Oleh:
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. STATUS PASIEN......................................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................19
BAB IV. ANALISIS KASUS...................................................................................35
Kesimpulan...............................................................................................................39
BAB V. KESIMPULAN..........................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................41
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tonsilitis Kronik
1. Definisi
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis
episode tunggal masih belum jelas. Diperkirakan akibat obstruksi kripta tonsil,
sehingga mengakibatkan terjadi multiplikasi bakteri patogen yang dalam
jumlah kecil didapatkan dalam kripta tonsil yang normal. Pendapat lain
patogenesis terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan erat dengan lokasi
maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen baik inhalan
maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil terjadi perlawanan
tubuh dan kemudian terbentuk fokus infeksi.1
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai
akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar
akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta
tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat
pembentukan sikatrik yang kronis.9
Menurut Brook dan Gober tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang
merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang
berulang. Brodsky menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri
tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan
dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap.9
19
20
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang
dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot
palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi
oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole,
bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang
dikenal dengan kripta.7
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga
epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun
pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan
mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan
epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi
kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil.7
desenden.
5. Patogenesis
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk
dan membentuk antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut
tonsillitis falikularis. Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa
sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam tinggi (39C-40C).
Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan
akan terasa mengental. (Charlene J. Reeves,2001). Tetapi bila penjamu
memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi terhadap
infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh
ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan terjadi
penyakit (Arwin, 2010). Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan,
sel imun juga membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan
jaringan (Sterwood, 2001). Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses
radang berulang yang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti
jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus. Infiltrasi bakteri pada epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan radang berupa keluarnya leukosit
polymorphnuklear serta terbentuk detritus yang terdiri dari kumpulan
leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas.3
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah,2003 bahwa adanya
infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi
tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun. Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus.
Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. roses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.3
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan
peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi
penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke
parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan
mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang
ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa
ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripta
tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil.1
6. Tanda dan Gejala Klinis
Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala tonsilitis akut seperti
nyeri tenggorok yang tidak hilang sempurna. Halitosis akibat debris yang
tertahan di dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi
berikutnya. Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi
sehingga timbul gangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan
suara. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam
berbagai ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan
tonsil, arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil
dan sikatrik pada pilar.1
7. Pemeriksaan Penunjang
Bila perlu, dilakukan kultur swab tenggorok, rinofaringolaringoskop
(RFL) foto polos nasofaring lateral dan paska operasi dilakukan pemeriksaan
histopatologi jaringan tonsil atau adenoid.
8. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi
tonsil seperti tonsilitis difteri, angina plaut vincent, mononukleosis
infeksiosa, serta penyakit kronik faring granulomatous seperti faringitis
tuberkulosa.5
9. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan local : nyeri menelan, nyeri tenggorok, rasa mengganjal di
tenggorok, mulut berbau (halitosis), demam, mendengkur, gangguan
bernafas, hidung tersumbat, batuk pilek berulang.
Keluhan sistemik: rasa lemah, nafsu makan berkurang, sakit kepala dan
nyeri sendi.
