Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang
membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis
relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-
kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil
secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan
hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama
kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka
kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian
besar.1
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien
dan intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur
pelvis membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma
bedah umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan
cedera multipel, penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah
ortopedi ikut terlibat dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi
primer. Penilaian dini oleh ahli bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur
pelvis memudahkan tim pengobatan untuk membangun diagnosa dan prioritas
pengobatan, dan mempercepat pembentukan maneuver penyelamatan-hidup.
Sebuah pemahaman seksama terhadap sumber perdarahan potensial dan
kesadaran akan pilihan pengobatan adalah penting bagi semua dokter yang
terlibat.1
Tingginya angka kematian akibat perdarahan dari fraktur pelvis dan
kurangnya pengetahuan terhadap penanganan awal yang sebenarnya cukup
mudah untuk dapat kita lakukakan, maka penulis merasa perlu membahas
judul penanganan awal trauma pelvis

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Fraktur pevis adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis
atau tulang rawan sendi dan gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang
tua penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur
yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan
pasukan yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau
jatuh dari ketinggian.2

II.2. ETIOLOGI
Secara umum, mekanisme cedera yang paling umum adalah lalu lintas
kecelakaan. Pada lansia, mekanisme cedera yang paling umum adalah trauma
energi rendah (jatuh dari ketinggian sendiri). Pada remaja / dewasa muda,
mekanisme yang paling umum cedera adalah trauma energi tinggi (kecelakaan
lalu lintas).2
- Kecelakaan mobil/truk (25.7%)
- Kecelakaan motor (19.6%)
- Trauma energy rendah/lansia (25.7%)
- Jatuh dari ketinggian >1 m (6%)
- Jatuh dari kuda (7.5%)
- Kecelakaan Traktor (3%)
- Ditabrak (12%)

II.3. EPIDEMIOLOGI

Fraktur pelvis lebih sering pada priadan tempat yang paling umum dari
cedera adalah daerah perkotaan dan jalan raya. Secara umum, fraktur tipe A
adalah yang paling sering diikuti menurut tipe B dan C. - Fraktur tipe A
adalah yang paling umum pada lansia dan tipe C pada remaja / dewasa muda.2

2
Tingkat komplikasi utama dan kematian adalah yang tertinggi pada kelompok
tipe.3

II.4. ANATOMI PELVIS


Hubungan antara tulang pelvis dan vaskularisasinya menjelaskan
mengapa sering terjadi perdarahan pada fraktur pelvis. Pelvis merupakan
struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang
innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis.
Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada
dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada
simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban
berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis
stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah
ligamentum-ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini
terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum
sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior
inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang
dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan
bergabung dengan ligamentum sacrotuberale.
Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan
dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah
sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek
dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini,
bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas
vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral
sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke
spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus
transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior;

3
ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke
lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1)

4
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang
terdapat pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna
terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam
dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna
termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis.
Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih
besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca
interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri
pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri
pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan
dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini
dan juga venavena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya
disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan
membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih
mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor
dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.

5
Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor
yang terletak pada dinding dalam pelvis

II.5. MANIFESTASI KLINIS


Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa
nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat
kerusakan pada viscera pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.
Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak
dapat berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus
eksternus. Nyeri tekan dapt bersifat local tapi sering meluas, dan usaha
menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki
mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf
skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya
kerusakan visceral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok,
sepsis dan ARDS. Angka kematian juga cukup tinggi.6

6
 PERDARAHAN RETROPERITONEAL PADA FRAKTUR PELVIS
Susunan anatomi yang sedemikian rupa dari ateri dan vena
menjelaskan frekuensi dan besarnya perdarahan yang terjadi pada fraktur
pelvis. Tanpa melakukan angiografi, tidak mungkin untuk mengetahui
secara klinis apakah perdarahan retroperitoneal disebabkan kerusakan
arteri, vena ataupun kapiler. Kebanyakan dari hematoma pada pelvis,
biasanya berasal dari sistem vena dan tertahan oleh peritoneum yang intak.
Mekanisme hemostatik normal menyebabkan terjadinya hematoma,
walaupun sebagian terus meluas dan menyebabkan syok hemorhagik,
mungkin juga pada perdarahan akibat kerusakan arteri.
Hematom arteri atau vena dari retroperitoneal dapat mengimbibisi
ke mesenterium intestinal dan membuat gejala klinik akut abdomen.
Hematoma dapat juga menjalar ke anterior dan menuju dinding abdomen,
dan mengecewakan operator laparotomi dan diagnostik peritoneal lavage
karena memberikan hasil positif palsu. Hematom retroperitoneal juga bisa
robek melalui peritoneum menuju rongga abdomen, yang menghilangkan
efek tamponade.
Pasien fraktur pelvis dengan hipotensi mempunyai angka
mortalitas 50%. Perdarahan dari fraktur pelvis yang berasal dari laserasi
dari vaskularisasi pelvis dan terkumpul pada rongga retroperitoneal, tapi
terlihat sebagai perdarahan dapat terjadi dari sumsum tulang yang fraktur
(terutama pada orang tua dengan tulang yang rapuh). Koagulopati adalah
salah satu sebab dari perdarahan retroperitoneal dan harus selalu
dipertimbangkan bila pasien tidak memeberikan respon dengan resusitasi.6

 SISTEM GENITOURINARIUS
Komponen mayor dari sistem genitourinarius yang terlibat dalam
trauma pelvis adalah kandung kemih dan urethra. Kandung kemih terletak

