Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT REFERAT

DAN KEDOKTERAN KELUARGA JANUARI 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT KEBISINGAN


DITEMPAT KERJA

PENYUSUN:

Waode Fitriani, S.Ked


K1A114 047

PEMBIMBING:
dr. Arimaswati, M.Sc

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


DAN KEDOKTERAN KELUARGA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Waode Fitriani

NIM : K1A1 14 047

Judul Referat : Gangguan Pendengaran Akibat Kebisingan Di Tempat Kerja

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo

Kendari, Januari 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Arimaswati, M.Sc


NIP. 19690730 200212 1 003

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada kehidupan kita tiap hari mendengarkan bunyi bunyi di

lingkungan sekitar kita, misalnya bunyi dari televisi dan radio, peralatan

rumah, dan lalu lintas. Secara normal, kita mendengar bunyi selama ini pada

taraf yang tidak begitu mempengaruhi pendengaran kita. Bagaimanapun,

ketika kita dihadapkan pada bahaya kebisingan dengan suara yang nyaring

atau keras untuk jangka waktu tertentu maka hal itu dapat merusak sensitivitas

pada labirin kita, akibat dari hilangnya pendengaran akibat bising (Noise

Induced Hearing Loss) (Mutiasari, 2017).

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang

banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu mempermudah

pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja sebagai unsur dominan yang

mengelola bahan baku/ material, mesin, peralatan dan proses lainnya yang

dilakukan guna menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi masyarakat

(Mutiasari, 2017).

Kemajuan teknologi di sektor industri, telah berhasil menciptakan

berbagai macam produk mesin yang dalam pengoperasiannya seringkali

menghasilkan polusi suara atau timbulnya bising di tempat kerja. Suara bising

atau polusi suara, sebagai salah satu efek dari sektor industri dapat

menimbulkan gangguan pendengaran atau ketulian pada seseorang yang

2
bekerja atau berada di lingkungan industri. Perkembangan industri di berbagai

bidang seyogyanya tidak lepas dari adanya faktor bahaya dan timbulnya risiko

akibat kerja, salah satu bahaya yang umum dan sering ditemui di berbagai

tempat kerja adalah bahaya kebisingan. Pemajanan kebisingan yang melebihi

batas ambang yang ditentukan merupakan risiko pada fungsi pendengaran

manusia. Kondisi ini dapat secara langsung menurunkan produktivitas kerja

pekerja (Ibrahim, 2016).

Potensi bahaya di tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan

kesehatan dan kecelakan kerja dapat dikelompokkan antara lain sebagai

potensi bahaya fisik, potensi bahaya kimia, potensi bahaya biologis, potensi

bahaya fisiologis, potensi bahaya Psiko-sosial, dan. potensi bahaya dari proses

produksi ( Mahmudi, 2016).

Potensi bahaya fisik, yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan

gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya:

terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu ekstrim (panas & dingin), intensitas

penerangan kurang memadai, getaran, radiasi gelombang mikro dan sinar ultra

ungu. Faktor-faktor ini mungkin bagian tertentu yang dihasilkan dari proses

produksi atau produk samping yang tidak diinginkan (Mahmudin, 2016; ILO,

2017)

Sistem pendengaran adalah salah satu dari komponen utama

komunikasi. Kerusakan sistem pendengaran menjadi salah satu perhatian

utama dokter spesialis okupasi yang menangani kesehatan kerja di perusahaan.

Meskipun dapat dicegah, penyebab gangguan pendengaran oleh suara (Noise

3
Induced Hearing Loss/ NIHL) adalah penyakit yang bersifat ireversibel, yang

merupakan salah satu dari 10 penyakit akibat kerja terkemuka (Sumardiyono

dkk, 2018)

Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh

pajanan yang ada di lingkungan kerja. Gangguan pendengaran merupakan

salah satu penyakit akibat kerja. Lingkungan kerja yang bising merupakan

salah satu dampak dari sektor industri yang menjadi penyebab tersering

terjadinya gangguan pendengaran (Hearing Loss). Di seluruh dunia, 16 %

hearing loss pada orang dewasa disebabkan lingkungan kerja yang bising.

