Anda di halaman 1dari 33

TATALAKSANA HEMIGLOSEKTOMI PADA KARSINOMA

LIDAH
Ermalinda Kurnia, Denny Satria Utama

Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/


Departemen IKTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak
Karsinoma sel skuamosa (KSS) menyumbang sekitar 95% dari keganasan
pada laring. Karsinoma laring dapat timbul di daerah supraglotis, subglotis, atau
glotis. Sebagian besar karsinoma laring berasal dari supraglotis dan glotis.
Riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik yang terperinci serta
memperhatikan gejala spesifik akan mengarahkan lokasi dan perluasan tumor.
Gejala klinis yang timbul tergantung lokasi KSS. Umumnya tata laksana
karsinoma laring adalah radioterapi, terapi bedah, kemoterapi, atau kombinasi
ketiganya. Karsinoma laring paling sering terjadi pada dekade keenam dan
ketujuh. Karsinoma laring paling sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
wanita. Insiden pada wanita sangatlah rendah, kurang dari 1:100.000 populasi.
Selama dua dekade ini, insiden pada wanita meningkat dikarenakan meningkatnya
kebiasaan merokok. Terdapat beberapa bukti yang mendukung bahwa paparan
dari pekerjaan dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma laring. Salah satu
tempat bekerja yang menjadi perhatian utama adalah industri karet. Menurut
IARC, industri pembuatan karet tergolong ke dalam grup 2A. Dilaporkan sebuah
kasus karsinoma laring pada wanita berusia 49 tahun yang bekerja di pabrik karet
selama 12 tahun.
Kata kunci: karsinoma laring, wanita, industri karet, karsinogen

Abstract
Squamous cell carcinoma (SCC) comprises about 95% of laryngeal
malignancies. Laryngeal carcinoma may arise from supraglottic, subglottic, or
glottic regions. The majority originate from the supraglottic and glottic regions. A
detailed history and physical examination with attention to specific symptoms will
often point to the site and extent of the tumour. Clinical features depend on the
localization of SCC. Management normally consists of radiotherapy, surgery,
chemotherapy, or combination of all three. SCC occur most frequently in the sixth
and seventh decades. They are more common in men than women. The incidence
in women is below 1:100.000. Women are becoming increasingly affected
because of increased prevalence of smoking over the last two decades. There are
evidences supporting occupational exposures and increased risk of laryngeal
carcinoma. Rubber industry is one of the main attention of potential carcinogenic
risk. According to IARC, rubber industry is classified as 2A group. We reported a
49 years old woman worked at rubber industry for 12 years with laryngeal
carcinoma.
Keyword : laryngeal carcinoma, women, rubber industry, carsinogens.
PENDAHULUAN
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada
pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Kerangka laring
dibentuk oleh beberapa kartilago yang dihubungkan oleh membran dan
ligamentum, serta digerakkan oleh otot. Kartilago yang menyusun laring yaitu
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis, dan epiglotis. Rongga laring dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu supraglotis, glotis, dan subglotis. Supraglotis terbentang dari aditus
laring hingga ke plika vestibularis. Glotis terbentang dari plika vestibularis hingga
setinggi plika vokalis. Subglotis terbentang dari plika vokalis sampai ke tepi
inferior kartilago krikoid. Membran mukosa yang melapisi rongga laring ditutupi
oleh epitel silindris bersilia, sedangkan plika vokalis dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng. 1,2,4
Karsinoma sel skuamosa (KSS) menyumbang sekitar 95% dari keganasan
pada laring. Karsinoma laring dapat timbul di atas, di bawah atau pada plika
vokalis, dan dideskripsikan sebagai karsinoma supraglotis, subglotis, atau glotis.
Sebagian besar karsinoma laring berasal dari supraglotis dan glotis. Karsinoma
laring paling sering terjadi pada dekade keenam dan ketujuh. Karsinoma laring
paling sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita. Sekitar 140.000
kasus baru ditemukan di seluruh dunia pada tahun 1990 dimana sebesar 86%
kasus terjadi pada laki-laki. Pada sebagian besar populasi, insiden pada wanita
sangatlah rendah yaitu kurang dari 1 : 100.000 populasi. Pusat Kanker Nasional
Amerika melaporkan 1,3 kasus karsinoma laring per 100.000 penduduk wanita
per tahun. Di beberapa negara, insiden pada wanita meningkat dikarenakan
meningkatnya kebiasaan merokok selama dua dekade terakhir. 3,12,13
Anamnesis secara mendalam yang mencakup perjalanan penyakit serta
berbagai faktor resiko yang mendasari terjadinya penyakit dibutuhkan dalam
menegakkan diagnosis. Riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik yang
terperinci serta memperhatikan gejala spesifik biasanya akan mengarahkan lokasi
dan perluasan tumor. Gejala klinis yang timbul tergantung dari lokasi KSS. Gejala
awal yang paling sering terjadi pada KSS glotis adalah suara serak. Gejala pada
KSS supraglotis antara lain disfagia, perubahan kualitas suara, rasa mengganjal di

1
tenggorokan, hemoptisis, odinofagia, dan benjolan di daerah leher. Sedangkan
dispnu dan stridor paling umum ditemukan pada tumor subglotis. Pemeriksaan
laringoskopi indirek akan menunjukkan gambaran massa berbatas tegas,
permukaan berdungkul, dan kadang permukaannya ulserasi. Metastasis jauh
secara hematogen merupakan hal yang jarang ditemukan. Lokasi tersering adalah
paru-paru, dan jarang pada hati dan tulang. Jika dari pemeriksaan laringoskopi
indirek ditemukan lesi yang mencurigakan, pemeriksaan radiologis diperlukan
untuk mengevaluasi lesi tersebut lebih lanjut. Pemeriksaan radiologis yang
biasanya dilakukan adalah CT-Scan atau MRI, dimana CT-Scan merupakan
pilihan pertama. Laringoskopi direk tidak hanya penting dalam melakukan biopsi
tetapi juga untuk mengevaluasi perluasan tumor lebih lanjut, serta menyingkirkan
adanya tumor primer lainnya. 3,12
Pemilihan terapi karsinoma laring yang paling tepat dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan empat komponen penting, yaitu jenis histopatologi,
perluasan tumor setempat, kelenjar limfe regional yang terlibat, dan ada tidaknya
metastase jauh. Pada umumnya tata laksana karsinoma laring adalah radioterapi,
terapi bedah, kemoterapi, atau kombinasi dari ketiganya. Semua pasien karsinoma
laring membutuhkan penanganan multidisiplin yang terdiri dari onkologis,
radiologis, terapis wicara, dan perawat. Secara keseluruhan, 60% pasien berhasil
bertahan lebih dari 5 tahun dan lebih dari 50% bertahan selama 10 tahun sejak
terdiagnosis karsinoma laring. KSS glotis dilaporkan memiliki prognosis yang
paling baik, sedangkan subglotis berprognosis terburuk. Angka ketahanan hidup 5
tahun berkisar 80-85% pada KSS glotis, 65-75% pada supraglotis, dan sekitar
40% pada subglotis. 3,12,13,17
Insidensi karsinoma laring meningkat seiring dengan meningkatnya
konsumsi alkohol dan rokok. Kombinasi keduanya menyumbang sekitar 90%
terjadinya karsinoma laring. Rasio insiden karsinoma laring yang tinggi pada pria
dibandingkan wanita juga menimbulkan dugaan bahwa ada kaitannya dengan
hormonal. Rendahnya insiden pada wanita diperkirakan akibat dari pertahanan
estrogen. Keterlibatan HPV 16 terhadap karsinoma laring masih belum terbukti
secara klinis. Sekitar 3-85% kasus HPV ditemukan pada karsinoma laring.
Refluks gastroesofageal juga telah dikaitkan dengan meningkatnya resiko