7
di superior dari dasar pelvis (otot coccygeal dan levator ani). Otot ini
terletak di atas ligamentum. Fascia dari lantai pelvis mobile dan jarang.
Pada laki-laki, prostat berada antara kandung kemih dan lantai pelvis dan
ditutupi oleh membran yang cukup tebal. Urethra melalui prostat dan
keluar dibawah lantai pelvis. Arteri, vena dan nervus pudendal (S2-4)
berhubungan dengan pasase urethra menembus difragma urogenitale, dan
nervus otonom pelvis (S2-4) yang bertanggung jawab pada mekanisme
ereksi pada laki-laki.
Perbatasan antara prostat dan lantai pelvis sangat kuat seperti juga
urethra pars membranosa. Titik lemah pada area ini adalah urethra
dibawah diafragma pelvis dalam pars bulbosa. Ketika kandung kemih
dalam keadaan penuh dan ditekan dengan kekuatan yang besar, dapat
terjadi ruptur urethra pada laki-laki ( paling sering pada pars bulbosa)
dibawah lantai pelvis. Kadang-kadang, dapat juga terjadi ruptur urethra
pars membranacea di atas lantai pelvis. Pada wanita, cedera urethra terjadi
paling sering terjadi dekat bladder neck.
Kontinensi urine tergantung pada sfingter eksterna (otot lurik)
pada urethra pars membranaceus (midurethra pada perempuan) dan pada
bladder neck (otot polos) pada laki-laki dan perempuan. Pemahaman
tentang anatomi pelvis akan meningkatkan kewaspadaan dalam mengenali
perdarahan retroperitoneal, juga cedera yang mengenai sistem
genitourinarius dan gastrointestinal.7

II.6. GRADING DARI FRAKTUR PELVIS


Berbagai klasifikasi pada fraktur pelvis telah ada dan sangat kompleks.
Kalsifikasi anatomis dari Letournel dan Judet menggambarkan area dimana
tulang pelvis biasanya patah dan berguna untuk mengkategorikan fraktur
secara anatomis tapi tidak memberikan gambaran mengenai mekanisme

8
cedera. Sebuah pemahaman tentang pola fraktur dan mekanisme cedera
sangatlah penting. Young and Burgess menggambarkan klasifikasi
berdasarkan mekanisme cedera. Sistem ini dibuat untuk memberikan
traumatologis dapat memperkirakan cedera berat lain yang menyertai pada
pelvis dan abdomen7,8

Terdapat 3 mekanisme cedera mayor menurut Young and Burgess, yaitu :


a. Cedera kompresi lateral. Tabrakan dari arah lateral dapat mengakibatkan
berbagai macam cedera, tergantung dari kekuatan tabrakan yang terjadi.
a. Tipe AI (impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama
(ipsilateral)—cedera yang stabil.
b. Tipe AII (impaksi sakral dengan fraktur iliac wing ipsilateral atau
terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis)

9
c. Tipe AIII (sama dengan tipe An dengan tambahan cedera rotasional
eksterna dengan SI joint kontralateral dan fraktur ramus pubis

b. Kompresi anteroposterior, yang dihasilkan oleh gaya dari anterior ke


posterior yang mengakibatkan terbukanya pelvis.
a. Tipe BI (diastasis simfisis <2,5 cm dengan sisi posterior yang intak) cedera
yang stabil
b. Tipe BII (Diastasis simfisis >2,5 cm dengan terbukanya SI joint tapi tidak
terdapat instabilitas vertikal)
c. Tipe BIII(Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis dengan
kemungkinan adanya pergeseran vertikal)
c. Vertically unstable atau shear injury, Hemipelvis yang tidak stabil atau disebut
juga dengan fraktur malgaigne.

II.7. MANAGEMEN AWAL


a Prehosital care
Penilaian prehospital dilakukan oleh paramedic yang dilatih untuk
mengenali cedera pelvis yang tidak stabil dari mekanisme cedera dan
pemeriksaan fisik. Deformitas anggota gerak bawah tanpa fraktur tulang
panjang dan struktur pelvis yang mobile yang dikonfirmasi dengan kompresi
manual pada pelvis memberikan pentunjuk fisik untuk sebuah cedera pelvis.
Jika cedera seperti itu timbul pada fase prehospital, dan diberikan stabilisasi
seperti PASG(pneumatic antishock garment), vacuum splint, atau ikat
pinggang untuk stabilisasi pelvis yang terbaru dapat mencegah syok
hipovolemik dan dapat menyelamatkan nyawa. Alat PASG banyak terjadi
komplikasi seperti kapasitas ventilasi yang menurun, compartment sindrom
pada ekstremitas, dan hipotensi saat melepaskan alat.8

10
 Primary Survey
Penilaian pada penderita trauma dimulai dengan evaluasi gangguan
yang mengancam kehidupan yang berhubungan dengan trauma pelvis.
Pendekatan secara tim yang termasuk Bedah umum trauma, bedah orthopaedi,
intensivist, radiologist intervensi, dan bila diperlukan, bedah urologi dan atau
bedah syaraf adalah anggota tim yang penting untuk managemen optimal dari
pasien trauma ini. Pada pasien dengan fraktur pelvis harus dicurigai juga
adanya trauma lain seperti, cedera kepala berat, trauma thorax, aorta, dan
cedera abdomen dan yang paling sering, cedera vascular retroperitoneal yang
disebabkan fraktur pelvis.
Mekanisme cedera dapat dipakai sebagai prediksi beratnya fraktur
pelvis. Cedera dengan energi yang lemah yang terjadi akibat jatuh dari
ketinggian rendah (1 m) dapat terjadi pada pasien tua, atau pasien dengan
osteoporosis. Fraktur pelvisnya sendiri bisa tidak stabil, tapi pada pasien ini
banyak masalah cedera lainnya, seperti traumatic brain injury (TBI) terutama
bila mendapat terapi antikoagulan atau pengobatan dengan antiplatelet.
Cedera low-energy dapat terisolasi, tetapi mekanisme high-energy
biasanya berhubungan dengan pertimbangan lain, termasuk perdarahan pada
75 % pada pasien, cedera urogenital pada 12 % pasien, dan cedera plexus
lumbosacral pada 8 % pasien. Angka kejadian ruptur aorta adalah 8 kali lebih
banyak pada fraktur pelvis high-energy daripada trauma tumpul abdomen
secara keseluruhan. Angka kematian pada grup high-energy berkisar antara 15
-25 %.
Cedera high-energy biasanya disebabkan kecelakaan sepedamotor,
sepeda, atau jatuh dari ketinggian. Pasien ini biasanya tidak sadar atau
diintubasi sehingga memerlukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menilai
stabilitas pelvis dan juga cedera lainnya. Enampuluh sampai delapan puluh

