Anda di halaman 1dari 42

PENANGANAN AWAL FRAKTUR PELVIS

Waode Fitriani, Rizal Alisi

I. PENDAHULUAN
Fraktur cincin pelvis telah dilaporkan terjadi 2% hingga 8% dari semua cedera
tulang dan sering dikaitkan dengan trauma energi tinggi, kendaraan bermotor,
kecelakaan dan jatuh dari ketinggian. Di antara pasien dengan cedera trauma
tumpul, hampir 20% mengalami cedera panggul. Walaupun hanya terjadi pada 2-
8% trauma, penderita biasanya mempunyai angka ISS (injury severity score) yang
tinggi dan sering juga terdapat trauma mayor di organ lain, karena kekuatan yang
dibutuhkan untuk terjadinya fraktur pelvis cukup signifikan. Sebagai contoh,
insidensi robekan aorta thoracalis meningkat secara signifikan pada pasien dengan
fraktur pelvis terutama tipe AP kompresi.1
Kematian pada jenis trauma pelvis mencapai tingkat yang cukup tinggi, dan
menurut penulis yang berbeda berkisar antara 6,1 hingga 8,5%. Deformasi panggul
yang tidak diperbaiki menyebabkan kecacatan permanen pada lebih dari 65%
pasien.2
Karena trauma multipel biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis,
hipotensi yang terjadi belum tentu berasal dari fraktur pelvis yang terjadi. Walaupun
demikian, pada pasien fraktur pelvis yang meninggal, perdarahan pelvis terjadi pada
50% pasien yang meninggal. Pasien dengan fraktur pelvis mempunyai 4 daerah
potensial perdarahan hebat, yaitu :
1. Permukaan tulang yang fraktur
2. Trauma pada arteri di pelvis
3. Trauma pada plexus venosus pelvis
4. Sumber dari luar pelvis
II. ANATOMI PELVIS
Hubungan antara tulang pelvis dan vaskularisasinya menjelaskan mengapa
sering terjadi perdarahan pada fraktur pelvis.
a Tulang dan ligament.
Tulang pelvis adalah struktur seperti cincin yang terdiri dari 3 tulang
yang bersatu yaitu 1 tulang sacrum dan 2 tulang innominata. Tiap tulang
inominata terbentuk dari 3 tulang, yaitu ilium, ischium, dan pubis. Tulang
inominata bergabung dengan sacrum di posterior pada 2 sacroiliac (SI) joint.
Pada daerah anterior bergabung pada simfisis pubis. Tanpa adanya
ligamentum pada struktur ini, cincin pelvis tidak akan mencapai stabilitasnya.
Aspek posterior pelvis distabilisasi oleh ligamentum yang sangat kuat (Fig1).
Ligamentum ini menghubungkan sacrum dengan tulang inominata.
Stabilitas yang diberikan SI ligamen posterior harus dapat menahan kekuatan
weight-bearing yang ditransmisikan melalui SI ligamen ke ekstremitas bawah.
Simfisis berfungsi sebagai penopang saat weight-bearing untuk
mempertahankan struktur cincin pelvis. Ligamentum posterior SI dibagi
menjadi komponen yang pendek dan panjang. Komponen pendek berjalan
oblique dari posterior sacrum ke spina iliaca posterior superior dan posterior
inferior.
Komponen panjang berjalan longitudinal dari aspek lateral sacrum ke
spina iliaca posterior superior dan bergabung dengan ligamentum
sacrotuberous. Pada sisi anterior, SI joint dilingkupi oleh struktur ligamen
lemah yang pipih dan tipis (Fig 1B) yang berjalan dari ilium ke sacrum.
Struktur ini memberikan stabilitas yang minimal, yang berfungsi sebagai
kapsul yang melingkupi SI joint dan memisahkannya dari isi cavum pelvis.
Hampir semua struktur yang ada pada SI joint adalah struktur yang kuat. Pada
posisi tegak, berat dari bagian atas tubuh mendorong sacrum ke bawah antara
iliac wings dan menyebabkan ± 580 rotasi dorsoventral.
Tulang inominata bergerak ke belakang dan ke bawah dimana pada
saat yang bersamaan rami pubis bergerak ke atas. Reduksi yang tepat dan
pengembalian morfologi dari SI joint tidaklah terlalu penting karena kontak
erat antara permukaan artikular tidak terjadi pada keadaan normal. Simfisis
pubis terdiri dari 2 permukaan kartilago hialin yang saling berhadapan.
Permukaan ini dilingkupi dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa yang cukup
tebal. Simfisis didorong inferior oleh otot yang berinsersi pada ligamentum
arcuatum. Posisiyang paling tebal adalah pada sisi superior dan anterior.
Beberapa ligamen berjalan dari spine ke pelvis.
Ligamentum iliolum baris mengamankan pelvis ke vertebra lumbalis.
Ligamentum ini berasal dari processustransversus L4 dan L5 dan berinsersi
pada posterior dari crista iliaca. Ligamentum lumbosacral berjalan dari
processus L5 ke ala sacrum. Ligamentum ini membentuk pegangan yang kuat
dan menempel pada akar N.spinalis L5.