2
karsinoma laring, terutama pada pasien yang tidak memiliki faktor resiko lainnya.
Konsumsi buah dan sayur dalam jumlah banyak diduga memiliki efek protektif
terhadap karsinoma laring. Pencegahan primer terhadap karsinoma laring dapat
dilakukan dengan mengurangi konsumsi alkohol dan rokok. Menghindari rokok
dan alkohol dapat mencegah terjadinya karsinoma laring sebesar 90%. 3,6,12,15,16
Terdapat beberapa bukti yang mendukung bahwa paparan dari pekerjaan
dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma laring. Salah satu tempat bekerja
yang menjadi perhatian utama dalam mengevaluasi resiko potensial karsinogenik
adalah industri karet. Proses pemanasan dalam industri karet diduga sebagai
sumber tereksposnya bahan kimia yang beberapa diantaranya diklasifikasikan
sebagai karsinogen oleh International Agency for Research on Cancer (IARC)
ataupun European Union (EU). Pada tahun 2007 Cirla dkk menemukan bahwa
terdapat sekitar 15 dari 100 bahan kimia dalam industri karet tergolong ke dalam
bahan karsinogenik terhadap manusia, antara lain akrilonitril, 1,3-butadine,
styrene, dan polycyclic aromatic hydrocarbon. Menurut IARC, substansi
penyebab karsinoma laring yang tergolong grup I adalah kabut asam, alkohol,
asbestos, dan perokok tembakau. Sedangkan HPV tipe 16, industri pembuatan
karet, asap sulfur, dan perokok pasif tembakau tergolong ke dalam grup 2A. 3,5,7-10

KEKERAPAN
Kanker pada rongga mulut merupakan 2% dari keseluruhan kanker yang
terdiagnosa di Amerika Serikat. Penyakit ini mengenai laki-laki lebih banyak dari
perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini terkecuali pada negara Skandinavia
dimana insiden karsinoma rongga mulut pada wanita lebih tinggi karena tingginya
insiden penyakit Sindrom Plummer-Vinson sebelumnya. Di Eropa dan Australia,
insiden kanker rongga mulut sangat rendah, terhitung kurang dari 55 dari seluruh
kanker yang ada. Di Perancis, angka insiden laki-laki sampai dengan 8 per
100.000 penduduk per tahun dan merupakan kanker ketiga terbanyak pada laki-
laki dan penyebab kematian kedua tersering akibat kanker. Di India, insidensi
mencapai 50% (angka insiden pada laki-laki sampai 6,5 per 100.000 per tahun).
India, Srilangka dan sebagian Asia Tenggara mempunyai insidensi yang lebih

3
tinggi. Hal ini dihubungkan dengan kebiasaan setempat seperti merokok,
mengunyah sirih dan tembakau. Di India dan Srilangka kematian karena kanker
rongga mulut adalah 30-40% .
Karsinoma lidah diperkirakan setiap tahunhya terdapat 5500 kasus baru di
Amerika Serikat, dengan perbandingan pria dan wanita adalah 3:1. Karsinoma
lidah pada duapertiga depan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
sepertiga belakang. Di Indonesia insidensi kanker rongga mulut belum diketahui
secara pasti, frekuensi relatif diperkirakan 1,5-5% dari seluruh kanker. Karsinoma
rongga mulut paling sering mengenai lidah (40%), dasar mulut (15%) dan bibir
(13%). Lebih dari 90-95% karsinoma rongga mulut adalah karsinoma sel
skuamosa. Kurang dari 55% adalah adenokarsinoma ( karsinoma adenokistik dan
mukoepidermoid yang berasal dari kelenjar liur minor).

ANATOMI
Rongga mulut dibagi menjadi dua bagian yaitu vestibulum oris dan cavum
oris. Vestibulum oris merupakan bagian dari mulut diluar dari gigi geligi terikat
ke lateral oleh mukosa bibir dan pipi dan aspek lateral mandibula dan maksila.
Otot yang paling berperan pada vestibulum oris ini adalah otot orbicularis oris dan
otot buccinator. Otot orbicularis oris mengelilingi mulut dan membantu menutup
bibir dan menjaja agar mulut tertutup. Otot orbicularis oris berlanjut ke lateral
menuju ke otot buccinator. Otot ini membantu menekan pipi dan berperan saat
mengunyah.
Cavum oris adalah rongga diantara permukaan medial maksila dan
mandibula. Batas kranial cavum oris adalah palatum durum dan palatum molle
yang memisahkan cavum oris dan cavum nasi. Cavum oris terbuka melalui istmus
orofaring menuju orofaring. Dua pertiga anterior lidah merupakan bagian dari
cavum oris. V-shaped papilla sirkumvalata menunjukkan batas anterior rongga
mulut. Sepertiga posterior lidah menunjukkan orofaring. Dua pertiga anterior
lidah dihubungkan oleh frenulum pada lantai cavum oris. Pembukaaan dari
ductus Wharton berlokasi di kedua sisi frenulum. Ductus Wharton mengalirkan
ludah yang banyak yang diproduksi oleh kedua kelenjar submandibula.

4
Gambar 1. Anatomi ronga mulutbansal m

Anatomi Lidah
Secara anatomi, lidah terbagi menjadi tiga bagian yaitu apex lingua (ujung
lidah), corpus lingua (badan lidah) dan radix lingua (akar lidah). Pada membrana
mukosa yang melapisi lidah yaitu pada punggung lidah, tepi kanan dan kiri dan
depan, terdapat tonjolan- tonjolan kecil yang disebut dengan papilla. Pada dasar
papilla ini terdapat kuncup-kuncup pengecap sehingga kita dapat merasakan cita
rasa. Ada empat macam papilla yaitu papilla filiformis, papilla fungiformis,
papilla vallata dan papilla foliata. Area di bawah lidah disebut dasar mulut.
Membran mukosanya bersifat licin, elastis dan banyak terdapat pembuluh darah
yang menyebabkan lidah mudah bergerak. Mukosa dasar mulut tidak terdapat
papilla. Dasar mulut dibatasi oleh otot-otot lidah dan otot-otot dasar mulut yang
insersionya di sebelah dalam mandibula. Di sebelah dalam mandibula ini terdapat
kelenjar-kelenjar ludah sublingualis dan submandibularis.

5
Gambar 2. Anatomi lidah dilihat dari aspek superior probst

Otot pada lidah dibagi menjadi sistem ekstrinsik dan intrinsik. Otot-otot
ekstrinsik yaitu otot genioglossus, otot hyoglossus dan otot styloglossus. Otot-otot
ekstrinsik ini berinsersi dari bagian tulang seperti tulang hyoid, tonjolan mental
pada mandibula dan tonjolan stiloid. Otot-otot intrinsik terdapat di dalam lidah .
Otot-otot ini membentuk serat otot bagian vertikal, transversal dan longitudinal.
Otot-otot intrinsik lidah yaitu otot longitudinalis superior, otot longitudinalis
inferior, otoot transversus dan otot vertikal.

6
Gambar . Otot-otot intrinsik lidah johnson

Persarafan pada lidah dibagi menjadi 2 bagian yaitu persarafan motoris


dan persarafan sensoris. Pada persarafan motoris semua otot-otot lidah baik yang
intrinsik maupun ekstrinsik dipersarafi oleh nervus hypoglossus (Nervus Craniales
XII). Persarafan sensoris dibagi menjadi 2 yaitu pada duapertiga anterior lidah dan
sepertiga posterior lidah. Pada duapertiga anterior lidah dipersarafi oleh nervus
lingualis ( cabang nervus mandibularis) untuk sensasi umum, dan chorda timpani
(cabang nervus facialis yang menuju ke arah lidah ) untuk pengecap. Sepertiga
bagian posterior lidah dipersarafi oleh nervus Glossopharyngeus.
Lidah mendapat vaskularisasi dari a. Lingualis yang merupakan cabang
dari a. Carotis eksterna. Cabang-cabang yang menyuplai aliran darah lidah
terutama rr. Dorsale linguale ( menuju ke pars faringeal) dan a. Profunda linguae.
Darah dari lidah dialirkan ke v.lingualis dan v.facialis. Aliran limfe pada lidah
penting karena berhubungan dengan penyebaran dini karsinoma lidah. Aliran
menuju ln. Submentalis,ln. Submandibularis,ln.cervicalis profunda.

Histologi Lidah
Lidah terdiri dari apex, corpus dan radix. Bagian apex dan corpus lidah
terdiri dari 3 lapisan yaitu tunika mukosa, tunika submukosa dan tunika
muskularis. Pada tunika mukosa terdiri dari epitel berlapis pipih, lamina propia
dan papila lingualis. Pada tunika submukosa terdiri atas jaringan ikat fibroelatis
dan kelenjar lidah. Pada bagian dorsum lidah terdapat epitel lapis bertanduk,
papila lingualis dan tebal. Tetapi pada bagian ventral lidah tidak terdapat epitel,
papila lingualis dan tipis. Papila lingualis terdiri dari 4 jenis yaitu papila
fungiformis, papila circumvalata, papila filiformis dan papila foliata. Bagian radix
lidah terdiri dari tunika mukosa, tunika submukosa dan tunika muskularis. Tunika
mukosa radix lidah terdiri dari epitel berlapis pipih, lamina propia, namun tidak
ada papila lingualis. Pada tunika submukosa terdiri atas jaringan ikat fibroelastis,
kelenjar weber dan toonsila lingualis.