11
persen pasien dengan fraktur pelvis high-energy juga terkena cedera
muskuloskeletal lain.8

II.8. AKSES SIRKULASI, EVALUASI, DAN KONTROL PERDARAHAN


Setelah airway dan breathing distabilisasi, haruslah dikejar kontrol
sirkulasi (terutama bila terjadi syok hipovolemik). Yang paling penting adalah
penentuan tempat dari perdarahan dan mengontrolnya. Pemasangan 2 buah iv
line besar (no 14-16) harus dipasang di ekstremitas atas pada pasien dengan
trauma pelvis atau abdomen. Penggunaan ekstremitas bawah sebagai tempat
IV line tidak direkomendasikan pada traumapelvis atau abdomen karena
cairan yang diinfuskan mungkin tidak akan memasuki sirkulasi sentral karena
adanya kemungkinan kerusakan pada vena pelvis atau vena cava inferior.
Selanjutnya, dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan pelvic
binder untuk melakukan tamponade dari perdarahan pelvis, terutama pada
trauma dengan fraktur yang open book. Walaupun ada resiko kecil secara
teoritis bahwa elemen posterior akan terbuka dengan teknik ini, namun pevic
binder dirancang untuk memberikan tekanan yang tetap pada elemen posterior
sekaligus menutup kerusakan diastase pada anterior. Harus dilakukan foto
pelvis sebelum dan sesudah pemasangan sebagai kontrol.

a. Pelvic Binder

12
b. Before application of pelvic binder. c. After application of pelvic binder.

Pada keadaan dimana pelvic binder tidak tersedia, sebuah metode


simple untuk mengikat pelvis dapat dilakukan dengan mengikat secara
sirkumferensial pelvis dengan sprei atau kain yang kuat. Kain kemudian diikat
dengan kuat ke anterior dengan ujungnya difiksasi dengan klem.

13
Penting untuk tidak mengikat kain dengan simpul di anterior karena
dapat memberikan tekanan yang berlebihan dan dapat menyebabkan
kerusakan kulit. Keuntungan dari kain ini adalah dapat dilakukan angiografi
(dengan pembolongan kain) dan bila diperlukan laparotomi, kain dapat
diturunkan ke panggul.
Pelvic binder adalah alat yang temporer sebelum dilakukan fiksasi
eksterna dan atau angiografi iliaca interna dan atau repair definitif pelvis.
Pada pasien dengan fraktur vertikal yang tidak stabil, traksi pada femoral
distal (contoh, Steinman) pin harus dipasang untuk menurunkan hemipelvis.
Sangat direkomendasikan telah dipasang iv akses dan cairan inisial telah
dimasukkan sebelum dilakukan pelepasan pelvic binder atau alat PASG,
karena hipotensi yang signifikan sering terjadi pada saat ini. Secara
bersamaan, volume yang cukup harus diberikan sesuai dengan keadaan klinis
pasien. Dapat diterapkan rumus 1 ml kehilangan darah diganti dengan 3 ml
kristaloid, atau menurut ATLS diberikan 2 L kristaloid sebagai cairan inisial.
Jika didapatkan respon yang baik, pemberian kristaloid maintenance harus
diberikan sambil menunggu darah.7
Pada pasien dengan respon transien atau no response, dimasukkan lagi
2 L kristaloid dan kemudian dimasukkan darah O negatif tanpa crossmatch
(biasanya dengan PRBC) secara cepat. Keadaan ini membutuhkan kontrol
perdarahan secepatnya. Pasien ini terus membutuhkan cairan yang banyak dan
masif secara terus menerus. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan
terjadinya suatu dilutional coagulopathy. Infus Trombosit atau FFP harus
segera disiapkan. Dengan rule of thumb, 2-4 unit FFP dan 5-6 unit trombosit
diperlukan untuk setiap 5-10 unit PRBC yang dimasukkan. Sebagai tambahan,
cryoprecipitate dan recombinant activated faktor VII juga diperlukan pada
kondisi seperti ini.7,8

14
II.9. RESUSITASI, DISABILITAS DAN EKSPOSUR
Monitoring yang tepat pada respon pasien terhadap resustasi adalah
sangat penting. Perfusi ke perifer dapat dilihat dari capillary refill, bentuk
pulsasi, warna kulit, dan temperatur tubuh. Metode monitoring yang lebih
spesifik memerlukan kateter urine untuk mencata urine output (target
0,5ml/kg/menit) dan akses arterial untuk mengukur tekanan arteri dan
pemeriksaan analisa gas darah secara berkala. Status volume dapat diketahui
dari metode monitoring ini dan dapat ditambah dengan pemeriksaan central
venous pressure (CVP). Perdarahan yang masih berlangsung dapat dimonitor
melalui pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit. Mengenai kadar laktat,
masih menjadi perdebatan apakah termasuk indikasi untuk menentukan status
resusitasi.7,8
Monitoring suhu tubuh (core body temperatur) sangat penting dalam
pemberian cairan berjumlah banyak dan terus menerus. Darah dan kristaloid
biasanya lebih dingin dari suhu ruangan. Volume yang besar selama resusitasi
membuat pasien menjadi dingin dan menambahkan efek syok hipovolemik
sebagai faktor lingkungan. Menghangatkan cairan intravena dan darah
diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh setidaknya pada 32 C s/d 35 C.
Lebih dianjurkan untuk mencapai suhu normal 37 C. Suhu yang lebih rendah
menyebabkan problem koagulasi, fibrilasi ventrikel, angka infeksi surgical
yang tinggi dan gangguan asam basa.7,8
Gastrik tube harus dimasukan melalui nasal kecuali ada fraktur basis
cranium. Kateterisasi urine digunakan untuk melakukan dekompresi sebelum
dilakukan diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau laparotomi dilakukan.
Sebelum dilakukan kateterisasi pada laki-laki harus diperiksa adanya
perdarahan dari meatus urethra, adanya hematom skrotum, dan pemeriksaan
palpasi prostat. Pada perempuan, dilakukan pemeriksaan vagina seperti
inspeksi meatus pada pria. Jika pada pemeriksaan diatas didapatkan hal-hal
tersebut, maka diperkirakan adanya cedera uretra, dan kateterisasi uretra harus