(Mayasari, 2017).

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan

kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari total populasi

industri di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih. Ketulian

yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit

akibat kerja di Amerika dan Eropa. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja

terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246

orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi

asuransi, ditemukan 85% menderita tuli saraf, dan dari jumlah tersebut 37%

didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz

(Marisdayana, 2016).

Di Indonesia, masalah bising termasuk dalam permasalahan besar di

dunia industri. Menurut Komite Nasional Penanggulangan Gangguan

Pendengaran dan Ketulian, ganggunan pendengaran akibat bising di Indonesia

4
termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara yaitu sekitar 36 juta orang atau

16,8% dari total populasi (Septiana, 2017).

Setiap tempat kerja mempunyai potensi tersendiri untuk menyebabkan

gangguan bagi para pekerja yang akan mempengaruhi kesehatannya sehingga

tidak mampu bekerja secara maksimal. Dampak yang ditimbulkan salah

satunya pada indera pendengaran manusia. Setiap bagian dari telinga

mempunyai fungsinya masing-masing dan harus berfungsi dengan baik agar

proses pendengaran berlangsung dengan sebagaimana mestinya. Besarnya

dampak yang disebabkan oleh kebisingan di tempat kerja tidak hanya

menyebabkan gangguan pendengaran tetapi gangguan-gangguan lainnya

seperti gangguan fisiologis, psikologis, komunikasi dan keseimbangan,

sehingga memerlukan perhatian khusus, terutama bagi pekerja yang terus

terpapar agar kesehatannya tetap terjaga dan pekerjaannya selesai sesuai

dengan harapan (Adnyani, 2017).

Secara umum karyawan masih rendah dalam penggunaan alat

pelindung diri yang disediakan perusahaan. Di samping itu rendahnya

pemahaman terhadap budaya kesehatan dan keselamatan kerja oleh karyawan

juga dapat mendorong masalah yang semakin besar. Faktor ketidaknyamanan

dan gangguan komunikasi merupakan alasan karyawan tidak menggunakan

pelindung pendengaran. Walaupun penggunaan alat pelindung diri telah

diketahui secara teoritis dapat mengurangi dan menekan munculnya potensi

risiko, namun beberapa alasan masih sangat sulit untuk diterapkan (Rimantho,

2014).

5
Bising industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang

belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius

bagi pendengaran para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan

pendengaran yang sifatnya permanen. Sedangkan bagi pihak industri, bising

dapat menyebabkan kerugian ekonomi karena biaya ganti rugi. Oleh karena

itu untuk mencegahnya diperlukan pengawasan terhadap pabrik dan

pemeriksaan terhadap pendengaran para pekerja secara berkala

(Mayasari,2017).

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Telinga manusia merupakan organ pendengaran yang menangkap dan

merubah bunyi berupa energi mekanis menjadi energi elektris secara efisien

dan diteruskan ke otak untuk disadari serta dimengerti, sebagai sistem organ

pendengaran, telinga dibagi menjadi sistem organ pendengaran perifer dan

sentral (Nugroho, 2009; Irawati, 2012).

1. Telinga luar

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral dari

membrane timpani, terdiri dari aurikulum, meatus akustikus eksternus

(MAE) dan membran timpani (MT). Meatus akustikus eksterna. selain

sebagai tempat penyimpanan serumen, juga berfungsi untuk meningkatkan

sensitifitas telinga dalam 3000 Hz – 4000 Hz. Saluran ini memiliki

panjang sekitar 2,5 cm. Gendang telinga atau membran timpani, memiliki

ketebalan sekitar 0,1 cm dan luas sekitar 65mm2. Gendang ini

menyalurkan getaran di udara ke tulang-tulang kecil telinga tengah.