7
Gambar. Histologi lidah, a. Gambaran berbagai macam papil b. Epitel papil
filiformis berkeratin c. Papil valata berlokasi diantara badan dan dasar lidah, epitel
dilengkapi dengan tunas pengecap (tanda panah)probst

FISIOLOGI LIDAH
Lidah berfungsi penting sebagai sebuah “organ mulifungsi” dengan
perangkat sensorik dan motorik. Lidah yang mempunyai otot-otot ekstrinsik dan
otot-otot intrinsik diinervasi oleh nervus hipoglosus. Otot-otot ekstrinsik melekat
pada mandibula, tulang hyoid ataupun tulang stiloid dan masuk ke dalam badan
lidah. Hal ini sangat berpengaruh pada posisi dan pergerakan lidah. Otot-otot
intrinsik seperti otot longitudinal, otot transversal dan otot vertikal berfungsi
sebagai pembentuk lidah. Otot geniohiohid berfungsi pada penjuluran dan
kebanyakan pergerakan lidah melibatkan otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
intrinsik.
Lidah berperan dalam proses menelan. Lidah membantu selama
mengunyah dan memproses bolus dengan mengubah bentuk dan mendorong
bolus. Bolus akan bercampur dengan saliva. Saliva mulai diproduksi saat kita
menghidu bau masakan dan berlanjut sampai bolus masuk ke kavum oris.

8
Kelenjar saliva memproduksi 1500 ml saliva setiap hari. Saliva mengandung 99%
air dan 1% enzim, protein dan garam. Fungsi lidah disini adalah saat mengunyah
makanan dan mencampurnya dengan saliva sehingga mempersiapkan bolus
sebelum ditelan.
Lidah berfungsi untuk artikulasi dan fonasi. Udara yang diekspirasi dari
paru-paru menyebabkan pita suara vibrasi dan memproduksi suara. Hal ini akan
meresonansi faring superior, sinus paranasal, dan hidung. Artikulasi berarti
membentuk suara sehingga menghasilkan kata-kata yang mudah dimengerti.
Untuk membuat suatu artikulasi diperlukan koordinasi pergerakan lidah, gigi
geligi, bibir dan mulut. Kemampuan berbicara yang jelas membutuhkan kavum
oris yang kompeten tanpa adanya anomali kongenital atau abnormalitas yang lain.
Lidah berfungsi sebagi indra pengecapan. Lidah dapat merasakan manis,
asam, asin dan pahit. Pengindraan terhadap rasa adalah sebuah kombinasi dari
sensasi olfaktori pada hidung, stimulus gustatori pada papilla dan reseptor
mekanis dan termal. Mekanisme yang tepat yang menyebabkan sensasi rasa atau
transmisi sinyal gustatori pada level molekular sampai saat ini belum diketahui.
Beberapa teori telah dikembangkan yaitu mediasi rasa oleh protein reseptor untuk
aktivasi rasa melalui interaksi elektrostatik.

KARSINOMA LIDAH
ETIOLOGI
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya karsinoma lidah. Faktor ini
dibagi menjadi 2 yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik
diantaranya adalah merokok, minum alkohol, megunyah tembakau, sinar
matahari, dan kebersihan mulut. Faktor intrinsik yaitu faktor genetik dan
imunosupresi. Tembakau merupakan faktor penyebab yang potensial. Kanker
lidah berhubungan erat dengan penggunaan produk tembakau. Sejumlah
penelitian telah memperlihatkan 90% pasien dengan kanker rongga mulut
menggunakan produk tembakau dan bahwa resiko dari beberapa jenis kanker
meningkat seiring dengan jumlah konsumsi rokok dan lamanya kebiasaan ini
berlangsung. Insiden kanker rongga mulut pada seseorang yang merokok kira-kira
6 kali lebih besar dari yang tidak merokok. Paparan tembakau menyebabkan

9
perubahan histologi yang progresif pada rongga mulut. Perubahan histologi ini
bersifat reversibel bila penggunaan tembakau dihentikan. Deteksi adanya gen-gen
supresor tomor telah dilaporkan pada pasien kanker rongga mulut. Nitrosamin
merupakan karsinogen yang paling banyak pada tembakau. Agen ini dapat
merusak DNA yang menyebabkan mutasi angka. Mutasi angka ini menyebabkan
deregulasi dari gen-gen supresor tumor. TP53 adalah yang paling baik untuk
dikenali yang berlokasi pada kromosom 17.
Konsumsi alkohol berkaitan dengan terjadinya kanker rongga mulut.,
khususnya pasien yang mengkonsumsi lebih dari 4 kali sehari. Sekitar 75% pasien
yang menderita kanker rongga mulut adalah peminum alkohol. Kanker rongga
mulut timbul 6 kali lebih sering pada seseorang yang meminum alhohol daripada
yang tidak. Penggunaan alkohol memiliki efek sinergis dibandingkan efek
kumulatif pada resiko karsinogenesis. Resiko pada seseorang yang menghisap
rokok dan minum alkohol 15 kali lebih besar daripada individu yang tidak
memiliki kebiasaan tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan karsinoma lidah adalah penyakit sifilis.
Penyakit ini timbul baik pada saat sifilis aktif atau sekurang-kurangnya telah ada
riwayat penyakit sifilis sebelumnya. Sindroma plummer-Vinson yang meliputi
defisiensi besi berhubungan dengan resiko kanker rongga mulut. Peningkatan
jumlah data menyarankan konsumsi vitamin A dan C yang mengandung karoten
karena bersifat protektif melawan kanker-kanker epitel. Human Papilloma Virus
yaitu suatu virus dengan DNA epiteliotropik, merupakan faktor lain yang dapat
menjadi penyebab karsinogenesis yang mengubah sel-sel menjadi fenotip
maligna. Human Papilloma virus telah terdeteksi pada sejumlah orang dengan
displasia oral, leukoplakia, dan keganasan. Defisiensi besi dan riboflavin
diketahui menyebabkan perubahan displastik pada mukosa mulut. Hal ini
menjelaskan hubungannya dengan alkoholisme, yang dapat berefek pada
defisiensi riboflavin dan menyebabkan kanker rongga mulut. Higiene mulut yan
jelek dapat menyebabkan kanker lidah. Sejumlah kasus telah diobservasi dimana
karsinoma lidah timbul di tempat sesuai dengan sumber iritasi kronis seperti
karies gigi dengan calculus yang banyak dan pemasangan gigi palsu atau protesa
yang posisinya tidak cocok.

10
PATOGENESIS
Pada traktus aerodigestif bagian atas lebih dari 90% kanker rongga mulut
merupakan karsinoma sel skuamosa. Diantara kanker lidah non squamous,
limfoma dalah yang paling sering ditemukan. Lesi lain yang paling sering timbul
berasal dari kelenjar air liur minor. Melanoma dan sarkoma jarang timbul pada
lidah. Terdapat beberapa lesi dengan kecenderungan terbesar untuk mengalami
keganasan.