15
ditangguhkan sampai dilakukan retrograd urethrogram pada pasien stabil, atau
dilakukan katetrisasi kandung kemih suprapubic sementara pada pasien yang
tidak stabil. Telah dilaporkan bahwa pada 57% laki-laki dengan cedera uretra
akibat fraktur pelvis tidak memberikan gejala klasik. Urethrografi dilakukan
setelah hemodinamik pasien stabil.7,8

II.10. EVALUASI DIAGNOSTIK DAN RENCANA TERAPI


 Secondary survey ( fraktur pelvis)
Klasifikasi dari fraktur mungkin tidak dapat diketahui pada
primary survey. Setelah pasien diperiksa dan semua cdedera yang
mengancam kehidupan telah diatasi, resusitasi dilanjutkan sambil
melakukan secondary survey. Pada tahapan ini work up trauma dan
evaluasi yang lebih teliti dari fraktur pelvis dilakukan ( dengan staging
dari cedera signifikan lain) Harus diperhatikan gejala klinis dan
pemeriksaan fisik, instabilitas pelvis, termasuk deformitas dari ekstremitas
bawah tanpa fraktur tulang panjang, biasanya terdapat perbedaan panjang
tungkai (leg length discrepancy) yang membuat pemendekan atau rotasi
eksternal/internal, tergantung dari cederanya.
Pembengkakan dan kontusi yang masif di daerah flank, paha atau
pantat dengan adanya hematom atau perdarahan adalah tanda dari adanya
perdarahan banyak dari fraktur pelvis atau struktur yang berdekatan.
Semua luka terbuka yang terdapat pada lipat paha atau perineum harus
dicurigai sebagai fraktur pelvis yang terbuka, dan diperiksa secara teliti
besarnya luka, keadaan tulang dan sendi, dan kontaminasi luka. Colok
dubur ( dan colok vagina pada perempuan) adalah penting untuk
menghilangkan kecurigaan sebuah fraktur pelvis yang terbuka. Inspeksi
dari permukaan posterior pelvis dilakukan saat dilakukan log-rolled pada
pasien untuk melihat keadaan belakang tubuhnya.

16
Palpasi dari aspek posterior pelvis, mungkin dapat memperlihatkan
hematom yang luas, soft tissue de-gloving, sebuah gap pada daerah fraktur
atau dislokasi dari SI joint. Adanya nyeri tekan yang didapatkan dari
palpasi daerah posterior pelvis dapat mendeteksi adanya cedera dari cincin
posterior ( sensitivitas 98% dan spesifitas 94%). Demikian pula palpasi
dari simfisis dapat mendeteksi adanya gap. Tanda dari potensial
instabilitas memperkuat kecurigaan adanya fraktur pelvis terbuka,
hematom skrotalis, dan cedera syaraf plexus lumbosacralis. Walaupun
jarang, fraktur terbuka pelvis adalah cedera yang sangat berat,
membutuhkan transfusi darah yang masif, dan colostomy.
Kolostomi untuk diversi diperlukan untuk semua luka di perineal
dan perirectal, terutama untuk mencegah terjadinya infeksi pelvis seperti
osteomyelitis. Disabilitas kronis juga menjadi komplikasi pada fraktur
terbuka, terutama pada masalah fisiologi dan fungsional. 8.9

II.11. EVALUASI RADIOLOGIS DAN MODALITAS IMAGING LAIN


Seperti telah dijelaskan, fiksasi eksterna dapat dipasang segera,
tergantung dari stabilitasnya, letak rumah sakit, dan pengalaman institusi.
Pada rumah sakit dengan fasilitas angiografi yang dapat dipergunakan pada
keadaan emergensi untuk melakukan resusitasi, maka angiografi harus
dilakukan sebelum fiksasi eksterna. Sebaliknya bila angiografi tidak dapat
dilakukan segera, fiksasi eksterna dapat dilakukan segera sambil menunggu
kedatangan ahli radiologi intervensi. Pada keadaan ini, pemasangan fiksasi
eksterna dapat dimengerti. 9,10
Pada pasien dengan perdarahan dan hemodinamik yang tidak stabil
(Pasien dengan FAST atau DPL yang (-) dan thoraks foto yang tidak
menunjukkan adanya hematotoraks) angiografi pelvis harus dilakukan segera.
Foto rutin pelvis tidak diperlukan pada pasien yang asimptomatis, sadar,
pasien trauma tumpul abdomen dengan pemeriksaan pelvis yang normal.

17
Walaupun demikian, dokter harus melakukan foto AP pelvis sedini mungkin
pada pasien yang dilakukan resusitasi dengan trauma tumpul berat yang
simptomatik atau terdapat hipestesi. Beberapa fraktur sakral dan disrupsi SI
jointdapat terlihat pada gambaran pelvis AP. Untuk melihat kelainan tersebut,
perlu dilakukan proyeksi inlet dan outlet.
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk fraktur cincin pelvis
termasuk Pelvis AP, inlet view, dan outlet view.

Pemeriksaan pelvis AP dilakukan sebagai foto rutin pada pasien


trauma. Inlet view dilakukan dengan memberikan sinar dari 40 derajat kaudal
dan outlet view diambil dengan sinar 20 – 35 derajat dari arah cephal pada
laki-laki dan 30-45 derajat pada perempuan. Pada foto pelvis PA, penilaian
dari seluruh cincin anterior termasuk adanya fraktur ramus dan atau sifisial
diastasis adalah penting. Foto ini juga memberikan informasi mengenai lokasi
fraktur, pola fraktur, dan displacement secara keseluruhan. Foto ini juga dapat
dipergunakan untuk melihat adanya fraktur acetabular, fraktur panggul, atau
fraktur avulsi dari processus transversus dari vertebra L5, sebuah tanda dari
fraktur pelvis yang tidak stabil. Inlet view juga dapat dipegunakan untuk