7
2. Telinga Tengah

Telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran, susunan dari luar ke

dalam yaitu maleus, incus dan stapes yang saling berikatan dan

berhubungan membentuk artikulasi.. Prosesus longus maleus melekat pada

membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada

stapes. Stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale yang

berhubungan dengan koklea. Saat membran timpani bergetar, tulang-

tulang tersebut bergerak dengan frekuensi yang sama, mentransmisikan

frekuensi tersebut menuju oval window. Tiap-tiap getaran menghasilkan

pergerakan seperti gelombang pada cairan di telinga dalam dengan

frekuensi yang sama dengan gelombang suara aslinya. Suara yang masuk

99,9% mengalami refleksi dan hanya 0,1% saja yang di

transmisi/diteruskan. Pada frekuensi kurang dari 400 Hz membran timpani

8
bersifat “per” sedangkan pada frekuensi 4.000 Hz membran timpani akan

menegang.

3. Telinga Dalam

Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di

dalamnya dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur TD yaitu

labirin, merupakan suatu rangkaian berkesinambungan antara tuba dan

rongga TD yang dilapisi epitel. Labirin terdiri dari labirin membran berisi

endolim yang merupakan satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh

yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran ini di kelilingi

oleh labirin tulang ,di antara labirin tulang dan membran terisi cairan

perilim dengan komposisi elektrolit tinggi natrium rendah kalium. Fungsi

TD ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau indera

pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua

organ tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ

tersebut mengalami gangguan maka yang lain akan terganggu.

B. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh

daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau

tulang ke koklea, Proses mendengar melalui tiga tahapan yaitu tahap

pemindahan energi fisik berupa stimulus bunyi ke organ pendengaran, tahap

konversi atau tranduksi yaitu pengubahan energi fisik stimulasi tersebut ke

organ penerima dan tahap penghantaran impuls saraf ke kortek pendengaran

(Sheerwood, 2014; Rambe, 2015)

9
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang

telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar.

Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu

sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang juga

menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui

membran Reissner yang mendorong endolimfe dan membran basalis ke arah

bawah dan perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen

rotundum terdorong ke arah luar. Proses ini merupakan rangsang mekanik

yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga

kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.

Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga

melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan

potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius

sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Sheerwood,

2014; Rambe, 2015).

Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok, dan dengan

terdorongnya membran basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan

fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion

Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang N. VIII, kemudian

meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui

saraf pusat yang ada di lobus temporalis. Kanalis semisirkularis merupakan

alat keseimbangan dinamik dan terangsang oleh gerakan yang melingkar,

sehingga kemana saja arah kepala, asal gerakan itu membentuk putaran, maka

10
gerakan itu akan tertangkap oleh salah satu, dua atau ketiga kanalis

semisirkularis bersama-sama. Pada manusia, kanalis semisirkularis horizontal

yang mempunyai peran dominan oleh karena manusia banyak bergerak secara

horizontal (Rambe, 2015).

C. Definisi

Bising merupakan bunyi yang tidak dikehendaki atau tidak disenangi

yang merupakan aktivitas alam dan buatan manusia. Kemajuan peradaban

telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan mesin-mesin

kendaraan bermotor, mesinmesin pabrik, alat-alat transportasi berat, dan lain

sebagainya. Gangguan pendengaran akibat bising, atau gangguan pendengaran

akibat kerja (occupational deafness/noise induced hearing loss) adalah

hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat

permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus

menerus di lingkungan tempat kerja. Dalam lingkungan industri, semakin

tinggi intensitas kebisingan dan semakin lama waktu pemaparan kebisingan

yang dialami oleh para pekerja, semakin berat gangguan pendengaran yang

ditimbulkan pada para pekerja tersebut (Mayasari, 2017).

Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak

dikehendaki. Dari definisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu

sangat subyektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan tempat

terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah campuran bunyi

nada murni dengan berbagai frekwensi. Secara umum bising adalah bunyi

yang tidak diinginkan. Batasan pajanan terhadap kebisingan ditetapkan nilai

11
ambang batas sebesar 85 dB selama 8 jam sehari. Bising yang intensitasnya 85

desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran

corti pada telinga dalam. (Rambe, 2015; Mayasari, 2017; ILO, 2017).