Lesi premaligna
Leukoplakia dan eritroplakia adalah lesi dengan kecenderungan terbesar
untuk mengalami transformasi kearah keganasan. Leukplakia didefinisikan
sebagai suatu plak putih pada mukosa yang tidak dapat didiagnosis secara klinik
maupun patologi sebagai penyakit lain. Leukoplakia diyakini sebagai kondisi
premaligna dari iritasi kronik membran mukosa, berefek pada peningkatan laju
proliferasi dari epitel dan jaringan ikat. Onset dari leukoplakia umumnya timbul
setelah usia 40 tahun, dengan insiden puncak sebelum umur 50 tahun.
Leukoplakia 2-3 kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Eritroplakia
didefinisikan sebagai suatu plak berwarna merah seperti kain beludru yang
ditemukan pada mukosa mulut dan tidak dapat digunakan sebagai suatu kondisi
tertentu yang lain. Tidak diketahui adanya predileksi berdasarkan jenis kelamin,
dan eritroplakia jarang ditemukan pada lidah dibandingkan bagian lain pada
rongga mulut.
Gambaran makroksopik karsinoma lidah dapat sangat berbeda-beda.
Dalam fase permulaan terdapat perubahan selaput lendir dalam bentuk
pembengkakan, erosi atau inflamasi. Suatu leukoplakia mikroskopik dapat
menunjukan degenerasi maligna. Dalam stadium-stadium lanjut pada umumnya
terjadi tumor papilomatosa yang tumbuh eksofitik, dengan pertumbuhan infiltratif
yang biasanya masih berbatas, atau suatu ulkus dengan pinggir-pinggir yang
meninggi dan pertumbuhan infiltratif di sekitarnya. Yang masih membingungkan
adalah tumor-tumor dengan erosi yang hanya sedikit dan pertumbuhan infiltratif

11
yang luas di bawah epitel yang tampaknya masih utuh. Pada pertumbuhan lebih
lanjut di sekelilingnya terjadi gangguan mobilitas lidah.

Gambar. A. Leukoplakia diantara lantai mulut dan lidah, B. Lesi eritroplakia pada lantai lidah johnson

Karsinoma Sel Skuamosa


Karsinoma sel skuamosa adalah keganasan yang paling sering mengenai
lidah. Secara umum karsinoma sel skuamosa memiliki 3 tipe pola pertumbuhan
secara morfologik yaitu eksofitik, ulseratif dan infiltratif. Tipe infiltratif dan
ulseratif paling sering ditemukan pada lidah. Tipe eksofitik jarang ditemukan pada
lidah. Karsinoma dini yang berukuran kurang dari 1 cm hanya dapat dideteksi bila
dilakukan pemeriksaan klinik yang rutin.
Patogenesis terjadinya karsinoma sel skuamosa pada lidah merupakan
hasil dari proses yang multi-stage. Adanya aktivasi proto-onkogen menjadi
onkogen. Melemahnya gen supresor tumor yang mengakibatkan LOH (Loss of
Heterozygosity) sehingga menyebabkan peningkatan perubahan molekular yang
agresif pada suatu tumor atau lesi premaligna. Perubahan sel normal menjadi
hiperplasia dikarenakan adanya perubahan dari kromosom 9p sehingga terjadi
proliferasi sel yang terus menerus. Adanya perubahan dari kromosom 3p,17p
menyebabkan lesi displasia. Terjadinya karsinoma in situ yang merupakan lesi sel
abnormal yang melibatkan seluruh epitel tanpa invasi ke membran basal dan atau
ke jaringan ikat. Terjadi karsinoma invasif.

12
Gambar. Lesi eksofitik pada lateral positif untuk karsinoma sel skuamosa lidahjohnson

DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis secara mendalam yang mencakup perjalanan penyakit serta
berbagai faktor resiko yang mendasari terjadinya penyakit dibutuhkan dalam
menegakkan diagnosis. Riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik yang
terperinci serta memperhatikan gejala spesifik biasanya akan mengarahkan lokasi
dan perluasan tumor. Keluhan utama kanrsinoma lidah adalah adanya plak putih
atau kemerahan pada lidah, ulkus atau sariawan yang tidak ada perbaikan setelah
2 minggu, adanya benjolan pada lidah. Keluhan tambahan yang sering dirasakan
pasien adalah sulit menelan dan terdapat masalah dalam menelan, kesukaran
bicara dan terjadi perubahan suara, benjolan di leher, perdarahan atau nyeri atau
rasa kebas pada bibir atau pipi. Riwayat kebiasaan yang menjadi etiologi
karsinoma lidah perlu untuk ditanyakan. Diantaranya adalah riwayat konsumsi
alkohol dan tembakau. Anamnesa ini ditujukan untuk mengidentifikasi keluhan
utama, perjalanan penyakit, faktor resiko, riwayat pengobatan yang telah
diberikan dan hasil pengobatan.
Pemeriksaan kepala dan leher ditujukan langsung pada letak dan ukuran
lesi serta tanda-tanda infiltrasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan bimanual pada
tumor, pada dasar mulut, dan segitiga submandibula. Adanya pembesaran kelenjar
limfe regional dideteksi melalui pemeriksaan manual pada leher. Pemeriksaan gigi
juga dilakukan dengan memperhatikan higienitas rongga mulut, status dentalis
dan fungsi mandibula. Inspeksi dan palpasi yang diteliti pada lidah dan bagian-

13
bagian lain rongga mulut memiliki peranan yang paling penting sebelum
pemeriksaan fisik diagnostik yang lain. Terutama pada tumor-tumor infiltratif
yang lebih besar dan menimbulkan rasa nyeri, untuk penentuan stadium yang baik
diperlukan narkose. Pemeriksaan yang telili juga harus dilakukan terhadap adanya
pembengkakan kelenjar yang mencurigakan di leher.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk evaluasi tumor primer dan
penyebaran ke kelenjar getah bening leher. Jika memungkinkan, pemeriksaan
radiologis juga dilakukan untuk memandu saat dilakukan biopsi atau Fine Needle
Aspiration (FNA). Pemeriksaan foto dental diperlukan untuk mendeteksi invasi
minimal pada mandibula. Foto dental dapat dilengkapi dengan tomografi
komputer untuk menilai adanya destruksi tulang. Bone scan tidak berperan dalam
mengevaluasi keterlibatan mandibula oleh tumor, hanya berguna sebagai survey
untuk melihat adanya metastasi ke tulang. Foto polos dada berguna untuk melihat
adanya metastasi jauh ke paru-paru. Tomografi komputer dan pencitraan
resonansi magnetik dapat mendeteksi perluasan jaringan lunak dan keterlibatan
tulang pada pasien dengan karsinoma rongga mulut. Meski demikian, pencitraan
resonansi magnetik memiliki kelebihan dalam menentukan stadium tumor dalam
rongga mulut. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan kontras jaringan antara
tumor dengan jaringan sehat dan tidak ada gambaran sisa dari amalgam atau
bahan-bahan gigi yang tampak.

14
Gambar. A. Tomografi komputer aksial dengan kontras menunjukkan karsinoma lantai
mulut mengkikis mandibula anterior. B. Pencitraaan resonansi magnetik koronal T2-weighted
menunjukkan karsinoma lidah infiltrasi lateral, berbatasan dengan arteri lingual (panah) johnson

Pemeriksaan Histopatologi
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan
diantaranya dalah biposi insisi. Biopsi ini diambil dari jaringan tumor dan jaringan
yang sehat. Kekurangan biopsi insisi ini adalah pembuluh darah menjadi terbuka
sehingga mempermudah penyebaran karsinoma tersebut. Biopsoi insisi dilakukan
bila tumor besar diatas 1 cm atau tumor tidak dapat dioperasi. Biopsi eksisi
dilakukan pada tumor yang kecil kurang dari 1cm. Eksisi yang dilakukan adalah
eksisi luas seperti operasi definitif yaitu 1 cm dari tepi tumor. Bila terdapat
fasilitas potong beku biopsi insisi hanya dilakukan bila tumor inoperable. Tumor
besar yang operable dilakukan potong beku waktu operasi untuk menentukan
terapi definitifnya. Kumar dkk menjelaskan bahwa pemeriksaan potong beku
dapat digunakan untuk memnentukan kedalaman dan invasi karsinoma lidah
stadium awal. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) dapat meningkatkan
diagnosis keganasan kepala leher. Dapat dilakukan pada tumor primer atau pada
metastasis ke kelenjar getah bening leher. Namun hasil pemeriksaan masih tingkat
sitologi, belum bisa dijadikan pegangan untuk menentukan terapi definitif.
Seringkali diferensiasi skuamosa ditandai dengan keratinisasi yang disertai
pembentukan “mutiara” bervariasi, dan pertumbuhan yang invasif merupakan
gambaran awal dari karsinoma sel skuamosa. Invasi ini ditandai dengan kerusakan
membran basalis, perluasan ke jaringan sekitar, dan juga reaksi stromal. Tanda
lainnya dari keganasan adalah ditemukannya invasi angiolimfatik dan perineural.
Tumor biasanya dibedakan menjadi KSS berdiferensiasi baik, moderat, dan buruk.
KSS yang berdiferensiasi baik hampir menyerupai gambaran epitel skuamosa
normal (Gambar 5A). KSS berdiferensiasi moderat memiliki gambaran nukleus
pleomorfik dan aktivitas mitosis, termasuk mitosis abnormal, dan biasanya
mengalami keratinisasi yang lebih sedikit. Pada KSS terdiferensiasi buruk, lebih
dominan ditemukan sel imatur yang disertai mitosis atipikal dan tipikal yang
sangat banyak, dan keratinisasi minimal (Gambar 5B).3,12

15
A B

Gambar 5. Karsinoma Sel Skuamosa (KSS): A. KSS berdiferensiasi baik.