18
menilai hubungan anterior.posterior antara sacrum dengan ilium. Tepi pelvis
jiga dilihat termasuk garis iliopectineal danramus pubis.
Cedera pada posterior (fraktur sakral dan disrupsi SI joint) juga dapat
dilihat dengan foto ini. Adanya rotasi juga dapat diidentifikasi bila simfisis
tidak segaris dengan processus spinosus. Foto outlet view dapat digunakan
untuk menilai pergeseran hemipelvis, dan dapat mengidentifikasi migrasi
superior dan atau rotasi dari hemipelvis. LLD (leg length discrepancy) dapat
juga dinilai.
Foramina sacralis dapat terlihat baik dengan foto ini Fraktur acetabular
yang melibatkan socket dari panggul bukanlah fraktur pelvis. Fraktur
acetabulum biasanya terjadi pada pasien muda sebagai hasil dari cedera
berdaya tinggi. Atau bisa timbul pada pasien berusia tua dari sebuah cedera
berdaya rendah seperti terjatuh. Fraktur ini dapat dihubungkan dengan cedera
cincin pelvis, dislokasi panggul, atau fraktur femoral head. Pemeriksaan
radiologis untuk fraktur acetabulum adalah dengan pemeriksaan pelvis AP
dan oblique 45 derajat, yang dikenal dengan Judet view.
Ada 6 landmark yang dapat dilihat pada foto AP. Termasuk
didalamnya garis iliopectineal (merepresentasikan columna anterior), garis
ilioischial (merepresntasikan posterior), tepi anterior, tepi posterior, teardrop,
dan atap.
Pengertian yang mendalam mengenai anatomi acetabulum diperlukan
untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk fraktur ini. CT
(Computed tomography) scan harus dilakukan. Slices 3mm melalui
acetabulum memberikan gambaran yang adekuat untuk kebanyakan pola
fraktur.
CT scan digunakan untuk menentukan klasifikasi atau untuk
mengkonfirmasi fraktur, menilai femoral head yang mungkin terkena akibat
cedera dan melihat adanya fragment intraartikuler. CT scan 3 dimensi tidak
diperlukan untuk menentukan klasifikasi dari fraktur. Kategorisasi yang

19
umum untuk sebuah fraktur acetabular adalah klasifikasi Letournel (tabel1)
Klasifikasi ini memisahkan fraktur menjadi 5 tipe fraktur.
Yang termasuk simpel fraktur :
1. fraktur dinding posterior
2. fraktur dinding anterior
3. fraktur columa posterior
4. fraktur columna anterior
5. fraktur transverse
Dan keadaan yang berhubungan, yaitu :
1. Columna posterior dan dinding posterior
2. dinding posterior dan transverse
3. Kedua columna
4. T-type
5. hemitransverse posterior dan anterior
Pengobatan dilakukan berdasarkan kesesuaian artikuler dan stabilitas
sendi. Secara umum, kebanyakan fraktur acetabular yang displaced
memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi internal (ORIF). Pengobatan non
operatif dilakukan pada fraktur yang tidak displaced dengan join yang stabil.
Ada beberapa pola fraktur sekunder yang mengenai segmen artikular yang
menempel dimana head femoral sesuai dengan acetabulum namun segemen
ini sering ke medial dan proximal.
Pengobatan inisial dari fraktur acetabulum adalah traksi, jika head
femoral terletak lebih medial atau jika terjadi dislokasi panggul. Pin traksi
dipasang pada distal femur bila tidak ada fraktur di tempat tersebut. Bila
terdapat fraktur, pin traksi dapat dipasang pada proximal tibia. Harus
dipastikan tidak ada ligamentum dari knee joint yang terkena pin traksi pada
pemasangan di proximal tibia.
CT scan adalah imaging rutin untuk fraktur pelvis. Protokol standar
adalah dengan potongan 3 mm atau kurang pada pelvis termasuk acetabulum.

20
CT lebih akurat daripada foto polos untuk adanya fraktur, lokasi fraktur, dan
pola fraktur. Setelah ditemukan adanya fraktur pada foto polos, pasien harus
diperiksa dengan CT scan pelvis untuk mengklasifikasi fraktur dan
merencanakan fiskasi.

CT scan dapat juga melihat adanya cedera pelvis dan struktur


abdomen (contoh kandung kencing) sebagai tambahan dari cedera acetabulum
dan head/ neck femoral. Tanda radiologis dari ketidakstabilan pelvis adalah
displacement kompleks posterior SI > 5 mm, adanya gap fraktur posterior (
kebalikan dari impaksi), dan fraktur avulsi dari spina iliaca posterior, sacrum,
tuberositas ishiadica, atau processus transversus dari vertebra L5. Penelitian

21
terakhir menyatakan bahwa CT scan dapat mendiagnosa semua cedera yang
terlihat pada foto AP, tetapi CT scan sering dilakukan setelah jam pertama
dari evaluasi dan pengobatan.
Sumber perdarahan yang sering adalah :
1. Sumber dari eksternal ( contoh dari laserasi kulit kepala)
2. Intra torasic ( contoh hematotoraks)
3. Intraabdominal ( diketahui dari pemeriksaan FAST)
4. Dari ekstremitas besar ( contoh fraktur femur)
5. Perdarahan retroperitoneal, seperti yang terjadi pada fraktur pelvis.
Setelah kemungkinan 4 penyebab pertama dapat disingkirkan, harus
dicurigai perdarahan berasal dari retroperitoneum (yang sering berhubungan
dengan fraktur pelvis)
Dari fraktur pelvis sendiri dapat diperkirakan sumbernya dari :
1. Permukaan tulang yang patah
2. Plexus vena pelvis
3. Cedera arteri pelvis
Penyebab tersering dari perdarahan pelvis yang terus menerus adalah
dari kerusakan pada plexus venosus pelvis posgerior. Perdarahan dari arteri
besar seperti a. iliaca komunis, eksterna dan interna adalah sumberpotensial
lain yang menyebabkan perdarahan. Cedera pada pembuluh besar biasanya
perdarahannya bersifat masif dan hilangnya pulsasi ke distal. Tingkat
keberatan dari perdarahan menentukan cara penanganan yang tepat.
Kerusakan a glutealis superior dapat terjadi bila fraktur mengenai greater
sciatic notch.10

