasanya berderajat rendah adalah nyata. Gambaran klinis lain yang
sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan dan
seringkali dianggap sebagai "kuburan" di mana tepinya adalah hiperemis,
dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis, seringkali dapat
diperlihatkan dari kripta.6
Ukuran perbesaran tonsil:

Menurut skema ini:


T0 : tidak ada pembesaran tonsil atau atropi dan tanpa obstruksi udara.
T1: tonsil sedikit keluar dimana ukuran tonsil <25% dari diameter
orofaring yang di ukur dari plika anterior kiri dan kanan.
T2 : ukuran tonsil >25% s/d <50% dari diameter orofaring yang di ukur
dari plika anterior kiri dan kanan.
T3: ukuran tonsil >50% s/d <75% dari diameter orofaring yang di ukur
dari plika anterior kiri dan kanan.
T4: ukuran tonsil >75% dari diameter orofaring yang di ukur
dari plika anterior kiri dan kanan.
c. Pemeriksaan penunjang
Bila perlu, dilakukan kultur swab tenggorok,
rinofaringolaringoskop (RFL) foto polos nasofaring lateral dan paska
operasi dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan tonsil atau adenoid.

10. Tatalaksana
Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan pembedahan.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi baik
pada tonsilitis akut maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi
akut. Antibiotik jenis penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian
besar kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya
perubahan bakteriologi sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain
jenis penisilin.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus di mana
penatalaksanaan medis atau yang lebih konservatif gagal untuk meringankan
gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang
lama, irigasi tenggorokan sehari-hari, dan usaha untuk mernbersihkan kripta
tonsilaris dengan alat irigasi gigi atau oral.6
Indikasi tonsilektomi dahulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dahulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi akibat
hipertrofi tonsil. Obtruksi yang mengakibatkan gangguan menelan maupun
gangguan nafas merupakan indikasi absolut. Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergensi dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan.6
The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-
HNS) merilis indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah:
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Brodsky menyatakan tonsilitis rekuren dindikasikan untuk
tonsilektomi jika terjadi serangan tonsilitis akut berulang lebih
dari 4 kali dalam satu tahun kalender, atau lebih dari 7 kali dalam 1
tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setiap tahun
selama 3 tahun. Bila masih diragukan berikan antibiotik spektrum
luas sebelum didapatkan hasil kultur tonsil kemudian lanjutkan
dengan antibiotik sesuai kultur. Bila terdapat rekurensi dalam 1
tahun diindikasikan untuk tonsilektomi. Bila ditemukan gejala
yang persisten yang nyata lebih dari 1 bulan dengan eritema
peritonsil indikasi untuk tonsilektomi. Bila gejala dimaksud masih
diragukan berikan antibiotik selama 3-6 bulan sesuai kultur, jika
gejala masih menetap indikasi tonsilektomi.

Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergantung pada


kebijaksanaan dokter yang merawat pasien. Mereka sebaiknya menyadari
kenyataan bahwa tindakan ini merupakan prosedur pembedahan mayor yang
bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-komplikasi yang
serius.
Sekarang ini, di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi
tonsilektomi yang paling dapat diterima pada anak-anak adalah sebagai
berikut:
1. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan
penatalaksanaan medis yang adekuat).
2. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan).
3. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis (biasanya pada dewasa muda).
4. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang
berhubungan dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian
antibiotik yang buruk.
5. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons
terhadap penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).
6. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas
orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.
7. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati
servikal persisten.
8. Rinitis dan sinusitis kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
hilang dengan medikamentosa.
9. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.
10. Napas bau yang tidak hilang dengan medikamentosa.
11. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik (keadaan karier).
Jika terdapat infeksi streptokokus berulang, mungkin terdapat karier pada
orang-orang yang tinggal serumah, dan biakan pada anggota keluarga dan
pengobatan dapat menghentikan siklus infeksi rekuren.6
Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat indikasi-
indikasi ini yang akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya sama
penting. Seperti juga indikasi pembedahan, tentu terdapat non-indikasi dan
kontraindikasi tertentu yang juga harus diperhatikan, karena telah menjadi
mode untuk melakukan jenis pembedahan ini untuk mengatasi masalah-
masalah ini.
Kontraindikasi. Non-indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi
adalah di bawah ini:
1. Infeksi tonsil akut dengan tanda-tanda radang yang masih sangat jelas.
2. Infeksi sistemik atau kronis.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
5. Asma.
6. Kelainan darah.
7. Tonus otot yang Iemah.
Tonsilektorni dapat dilakukan pada individu-individu yang
mempunyai deformitas palatoskisis. Walaupun, terdapat keadaan- keadaan
yang meringankan terhadap petunjuk prosedur pembedahan ini, dan pasien
harus diberitahu mengenai kemungkinan timbulnya efek pada kualitas suara
akibat prosedur pembedahan
Pada tonsilitis kronis terjadi penurunan fungsi imunitas tonsil.
Penurunan fungsi ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten
pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel
imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-
1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4. Karena hal tersebut,
banyak manfaat dilakukannya tonsilektomi pada pasien tonsilitis kronis.
Tetapi tindakan tonsilektomi tetap harus sesuai indikasi. Beberapa manfaat
tonsilektomi seperti menurunkan angka kejadian nyeri menelan/ nyeri
tenggorok, penurunan pemakaian antibiotik, menurunkan pemakaian fasilitas
kesehatan dan meminimalkan beban ekonomi penderita tonsillitis.
Efek samping dari tonsilektomi adalah post tonsillectomy hemorrhage
(PTH). PTH primer dapat terjadi 24 jam setelah operasi disebabkan oleh
tidak adekuatnya penjahitan/ligasi arteri yang bersangkutan. Sedangkan PTH
sekunder dapat terjadi pada hari ke 5 sampai ke 10 post pembedahan. Pasien
dengan usia tua (>70 tahun), laki-laki, riwayat tonsillitis kronik dan atau
tonsillitis rekuren, tonsillitis dengan histologist kriptik, kehilangan darah
massif intraoperatif dan peningkatan mean arterial pressure postoperatif dan
anemia (khususnya wanita), merupakan faktor resiko dari PTH.
11. Edukasi
Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi yang bisa timbul,
menjelaskan rencana pengobatan, indikasi operasi dan komplikasinya,
menjaga kebersihan rongga mulut (oral hygiene), misalnya menganjurkan
sikat gigi, kumur-kumur teratur, bila perlu konsultasi ke dokter.5

12. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu :
1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole,
abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh streptococcus group A .
2. Otitis media efusi
Patofisiologi utama dari terjadinya otitis media efusi karena obstruksi
tuba eustachius akibat pembesaran tonsil. Mekanisme yang
menghubungkan tonsilitis kronis dan otitis media efusi selain dari
mekanisme obstruksi adalah melalui perkontinuitatum. Penyebaran
mikroorganisme secara perkontinuitatum dari rongga mulut ke rongga
telinga melalui tuba eustachius ini dapat pula dipengaruhi oleh
imunitas pasien, bila imunitasnya sangat baik maka mikroorganisme
pun akan sulit menyebar ke rongga telinga bagian tengah
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke
dalam sel-sel mastoid.
4. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang
membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang
disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan, maupunm karena
alergi.
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau
lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau
ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa.
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx.3

13. Prognosis
Dikutip dari Kaygusuz, bahwa hal yang sama juga dilaporkan oleh
Sainz dkk, Zielnik-Jurkiewicz dkk serta Lal dkk, dengan metode penelitian
yang sama, yaitu mengukur kadar imunoglobulin sebelum dan sesudah
tonsilektomi lalu dibandingkan dengan kontrol, semuanya melaporkan
bahwa kadar IgG, IgA dan IgG pasien tonsilitis kronis mengalami
penurunan setelah dilakukan tonsilektomi. Pada awal periode pasca
operasi dan kemudian berangsur-angsur menjadi normal kembali.4