B. KSS terdiferensiasi buruk snow

STADIUM KARSINOMA LIDAH


Penentuan stadium karsinoma rongga mulut menggunakan sistem
klasifikasi TNM menurut AJCC (American Joint Committee on Cancer) tahun
2010 (Tabel 2). Sistem klasifikasi ini mencakup tumor primer (T), nodus limfe
regional yang terlibat (N), dan ada tidaknya metastasis jauh (M). Klasifikasi TNM
ini berakhir pada kesimpulan stadium tumor I sampai IV. T ditentukan oleh
ukuran tumor untuk T1,T2 dan T3. Pada T4 lesi sudah menyebar ke organ
sekitanya. Tumor T4a telah menginvasi melalui tulang korteks menuju kedalam
otot-otot ekstrinsik lidah, menuju sinus maksilaris, dan menuju kulit wajah.
Tumor T4b telah mengivasi satu atau lebih struktur yaitu rongga mastikator,
lempeng pterygoid, tulang tengkorak, dan arteri karotis.T4b ini tidak dapat
direseksi. N ditentukan oleh ukuran, lokasi, dan sejumlah kelenjar getah bening
yang terlibat. N mulai dari N0 sampai N3. Keberadaan metastasis dicatat dengan
kode M.

Tabel 2. Klasifikasi TNM berdasarkan AJCC 2010 3,18

T Tumor Primer
Tx Tumor primer tidak diketahui
T0 Tidak ada tumor primer
Tis Karsinoma in situ

 T1 Tumor 2 cm atau kurang


 T2 Tumor 2 cm tetapi tidak lebih dari 4 cm

16
 T3 Tumor lebih besar dari 4 cm
 T4a Tumor telah menginvasi
Bibir : Tumor menginvasi melalui tulang korteks, alveolar inferior,
lantai mulut, dan kulit wajah ( dagu, hidung, dll)
Rongga mulut : Tumor menginvasi melalui struktur terdekat seperti
tulang korteks (mandibula atau maksila), menuju otot-otot ekstrinsik
tulang yang dalam ( genioglossus, hipoglossus,
palatoglossus,stiloglossus), menuju sinus maksila atau kulit wajah
 T4b Tumor menginvasi rongga mastikator, lempeng pterigoid, atau tulang
tengkorak dan atau arteri karotis interna
N Nodus limfe regional
Nx Nodus limfe regional tidak diketahui
N0 Tidak ada keterlibatan nodus limfe regional
N1 Melibatkan satu nodus limfe ipsilateral, diameter terbesar ≤3cm
N2a Melibatkan satu nodus limfe ipsilateral, diameter terbesar sekitar 3-6
cm
N2b Melibatkan nodus limfe multipel ipsilateral, tetapi tidak > 6cm
N2c Melibatkan nodus limfe bilateral atau kontralateral, tetapi tidak > 6 cm
N3 Melibatkan nodus limfe dengan diamter terbesar melebihi 6 cm
M Metastasis Jauh
Mx Metastasis jauh tidak diketahui
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Ada metastasis jauh

Dari sistem klasifikasi TNM tersebut didapatkan 5 stadium karsinoma


laring, yaitu stadium 0 sampai stadium IV (Tabel 3). Pada stadium 0 ditemukan
tumor primer bersifat in situ dan tidak ditemukan nodul ataupun metastasis jauh.
Jika tumor T1 tanpa disertai nodul dan metastasis jauh tergolong stadium I. Begitu
pula dengan T2 tanpa pembesaran nodul dan metastasis jauh termasuk ke dalam
stadium II. Pada prinsipnya stadium IV dibagi menjadi stadium IVA sampai IVC.
Nodul N2 dengan tumor T1-3 ataupun T4a dengan nodul selain N3, tanpa
metastasis jauh dimasukan ke stadium IVA. Stadium IVB adalah tumor T4b
apapun nodulnya atau nodul N3 apapun T-nya. Akan tetapi jika didapatkan
metastasis jauh (M1), apapun T dan N yang ditemukan, digolongkan ke stadium
IVC. 3,18

Tabel 3. Stadium Karsinoma Laring 3,18

Stadium 0 Tis N0 M0

17
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
T1, T2 N1 M0
Stadium III
T3 N0, N1 M0
T1, T2, T3 N2 M0
Stadium IVA
T4a N0, N1, N2 M0
T4b Semua N M0
Stadium IVB
Semua T N3 M0
Stadium IVC Semua T Semua N M1

TATA LAKSANA
Pemilihan terapi yang paling tepat dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan empat komponen penting, yaitu jenis histopatologi, perluasan
tumor setempat, kelenjar limfe regional yang terlibat, dan ada tidaknya metastasis
jauh. Di samping itu, NCCN 2015 mempertimbangkan hasil fungsional yang
diharapkan, keinginan pasien, dan kondisi medis umum pasien dalam menentukan
modalitas terapi. Pada umumnya tata laksana karsinoma lidah adalah radioterapi,
terapi bedah, kemoterapi, atau kombinasi dari ketiganya. Semua pasien karsinoma
lidah membutuhkan penanganan multidisiplin yang terdiri dari onkologis,
radiologis, terapis wicara, dan perawat. Berdasarkan pedoman NCCN 2015, terapi
yang direkomendasikan untuk pasien dengan karsinoma lidah dengan lesi kecil
(T1,T2) terapi utamanya adalah pembedahan dan radioterapi. Radioterapi
mungkin dapat memberikan hasil kuratif pada T1 dan T2 dengan preservasi
struktur anatomi yang normal. Namun radioterapi sering menimbulkan komplikasi
berupa edema lidah, yang memerlukan trakeostomi, xerostomia, disgeusia, dan
osteoradionekrosis. Terapi pembedahan pada karsinoma lidah adalah eksisi luas
dengan sayatan bebas tumor (konfirmasi potong beku). Tindakan ini umumnya
memerlukan partial glosektomi dan umumnya pasca operasi tetap baik.
Pada T3 dan T4 terapi utamanya dalah dengan pembedahan. Hasil kuratif
hanya bisa dicapai dengan reseksi en block yang komplit dari semua tumor dan
jaringan sekitar dengan batas sayaratan secara mikriskopis bebas tumor. Diseksi
leher radikal harus dilakukan pada klinis N positif dan diseksi leher selektif level
1-3 dilakukan pada No. Diseksi leher selektif harus dilakukan oleh karena
tingginya insiden metastasis keenjar getah bening leher. Pembedahan memberikan
kuratifitas yang lebih baik dibanding radioterapi dan memungkinkan untuk

18
evaluasi patologi dari faktor prognostik. Terkadang dibutuhkan rekonstruksi
langsung ( jabir miokutaneus atau jabir vaskular) untuk mempertahankan fungsi
kosmetik.
Terapi hemiglosektomi atau total glosektomi dilakukan bila tumor besar
dan infiltratif. Hemiglosektomi mengangkat separuh lidah dari ujung sampai
papila sirkumvalata. Inspeksi lidah membantu menentuka mobilitasnya. Jika
pasien masih mampu untuk menjulurkan lidah dan menggerakkan ke kanan dan
ke kiri, berarti invasi mandibula belum ditemukan. Penyebaran ke mandibula
ditemukan bila terpapar ke tulang dan terfiksir pada lantai mulut dan mandibula,
Pemeriksaan fisik palpasi dan inspeksi adalah prediktor terbaik. Anestesi umum
pada hemiglosektomi dianjurkan melalui pipa nasotrakeal ditempatkan pada
kavum nasi kontralateral dengan sisi lesi. Insis menggunakan elektrokauter untuk
memotong lesi sampai 1-1,5 cm bebas tumor. Reseksi baji adalah hal yang paling
baik dilakukan pada tumor infiltratif terlokalisir. Pembuluh darah dikontrol
dengan forcep Depakey, kauter bipolar atau kauter unipolar tergantung dari
ukuran pembuluh darah. Penjahitan dalam dilakukan mendekatkan otot-otot
intrinsik. Diseksi leher dipertimbangkan setelahnya.