b Otot-otot
Pelvis yang intak membentuk 2 area anatomis mayor. False pelvis dan
true pelvis dipisahkan oleh pinggir pelvis, atau garis iliopectineal yang
berjalan dari promontorium sacralis sepanjang perbatasan antara ilium dan
ischium ke ramus pubis. Tidak ada struktur mayor yang melewati pinggiran
ini. Diatasnya false pelvis (greater pelvis) berisi ala sacral dan iliac wings,
membentuk bagian dari rongga abdomen. Bagian dalam false pelvis
dilingkupi oleh otot iliopsoas. True pelvis (lesser pelvis) terletak dibawah
pinggir pelvis. Dinding lateralnya terdiri dari pubis, ischium dan sebuah
segitiga kecil dari ilium. Termasuk didalamnya foramen obturatorium, yang
ditutupi oleh otot dab membran, dan terbuka di bagian superior dan medial
untuk jalan dari nervus obturator dan pembuluh darah.
Obturator internus berasal dari membran dan melingkari lesser sciatic
notch dan menempel pada ujung proximal femur. Tendon obturator internus
adalah struktur yang penting karena berfungsi sebagai penanda untuk akses ke
columna posterior. Otot piriformis berorigin dari aspek lateral dari sacrum dan
adalah penanda untuk menemukan nervus sciaticus. Biasanya, nervus sciatic
meninggalkan pelvis diatas otot piriformis dan memasuki greater sciatic
notch. Kadang-kadang sisi peroneal berjalan diatas dan melewati piriformis.
Dasar dari true pelvis terdiri dari coccyx, otot coccygeal dan levator ani,
urethra, genitalia dan rectum. Semuanya melewati struktur ini.

c. Pleksus syaraf
Plexus lumbosacralcoccygeus dibentuk oleh rami anterior T12 s/d S4
(fig 2), yang paling penting adalah L4 s/d S1. Syaraf lumbalis L4 dan L5
memasuki true pelvis dari false pelvis, dimana nervus sacral adalah bagian
dari true pelvis. Syaraf L4 berjalan antara L5 dan SI joint dan bergabung
dengan L5 untuk membentuk truncus lumbosacralis pada promontorium
sacralis (12 mm dari garis joint). Syaraf L5 berjarak 2 cm dari SI joint dan
keluar dari foramen intervertebralis. Syaraf sacralis melewati foramen sacralis
dan bergabung dengan pleksusnya. Beberapa cabang menuju otot mayor
dalam pelvis.
Nervus glutealis superior dan inferior berjalan ventral ke piriformis
dan memasuki pelvis melalui greater sciatic notch. Nervus pudendalis (S2,3
dan 4) mempersyarafi otot sfingter pelvis dan dapat terkena pada fraktur
pelvis. (Fig 3)
d. Suplai darah arteri
Suplai darah major pada pelvis didapat dari a. hipogastrica (cabang
iliaca interna). Arteri hipogastric terdapat pada level SI joint (Fig 4). Arteri
yang berasal dari hipogastric, awalnya berjalan bersama-sama sampai ke
lengkungan posterior pelvis dan saling beranastomosis, membentuk hubungan
kolateral. A glutealis superior adalah cabang terbesar. Karena berasal dari
lengkungan kanan dari a hipogastrica dan mempunyai proteksi otot yang
sedikit, maka arteri ini mudah sekali terkena pada fraktur dari lengkungan
pelvis posterior. Cabang obturator dan pudendal interna paling sering terkena
pada fraktur ramus pubis.
e. Drainase vena
Sistem drainase vena pada pelvis juga mepunyai cabang kolateral yang
sangat banyak, dengan tanpa valve sehingga dapat terjadi aliran balik. (Fig 5)
Vena terbentuk dengan plexus yang besar yang terdapat pada dinding
pelvis. Karena dinding vena ini relatif tipis, vena ini tidak dapat berkontraksi
sebagai respon terhadap cedera. Plexus venosus pelvis bersifat ekstensif,
sehingga dapat memberikan perdarahan yang signifikan bila terjadi disrupsi,
walaupun tekanan vena normal.