Noise-induced hearing loss (NIHL) merupakan gangguan pendengaran

akibat terpapar bising di suatu lingkungan kerja dalam jangka waktu yang

lama dan terus menerus. NIHL merupakan jenis tuli sensorineural dan

umumnya terjadi pada kedua telinga (Salawati, 2013).

Cacat pendengaran akibat kerja (Occupational deafness / noise

induced hearing loss ) adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran

seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang

disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja. Dalam

lingkungan industri, semakin tinggi intensitas kebisingan dan semakin lama

waktu pemaparan kebisingan yang dialami oleh para pekerja, semakin berat

gangguan pendengaran yang ditimbulkan pada para pekerja tersebut (Rambe,

2015).

D. Patofisiologi

Paparan bising mengakibatkan perubahan sel-sel rambut silia dari

organ Corti. Stimulasi dengan intensitas bunyi sedang mengakibatkan

perubahan ringan pada sillia dan hensen’s body, sedangkan stimulasi dengan

intensitas tinggi pada waktu pajanan yang lama akan mengakibatkan

kerusakan pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom,

lisis sel dan robek membran reissner (Salawati, 2013).

12
Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang

menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan

lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku

sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya

intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti

hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal.

Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan

parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-

sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel

rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di

nukleus pendengaran pada batang otak (Salawati, 2013).

Gangguan pendengaran akibat paparan bising terus-menerus harus

dibedakan dari trauma akustik. Gangguan pendengaran trauma akustik terjadi

akibat paparan singkat (satu kali) langsung diikuti dengan gangguan

pendengaran permanen. Intensitas rangsangan suara umumnya melebihi 140

dB dan sering bertahan selama < 0,2 detik. Trauma akustik menyebabkan

terjadinya robekan membrane timpani dan gangguan pada dinding sel

sehingga tercampur perilimfe dan endolimfe. Trauma akustik juga dapat

menyebabkan cedera tulang pendengaran (Salawati, 2013).

E. Klasifikasi

1. Noise Induced Temporary Threshold Shift

Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS) atau biasa dikenal

dengan trauma akustik merupakan istilah yang dipakai untuk menyatakan

13
ketulian akibat pajanan bising atau tuli mendadak akibat ledakan hebat,

dentuman, tembakan pistol atau trauma langsung ke telinga. Trauma ini

menyebabkan kerusakan pada saraf di telinga bagian dalam akibat pajanan

akustik yang kuat dan tiba-tiba. Seseorang yang pertama kali terpapar

suara bising akan mengalami berbagai gejala, gejala awal adalah ambang

pendengaran bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran

audiometri tampak sebagai “notch“ yang curam pada frekuensi 4000 Hz,

yang disebut juga acoustic notch. Gangguan yang dialami bisa terjadi pada

satu atau kedua telinga.

Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat

sementara, apabila penderita beristirahat diluar lingkungan bising maka

pendengarannya akan kembali normal. Salah satu bidang pekerjaan yang

berisiko tinggi terhadap terjadinya trauma akustik ini adalah militer

(Salawati, 2013).

2. Noise Induced Permanent Threshold Shift

Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS) merupakan ketulian

akibat pemaparan bising yang lebih lama dan atau intensitasnya lebih

besar. Jenis tuli ini bersifat permanen. Faktor-faktor yang merubah NITTS

menjadi NIPTS adalah : masa kerja yang lama di lingkungan bising,

tingkat kebisingan dan kepekaan seseorang terhadap kebisingan. NIPTS

terjadi pada frekuensi bunyi 4000 Hz. Pekerja yang mengalami NIPTS

mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah menyebar sampai ke

frekuensi yang lebih rendah (2000 Hz dan 3000 Hz) keluhan akan timbul.

14
Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan

pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke

frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar

suara yang sangat lemah. Notch bermula pada frekuensi 3000–6000 Hz

setelah beberapa lama gambaran audiogram menjadi datar pada frekuensi

yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekuensi 4000 Hz akan

terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian

perkembangannya menjadi lebih lambat (Salawati, 2013).