19
Radioterapi dilakukan bila tumor inoperable , T3 atau lebih, N3, Mo-M1,
dan tumor di sepertiga posterior lidah. Modalitas radioterapi primer meliputi area
yang luas atau radioterapi eksternal, implantasi interstitial dan kombinasi dari
modalitas tersebut. Radioterapi definitif dilakukan pada stadium awal kanker
rongga mulut dimana pembedahan dikontraindikasikan. Dosis radiasi tergantung
dari luasnya tumor dan toleransi pada jaringan normal sekitarnya. Pada umumnya,
dosis radioterapi definitif 60 sampai 65 Gy selama 6 minggu pada tumor yang
kecil sedangkan untuk tumor yang lebih besar diberikan dosis 70Gy selama 7
minggu.
Kemoterapi dapat diberikan sebelum (neoadjuvan), setelah (adjuvan) atau
bersamaan (konkomitan) terapi definitif. Kemoterapi neoadjuvan belum dapat
memberikan keuntungan. Adjuvan cisplatin dan 5-flourouracil (5FU) diberikan
setelah radioterapi posoperatif menurunkan insidensi metastasis jauh tetapi tidak
memberikan keuntungan untuk angka ketahanan selama 4 tahun, ketahanan secara
menyeluruh ataupun ketahanan bebas penyakit. Kemoreadiasi konkomitan
ternyata efektif dalam memberikan angka ketahanan menyeluruh dan ketahan
bebas penyakit pada pasien karsinoma sel skuamosa kepala dan leher. Namun
akan banyak efek samping yang akan dihadapi diantaranya adalah mukosistis dan
toksisitas hematopoetik. Terapi kombinasi pembedahan dan kemoradiasi
dianjurkan untuk karsinoma rongga mulut stadium lanjut. Indikasi radioterapi
adjuvan meliputi pembesaran kelenjar getah bening leher yang multipel, perluasan

20
kelenjar getah bening ekstrakapsular, batas positif pada reseksi dan tumor stadium
III atau IV.

PROGNOSIS
Prognosis karsinoma lidah adalah jelek, meskipun angka statistik penyakit
ini bervariasi diantara kelompok penderita, angka penyembuhan selama 5 tahun
adalah umumnya dibawah 25%. Karsinoma lidah yang terjadi pada sepertiga
posterior dorsum lidah (20-30%), keadaanya lebih ganas dan kasusnya lebih
sedikit dibandingkan dengan duapertiga anterior lidah (70-80%). Ketebalan
tumor, keberadaan invasi perineural, metastasis kelenjar getah bening leher, atau
displasia pada batas reseksi mempengaruhi prognosis karsinoma lidah. Martin T
menyatakan pasien dengan kedalaman tumor lebih dari 9 mm memiliki angka
ketahanan lima tahun sebanyak 66%. Pasien dengan kedalaman tumor kurang
dari 3 mm memiliki angka ketahanan 100%.

LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 49 tahun dan beralamat di dalam kota Palembang
datang ke Klinik THTKL RS Mohammad Hoesin Palembang pada tanggal 16
September 2015 dengan keluhan suara serak sejak 6 bulan yang lalu (Gambar 6).
Dari anamnesis didapatkan sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluhkan suara
serak. Suara serak menetap, tidak menghilang jika istirahat bersuara. Pasien tidak
mengeluhkan demam, sakit tenggorokan, rasa mengganjal di tenggorokan, nyeri
menelan, sulit menelan, ataupun sesak nafas. Keluhan telinga dan hidung tidak
dirasakan pasien. Pasien berobat beberapa kali ke dokter umum, dikatakan terkena
radang pita suara, dan diberi antibiotik dan antiradang. Namun keluhan dirasakan
tetap tidak berkurang. Sekitar satu bulan yang lalu, pasien mengeluhkan suara
serak semakin parah hingga suara hampir hilang. Pasien juga merasakan sesak
napas disertai bunyi nafas yang kasar. Sesak dirasakan terutama saat beraktivitas
dan berbaring ke kanan. Sesak berkurang jika beristirahat dan berbaring terlentang
atau ke kiri. Timbul benjolan di leher kiri sebesar kelereng yang tidak nyeri.
Pasien berobat ke praktek spesialis THT dan dikatakan ada tumor di pita suara

21
sehingga dirujuk ke Klinik THTKL RS Mohammad Hoesin Palembang. Riwayat
memakai suara yang berlebihan disangkal. Riwayat darah tinggi disangkal.
Riwayat sakit maag ada. Riwayat bekerja di pabrik karet di bagian oven
(produksi) selama 12 tahun dan sudah berhenti sejak 5 tahun.

Gambar 6. Foto utuh wajah pasien: Ny. M berusia 49 tahun

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,


tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 74 x/ menit, pernafasan 24x/ menit, suhu
36,7oC. Dari pemeriksaan ditemukan adanya stridor inspirasi dan tidak ditemukan
retraksi baik suprasternal, interkostal, ataupun epigastrial. Pada pemeriksaan
telinga, hidung, dan tenggorok tidak ditemukan kelainan. Dari pemeriksaan
laringoskopi indirek didapatkan valekula dan epiglotis tenang, tampak massa
berwarna kemerahan dengan batas tak tegas pada aritenoid kiri dan menutupi
sebagian plika vokalis dan ventrikularis kiri, pergerakan asimetris dimana plika
vokalis dan ventrikularis kiri terfiksir (Gambar 7). Regio coli sinistra level III
teraba massa soliter, diameter sekitar 2 cm, teraba keras, batas tegas, permukaan
rata, terfiksir, warna sama dengan sekitar, nyeri tekan dan fluktuasi tidak ada.

22
Gambar 7. Pemeriksaan tenggorok menunjukkan gambaran massa pada lidah kanan.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan radiologis


dan pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan radiologis foto soft tissue
cervical AP/ Lateral tanggal 16 September 2015 dan toraks PA tanggal 10
September 2015 dalam batas normal (Gambar 8A-B). CT Scan laring pada
tanggal 7 September 2015 menunjukkan kesan massa di supraglotis, glotis, dan
subglotis disertai penebalan epiglotis sisi kiri, penyempitan sinus piriformis kanan
kiri, infiltrasi sinus piriformis kiri, destruksi kartilago tiroid sisi kiri, dan
pembesaran kelenjar getah bening ukuran 1,5 cm perijugularis kiri sesuai
T4N1Mx (Gambar 8C). Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 12 September
2015 menunjukkan hemoglobin 13,7 g/dL, eritrosit 4.770.000/ mm3, hematokrit
43 vol%, leukosit 10.600/ mm3, trombosit 330.000/ mm3, waktu perdarahan 1
menit, waktu pembekuan 12 menit, gula darah sewaktu 163 gr/dL, natrium 141,
kalium 3.9, ureum 25 mg/dL, kreatinin 1.14 mg/dL, SGOT 14, dan SGPT 10.

A B
Gambar 8. A. Foto Toraks PA dan B. Tomografi komputer orofaring potongan aksial
dalam batas normal

23
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis
pasien didiagnosis dengan tumor laring. Pasien dirawat inap, dipasang infus
Ringer Laktat 20 tetes per menit, dipersiapkan untuk operasi laringoskopi direk
dan biopsi, serta esofagoskopi diagnostik, dikonsulkan ke bagian penyakit dalam
dan anestesi, dan dipuasakan enam jam sebelum operasi. Dari konsul dengan
bagian penyakit dalam didapatkan hasil kor dan pulmo kompensata dengan
hipertensi stage 2, dan diberi obat amlodipin 1 x 5 mg dan valsartan 1 x 10 mg.
Hasil konsultasi dengan bagian anestesi yaitu setuju untuk tindakan operasi
dengan status fisik ASA II.