III. GRADING DARI FRAKTUR PELVIS.


Sebuah pemahaman tentang pola fraktur dan mekanisme cedera
sangatlah penting. Young and Burgess menggambarkan klasifikasi
berdasarkan mekanisme cedera. Sistem ini dibuat untuk memberikan
traumatologis dapat memperkirakan cedera berat lain yang menyertai pada
pelvis dan abdomen
Terdapat 3 mekanisme cedera mayor menurut Young and Burgess, yaitu :
a. Cedera kompresi lateral. Tabrakan dari arah lateral dapat mengakibatkan berbagai
macam cedera, tergantung dari kekuatan tabrakan yang terjadi.
a. Tipe AI (impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama
(ipsilateral)—cedera yang stabil.
b. Tipe AII (impaksi sakral dengan fraktur iliac wing ipsilateral atau
terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis)
c. Tipe AIII (sama dengan tipe An dengan tambahan cedera rotasional
eksterna dengan SI joint kontralateral dan fraktur ramus pubis
b. Kompresi anteroposterior, yang dihasilkan oleh gaya dari anterior ke posterior
yang mengakibatkan terbukanya pelvis.
a. Tipe BI (diastasis simfisis <2,5 cm dengan sisi posterior yang intak) cedera
yang stabil
b. Tipe BII (Diastasis simfisis >2,5 cm dengan terbukanya SI joint tapi tidak
terdapat instabilitas vertikal)
c. Tipe BIII (Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis dengan
kemungkinan adanya pergeseran vertikal)
c. Vertically unstable atau shear injury, Hemipelvis yang tidak stabil atau disebut
juga dengan fraktur malgaigne.2

IV. MANAGEMEN AWAL


a. Prehosital care
Informasi yang diperoleh dari petugas medis rincian lengkap tentang
mekanisme cedera dan pasien awal presentasi mungkin berguna dalam
meningkatkan kecurigaan untuk panggul fraktur dan adanya cedera terkait.
Pra-rumah sakit. Protokol, termasuk imobilisasi tulang belakang leher,
perlindungan dari jalan napas dan pemeliharaan ventilasi yang memadai,
akses intravena, dan dukungan peredaran darah, di samping transportasi
cepat ke pusat trauma, telah dilembagakan dalam upaya untuk
mengoptimalkan manajemen pasien awal
Penilaian dan Manajemen ATLS
Evaluasi dan manajemen rumah sakit awal dalam
keadaan darurat
Ruangan hasil sesuai dengan pedoman Advanced
Protokol Trauma Life Support (ATLS). 5 Survei utama
termasuk penilaian jalan napas dan pernapasan pasien,
sementara akses intravena diperoleh dengan dua infus
bor besar,
memungkinkan untuk resusitasi terjadi bersamaan
dengan
evaluasi diagnostik.
Stabilisasi hemodinamik sangat penting
dalam fase manajemen awal dari dugaan panggul
patah tulang. Setelah jalan nafas telah diamankan
dengan baik,
pencarian potensi sumber pendarahan dimulai. Di-
spection selama survei primer dapat mengidentifikasi
tanda-tanda
perdarahan terkait cedera, seperti ekimosis panggul
atau
edema skrotum. Radiografi trauma, termasuk
anteropos-
pandangan terior dari dada dan panggul, juga dapat
membantu melokalisasi
sumber pendarahan. Sonogram penilaian terfokus
untuk
trauma (FAST) dapat digunakan dalam situasi darurat
untuk mengidentifikasi cairan intraperitoneal. 5,17 Di
banyak pusat, sebuah
Pemeriksaan FAST pada pasien hemodinamik yang
tidak stabil adalah
indikasi untuk eksplorasi perut segera. 28 dalam a
ulasan retrospektif terbaru tentang utilitas ujian FAST
di
pasien fraktur panggul, Tayal dan rekan 29 melaporkan
sensitivitas keseluruhan 81% dan spesifisitas 87%.
Dalam beberapa kasus
di mana FAST adalah samar-samar dan perdarahan
yang sedang berlangsung adalah
dicurigai, diagnostik peritoneal lavage (DPL)
bermanfaat
alat penilaian tambahan. 17,30,31 Menggunakan supra-
umbilical
situs penyisipan, DPL menghasilkan lebih dari 8 cc
darah
dianggap positif untuk perdarahan intraperitoneal,
mendorong
eksplorasi perut yang muncul. 17 Supra-umbilical
lebih disukai pada pasien fraktur pelvis untuk
menghindari
kemungkinan hasil positif palsu terjadi, sekunder
untuk aspirasi hematoma fraktur panggul