B. Hipefirofi Adenoid
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak di
dinding posterior nasofarig, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer.
Secara fisiologi, adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian
akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi
infeksi saluran napas bagian ataas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid.
Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba
Eusthacius.3
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga
terjadi (a) fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan
(prominen), arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak
seperti orang bodoh, (b) faringitis dan bronkitis, (c) gangguan ventilasi dan
drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik. Akibat
hipertrofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok,
retardasi mental, dan pertumbuhan fisik kurang. Akibat sumbatan tuba
Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan
akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.3
Dengan adanya gejala-gejala sumbatan tersebut, hipertrofi adenoid dapat
di diagnosis banding dengan massa nasofaring seperti karsinoma nasofaring
dan kista nasofaring.3

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik,
pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum
palatum mole pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak
biasanya sulit), pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan
pemeriksaan radiologik dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini
lebih sering dilakukan pada anak).3

Terapi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi dengan cara
kuratase memakai adenotom.
Indikasi adenoidektomi:3
1. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas dari mulut
2. Sleep apnea
3. Gangguan menelan
4. Gangguan berbicara
5. Kelainan bentuk wajah dan gigi
6. Adenoiditis berulang
7. Otitis media efusi berulang
8. Otitis media akut berulang
9. Kecurigaan neoplasma