A B

Gambar 9. Laringoskopi direk: tampak massa pada (A) aritenoid kiri, (B) plika vokalis
dan ventrikularis kiri

Pada tanggal 2 Oktober 2015 dilakukan operasi laringoskopi direk dan


biopsi, serta esofagoskopi diagnostik. Dari laringoskopi direk tampak massa
kemerahan dengan batas tak tegas pada aritenoid kiri, plika vokalis dan
ventrikularis kiri (Gambar 9A-B). Biopsi masing-masing dilakukan pada aritenoid
kiri, plika vokalis dan ventrikularis kiri. Jaringan diperiksakan histopatologinya ke
laboratorium patologi anatomi. Kemudian dari esofagoskopi diagnostik tak
tampak massa menginfiltrasi esofagus, mukosa esofagus tampak tenang (Gambar
10A-B). Durante operasi diputuskan dilakukan tindakan trakeotomi dikarenakan

24
terjadi edema di daerah plika vokalis dan ventrikularis (Gambar 10C). Pasien
mendapatkan terapi antibiotik seftriakson 2 x 1 gram intravena, injeksi ranitidin 2
x 1 ampul intravena, injeksi metilprednisolon 2 x 125 mg intravena, dan drip
ketorolak 2 ampul dalam 500 cc Ringer Laktat gtt XX/ menit.

Gambar 10. Jaringan tumor yang dibebaskan

Pada evaluasi hari pertama pasien mengeluhkan nyeri di daerah leher,


tidak dijumpai keluhan rasa panas di daerah dada. BAB kehitaman tidak dijumpai.
Status umum pasien baik dengan tekanan darah 140/ 80, nadi 72x/ menit,
pernafasan 20x/ menit, dan suhu 36,7 oC. Perdarahan pada orofaring dan kanul
trakeostomi tidak ditemukan. Pemberian metilprednisolon di-tappering off. Pada
hari kedua keluhan nyeri tidak dirasakan lagi, makan dan minum seperti biasa.
Pasien diperbolehkan pulang dengan terapi sefadroksil 2 x 500 mg, parasetamol 3
x 500 mg prn, dan metilprednisolon 2 x 4 mg post coenam dan diajarkan
perawatan kanul trakeotomi. Pasien direncanakan kontrol ulang tanggal 10
Oktober 2015 setelah ada hasil histopatologi.
Pada tanggal 10 Oktober 2015 pasien datang kontrol dengan membawa
hasil histopatologi. Dari hasil histopatologi didapatkan bahwa kesan karsinoma sel
skuamosa berkeratin pada laring. Selanjutnya pasien dipersiapkan untuk
penentuan stadium karsinoma laringnya. Pada pasien dilakukan pemeriksaan USG
abdomen dan ekokardiografi. Hasil USG abdomen dalam batas normal dan tak
tampak metastase ke intraabdomen/pelvis. Ekokardiografi menggambarkan hasil
dimensi ruang jantung dalam batas normal dengan ejection fraction sebesar 71%.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karsinoma laring pada pasien ini berada
pada stadium IVA (T4aN1M0).

25
Gambar 11. Histopatologi yang menunjukkan karsinoma sel skuamosa berkeratin
(Sel keratin ditandai dengan panah berwarna hitam)
Pada pasien ini direncanakan untuk laringektomi total disertai diseksi
leher, tetapi pasien menolak untuk tindakan operatif. Kemudian pada pasien ini
disarankan untuk menjalani kemoradiasi. Akan tetapi, pasien kembali menolak
untuk dilakukan kemoradiasi. Pasien lebih memilih untuk dilakukan radioterapi
saja karena merasa tidak sanggup untuk kemoradiasi. Pasien mulai menjalani
radioterapi sejak tanggal 14 Desember 2015.

DISKUSI KASUS
Dilaporkan sebuah kasus karsinoma laring stadium IV pada wanita berusia
49 tahun. Kepustakaan menyebutkan bahwa karsinoma sel skuamosa (KSS)
menyumbang sekitar 95% dari keganasan pada laring. Karsinoma laring paling
sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita. Di Eropa Tengah dan Eropa
Selatan, Brazil Selatan, Uruguay dan Argentina, serta kulit hitam di Amerika
Serikat insidensi karsinoma laring tinggi pada laki-laki (≥10:100.000 populasi).
Insiden paling rendah ditemukan pada laki-laki di Asia Tenggara dan Afrika
Tengah (< 1:100.000 populasi). Pada sebagian besar populasi, insiden pada wanita
sangatlah rendah yaitu kurang dari 1 : 100.000 populasi. Di beberapa negara,
insiden pada wanita meningkat dikarenakan meningkatnya kebiasaan merokok
selama dua dekade terakhir. Sekitar 140.000 kasus baru ditemukan di seluruh
dunia pada tahun 1990 dimana sebesar 86% kasus terjadi pada laki-laki. 3,12,13
Riwayat sakit maag pada pasien ini ada. Riwayat bekerja di pabrik karet di
bagian oven (produksi) selama 12 tahun dan sudah berhenti sejak 5 tahun.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa patogenesis karsinoma laring yang terjadi
melibatkan banyak faktor, baik dari faktor endogen maupun lingkungan. Terdapat
beberapa bukti yang mendukung bahwa paparan dari pekerjaan dapat
meningkatkan resiko terjadinya karsinoma laring. Salah satu tempat bekerja yang
menjadi perhatian utama dalam mengevaluasi resiko potensial karsinogenik
adalah industri karet. Proses pemanasan dalam industri karet diduga sebagai
sumber tereksposnya bahan kimia yang beberapa diantaranya diklasifikasikan

26
sebagai karsinogen oleh International Agency for Research on Cancer (IARC).
Penelitian yang dilakukan oleh pada tahun 2007 Cirla dkk menemukan bahwa
terdapat lebih dari 100 bahan kimia yang digunakan dalam industri karet dan
sekitar 15 diantaranya tergolong dalam bahan karsinogenik terhadap manusia,
antara lain akrilonitril, 1,3-butadine, styrene, dan polycyclic aromatic
hydrocarbon. Menurut IARC, industri pembuatan karet tergolong ke dalam grup
2A. 3,5,7-11
Paparan akrilonitril terhadap manusia didapatkan terutama dari pekerjaan,
yaitu melalui inhalasi. Peningkatan insiden kanker paru secara signifikan telah
dilaporkan oleh beberapa penelitian terhadap pekerja yang terpapar dalam jangka
waktu lama. Akrilonitril digolongkan ke dalam grup 2B oleh IARC. Pada suatu
percobaan terhadap tikus, akrilonitril terbukti meningkatkan resiko terjadinya
kanker. Jika akrilonitril teroksidasi akan terjadi pembentukan radikal bebas yang
akan menimbulkan kerusakan DNA. Pembentukan radikal bebas ini menyebabkan
kerusakan seluler (stres oksidatif). Sementara itu, menurut Environmental
Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, 1,3 butadiene bersifat karsinogenik
dua kali lebih kuat daripada akrilonitril melalui inhalasi. IARC menggolongkan
styrene ke dalam grup 2B. 5,7-11
Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) merupakan komponen organik
hidrokarbon yang terdiri dari hidrogen dan karbon. Paparan PAH dari pekerjaan
terutama didapatkan melalui inhalasi dan kontak kulit. Proses industri yang
melibatkan pembakaran tidak sempurna merupakan sumber utama paparan dari
pekerjaan. PAH ditemukan sebagai salah satu komponen dari campuran zat kimia
yang sangat kompleks. Data karsinogensitas PAH pada manusia hanya dapat
ditemukan pada campuran yang mengandung PAH tersebut. Oleh karena itu,
sangatlah sulit untuk memastikan karsinogenesitas komponen PAH itu sendiri
dikarenakan interaksi kimiawi yang mungkin terjadi dan keberadaan substansi
karsinogenik lainnya di dalam campuran tersebut. Pada tahun 2010, IARC
mereevaluasi PAH. Meskipun beberapa tempat kerja dengan paparan PAH yang
tinggi diklasifikasikan bersifat karsinogenik, seperti contohnya industri karet,
ketetapan mengenai PAH itu sendiri belum dapat diputuskan. 5,7-11