Pemeriksaan Fisik Panggul


Sekali perdarahan aktif dan mengancam jiwa terkait
Cidera telah dikesampingkan selama survei utama,
yang
pemeriksaan fisik kemudian dapat difokuskan pada
panggul.
Studi terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan klinis
dapat menjadi sensitif dalam identifikasi fraktur pelvis
pada
pasien sadar dan interaktif. Gonzalez dan rekan, 32
dalam ulasan mereka terhadap 2.176 pasien trauma
tumpul, melaporkan itu
pemeriksaan fisik terfokus memiliki sensitivitas 93%
untuk
diagnosis fraktur panggul.
Pemendekan yang signifikan atau rotasi eksternal dari
salah satu
ekstremitas bawah pasien pada pemeriksaan dapat
membantu mengidentifikasi a
VS atau cedera panggul tipe APC buku terbuka.
Palpasi
pelvis anterior dapat menunjukkan indikasi celah
simponi
tive diastasis. Pengujian kompresi pada anteroposterior
arah melalui tekanan ke bawah yang diterapkan pada
anterior
duri iliaka superior (ASIS) dan dalam arah lateral via
kompresi dari iliac crests dilakukan dalam upaya untuk
mengidentifikasi ketidakstabilan rotasi panggul.
Kompresi panggul
harus dibatasi pada upaya tunggal, dalam upaya
membatasi
gangguan berulang pada pembekuan lokasi fraktur.
Pemeriksaan dubur dan panggul sangat penting
selama evaluasi awal untuk mengesampingkan
kehadiran seorang
fraktur terbuka. Darah di ruang vagina atau di dubur
harus meningkatkan tingkat kecurigaan untuk cedera
terbuka. Sahabat-
spikula tulang pable dalam rektum atau vagina
mungkin
hadir menunjukkan cedera terbuka. Prostat berkuda
tinggi
juga dapat dideteksi pada pemeriksaan rektal, yang
mengindikasikan
adanya hematoma periurethral atau periprosthetic oksi
mengalir sekunder akibat cedera genitourinari. 17,23
Jika memungkinkan, pemeriksaan neurologis lengkap
harus dilakukan, dengan fokus pada saraf sciatic dan
sakral
fungsi pleksus, karena saraf ini berisiko cedera.
Mengevaluasi-
asi nada rektum dan kehadiran bulbocavernosus
refleks dimasukkan dalam evaluasi neurologis awal.
Komponen mayor dari sistem genitourinarius yang terlibat dalam trauma
pelvis adalah kandung kemih dan urethra. Kandung kemih terletak di superior dari
dasar pelvis (otot coccygeal dan levator ani). Otot ini terletak di atas ligamentum.
Fascia dari lantai pelvis mobile dan jarang.
Pada laki-laki, prostat berada antara kandung kemih dan lantai pelvis dan
ditutupi oleh membran yang cukup tebal. Urethra melalui prostat dan keluar dibawah
lantai pelvis. Arteri, vena dan nervus pudendal (S2-4) berhubungan dengan pasase
urethra menembus difragma urogenitale, dan nervus otonom pelvis (S2-4) yang
bertanggung jawab pada mekanisme ereksi pada laki-laki.
Perbatasan antara prostat dan lantai pelvis sangat kuat seperti juga urethra
pars membranosa. Titik lemah pada area ini adalah urethra dibawah diafragma
pelvis dalam pars bulbosa. Ketika kandung kemih dalam keadaan penuh dan ditekan
dengan kekuatan yang besar, dapat terjadi ruptur urethra pada laki-laki ( paling
sering pada pars bulbosa) dibawah lantai pelvis. Kadang-kadang, dapat juga terjadi
ruptur urethra pars membranacea di atas lantai pelvis. Pada wanita, cedera urethra
terjadi paling sering terjadi dekat bladder neck.
Kontinensi urine tergantung pada sfingter eksterna (otot lurik) pada urethra
pars membranaceus (midurethra pada perempuan) dan pada bladder neck (otot
polos) pada laki-laki dan perempuan. Pemahaman tentang anatomi pelvis akan
meningkatkan kewaspadaan dalam mengenali perdarahan retroperitoneal, juga
cedera yang mengenai sistem genitourinarius dan gastrointestinal.