b. Pemeriksaan fisik
Gambaran klinis bervariasi, dan diagnosis sebagian besar tergantung pada
inspe ksi. Pada umumnya, terdapat dua gambaran yang secara
menyeluruh berbeda yang taurpaknya cocok dimasukkan kategori
tonsilitis kronis. Pada satu jenis tonsila membesar, dengan adanya
hipertrofi dan jaringan parut (Gbr. I7-ll). Sebagian kripta tampak
mengalami stenosis, tapi eksudat, yang seringkali purulen, dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tenebut. Pada beberapa kasus safu atau
dua kripta membesar, dan suatu bahan "seperti keju" atau "seperti
dempul" amat banyak dapat diperlihatkan dari kripta. Infeksi kronis
biasanya berderajat rendah adalah nyata. Gambaran klinis lain yang
sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan dan
seringkali dianggap sebagai "kuburan" di mana tepinya adalah hiperemis,
dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis, seringkali dapat
diperlihatkan dari kripta.6
Ukuran perbesaran tonsil:
10. Tatalaksana
Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan pembedahan.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi baik
pada tonsilitis akut maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi
akut. Antibiotik jenis penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian
besar kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya
perubahan bakteriologi sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain
jenis penisilin.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus di mana
penatalaksanaan medis atau yang lebih konservatif gagal untuk meringankan
gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang
lama, irigasi tenggorokan sehari-hari, dan usaha untuk mernbersihkan kripta
tonsilaris dengan alat irigasi gigi atau oral.6
Indikasi tonsilektomi dahulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dahulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi akibat
hipertrofi tonsil. Obtruksi yang mengakibatkan gangguan menelan maupun
gangguan nafas merupakan indikasi absolut. Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergensi dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan.6
The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-
HNS) merilis indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah:
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Brodsky menyatakan tonsilitis rekuren dindikasikan untuk
tonsilektomi jika terjadi serangan tonsilitis akut berulang lebih
dari 4 kali dalam satu tahun kalender, atau lebih dari 7 kali dalam 1
tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setiap tahun
selama 3 tahun. Bila masih diragukan berikan antibiotik spektrum
luas sebelum didapatkan hasil kultur tonsil kemudian lanjutkan
dengan antibiotik sesuai kultur. Bila terdapat rekurensi dalam 1
tahun diindikasikan untuk tonsilektomi. Bila ditemukan gejala
yang persisten yang nyata lebih dari 1 bulan dengan eritema
peritonsil indikasi untuk tonsilektomi. Bila gejala dimaksud masih
diragukan berikan antibiotik selama 3-6 bulan sesuai kultur, jika
gejala masih menetap indikasi tonsilektomi.
12. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu :
1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole,
abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh streptococcus group A .
2. Otitis media efusi
Patofisiologi utama dari terjadinya otitis media efusi karena obstruksi
tuba eustachius akibat pembesaran tonsil. Mekanisme yang
menghubungkan tonsilitis kronis dan otitis media efusi selain dari
mekanisme obstruksi adalah melalui perkontinuitatum. Penyebaran
mikroorganisme secara perkontinuitatum dari rongga mulut ke rongga
telinga melalui tuba eustachius ini dapat pula dipengaruhi oleh
imunitas pasien, bila imunitasnya sangat baik maka mikroorganisme
pun akan sulit menyebar ke rongga telinga bagian tengah
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke
dalam sel-sel mastoid.
4. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang
membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang
disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan, maupunm karena
alergi.
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau
lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau
ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa.
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx.3
13. Prognosis
Dikutip dari Kaygusuz, bahwa hal yang sama juga dilaporkan oleh
Sainz dkk, Zielnik-Jurkiewicz dkk serta Lal dkk, dengan metode penelitian
yang sama, yaitu mengukur kadar imunoglobulin sebelum dan sesudah
tonsilektomi lalu dibandingkan dengan kontrol, semuanya melaporkan
bahwa kadar IgG, IgA dan IgG pasien tonsilitis kronis mengalami
penurunan setelah dilakukan tonsilektomi. Pada awal periode pasca
operasi dan kemudian berangsur-angsur menjadi normal kembali.4
B. Hipefirofi Adenoid
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak di
dinding posterior nasofarig, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer.
Secara fisiologi, adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian
akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi
infeksi saluran napas bagian ataas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid.
Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba
Eusthacius.3
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga
terjadi (a) fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan
(prominen), arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak
seperti orang bodoh, (b) faringitis dan bronkitis, (c) gangguan ventilasi dan
drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik. Akibat
hipertrofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok,
retardasi mental, dan pertumbuhan fisik kurang. Akibat sumbatan tuba
Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan
akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.3
Dengan adanya gejala-gejala sumbatan tersebut, hipertrofi adenoid dapat
di diagnosis banding dengan massa nasofaring seperti karsinoma nasofaring
dan kista nasofaring.3
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik,
pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum
palatum mole pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak
biasanya sulit), pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan
pemeriksaan radiologik dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini
lebih sering dilakukan pada anak).3
Terapi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi dengan cara
kuratase memakai adenotom.