27
Pasien mengeluhkan suara serak sejak 6 bulan yang lalu. Suara serak
menetap, tidak menghilang jika istirahat bersuara. Pasien tidak mengeluhkan
demam, sakit tenggorokan, rasa mengganjal di tenggorokan, nyeri menelan, sulit
menelan, ataupun sesak nafas. Keluhan telinga dan hidung tidak dirasakan pasien.
Sekitar satu bulan yang lalu, pasien mengeluhkan suara serak semakin parah
hingga suara hampir hilang. Pasien juga merasakan sesak napas disertai bunyi
nafas yang kasar. Sesak dirasakan terutama saat beraktivitas dan berbaring ke
kanan. Sesak berkurang jika beristirahat dan berbaring terlentang atau ke kiri.
Timbul benjolan di leher kiri sebesar kelereng yang tidak nyeri. Sesuai dengan
kepustakaan bahwa gejala klinis yang timbul tergantung dari lokasi KSS. Gejala
awal yang paling sering terjadi pada KSS glotis adalah suara serak. Gejala yang
timbul pada KSS supraglotis antara lain disfagia, perubahan kualitas suara, rasa
mengganjal di tenggorokan, hemoptisis, odinofagia, dan benjolan di daerah leher.
Sedangkan dispnu dan stridor paling umum ditemukan pada tumor subglotis. 3,12,18
Dari pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan valekula dan epiglotis
tenang, tampak massa berwarna kemerahan dengan batas tak tegas pada aritenoid
kiri dan menutupi sebagian plika vokalis dan ventrikularis kiri, pergerakan
asimetris dimana plika vokalis dan ventrikularis kiri terfiksir. CT Scan laring pada
tanggal 7 September 2015 menunjukkan kesan massa di supraglotis, glotis, dan
subglotis disertai penebalan epiglotis sisi kiri, penyempitan sinus piriformis kanan
kiri, infiltrasi sinus piriformis kiri, destruksi kartilago tiroid sisi kiri, dan
pembesaran kelenjar getah bening ukuran 1,5 cm perijugularis kiri sesuai
T4N1Mx. Kepustakaan mengatakan bahwa pemeriksaan laringoskopi indirek
akan menunjukkan gambaran massa berbatas tegas, permukaan berdungkul, dan
kadang permukaannya ulserasi. Melalui pemeriksaan laringoskopi indirek ini juga
dapat ditentukan klasifikasi T dari tumor tersebut. Jika dari pemeriksaan
laringoskopi indirek ditemukan lesi yang mencurigakan, pemeriksaan radiologis
diperlukan untuk mengevaluasi lesi tersebut lebih lanjut. Pemeriksaan radiologis
yang biasanya dilakukan adalah CT-Scan atau MRI, dimana CT-Scan merupakan
pilihan pertama. 3,12
Dari laringoskopi direk pada pasien tampak massa kemerahan dengan
batas tak tegas pada aritenoid kiri, plika vokalis dan ventrikularis kiri. Biopsi

28
masing-masing dilakukan pada aritenoid kiri, plika vokalis dan ventrikularis kiri.
Jaringan diperiksakan histopatologinya ke laboratorium patologi anatomi.
Kemudian dari esofagoskopi diagnostik tak tampak massa menginfiltrasi
esofagus, mukosa esofagus tampak tenang. Menurut kepustakaan, laringoskopi
direk tidak hanya penting dalam melakukan biopsi tetapi juga untuk mengevaluasi
perluasan tumor lebih lanjut, serta menyingkirkan adanya tumor primer lainnya.
3,12

Pasien ini didiagnosis dengan karsinoma laring stadium IVA (T4aN1M0)


sehingga direncanakan untuk laringektomi total disertai diseksi leher. Akan tetapi,
pasien menolak untuk tindakan operatif, sehingga disarankan untuk menjalani
kemoradiasi. Pasien kembali menolak untuk kemoradiasi karena merasa tidak
sanggup. Akhirnya pasien memilih untuk diradioterapi saja. Pemilihan terapi yang
paling tepat dapat dilakukan dengan mempertimbangkan empat komponen
penting, yaitu jenis histopatologi, perluasan tumor setempat, kelenjar limfe
regional yang terlibat, dan ada tidaknya metastase jauh. Di samping itu, NCCN
2015 mempertimbangkan hasil fungsional yang diharapkan, keinginan pasien, dan
kondisi medis umum pasien dalam menentukan modalitas terapi. Pada umumnya
tata laksana karsinoma laring adalah radioterapi, terapi bedah, kemoterapi, atau
kombinasi dari ketiganya. Tata laksana standar pada pasien dengan tumor glotis
dan supraglotis T4a adalah laringektomi total disertai tiroidektomi dan diseksi
leher jika diindikasikan (tergantung keterlibatan nodus limfe) dan dilanjutkan
dengan terapi adjuvan. Pasien T4a tertentu yang menolak tindakan operatif,
3,12,18
NCCN merekomendasikan untuk kemoradiasi konkuren.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Deschler D, Erman AB. Oral cavity cancer. In : Johnson JT, Rosen AC.
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Lippincott
Williams and Wilkins. Philadelphia. 2014. p 1849-71
2. Bansal M. Neoplasms of the oral cavity. In : Diseases of Ear, Nose and
Throat Head and Neck Surgery. Jaypee. India. 2013. p 403-6
3. Lydiatt WM. Transoral resections. In: Cohen JI, Clayman Gl. Altas of
head and neck surgery. Elsevier Saunders. Philadelphia. 2011. P269-76
4. Martin T, Webster K. Lip and oral cavity. In : Watkinson JC, Gilbert RW.
Stell and Maran’s Textbook of Head and Neck Surgery and Oncology. 5 th
ed. CRC Press. USA. 2012.p563-6
5. Chan Y, Gaddard JC. Carcinoma of the Oral Cavity, Pharynx, and
Esophagus. In : KJ.Lee’s Essential Otolaryngology Head and Neck
surgery. 11thed. Mc Graw Hill. NewYork.2016. p 709-15
6. Chan Y, Gaddard JC. The Oral Cavity, Pharynx, and Esophagus. In :
KJ.Lee’s Essential Otolaryngology Head and Neck surgery. 11 thed. Mc
Graw Hill. NewYork.2016. p 564-6
7. Bonkowsky V, Gerdemann P. Oral Cavity. In : Anniko M et al.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Springer. Germany. 2009. P 405-
24
8. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Anatomy and Physiology of the Lips
and Oral Cavity. In : Basic Otorhinolaryngology A Step by Step Learning
Guide. Thieme. NewYork. 2006. p 70-95
9. Kraus DH. Shrime MG. Neoplasm of the Oral Cavity. In : Snow JB.
Wackym PA. Ballenger’s Otolrhinolaryngology Head and Neck Surgery.
17ed. BC Decker Shelton. Connecticut.2009.p1091-1103
10. Wein RO, Weber RS.Malignant Neoplasms of the Oral Cavity. In : Flint
PW et al. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 6th ed.
Saunders. Philadelphia. 2016. p1359-87

30
11. Travers JB, Travers SP, Christian JM. Physiology of the Oral Cavity. In :
Flint PW et al. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 6 th ed.
Saunders. Philadelphia. 2016. p1281-97
12. Kolokythas A, Park S, Schlieve T, Pytynia K, Cox D. Squamous cell
carcinoma of the oral tongue : a histopathological parameters associated
with outcome. Int J of Oral and Maxilofacial Surgery.2015;44: 1069-74
13. Ganly I et al. Longterm regional control and survivsl in patient with “low
risk,” early stage oral tongue cancer managed by partial glosectomy and
neck dissection without postoperative radiation. Cancer. 2013:119:1168-
76.
14. Kumar SS, George NA, R AK, Sebastian P. Can frozen section be used to
assess depth of invasion of early carcinoma of tongue?. Oral
oncology.2015: 51; e87-8
15. Ren ZH et al. A new surgical strategy for traetment of toungue squamos
cell carcinoma based on anatomic study with preliminary clinical
evaluation. Journal of cranio-maxillo-facial surgery. 2015.43: 1577-82
16. Heaton CM, Durr ML, Tetsu O, Zante The Laryngoscope.AV, Wang SJ.
TP53 and CDKN2a mutations in never smoker oral tongue squamous cell
carcinoma. 2014.124 : E267-E273.
17. Shiga K, Katagiri K, Nakanome A, Ogawa T, Kobayashi T. Management
of early stage tongue cancer. Available at www. Intecophen.com. Diakses
tanggal 11 Mei 2016.
18. Chen LA et al. Clinical outcomes associated with evolving treatment
modalities and radiation techniques for base-of-tongue carcinoma : thirty
years of institutional experience. Cancer medicine. 2015. 4(5): 651-60
19. Osaka R, Yamamoto N, Nomura T, Takano N, Shibahara T, Matsuzaka K.
Evaluation of infiltrative growth pattern in squamous cell carcinoma of the
tongue : comparison with Yamamoto-Kohama classification. Journal of
oral and maxillofacial surgery, medicine, and pathology. 2015. 27: 250-4

31
32

Anda mungkin juga menyukai