PERDARAHAN RETROPERITONEAL PADA FRAKTUR PELVIS


Susunan anatomi yang sedemikian rupa dari ateri dan vena
menjelaskan frekuensi dan besarnya perdarahan yang terjadi pada fraktur
pelvis. Tanpa melakukan angiografi, tidak mungkin untuk mengetahui secara
klinis apakahperdarahan retroperitoneal disebabkan kerusakan arteri, vena
ataupun kapiler. Kebanyakan dari hematoma pada pelvis, biasanya berasal
dari sistem vena dan tertahan oleh peritoneum yang intak. Mekanisme
hemostatik normal menyebabkan terjadinya hematoma, walaupun sebagian
terus meluas dan menyebabkan syok hemorhagik, mungkin juga pada
perdarahan akibat kerusakan arteri.
Hematom arteri atau vena dari retroperitoneal dapat mengimbibisi ke
mesenterium intestinal dan membuat gejala klinik akut abdomen. Hematoma
dapat juga menjalar ke anterior dan menuju dinding abdomen, dan
mengecewakanoperator laparotomi dan diagnostik peritoneal lavage karena
memberikan hasil positif
palsu. Hematom retroperitoneal juga bisa robek melalui peritoneum menuju rongga
abdomen, yang menghilangkan efek tamponade.
Pasien fraktur pelvis dengan hipotensi mempunyai angka mortalitas 50%.
Perdarahan dari fraktur pelvis yang berasal dari laserasi dari vaskularisasi pelvis dan
terkumpul pada rongga retroperitoneal, tapi terlihat sebagai perdarahan dapat terjadi
dari sumsum tulang yang fraktur (terutama pada orang tua dengan tulang yang
rapuh). Koagulopati adalah salah satu sebab dari perdarahan retroperitoneal dan
harus selalu dipertimbangkan bila pasien tidak memeberikan respon dengan
resusitasi.

Penilaian awal cedera panggul


2 faktor terpenting itu
mengarahkan manajemen panggul lebih lanjut
cedera adalah hemodinamik pasien
status dan stabilitas cincin panggul.
Penilaian yang cermat dan menyeluruh atas
kedua parameter bisa menyelamatkan jiwa,
dan dapat mengarahkan manajemen sistematis
prioritas.
Status hemodinamik
Hipovolemia harus hati-hati
dievaluasi dan di- syok hemoragik
agnosed dan dinilai segera. Spe-
Perhatian khusus harus diberikan kepada
sessing denyut nadi dan tingkat pernapasan
dan kondisi sirkulasi kulit. Mengandalkan-
hanya pada tekanan darah sistolik
mungkin menyesatkan, hingga 30% dari a
volume darah pasien harus hilang
untuk menimbulkan hipotensi. Tachy-
cardia dan bagian tepi yang dingin lebih awal
indikator, dan tekanan nadi yang menyempit.
yakin mungkin menyarankan darah yang signifikan
kerugian. Hematokrit yang sangat rendah juga
menyarankan kehilangan darah masif, tapi
hematokrit mal tidak mengesampingkan
syok. Pada pasien muda, estimasi
tekanan darah arteri, pusat
tekanan ous, hemoglobin dan hema-
tocrit telah terbukti tidak berhubungan
spidol syok.26

Defisit basa dengan asam metabolik


osis, seperti yang diperkirakan dari darah arteri
analisis gas, dapat diperoleh dengan cepat,
yang berguna dalam memperkirakan
beratnya syok dan penting
tren untuk diikuti. Ertel dan rekannya
27,28

ates juga menekankan laktat


29

izin sebagai cara akurat untuk quan-


tify kedua tingkat hemoragik
guncangan dan kemungkinan bertahan hidup.
Kadar laktat diyakini lebih baik
berkorelasi dengan total hutang oksigen,
yang pada akhirnya tergantung pada
besarnya hipoperfusi dan
syok hemoragik. Di awal
30,31

fase resusitasi, tanda-tanda klinis dan


gejala, bersama dengan pengukuran
output urin per jam, terus
menjadi indikator paling praktis dari
perfusi sistemik.
Stabilitas fraktur
Jika radiografi panggul terlihat jelas
ketidakstabilan radiologis cincin,
pemeriksaan fisik yang agresif dengan
kompresi dan gangguan tidak akan
memberikan informasi tambahan tentang
keparahan juri, tetapi bisa berpotensi
biasanya menyebabkan cedera lebih lanjut atau memperburuk
berdarah. Baru-baru ini, simpatisan seperti itu
sebagai Duane dan Guillamondegui dan
32 33

kelompok masing-masing memiliki pertanyaan-


Dengan demikian perlu adanya panggul rutin.
diograf pada pasien yang sadar dan sadar,
yang akan dilakukan pemeriksaan klinis
dapat diandalkan. Seperti pada fraktur tulang belakang,
Namun, banyak jika tidak paling parah
pasien yang terluka mengalami gangguan
faktor-faktor seperti kepala atau neurologis
juri, keracunan, atau gangguan lainnya
cedera yang membuat fisik
pemeriksaan tidak bisa diandalkan. 34–36