Indikasi adenoidektomi:3
1. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas dari mulut
2. Sleep apnea
3. Gangguan menelan
4. Gangguan berbicara
5. Kelainan bentuk wajah dan gigi
6. Adenoiditis berulang
7. Otitis media efusi berulang
8. Otitis media akut berulang
9. Kecurigaan neoplasma
Komplikasi Adenoidektomi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan
dinding belakang faring. Bila kuratase teralu ke lateral maka torus tubarius
akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul
tuli konduktif.3
36
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilitis akut dapat sembuh sendiri atau sembuh dengan antibiotik jika
penyebabnya adalah bakteri. Namun, tonsilitis akut atau subakut yang terus
berulang dapat menjadi tonsilitis kronik. Riwayat kebiasaan pasien sering jajan
sembarangan dan sering minum es menjadi faktor risiko terjadinya tonsilitis
kronik ini. Hal ini disebabkan karena pajanan tonsil terhadap kuman yang terus
terjadi dari jajanan yang dikonsumsi. Selain itu, seringnya minum es
menyebabkan suasana dirongga mulut dan orofaring menjadi dingin sehingga
menjadi tempat yang baik bagi kuman untuk berkembang biak.
Dari pemeriksaan orofaring didapatkan tonsil palatina bilateral membesar
dengan ukuran T3-T3, lekat pada fosa tonsilaris, kripta melebar tanpa detritus, dan
tidak hiperemis. Kripta yang melebar merupakan tanda dari tonsilitis kronik. Hal
ini dapat terjadi karena proses radang berulang yang timbul menyebabkan epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis dan digantikan oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Proses ini akan berjalan
terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Tidak adanya detritus dan tidak
hiperemis menunjukkan bahwa tonsilitis sedang tidak eksaserbasi. Hal ini juga
dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan operasi.
Tonsilitis kronik dapat didiagnosis banding dengan tonsilitis difteri dan
faringitis tuberkulosis karena kesamaan beberapa gejala klinis dan perjalanan
penyakit yang berlangsung kronik. Gejala klinis yang sama antara lain adanya
rasa mengganjal di tenggorok, nyeri menelan, demam berulang, serta adanya
pembesaran tonsil. Namun pada tonsilitis difteri, gambaran klinis akan lebih
buruk dan pembesaran tonsil disertai dengan membran putih yang mudah
berdarah jika dilepas dari perlekatannya di tonsil. Untuk menyingkirkan diagnosis
banding tersebut dengan lebih pasti maka dapat dilakukan pemeriksaan gram atau
kultur swab tonsil.
Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis banding dengan massa nasofaring
seperti karsinoma nasofaring (KNF) dan kista nasofaring (Tornwald’s cyst)
karena kesamaan gejala klinis yaitu adanya gejala obstructive sleep apnea
syndrome yaitu mengorok serta gejala terkait sumbatan muara tuba Eustachius.
Secara epidemiologi, KNF dan kista nasofaring jarang terjadi pada anak-anak.
KNF sering terjadi pada dekade ke 4-5, sedangkan kista nasofaring sering terjadi
pada dekade 2-3.18 Selain itu, dari anamnesis diketahui bahwa pasien ini tidak
memiliki faktor risiko keganasan seperti riwayat genetik keluarga, merokok,
makan makanan berpengawet nitrosamin, dll. Untuk menyingkirkan diagnosis
banding tersebut dengan lebih pasti maka harus dilakukan pemeriksaan
histopatologi terhadap jaringan adenoid setelah operasi pengangkatan.
Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan untuk melihat pembesaran adenoid
dan keadaan jaringan lain disekitarnya, termasuk untuk melihat kemungkinan
adanya abses di sekitar tonsil ataupun infiltrasi jaringan ke tulang pada keganasan
nasofaring. Pada pasien ini, rontgen servikal menunjukkan adanya kekakuan otot-
otot paravertebra. Hal ini dapat disebabkan karena keluhan nyeri berulang akibat
proses radang dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, rontgen nasofaring
pasien ini menunjukkan adanya pembesaran adenoid. Tidak ada abses yang
ditemukan di jaringan sekitar.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
tegak diagnosis pasien ini adalah tonsilitis kronik dan hipertrofi adenoid.
Tatalaksana terhadap pasien ini adalah langsung ke tatalaksana pembedahan
karena kondisi tonsil tidak sedang eksaserbasi akut dan adanya beberapa indikasi
adenotonsilektomi berikut:
1. Hipertrofi adenoid yang telah menyebabkan gejala sleep apnea (ngorok)
2. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan gangguan menelan
3. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medikamentosa
4. Otitis media efusi
Jaringan yang diperoleh dari pembedahan diperiksakan histopatologinya
untuk mengetahui apakah ada suatu keganasan yang mendasari proses
pembesaran jaringan tersebut.