II.12 STABILISASI PELVIS


Sebagai tambahan selain pelvis binder atau teknik pembebatan pelvis
yang telah dibahas sebelumnya, masih ada teknik yang telah dilakukan
sebelumnya untuk stabilisasi disrupsi pelvis. Yang paling tua adalah

22
penggunaan PASG. Baju yang dapat menggembung ini diletakkan pada
ekstremitas bawah dan sekitar pelvis dan abdomen, dan digembungkan
sampai tekanan darah stabil. Baju ini bekerja dengan cara meningkatkan
resistensi darah perifer. Pada keadaan dimana terjadi fraktur pelvis, komponen
yang terletak di abdomen bekerja sebagai pneumatic splint dan menurunkan
pergerakan dari fraktur pelvis. Hal ini mencegah terjadinya disrupsi yang
lebih berat dan merusak pembekuan darah yang telah terjadi.
Pada saat ini, PASG hanya direkomendasikan untuk stabilisasi cepat
perdarahan pelvis yang masif sebelum penderita dibawa ke rumah sakit untuk
perawatan definitif. Penggunaan skeletal traksi yang dipasang melalui tungkai
yang terkena cedera cukup efektif untuk mengontrol perdarahan vena. Sebuah
pin traksi Steinman dipasang di regio supracondyler femur atau tuberculum
tibialis, dan traksi dengan beban 25-35 lb diberikan. Teknik ini menarik
hemipelvis yang displaced ke posisi yang lebih anatomis yang sekaligus
membantu managemen nyerinya dengan stabilisasi. Hal ini juga mengontrol
perdarahan dengan mengefektifkan tamponade.
Rotasi internal dari ekstremitas bawahmenutup diastase anterior
pelvis, bila struktur ligamentum posterior masih terdapat kontinuitas. Posisi
ini dapat dipertahankan dengan mengikat kedua tungkai terotasi interna pada
lutut dan ankle. Akhirnya, setiap alat yang dapat mengikat seluruh bagian
pelvis seperti pelvic binder dapat mentamponade perdarahan. Tetapi,
intervensi ini harus dilakukan sesegera mungkin ( dalam 20-30 menit) untuk
mempertahankan volume darah sistemik.
Pasien dengan hemodinamik stabil tidak memerlukan stabilisasi
sementara kecuali bila pergerakan dari fraktur pelvis dapat mengakibatkan
perdarahan berulang. Waktu dari pemakaian stabilisasi pelvis segera ini harus
dilakukan setelah konsultasi dengan dokter bedah trauma dan dokter yang
bertanggung jawab dengan resusitasinya Sebelum memasang fiksator, foto
Pelvis AP harus dibuat dan dinilai. Foto ini dapat menunjukkan beberapa

23
tanda cedera yang potensial untuk terjadi perdarahan. Cedera kompresi lateral
biasanya mempunyai fraktur horisontal atau buckle-type pada rami dengan
tanda cedera crushing anterior sakral jika diperhatikan garis arcuata antara
sakral promontorium dan garis iliopectineal.
Sebuah garis vertikal yang ditarik dari garis tengah sakrum juga dapat
menunjukkan pergeseran yang signifikan dari pelvis yang bisa terjadi oada
cedera kompresi lateral tipe 3. Sebuah cedera pada quadrilateral plate atau
fraktur acetabular transversal juga mengindikasikan adanya cedera lateral.
Cedera kompresi lateral tidak dapat diterapi dengan fiskasi eksterna. Cedera
AP biasanya dikenali dari adanya fraktur vertical melalui rami yang
cenderung untuk terpisah tapi tidak tergeser secara vertikal.
Fraktur sepanjang iliac wing atau pada area acetabular posterior juga
menandakan adanya cedera kompresi AP. Pergeseran posterior dari
hemipelvis dapat diduga dengan penggunaan garis arkuata sakral kedua.
Pergeseran vertikal dapat dikenali dari pergeseran lebih dari 1 cm dari SI joint
posterior, dengan gap yang terjadi pada sakrum, dengan kesan bahwa pelvis
melebar, atau dengan suatu fraktur avulsi dari sakrum. Ahli trauma harus
melihat bahwa fraktur kompresi lateral biasanya berhubungan dengan cedera
intraabdominal berat dan cedera kepala, seperti pada cedera robekan vertikal.
Tetapi, cedera kompresi AP yang tidak stabil dan cedera komplit tidak stabil
lainnya mempunyai resiko besar terjadinya perdarahan retroperitoneal
daripada perdarahan intraabdomen.
Fraktur tidak stabil AP dan vertical sheer, sangat baik bila dilakukan
fiksasi eksterna bila harus dilakukan stabilisasi. Pin traksi yang terpasang di
femur distal pada pelvis yang satu sisi dengan instabilitas vertikal dapat
dilakukan bersama dengan fiksasi eksterna.
Kontraindikasi dari fiksasi eksterna adalah fraktur iliac wing dan
instabilitas posterioryang terlihat jelas (adanya gap fraktur). Keputusan dapat
dipandu dengan respon pasien terhadap resusitasi. Pada kasus dengan test