Jadi,
skrining radiografi panggul
direkomendasikan dan terus menjadi
tambahan untuk resusitasi.
Pada pasien hemodinamik tidak stabil pasien tanpa situs hemor-
rhage, hati-hati pemeriksaan klinis dari
panggul adalah wajib bahkan ketika
radiograf terlihat normal atau panggul
gambar menunjukkan fraktur yang stabil
konfigurasi. Sebuah tergesa-gesa diambil dan
tampilan teroposterior panggul
ruang trauma sering tidak memadai dan
mungkin gagal mengungkapkan cedera posterior
cincin panggul. Pemeriksaan fisik
panggul harus termasuk dada
ough inspeksi sayap, lebih rendah
perut, selangkangan, perineum dan but-
tocks untuk mendeteksi luka atau luka
ses. Alat kelamin dan dubur harus
diperiksa dengan cermat untuk mendeteksi
darah di meatus uretra atau di
kubah dubur, dan untuk menilai
mengendarai prostat. Di hadapan
tanda-tanda sugestif dari genito-kemih
cedera, pemasangan kateter urin
harus dihindari, dan retrograde
pemrograman dilakukan.
Penilaian ortopedi harus
juga perhatikan adanya kelainan klinis
panggul, perbedaan panjang tungkai atau
malrotasi. Panggul diuji
ketidakstabilan rotasi dengan otot panggul
tes tekanan dan gangguan. Dorongan
–Pull test, di mana pemeriksa ujian
pate kedua iliac crests sementara dan
Asisten menyediakan kekuatan teleskop
ke tungkai bawah ipsilateral, akan membantu
untuk menemukan ketidakstabilan vertikal.
Pada pasien yang keduanya
secara nama dan mekanis tidak stabil,
dan siapa yang mengalami pendarahan besar
dianggap terkait dengan panggul
fraktur, stabilisasi eksternal
panggul menjadi prioritas pertama. Menjadi-
menyebabkan sumber utama perdarahan
paling sering adalah presacral ve-
pleksus nous (80%) dan fraktur
37,38

permukaan bertulang, stabilisasi eksternal


mengurangi perdarahan dengan mengurangi
volume cekungan pelvis
dan mendekati ujung fraktur. (3)