Setelah operasi adenotonsilektomi, pasien diberikan antibiotik profilaksis
dan obat analgetik untuk mengatasi nyeri luka operasi. Pemberian ranitidin
dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya refluks lambung dan menekan rasa
mual muntah agar tidak mengganggu daerah bekas operasi. Untuk memudahkan
asupan nutrisi, pasien diberikan nutrisi dengan bubur saring dingin. Untuk
menghentikan proses radang dan perdarahan, pasien diedukasi untuk mengompres
lehernya (sekitar daerah operasi) dengan kompres es. Pasien juga diedukasi untuk
tidur dengan posisi miring ke salah satu sisi dengan tujuan untuk menghindari
aspirasi darah bekas luka operasi ke saluran pernapasan. Pasien dipulangkan pada
hari ketiga post operasi karena keluhan nyeri menelan berkurang dan perdarahan
luka operasi telah berhenti sehingga pasien dapat melanjutkan pengobatan secara
rawat jalan. Yang dievaluasi pada follow-up rawat jalan adalah keluhan pasien,
luka bekas operasi, dan hasil pemeriksaan histopatologi.
Prognosis vitam pasien ini adalah bonam karena penyakit yang dialami
pasien tidak berkaitan dengan kondisi vital pasien. Prognosis sanationam pasien
ini juga bonam karena pembesaran jaringan tonsil ini tidak akan berulang kembali
karena telah dilakukan pengangkatan secara total. Sedangkan prognosis
functionam pasien ini adalah dubia ad bonam karena kadar IgG, IgA dan IgG
pasien tonsilitis kronis mengalami penurunan setelah dilakukan tonsilektomi, pada
awal periode pasca operasi dan kemudian mungkin dapat berangsur-angsur
menjadi normal kembali.
Kerangka Konsep
Faktor risiko:
Sering jajan sembarangan dan minum es
Infeksi saluran napas atas berulang
uhan:
Sleep apnea Otitis media
a mengganjal di tenggorokan
(ngorok) efusi AS
eri menelan
meriksaan fisik: tonsil T3-T3 melekat pada fossa tonsilaris dengan kripta yang melebar
Telinga kiri terasa
penuh dan penurunan
pendengaran (kesan
tuli konduktif)
Tonsilektomi Adenoidektomi
BAB V
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
41
10. Pengurus Pusat PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktik Klinis di bidang
THT-KL Volume 1. PERHATI-KL: Indonesia.
11. Suwento R. Epidemiologi penyakit THT di 7 popinsi. Kumpulan Makalah
dan Pedoman Kesehatan Telinga. Lokakarya THT komunitas. Palembang.
PIT PERHATI-KL. 2001:8-12
12. Kurien M, et al. 2003. Fine needle aspiration in chronic tonsilitis: reliable
and valid diagnostic test. J Laryngol Otol. 117(12):973-5.
13. Dias E P, Rocha M L, Calvalbo M O, Amorium L M.2009. Detection of
EBV in Reccu rent Tonsillitis . Sao Paulo, Brazil.Vol 75 No1. p 4 – 30.
Diambil dari http://scielo.br/pdf/rboto
14. NHS. 2010. Management of sore throat and indication for tonsillectomy a
national clinical guideline. Scotland : NHS.
15. Siswantoro, Boedi . 2003 . Pengaruh Tonsilektomi terhadap Kejadian
Bakteremia Pasca Operasi . Diambil dari : http://
www.eprints.undip.ac.id14796/1/2003FK5961
16. Franz C, Mennicken U. 1977. Chronic tonsillar hypertrophy as a cause of
cor pulmonale, pulmonary oedema, and hypersomnia in children. Disch
Med Wochenschr. 102(31):1120-3.
17. Harrington R, 1978. Tonsillar hypertrophy and chro nic hypoxia.
Med J Aust 2 (5), pp 175-7.
18. Ng, WJS, dan AR Sinnathuray. 2012. Nasopharyngel (Tornwaldt’s) Cyst:
Rare Finding in a Habitual Snorer. Malays Fam Physician. 7(2-3): 39-41
42