F. Pengaruh Kebisingan terhadap Pendengaran

Perubahan ambang dengar akibat paparan bising tergantung pada

frekwensi bunyi, intensitas dan lama waktu paparan, dapat berupa :

1. Adaptasi

Bila telinga terpapar oleh kebisingan mula-mula telinga akan merasa

terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak

merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada

awal pemaparan (Rambe, 2015).

2. Peningkatan ambang dengar sementara

Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara

perlahanlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung

beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu

setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-

mula terjadi pada frekwensi 4000 Hz, tetapi bila pemeparan berlangsung

15
lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar

pada frekwensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu

pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon

tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas

masing-masing individu (Rambe, 2015).

3. Peningkatan ambang dengar menetap

Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan,

terutama terjadi pada frekwensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak

ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan . Kenaikan

ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20

tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun

setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa

pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan

pemeriksaan audiogram (Rambe, 2015).

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

1. Intensitas dan lamanya Pemaparan Bising

Dalam menentukan nilai ambang batas tiap negara memiliki standarnya

masingmasing. Untuk Indonesia, nilai ambang batas faktor fisika ditempat

kerja sudah diatur dalam keputusan menteri tenaga kerja RI no. KEP-

51/MEN/1999 (Salawati, 2013).

16
2. Frekuensi Bising

Frekuensi yang sering menyebabkan kerusakan pada organ Corti di koklea

adalah bunyi dengan frekuensi 3000 Hz sampai dengan 8000 Hz, gejala

timbul pertama kali pada frekuensi 4000 Hz. Hearing loss biasanya tidak

disadari pada percakapan dengan frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan

3000 Hz ˃25 dB. Apabila bising dengan intensitas tinggi terus

berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan ketulian

(Salawati, 2013).

Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga

bunyi, bising dibagi atas tiga kategori:

1. Audible noise (bising pendengaran). Bising ini disebabkan frekuensi

bunyi antara 31,5-8000 Hz

17
2. Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan).

Disebabkan bunyi mesin di tempat kerja, mesin ketik

3. Impulse noise (bising impuls). Bising yang terjadi akibat adanya bunyi

menyentak misalnya pukulan palu, ledakan meriam, tembakan bedil,

dll

3. Usia dan Jenis Kelamin

Hearing loss sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan

rasio 9,5 : Usia rata-rata berkisar pada usia produktif yaitu antara usia 20-

50 tahun (Salawati, 2013).

H. Gambaran Klinis

Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam

berbicara ( speech discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada

frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan

membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi

menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian

biasanya bilateral. Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering

dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan

konsentrasi (Rambe, 2015).

Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced

hearing loss ) adalah (Rambe, 2015):

1. Bersifat sensorineural

2. Hampir selalu bilateral

18
3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss )

Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB.

4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan

pendengaran yang signifikan.

5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000

dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi

4000 Hz.

6. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000

dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.

Kekurangan pendengaran dibagi atas (Lintong, 2009).:

1. Konduktif: disebabkan adanya gangguan hantaran dari saluran telinga,

rongga tympani dan tulang-tulang pendengaran

2. Senso-neural: disebabkan kerusakan di telinga dalam seperti organ corti,

nervus cochlearis, N VIII sampai ke otak.

3. Campuran (mixed): tuli campuran dari kedua unsur konduktif dan

sensoneural

I. Pengukuran Gangguan Pendengaran Akibat Kebisingan di Tempat

Kerja

Adanya pengukuran gangguan pendengaran akibat kebisingan di

tempat kerja, salah satunya bisa dilihat dari parameter kebisingan. Parameter

kebisingan terdiri dari parameter dasar dan parameteer turunan. Parameter

dasar meliputi frekuensi yang dinyatakan dalam Hertz yaitu siklus per detik,

tenaga bunyi yang dinyatakan dalam watt yaitu energi pancaran bunyi total,

19
dan tekanan bunyi yang dinyatakan dalam mikropaskal (uPa) yakni intensitas

sebagai akar dari kuadrat amplitudo(Mutiasari, 2017).