Stabilisasi (2,3)
Dalam keadaan darurat, ahli bedah ortopedi memiliki
jumlah
ber pilihan untuk stabilisasi panggul sementara untuk
membantu
perdarahan tamponade pada pasien dengan fraktur
panggul yang
secara hemodinamik tidak stabil, termasuk
menggunakan pneumatik
garmen anti shock (PASG), balut selembar kertas di
sekitar
panggul, atau menempatkan pengikat panggul pada saat
kedatangan, serta banyak lagi
fiksasi definitif dengan anti-shock pelvic clamp (C-
clamp)
atau fiksasi eksternal anterior tradisional.
Pakaian Anti-Shock Pneumatik
PASG, juga dikenal sebagai celana anti-goncangan
militer, adalah
kadang-kadang digunakan di pra-rumah sakit dan ruang
gawat darurat
pengaturan untuk meningkatkan tekanan darah,
mengurangi fraktur panggul,
dan pendarahan tamponade. Sejumlah masalah ada
terjadi dengan PASG, namun, termasuk ekstremitas
bawah
iskemia dan sindrom kompartemen. PASG itu besar,
dan ketika di tempat, sulit untuk mengakses perut,
sistem genitourinari, dan ekstremitas bawah. 45-47
Sementara
mungkin ada manfaat teoretis untuk PASG, Chang dan
rekan 48 menunjukkan dalam studi prospektif acak
248 pasien dengan syok traumatis yang diberikan
PASG tidak
manfaat kematian atau perbedaan dalam rawat inap
dibandingkan
tidak ada PASG.
Lembar Pembungkus
Kompresi melingkar dengan selembar di sekitar
panggul
atau pengikat panggul dapat digunakan sebagai metode
darurat
mengencangkan panggul dan mengurangi volume
panggul di buku terbuka
fraktur panggul. Lembar itu harus ditempatkan di
tingkat
trokanter yang lebih besar dan melilit pasien dengan
erat
diamankan dengan penjepit atau ikatan kabel. Guling
harus ditempatkan
di bawah lutut dan paha bawah, dan pergelangan kaki
seharusnya
dibalut bersama untuk membantu menstabilkan
panggul. Nunn dan
rekan kerja 49 menyajikan tujuh seri secara
hemodinamik
pasien yang tidak stabil dengan fraktur pelvis (APC II,
APC III, LC
III, dan CMI), menunjukkan bahwa kompresi
melingkar
dengan selembar membantu menstabilkan pasien
dengan meningkatkan darah
tekanan dan mengurangi takikardia; pasien masih
diperlukan resusitasi cairan yang signifikan dan
transfusi darah berakhir
12 jam berikutnya.
Menjepit panggul
Ganz dan rekan 50 memperkenalkan C-clamp sebagai
alat untuk
cepat menstabilkan fraktur cincin panggul posterior di
hipotensi
pasien sive. Menggunakan instruksi mereka untuk
menempatkan penjepit C,
PSIS pertama kali diraba. Titik masuknya Steinmann
pin tercatat tiga sampai empat sidik jari anterolateral
ke PSIS, sepanjang garis yang ditarik antara ASIS dan
PSIS. Sayatan tusuk dibuat di atas titik masuk, pin
dimajukan ke tulang dan didorong dalam 1 cm dengan
palu.
Hemipelvis dikompres dengan lengan samping
menggunakan a
kunci. 50
Dalam review retrospektif dari 14 pasien hemoragik
syok dengan fraktur cincin panggul B atau C yang
tidak stabil dan siapa
dirawat dengan C-clamp pelvis, Sadri dan rekannya 51
menemukan bahwa lima pasien tetap tidak stabil secara
hemodinamik
dan diperlukan angioembolisasi arteri. Meski tepat
kali tidak dilaporkan, mereka menyatakan pasien yang
membutuhkan
C-klem pelvis dibawa ke ruang operasi dalam waktu 2
jam kedatangan ke rumah sakit, dan penjepit C
ditempatkan
dalam 20 menit; dengan demikian, mengekstrapolasi
hasil ini untuk mempraktikkan
Tice membutuhkan pengaturan triase yang efisien dan
tersedia
staf ortopedi dan pendukung. 51
Fiksasi eksternal melalui stabilisasi anterior dapat
dilakukan
dibentuk untuk fraktur panggul sebagian stabil (tipe B).
Sana
adalah dua situs untuk penempatan pin anterior, baik di
superior
puncak iliaka di atas ASIS atau lebih rendah di antara
duri iliaka
(yang memungkinkan akses lebih mudah ke perut).
Penarikan
kekuatan di kedua situs ini sebanding. Pin dapat
ditempatkan
perkutan atau melalui teknik terbuka. Dua atau tiga
pin pelvis ditempatkan di setiap puncak dan
dihubungkan melalui a
bingkai persegi panjang atau trapesium. Pengurangan
panggul
fraktur terjadi dengan koreksi perpindahan (biasanya,
dengan rotasi internal untuk fraktur buku terbuka atau
eksternal
rotasi untuk fraktur LC). Fraktur panggul tidak stabil
(tipe
C) dapat diperbaiki secara mekanis dengan penjepit C
panggul
atau fiksasi eksternal tradisional dan pelacakan tulang
femur distal
tion. 52
Bassam dan rekan kerja 53 prospektif dievaluasi
eksternal
fiksasi, dibandingkan dengan angiografi, pada 15
pasien dengan
fraktur panggul yang secara hemodinamik tidak stabil.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, yang menunjukkan
bahwa posterior
perdarahan arteri dari arteri iliaka interna atau
posteriornya
cabang lebih sering terjadi pada panggul posterior yang
tidak stabil
fraktur, kelompok ini membagi pasien menjadi
fraktur cincin panggul terior (APC I dan LC I) atau
posterior
fraktur cincin panggul (APC II, APC II, LC II dan LC
III).
Pasien dengan fraktur anterior dirawat dengan
fiksasi eksternal yang muncul, sedangkan pasien
dengan posterior
patah tulang awalnya diobati dengan angiografi arteri
dan
embolisasi. Dari catatan, pasien dengan anterior dan
posterior
fraktur cincin panggul dirawat dengan fixator eksternal
jika fraktur stabil secara vertikal dan dengan angiografi
jika fraktur secara vertikal tidak stabil. Delapan pasien
awalnya dirawat dengan fiksasi eksternal, sedangkan
tujuh pasien
menjalani angiografi. Empat dari delapan pasien itu
dirawat dengan fiksasi eksternal yang diperlukan
angiografi
untuk ketidakstabilan hemodinamik lanjutan,
sedangkan tidak ada
pasien yang awalnya dirawat dengan angiografi
diperlukan
fiksasi eksternal. Tiga pasien dalam kelompok fixator
eksternal
menderita hematoma pantat besar dan paha
(dibandingkan
tanpa komplikasi hematoma pada kelompok
angiografi).
Dari hasil ini, Bassam dan rekan 53 menyimpulkan itu
semua pasien dengan fraktur panggul yang secara
hemodinamik
tidak stabil harus diobati dengan angioembolisasi
arteri,
terlepas dari jenis fraktur.
Biffl dkk 28 melakukan tinjauan retrospektif
dari 216 pasien dengan fraktur panggul yang
membutuhkan transfusi darah
sesi pra-pengantar (143 pasien) dan pasca-pengantar
(73 pasien) dari jalur klinis yang baru dilembagakan itu
terlibat memiliki trauma ortopedi yang hadir
pada presentasi ke departemen darurat, menutup
panggul pada saat kedatangan dengan membungkus
panggul dengan selembar, dan
menempel lutut dan pergelangan kaki bersama-sama,
menggunakan penjepit C panggul
untuk stabilisasi mekanik sebagai alternatif tradisional
perangkat fixator eksternal. Meskipun sulit untuk
mengisolasi caranya
setiap perubahan mempengaruhi hasil, mortalitas
keseluruhan menurun
dari 31% hingga 15% (16% hingga 5% dalam 24 jam
pertama) dan
kematian akibat exsanguination menurun dari 9%
menjadi 1%.