Komplikasi Adenoidektomi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan
dinding belakang faring. Bila kuratase teralu ke lateral maka torus tubarius
akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul
tuli konduktif.3
36
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis akut dapat sembuh sendiri atau sembuh dengan antibiotik jika
penyebabnya adalah bakteri. Namun, tonsilitis akut atau subakut yang terus
berulang dapat menjadi tonsilitis kronik. Riwayat kebiasaan pasien sering jajan
sembarangan dan sering minum es menjadi faktor risiko terjadinya tonsilitis
kronik ini. Hal ini disebabkan karena pajanan tonsil terhadap kuman yang terus
terjadi dari jajanan yang dikonsumsi. Selain itu, seringnya minum es
menyebabkan suasana dirongga mulut dan orofaring menjadi dingin sehingga
menjadi tempat yang baik bagi kuman untuk berkembang biak.
Dari pemeriksaan orofaring didapatkan tonsil palatina bilateral membesar
dengan ukuran T3-T3, lekat pada fosa tonsilaris, kripta melebar tanpa detritus, dan
tidak hiperemis. Kripta yang melebar merupakan tanda dari tonsilitis kronik. Hal
ini dapat terjadi karena proses radang berulang yang timbul menyebabkan epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis dan digantikan oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Proses ini akan berjalan
terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Tidak adanya detritus dan tidak
hiperemis menunjukkan bahwa tonsilitis sedang tidak eksaserbasi. Hal ini juga
dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan operasi.
Tonsilitis kronik dapat didiagnosis banding dengan tonsilitis difteri dan
faringitis tuberkulosis karena kesamaan beberapa gejala klinis dan perjalanan
penyakit yang berlangsung kronik. Gejala klinis yang sama antara lain adanya
rasa mengganjal di tenggorok, nyeri menelan, demam berulang, serta adanya
pembesaran tonsil. Namun pada tonsilitis difteri, gambaran klinis akan lebih
buruk dan pembesaran tonsil disertai dengan membran putih yang mudah
berdarah jika dilepas dari perlekatannya di tonsil. Untuk menyingkirkan diagnosis
banding tersebut dengan lebih pasti maka dapat dilakukan pemeriksaan gram atau
kultur swab tonsil.
Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis banding dengan massa nasofaring
seperti karsinoma nasofaring (KNF) dan kista nasofaring (Tornwald’s cyst)
karena kesamaan gejala klinis yaitu adanya gejala obstructive sleep apnea
syndrome yaitu mengorok serta gejala terkait sumbatan muara tuba Eustachius.
Secara epidemiologi, KNF dan kista nasofaring jarang terjadi pada anak-anak.
KNF sering terjadi pada dekade ke 4-5, sedangkan kista nasofaring sering terjadi
pada dekade 2-3.18 Selain itu, dari anamnesis diketahui bahwa pasien ini tidak
memiliki faktor risiko keganasan seperti riwayat genetik keluarga, merokok,
makan makanan berpengawet nitrosamin, dll. Untuk menyingkirkan diagnosis
banding tersebut dengan lebih pasti maka harus dilakukan pemeriksaan
histopatologi terhadap jaringan adenoid setelah operasi pengangkatan.
Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan untuk melihat pembesaran adenoid
dan keadaan jaringan lain disekitarnya, termasuk untuk melihat kemungkinan
adanya abses di sekitar tonsil ataupun infiltrasi jaringan ke tulang pada keganasan
nasofaring. Pada pasien ini, rontgen servikal menunjukkan adanya kekakuan otot-
otot paravertebra. Hal ini dapat disebabkan karena keluhan nyeri berulang akibat
proses radang dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, rontgen nasofaring
pasien ini menunjukkan adanya pembesaran adenoid. Tidak ada abses yang
ditemukan di jaringan sekitar.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
tegak diagnosis pasien ini adalah tonsilitis kronik dan hipertrofi adenoid.
Tatalaksana terhadap pasien ini adalah langsung ke tatalaksana pembedahan
karena kondisi tonsil tidak sedang eksaserbasi akut dan adanya beberapa indikasi
adenotonsilektomi berikut:
1. Hipertrofi adenoid yang telah menyebabkan gejala sleep apnea (ngorok)
2. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan gangguan menelan
3. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medikamentosa
4. Otitis media efusi
Jaringan yang diperoleh dari pembedahan diperiksakan histopatologinya
untuk mengetahui apakah ada suatu keganasan yang mendasari proses
pembesaran jaringan tersebut.
Setelah operasi adenotonsilektomi, pasien diberikan antibiotik profilaksis
dan obat analgetik untuk mengatasi nyeri luka operasi. Pemberian ranitidin
dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya refluks lambung dan menekan rasa
mual muntah agar tidak mengganggu daerah bekas operasi. Untuk memudahkan
asupan nutrisi, pasien diberikan nutrisi dengan bubur saring dingin. Untuk
menghentikan proses radang dan perdarahan, pasien diedukasi untuk mengompres
lehernya (sekitar daerah operasi) dengan kompres es. Pasien juga diedukasi untuk
tidur dengan posisi miring ke salah satu sisi dengan tujuan untuk menghindari
aspirasi darah bekas luka operasi ke saluran pernapasan. Pasien dipulangkan pada
hari ketiga post operasi karena keluhan nyeri menelan berkurang dan perdarahan
luka operasi telah berhenti sehingga pasien dapat melanjutkan pengobatan secara
rawat jalan. Yang dievaluasi pada follow-up rawat jalan adalah keluhan pasien,
luka bekas operasi, dan hasil pemeriksaan histopatologi.
Prognosis vitam pasien ini adalah bonam karena penyakit yang dialami
pasien tidak berkaitan dengan kondisi vital pasien. Prognosis sanationam pasien
ini juga bonam karena pembesaran jaringan tonsil ini tidak akan berulang kembali
karena telah dilakukan pengangkatan secara total. Sedangkan prognosis
functionam pasien ini adalah dubia ad bonam karena kadar IgG, IgA dan IgG
pasien tonsilitis kronis mengalami penurunan setelah dilakukan tonsilektomi, pada
awal periode pasca operasi dan kemudian mungkin dapat berangsur-angsur
menjadi normal kembali.
Kerangka Konsep

Faktor risiko:
Sering jajan sembarangan dan minum es
Infeksi saluran napas atas berulang