Adapun parameter turunan terdiri dari tingkat tekanan bunyi dan

tingkat bunyi yakni sebagai berikut (Mutiasari, 2017).:

1. Parameter dasar

a. Tenaga bunyi dinyatakan dalam watt yakni energi pancaran bunyi total

b. Tekanan bunyi yang dinyatakan dalam mikropaskal (uPa) yakni

intensitas sebagai akar dari kuadrat amplitude

2. Paremeter turunan

a. Tingkat tekanan bunyi (sound pressure level), dinyatakan dalam dB

yakni tingkat dalam frekuensi yang berkaitan dengan tekanan bunyi.

Kegunaan untuk mengukur pita frekuensi. Hubungan antara tekanan

bunyi dengan tingkat tekanan bunyi dapat dilihat dalam skala desibel

(db) yaitu logaritme dari tekanan bunyi.

b. Tingkat bunyi. Adapun pada hal ini sama dengan desibel yang mana

menunjukkan tingkat linieritas satuan dalam parameter dapat dihitung

seperti biasa, tetapi parameter turunan dalam satuan dB tidak bisa.

J. Diagnosis

Didalam menegakkan diagnosis NIHL, ahli THT harus melakukan

anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiologik. Dari

anamnesis didapati riwayat penah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan

bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lebih dari 5 tahun.

20
Sedangkan pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan (Rambe,

2015).

Pada pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positip, Weber

lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach

memendek. Kesan jenis ketuliannya adalah tuli sensorineural yang biasanya

mengenai kedua telinga (Rambe, 2015).

Ketulian timbul secara bertahap dalam jangka waktu bertahun-tahun,

yang biasanya terjadi dalam 8 – 10 tahun pertama paparan. Pemeriksaan

audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekwensi

tinggi ( umumnya 3000 – 6000 Hz ) dan pada frekwensi 4000 Hz sering

terdapat takik ( notch ) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini.

Sedangkan pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI ( Short Increment

Sensitivity Index ), ABLB ( Alternate Binaural Loudness Balance ) dan

Speech Audiometry menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (

recruitment ) yang khas untuk tuli saraf koklea (Rambe, 2015).

Untuk menegakkan diagnosis klinik dari ketulian yang disebabkan

oleh bising dan hubungannya dengan pekerja, maka seorang dokter harus

mempertimbangkan faktor-faktor berikut (Rambe, 2015) :

1. Riwayat timbulnya ketulian dan progresifitasnya.

2. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan dan lamanya bekerja.

3. Riwayat penggunaan proteksi pendengaran.

4. Meneliti bising di tempat kerja, untuk menentukan intensitas dan durasi

bising yang menyebabkan ketulian.

21
5. Hasil pemeriksaan audiometri sebelum kerja dan berkala selama kerja.

Pentingnya mengetahui tingkat pendengaran awal para pekerja dengan

melakukan pemeriksaan audiometri sebelum bekerja adalah bila

audiogram menunjukkan ketulian, maka dapat diperkirakan berkurangnya

pendengaran tersebut akibat kebisingan di tempat kerja.

6. Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non

industrial seperti riwayat penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat

penyakit sebelumnya.

K. Penatalaksanaan

Penanganan hearing loss harus dilakukan secara menyeluruh dimulai

dari pencegahan hingga tahap rehabilitatif. Bagi pekerja yang belum atau

sudah terpajan dengan kebisingan diberikan perlindungan menurut tata cara

medis berupa (Lintong, 2009).:

1. Monitoring paparan bising

a. Melakukan identifikasi sumber bising :

 Menilai intensitas bising dan frekuensinya. Tujuannya

untuk menilai keadaan maksimum, ratarata, minimum,

fluktuasi jenis intermiten dan steadiness bising. Untuk

pengukuran bising dipakai alat Sound Level Meter. Ada

yang dilengkapi dengan Octave Band Analyser;

 Mencatat jangka waktu terkena bising. Makin tinggi

intensitas bising, jangka waktu terpajan yang diizinkan

22
menjadi semakin pendek. Hal ini sudah ditetapkan dalam

keputusan menteri tenaga kerja RI no. KEP-51/MEN/1999

tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempatmmkerja.