24
negatif untuk perdarahan intraabdominal pada pasien dengansyok
hipovolemik berlanjut dan disrupsi pelvis mayor, angiografi harus dilakukan
dan dipasang fiksasi eksterna. Masih kontroversial apakah pasien dengan
hemodinamik tidak stabil harus dilakukan stabilisasi pelvis dengan fiksasi
eksterna sebelum angiografi. Penelitian tentang keuntungan dilakukan fiksasi
eksterna sebelum dilakukan angiografi menunjukkan hanya 10 % pasien
dengan fraktur pelvis mengalami perdarahan arteri setelah dilakukan
embolisasi, lalu mayoritas pasien lebih baik dilakukan stabilisasi sebagai
terapi awal.
Fiksasi eksterna dapat dilakukan dengan cepat dan aman, walaupun di
ruang emergensi. Jika memungkinkan, fiksator dapat dilakukan di ruang
angiografi sebelumdilakukan angiogram, dengan menggunakan fasilitas
imaging yang ada. Pada beberapa keadaan, waktu yang diperlukan untuk
mempersiapkan pemeriksaan angiografi lebih lama daripada pemasangan
fiksasi eksterna. Pada keadaan tersebut, fiksasi dapat dilakukan sambil
menunggu. Pada beberapa center terdapat angiografi yang siap pakai. Pada
center tersebut telah dilaporkan hasil yang lebih baik bila dilakukan angiografi
sebelum fiksasi ekstern. Dengan pemeriksaan angiografi kita akan mengetahui
tempat perdarahan dan dapat menentukan apakah terapi embolisasi perlu
dilakukan.
Jika hasil FAST atau DPL positif dan pasien berespon sementara
dengan resusitasi, laparotomi harus dilakukan untuk menilai cedera abdomen
dengan terpasang pelvic binder, tetapi diposisikan pada level panggul; atau,
dilakukan pemasangan fiksasi eksterna selama persiapan operasi abdomen.
Setelah terapi perdarahan abdomen, perdarahan yang masih berlangsung harus
dilakukan packing retroperitoneal pada pelvis dan dilakukan fiksasi eksterna.
Packing pelvis tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan imobilisasi
pelvis. Jika FAST atau DPL positif namun pasien dengan hemodinamik stabil,
stabilisasi harus dilakukan sebelum laparotomi. Laparotomi dapat dilakukan

25
dan perdarahan intraabdomen dapat dikontrol. Jika perdarahan berlanjut,
dilutional coagulopathy harus disingkirkan atau diterapi, dan angiografi
kemudian dilakukan. Pasien yang tidak berespon terhadap resusitasi dan pada
pemeriksaan tidak terdapat perdarahan intraabdomen, maka dicurigai
perdarahan dari pembuluh darah berkaliber besar. Harus dilakukan angiografi
untuk mengetahui sumber dan apakah embolisasi dapat dilakukan untuk
menghentikan perdarahan, tergantung kaliber dari pembuluh darah yang
terkena. Jika memungkinkan, stabilisasi pelvis dilakukan sebelum angiografi.
Dengan pemeriksaan perdarahan intraabdomen yang positif dan tidak
berespon pada resusitasi, maka harus dilakukan laparotomi eksplorasi dan
stabilisasi pelvis. Jika pada laparotomi didapatkan hematom retroperitoneal
yang ekspanding (meluas)maka harus dilakukan packing pada area presacral
dan sisi posterior simfisis pubis. Agar efektif, harus dilakukan reduksi yang
dapat dilakukan dengan traksi dan manipulasi pelvis dengan C-Clamp atau
fiksator yang dipandu dengan palpasi jari atau visualisasi dengan pendekatan
transperitoneal. Jika pasien masih mengalami hipotensi setelah dilakukan
terapi ini, angiografi harus dilakukan secepatnya.
Semua pembuluh dengan bekuan darah harus diterapi dengan
embolisasi untuk mencegah perdarahan akibat bekuan diabsorbsi atau
terlepas. Pada fraktur pelvis terbuka yang berdarah melalui luka terbuka,
packing pada daerah tersebut harus dilakukan untuk mengontrol perdarahan
dengan bersamaan dilakukan stabilisasi dengan pemakaian alat satabilisasi
eksternal.10

II.13. Embolisasi Angiografi dari perdarahan pembuluh pelvis


(retroperitoneal)
Angiografi diagnostik dan terapi pada pasien dengan perdarahan pelvis
cukup sulit dan memerlukan keahlian khusus. Embolisasi selektif adalah cara
yang paling efektif untuk mengontrol perdarahan dari arteri berdiameter kecil

26
(kurang dari 3mm). Angiografi dapat dilakukan untuk perdarahan pembuluh
darah besar yang terlokalisir, tapi hanya bila waktu dan stabilitas
hemodinamik memungkinkan. Penundaan pada resusitasi dan pengobatan
dapat terjadi bila respon time angiografi lambat atau ahli angiografi tidak
berpengalaman. Embolisasi arteriografi hampir 100 % dapat menghentikan
perdarahan dan menyelamatkan nyawa bila dilakukan dalam 3 jam setelah
trauma.
Bagian radiologi harus memiliki peralatan yang dibutuhkan , seorang
raidologis intervensi, dan staf yang siap setiap saat untuk melakukan
angiografi dan embolisasi emergensi. Pada persiapan untuk pasien dengan
multipel traum, alat angiografi harus disiapkan lengkap dengan anestesi dan
peralatan monitoring, atau dilakukan di kamar operasi. Beberapa center
trauma menemukan bahwa hasil lebih baik bila anggota tim trauma dan ahli
anestesi hadir saat dilakukan angiografi.
Jika pasien dengan fraktur pelvis telah distabilisasi dan dapat
dilakukan CT scan, harus dilakukan dengan kontras. Pasien dengan
ekstravasasi kontras yang positif, mempunyai kemungkinan 40:1 adanya
perdarahan arteri yang signifikan yang memerlukan embolisasi. Karena itu,
pasien yang mempunyai potensi perdarahan arteri atau berespon transien
terhadap resusitasi harus dilakukan CT scan dengan kontras secara dini untuk
melihat adanya perdarahan arterial. Dengan imaging tersebut dapat dilakukan
kontrol perdarahan yang lebih dini.11

II.14. PROGNOSIS
Pemeriksaan fisik dan munculnya kehadiran ahli bedah ortopedi di
departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan C-clamp
agresif, mengarah pada menurunnya mortalitas secara signifikan, dari 31%
mejadi 15%. Ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen dalam 15 menit,
angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif minimal dalam

27
24 jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfuse PRC 24-jam
dari 2 U menjadi 1 U dan mengurangi mortalitas dari 35% menjadi 7%.

