KONJUNGTIVITIS
PENYUSUN :
K1A1 14 070
PEMBIMBING :
FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
2019
KONJUNGTIVITIS
Devy Anjani Mutia Vilbi, Suyani Rustam
A. Pendahuluan5
Konjungtiviis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih
mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan
timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri atau kontak dengan benda
asing.
Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis di bagi menjadi konjungtivitis
infeksi dn konjungtivitis non infeksi. Pada konjungtivits infeksi penyebab
tersering adalah virus dan bakteri. Sedangkan untuk kelompok non infeksi
disebabkan oleh alergi, reaksi toksik, dan inflamasi sekunder lainnya.
Konjungtivitis juga dapat dikelompokkan berdasarkan waktu yaitu akut dan
kronik. Pada kondisi aku gejala terjadi hingga empat minggu, sedangkan pada
konjungtivitis kronik gejala lebih dari empat miggu. Konjungtivitis sering terjadi
bersama atau sesudah infeksi saluran nafas dan umumnya terdapat riwayat kontak
dengan pasien konjungtivitis viral.
Konjungtivitis virus merupakan penyakit mata merah yang paling sering
dijumpai dimasyarakat. Pada pada populasi dewasa, 80% kasus
konjungivitis akut disebabkan oleh virus
B. KONJUNGTIVITIS
1. Definisi1
Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi
pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan
eksudasi.
2. Epidemiologi1
Di Indonesia konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit
rawat jalan terbanyak pada tahun 2009. Dari 135.749 pasien yang berkunjung
ke poli mata, 73% adalah kasus konjungtivitis.
3. Anatomi3,5
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan
oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus.
- Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
bawahnya.
- Konjungtiva fornisses atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah untuk bergerak.
Gambar 1. Anatomi Mata potongan transversal (A) dan sagital (B)
4. Patofisiologi3
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan
invasi. Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata
yang dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya
mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun.
Hampir semua mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat
kerusakan epitel kecuali beberapa bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan
Shigella spp. Pada infeksi virus, adhesi sekaligus memfasilitasi proses invasi
melalui interaksi molekul virus dengan sel hospes seperti interaksi kapsul
adenovirus dengan integrin sel hospes yang menyebabkan proses endositosis
virus oleh sel.
Mikroorganisme juga dapat bertahan melewati sistem pertahanan
tubuh dan bereplikasi seperti pada infeksi HSV, virus varisela serta herpes
zoster namun sebagian besar infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh sistem
imun tubuh.
a. Konjungtivitis bakteri
Umumnya konjungtivits ini bermanifestasi dalam bentuk iritasi
dan pelebaran pembuluh darah (injeksi) bilateral, eksudat purulen dengan
palpebra saling melengket saat bangun tidur, dan kadang-kadang edema
palpebra. Infeksi biasanya mulai satu mata dan melalui tangan menular
ke sebelahnya. Infeksi menyebar ke orang lain melalui benda yang dapat
menyebarkan bakteri.
b. Konjungtivitis virus
Penyebab tersering konjungtivitis akut adalah virus. Infeksi virus
tertentu cenderung mengenai konjungtiva misalnya pharyngoconjunctival
fever sedangkan virus lainnya lebih sering menginfeksi kornea misalnya
virus herpes simpleks.
Konjungtivitis virus meliputi konjungtivitis adenovirus,
konjungtivitis herpes simpleks, konjungtivitis herpes-zooster,
konjungtivitis pox virus, konjungtivitis miksovirus, konjungtivitis
paramiksovirus, dan konjungtivitis arbovirus.
Gejala klinis konjungtivitis dapat menyerupai penyakit mata lain
sehingga penting untuk membedakan konjungtivitis dengan penyakit lain
yang berpotensi mengganggu penglihatan.
Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mata yang teliti untuk
menentukan tata laksana gangguan mata termasuk konjungtivitis. Infeksi
virus biasanya menyerang satu mata lalu ke mata lain beberapa hari
kemudian disertai pembesaran kelenjar limfe dan edema palpebra. Tajam
penglihatan secara intermiten dapat terganggu karena sekret mata. Jenis
sekret mata dan gejala okular dapat memberi petunjuk penyebab
konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri konjungtivitis viral dan
sekret mata kental berwarna kuning kehijauan biasanya disebabkan oleh
bakteri. Konjungtivitis viral jarang disertai fotofobia, sedangkan rasa
gatal pada mata biasanya berhubungan dengan konjungtivitis alergi.
c. Konjungtivitis alergika
Konjungtivitis alergika adalah suatu peradangan alergi pada
konjungtiva (selaput yang menutupi kelopak mata bagian dalam dan
permukaan luar mata). Pada sebagian besar penderita, konjungtivitis
alergika merupakan bagian dari sindroma alergi yang lebih luas,
misalnya rinitis alergika musiman. Tetapi konjungtivitis alergika bisa
terjadi pada seseorang yang mengalami kontak langsung dengan zat-zat
di dalam udara, seperti serbuk sari, spora jamur, debu dan bulu binatang.
Konjungtivitis alergi menggambarkan suatu respon imun spesifik
sekunder pada antigen yang disebut sebagai alergen, yang menginduksi
respon efektor IgE sel mast secara akut. Ketika respon primer
berlangsung, alergen spesifik sel-sel B disebar ke area tertentu di
berbagai lokasi MALT (Mucosal-Associated Lymphoid Tissue). Di
lokasi tersebut, sel B dengan bantuan sel T mengubah produksi
antialergen-IgM menjadi antialergen-IgE. IgE selanjutnya dilepaskan
pada tempat itu dan berikatan dengan reseptor Fc di permukaan
sel mast, sehingga sel mast menjadi dipersenjatai dengan suatu
reseptor alergen spesifik. Pajanan allergen berikutnya terjadi di tempat
yang berbeda dari pajanan awalnya, yang menyebabkan alergen bisa
menembus melewati epitel konjungtiva superficial menuju daerah
subepitel, lalu antigen akan mengikat spesifik alergen IgE tersebut
pada permukaan sel mast. Selanjutnya dalam 60 menit akan terjadi
degranulasi, diawali dengan pelepasan mediator-mediator yang dapat
menyebabkan chemosis dan rasa gatal di konjungtiva. Pada reaksi fase
lambat, yaitu terjadi antara 4-24 jam berikutnya, ditandai dengan
pengerahan sel-sel limfosit, eosinofil dan neutrofil.
Gejala utama dari konjungtivitis alergika adalah radang (mata
merah, sakit, bengkak, panas), gatal, silau berulang, dan menahun.
Namun pada kasus hanya didapatkan gejala mata merah di kedua mata,
disertai keluarnya air mata yang banyak, kotoran mata yang bening atau
jernih, mata bengkak dan sangat gatal. Khasnya pada konjungtivitis
alergika terdapat papil besar pada konjungtiva. Dan pada
pewarnaan usapan didapatkan eosinofil.
Tabel 2. Perbedaan gejala konjungtivitis berdasarkan etiologinya
Gejala dan Tanda Bakteri Virus Alergi
Mata merah ++ + +
Kongesti +++ ++ +/++
Kemosis ++ ± ++
Discharge Purulen/mukopurulen Cair Cair
Papil ± - ++
Folikel - + +
Pseudomembran ± ± -
Nodul kelenjar + ++ -
pre-aurikuler
Keratitis berulang ± ± -
Demam ± ± -
6. Diagnosis1,5
Tanda-tanda penting konjungtivitis adalah mata berair, eksudasi,
pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, folikel, pseudomembran, dan
membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.
Pendekatan algoritmik menggunakan riwayat perjalanan penyakit dan
pemeriksaan sederhana dengan penlight dan loupe dapat untuk mengarahkan
diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan penyakit mata lain dapat
menyebabkan mata merah, sehingga diferensial diagnosis dan karakteristik
tiap penyakit penting untuk diketahui.
Gambar 2. Algoritma Riwayat Perjalanan Penyakit Konjungtivitis