Hipertrofi tonsil dan tonsilitis Hipertrofi adenoid


akut berulang sejak usia 5 tahun

Penyempitan koanaSumbatan tuba Eustachius kiri


Tonsilitis kronik

uhan:
Sleep apnea Otitis media
a mengganjal di tenggorokan
(ngorok) efusi AS
eri menelan

meriksaan fisik: tonsil T3-T3 melekat pada fossa tonsilaris dengan kripta yang melebar
Telinga kiri terasa
penuh dan penurunan
pendengaran (kesan
tuli konduktif)

Tonsilektomi Adenoidektomi
BAB V
KESIMPULAN

Pasien a.n. Ferrachel usia 11 tahun mengalami tonsilitis kronik dan


hipertrofi adenoid yang menimbulkan keluhan terkait sumbatan jalan napas,
gangguan menelan, dan otitis media efusi sehingga dilakukan tindakan bedah
yaitu adenotonsilektomi terhadap pasien ini.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakhi, Ivan M, Novialdi dan Elmatris. Karakteristik Pasien Tonsilitis


Kronis pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun
2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(2):436-442.
2. Skevas T, Christoph K, Serkan S, Peter K, Plinkert, Ingo B. Measuring
quality of life in adult patients with chronic tonsillitis. The Open
Otorhinolaryngology Journal. 2010;(4):34-46.
3. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam: Iskandar N, Efiaty J, Jenny B, Ratna D,Editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. Hlm. 195-203.
4. Novialdi dan Al Hafiz. Pengaruh Tonsilektomi Terhadap Kadar Interferon-
γ dan Tumor Necrosis Factor-α pada Pasien Tonsilitis Kronis. Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
5. Perhati. 2015. Panduan Praktik Klinis Prosedur Tindakan di Bidang
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta.
6. Adams, George L. penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam
George L A, Lawrence R B, Peter A H, Editor. Buku Ajar Penyakit THT
Edisi 6.Jakarta: EGC; 2015. Hlm 330-342.
7. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and
Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2006:p.1183-98.
8. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and adenotonsilar desease. In :
Cummings CW editor. Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th ed.
Philadelphia Elsevier Mosby. 2007:p.4136-65.
9. Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity, oropharynx, and
nasopharynxn. In: Snow JB, Ballenger JJ editors. Ballenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed. Hamilton Ontario.
Bc Decker 2003:p.1020-47.

41
10. Pengurus Pusat PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktik Klinis di bidang
THT-KL Volume 1. PERHATI-KL: Indonesia.
11. Suwento R. Epidemiologi penyakit THT di 7 popinsi. Kumpulan Makalah
dan Pedoman Kesehatan Telinga. Lokakarya THT komunitas. Palembang.
PIT PERHATI-KL. 2001:8-12
12. Kurien M, et al. 2003. Fine needle aspiration in chronic tonsilitis: reliable
and valid diagnostic test. J Laryngol Otol. 117(12):973-5.
13. Dias E P, Rocha M L, Calvalbo M O, Amorium L M.2009. Detection of
EBV in Reccu rent Tonsillitis . Sao Paulo, Brazil.Vol 75 No1. p 4 – 30.
Diambil dari http://scielo.br/pdf/rboto
14. NHS. 2010. Management of sore throat and indication for tonsillectomy a
national clinical guideline. Scotland : NHS.
15. Siswantoro, Boedi . 2003 . Pengaruh Tonsilektomi terhadap Kejadian
Bakteremia Pasca Operasi . Diambil dari : http://
www.eprints.undip.ac.id14796/1/2003FK5961
16. Franz C, Mennicken U. 1977. Chronic tonsillar hypertrophy as a cause of
cor pulmonale, pulmonary oedema, and hypersomnia in children. Disch
Med Wochenschr. 102(31):1120-3.
17. Harrington R, 1978. Tonsillar hypertrophy and chro nic hypoxia.
Med J Aust 2 (5), pp 175-7.
18. Ng, WJS, dan AR Sinnathuray. 2012. Nasopharyngel (Tornwaldt’s) Cyst:
Rare Finding in a Habitual Snorer. Malays Fam Physician. 7(2-3): 39-41

42

Anda mungkin juga menyukai