28
BAB III
PEMBAHASAN

Semakin pesatnya kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai
jalan, kendaraan, pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan
serta kecepatan kendaraan maka mayoritas penyebab terjadinya fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas. Selain itu, trauma lain yang dapat mengakibatkan
fraktur adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga,
fraktur pelvis mengisi 3% dari semua jenis trauma akibata kecelakaan lalu
lintas.1
Angka mortalitas sangat tinggi karna penilaian awal dan penanganan
awal yang terlambat dan salah. Maka diperlukan pengetahuan yang lebih
kepada para medis, karna penanganan yang cepat dan tepat pada trauma pelvis
yang dicurigai fraktur pelvis akan menurunkan angka mortalitas dari 35%-7%.
Young and Burgess menggambarkan klasifikasi berdasarkan
mekanisme cedera.7 Klasifikasi ini dapat memberikian gambaran kepada kita
bagaimana mekanisme cedera itu terjadi dan lokasi fraktur dan tipe C yang
dapat membuat hemodinamik tidak stabil. Tipe A seseorang masih bisa dapat
berjalan sedangkan pada tipe B sudah merasa sakit dan terbatas saat berjalan.
Manajemen pasien dengan fraktur pelvis dimulai dalam pengaturan
pra-rumah sakit. Pada pasien yang trauma pelvis dengan mekanisme trauma
yang berenergi tinggi, mekanisme trauma yang jelas, perdarahan hebat yang
susah untuk dievaluasi sumber perdarahannya, hemodinamik ketidakstabilan,
maka perlu kita curigai adanya fraktur pelvis dan maka perlu dilakukan
pengikat panggul (pelvic binder) secara sirkumferensial harus ditempatkan
untuk membantu mengurangi volume panggul dan menstabilkan panggul.8

29
Setibanya di gawat darurat, dokter harus melakukan penilaian dan
manajemen. Selanjutnya pelvic binder dapat diganti dengan fiksasi eksternal
Faktor risiko utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis hipotensi, dan
perdarahan. Setelah itu dilakukan penanganan hemodinamik, menurut ATLS
diberikan 2 L kristaloid sebagai cairan inisial. Jika didapatkan respon yang
baik, pemberian kristaloid maintenance harus diberikan sambil menunggu
darah.7
Ada 6 landmark yang dapat dilihat pada foto AP. Termasuk
didalamnya garis iliopectineal (merepresentasikan columna anterior), garis
ilioischial (merepresntasikan posterior), tepi anterior, tepi posterior, teardrop,
dan atap.9 Selanjutnya foto polos (untuk menilai hemothorax) dan untuk
menyingkirkan hemoperitoneum dan kebutuhan untuk laparotomi) dan telah
mengesampingkan sumber perdarahan lainnya, sumber pendarahan yang
paling mungkin berasal dari vena pelvis dan sistem arteri atau dari tulang
cancellous di lokasi fraktur. Panggul seharusnya distabilkan dengan pengikat
panggul. Jika pasien terus berlanjut tidak stabil, harus dilakukan tindakan
angiografi arteri dan embolisasi. Setelah pasien stabil secara hemodinamik,

30
pemeriksaan pencitraan dapat dilakukan. Jika jenis fraktur panggul tidak stabil
(Young dan Burgess APC II, APC III, LC II, LC III, VS), pasien akan
membutuhkan fiksasi operatif dan stabilisasi yang lebih pasti, seperti fixator
eksternal atau penjepit C panggul.8
Dalam kasus trauma pelvis, harus tetap dicurigai adanya fraktur pelvis
dan kemungkinan terjadi rupture uretra dan perdarahan pada peritoneum yang
merupakan factor kematian terbesar pada fraktur pelvis.

31
BAB IV
PENUTUP
IV.1 KESIMPULAN

 Diagnosis dan penanganan awal fraktur pelvis sering salah atau sehingga
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas
 Fraktur Pelvis memiliki angka kejadian yang tinggi sekitrar pada trauma
akibat kecelakaan lalu lintas yang merupakan energy tinngi, 25,7 % pada
kecelakaan mobil dan 19,6% pada kecelakaan motor
 Fraktur pelvis juga dapat terjadi pada trauma energy rendah yaitu pada
lansia sebesar 25,7%
 Angka mortalitas pada trauma pelvis hingga 35% yang diakbitkan karena
perdarahan di system urogenitalia dan peritoneal
 Penanganan awal pada trauma pelvis harus cepat dapat kita kenali dari
mekanisme trauma dan manifestasi klinis
 Pelvic banded merupakan penanganan awal yang dapat kita lakukan
sebelum pasien di bawa ke Rumah Sakit
 Penting untuk menangani gangguan hemodinamik sesuai ATLS diberikan
2 L kristaloid sebagai cairan inisial, dan maintannce jika membaik
 Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan yaitu pemeriksaan
laboratorium, foto rontgen, ct-scan , laparatomi, kolostomi dan angiografi
 Prognosis akan baik jika penanganan awal dan penanganan dokter
ortopedi segera dilakukan mengurangi mortalitas dari 35% menjadi 7%.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Anchenschi BC, dkk. 2017. Epidemiology of Pelvic Ring Fractures and


Injuries.Article. RBC. Brazil
2. Biert J, Edwards MJR, dan Hermans E. 2017. Epidemiology of Pelvic Ring
Fracture in a Level 1 Trauma Center in The Netherlands. Article. Netherlands
3. Pabst R dan Putz R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. EGC. Jakarta
4. Chavez TJ, Stenquist DS dan Weaver MJ. 2019. Entrapment of The Urinary
Bladder: a Rare Mechanism of Bladder Injury In Polytrauma In The Early
Post Operative Period. Article. Moscow
5. Aggarwal S, Ghosh S, Kumar P, Kumar V dan Patel S. 2019. Epidemiology
of Pelvic Fractures In Adults: Our Experience At A Tertiary Hospital. Chinese
Journal Of Traumatology. Inida
6. Hammerberg EM dan Stahel PF. 2016. History of Pelvic Fracture
Management: A Review. World Journal of Emergency Surgery. USA
7. Allievi, dkk. 2017. Pelvic Trauma: WSES Classification and Guidelines.
World Journal of Emergency Surgery. Italy
8. American College of Surgeons. 2018. Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. The Committee On Trauma America
9. Khurana B, Sheehan SE, Sodickson AD, dan Weaver MJ. 2014. Pelvic Ring
Fracture: What The Orthopedic Surgeon Want To Know. Journal
Radiographics. Vol 34 (5)
10. Brown IE, Corwin MT, Galante JM, dan Salcedo ES. 2016. Pelvic
Angioembolization In Trauma. International Journal of Surgery. California

33

Anda mungkin juga menyukai