b. Pengurangan jumlah bising di sumber bising :

 Pengurangan bising di tahap perencanaan mesin dan

bangunan (engineering control program);

 Pemasangan peredam, penyekat mesin dan bahan-bahan

penyerap suara.

c. Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan

kerjanya dari lingkungan bising ataupun menggunakan ear

protector seperti :

 Penggunaan ear plug/mold yaitu suatu alat yang

dimasukkan ke dalam telinga, alat ini dapat meredam suara

bising sebesar 30-40 dB;

 Ear muff/valve, dapat menutup sendiri bila ada suara yang

keras dan membuka sendiri bila suara kurang keras;

 Helmet, suatu penutup kepala yang melindungi kepala

sekaligus sebagai pelindung telinga.

23
Gambar 2. Earfluq, earmuff dan helmet

d. Menerapkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi serta

menerapkan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) secara ketat

dan melakukan pencatatan dan pelaporan data. Pemasangan poster

dan tanda pada daerah bising adalah salah satu usaha yang dapat

dilakukan. Perangkat pengurang kebisingan pribadi dapat bersifat

pasif, aktif atau kombinasi. Perlindungan telinga pasif termasuk

penyumbat telinga atau penutup telinga yang bisa menghalangi

suara hingga frekuensi tertentu. Penyumbat telinga dan penutup

telinga dapat memberi pemakainya dengan intensitas 10 dB sampai

40 dB. Namun, penggunaan penyumbat telinga hanya efektif jika

pengguna telah mengerti dan menggunakannya dengan benar;

Tanpa penggunaan yang tepat, perlindungan telinga tidak akan

berfungsi secara maksimal.

24
2. Pemeriksaan pendengaran para pekerja dengan audiometri nada murni,

yang terdiri atas :

a. Pengukuran pendengaran sebelum karyawan diterima

bekerja di lingkungan bising (pre employment hearing test).

Termasuk masyarakat yang berada di lingkungan bising

diperiksa pendengarannya.

b. Pengukuran pendengaran secara berkala dan teratur 6 bulan

sekali. Agar didapatkan gambaran dasar dari kemampuan

pendengaran pekerja dan masyarakat di lingkungan bising.

3. Bila hearing loss sudah mengganggu komunikasi dapat dicoba dengan

pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Jika dengan hearing aid

masih susah untuk berkomunikasi maka diperlukan psikoterapi agar

dapat menerima keadaanya. Latihan pendengaran (auditory training)

bertujuan agar penderita dapat menggunakan sisa pendengarannya

dengan alat bantu dengar, secara efisien dapat dibantu dengan

membaca gerakan ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan

anggota badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Bila

penderita mendengar suaranya sendiri sangat lemah, maka dapat

dilakukan rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, tinggi

rendah dan irama percakapan. Pada penderita yang telah mengalami

tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.

L. Pengendalian kebisingan

Adapun pengendalian kebisingan (Mutiasari,2017):

25
1. Eliminasi adalah langkah pertama yang harus dipertimbangkan ketika

mengatasi kebisingan di tempat kerja, dengan cara memeriksa semua

proses yang ada dan menghilangkan kebisingan tersebut dengan cara

mengubah salah satu atau lebih operasi.

2. Substitusi adalah cara pengendalian kebisingan dengan menggantikan alat,

perkakas, dan proses yang dapat menimbulkan kebisingan dengan alat atau

sistem yang lebih ”silent”.

3. Isolasi adalah memisahkan sumbersumber kebisingan dari orang-orang

yang terlibat dalam pekerjaan atau orang lain berada dekat sumber suara.

Ini bisa berarti memindahkan sumber kebisingan atau memindahkan

operator atau orang lain untuk posisi jauh dari sumber kebisingan.

4. Alat pelindung diri adalah pengendalian kebisingan yang berobyek pada

manusia, yaitu dengan menggunakan alat pelindung diri seperti earplug

atau earmuff.

M. Prognosis

Apabila pekerja mengalami tuli sensorineural koklea yang sifatnya

menetap dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan, maka

prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu pencegahan sangat penting (Salawati,

2013).

26
BAB III

KESIMPULAN

Bising dengan intensitas tinggi dan dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan tuli senso-neural yang bersifat pemanen. Efek bising terhadap

pendengaran dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu trauma akustik, perubahan ambang

pendengaran akibat bising yang berlangsung sementara, dan perubahan ambang

pendengaran akibat bising yang berlangsung permanen.

Penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan pekerjaan dapat

disebabkan oleh pemajanan faktor risiko di lingkungan kerja. Hearing loss

merupakan salah satu penyakit akibat kerja. Noise-induced hearing loss

merupakan gangguan pendengaran akibat terpajan bising di suatu lingkungan

pekerjaan dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus. Hearing loss dapat

sangat mempengaruhi pekerjaan dan kualitas hidup pekerja. Pengaruh bising tidak

hanya pada fungsi pendengaran namun dapat juga mengganggu psikis pekerja.

Penanganannya harus dilakukan secara menyeluruh dimulai dari

pencegahan hingga tahap rehabilitatif. Bagi pekerja yang belum atau sudah

terpajan bising diberikan perlindungan menurut tata cara medis. Prognosis kurang

baik pada tuli seonsorineural koklea oleh karena sifatnya menetap, dan tidak dapat

diobati dengan obat maupun pembedahan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Adnyani, A. L., dkk. 2017. Prevalensi Gangguan Fungsi Pendengaran Akibat


Kebisingan Lingkungan Kerja pada Pekerja Kayu di Desa Mas
Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar. E-JURNAL MEDIKA, Vol. 6(12):
144 - 147

Ibrahim, H., dkk. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan


Gangguan Pendengaran pada Tenaga Kerja Bagian Produksi PT. Japra
Comfeed Indonesia. Al-Sihah : Public Health Science Journal Vol 8(2):
121-134

International Labour Organization. 2017. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.


SCORE

Irawati, L. 2012. Fisika Medik Proses Pendengaran. Jurnal Kedokteran Andalas


Volume 36(2): 155-162

Lintong, F. 2009. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Jurnal Biomedik Volume


1(2): 81-86

Mahmudi. 2016. Upaya Mengurangi Kecelakaan Kerja melalui Pengenalan


Potensi Bahaya di Tempat Kerja. Forum Teknologi volume 6(1): 93-102

Marisdayana, R., dkk. 2016. Hubungan Intensitas Paparan Bising Dan Masa Kerja
Dengan Gangguan Pendengaran Pada Karyawan PT. X. JKLI Volume
15(1): 22-27

Mayasari, D., Khairunnisa, R. 2017. Pencegahan Noise Induced Hearing Loss


pada Pekerja Akibat Kebisingan. J Agromed Unila Volume 4 (2): 354-
360

Mutiasari, D. 2017. Gangguan Pendengaran Akibat Kebisingan di Tempat Kerja.


Jurnal Kedokteran Vol. 9 (2): 501-509

Nugroho, P. S., Wiyadi, H. M. S. 2009. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran


Perifer. Jurnal THT-KL.Vol.2(2): 76 - 85

Rambe, A. 2015. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Jurnal Kedokteran


Universitas Sumatera Utara Vol 19:1-11

28
Rimantho, D., Cahyadi, B. 2014. Analisis Kebisingan terhadap Karyawan di
Lingkungan Kerja Pada Beberapa Jenis Perusahaan.

Salawati, L. 2013. Noice-Induced Hearing Loss. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala


Volume 13(1): 45-49

Septiana, N. R., Widowati, E. 2017. Gangguan Pendengaran Akibat Bising.


HIGEIA: Journal of Public Health Research and Development Vol 1(1):
73-82

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta : EGC

Sumardiyono, dkk. 2018. Pengaruh Bising dan Masa Kerja terhadap Nilai
Ambang Pendengaran Pekerja Industri Tekstil. Journal of Industrial
Hygiene and Occupational Health Vol 2(2): 122-131

29

Anda mungkin juga menyukai