 Primary Survey
Penilaian pada penderita trauma dimulai dengan evaluasi gangguan
yang mengancam kehidupan yang berhubungan dengan trauma pelvis.
Pendekatan secara tim yang termasuk Bedah umum trauma, bedah orthopaedi,
intensivist, radiologist intervensi, dan bila diperlukan, bedah urologi dan atau
bedah syaraf adalah anggota tim yang penting untuk managemen optimal dari
pasien trauma ini.
Pada pasien dengan fraktur pelvis harus dicurigai juga adanya trauma
lain seperti, cedera kepala berat, trauma thorax, aorta, dan cedera abdomen
dan yang paling sering, cedera vascular retroperitoneal yang disebabkan
fraktur pelvis. Mekanisme cedera dapat dipakai sebagai prediksi beratnya
fraktur pelvis. Cedera dengan energi yang lemah yang terjadi akibat jatuh dari
ketinggian rendah (1 m) dapat terjadi pada pasien tua, atau pasien dengan
osteoporosis. Fraktur pelvisnya sendiri bisa tidak stabil, tapi pada pasien ini
banyak masalah cedera lainnya, seperti traumatic brain injury (TBI) terutama
bila mendapat terapiantikoagulan atau pengobatan dengan antiplatelet.
Cedera low-energy dapat terisolasi, tetapi mekanisme high-energy
biasanya berhubungan dengan pertimbangan lain, termasuk perdarahan pada
75 % pada pasien, cedera urogenital pada 12 % pasien (Lee.J,et al, 2000), dan
cedera plexus lumbosacral pada 8 % pasien (Cornwall, et al, 2000). Angka
kejadian ruptur aorta adalah 8 kali lebih banyak pada fraktur pelvis high-
energy daripada trauma tumpul abdomen secara keseluruhan. Angka kematian
pada grup high-energy berkisar antara 15 -25 %.
Cedera high-energy biasanya disebabkan kecelakaan sepeda motor,
sepeda, atau jatuh dari ketinggian (Ertell, 2001). Pasien ini biasanya tidak
sadar ataudiintubasi sehingga memerlukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk
menilai stabilitas pelvis dan juga cedera lainnya. Enampuluh sampai delapan
puluh persen pasiendengan fraktur pelvis high-energy juga terkena cedera
muskuloskeletal lain (Demetriades, 2002)
Prioritas resusitasi seperti pada ATLS, harus dilakukan untuk
meyakinkan pasien telah stabil. Prioritas harus dipertimbangkan dalam
menangani airway, brathing, dan sirkulai. Ahli bedah trauma dan orthopaedi
harus terlibat dalam primary survey dan managemen inisial pada pasien
dengan fraktur pelvis untuk mengoptimalisasikan pengambilan keputusan.
Harus dilakukan pemeriksaan pelvis yang teliti dan cepat sehingga setiap
tanda instabilitas dapat ditemukan dan dapatdirencanakan pengobatan yang
cepat dan tepat.
 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal syok hipovolemik terkait dengan gangguan
panggul utama membutuhkan kontrol perdarahan yang cepat dan
resusitasi cairan. Kontrol perdarahan dicapai melalui stabilisasi mekanis
cincin panggul dan tekanan balik eksternal. Pasien dengan cedera ini
mungkin awalnya dinilai dan dirawat di fasilitas yang tidak memiliki
sumber daya untuk mengelola perdarahan terkait secara definitif.
Dalam kasus seperti itu, anggota tim trauma dapat menggunakan
teknik sederhana untuk menstabilkan panggul sebelum transfer pasien.
Karena cedera panggul yang berhubungan dengan perdarahan mayor
memutar hemipelvis secara eksternal, rotasi internal tungkai bawah dapat
membantu dalam kontrol perdarahan dengan mengurangi volume
panggul. Dengan menerapkan dukungan langsung ke panggul pasien,
dokter dapat membelat panggul yang terganggu dan lebih jauh
mengurangi potensi perdarahan panggul. Selembar, pengikat panggul,
atau perangkat lain dapat menghasilkan fiksasi sementara yang cukup
untuk panggul yang tidak stabil ketika diterapkan pada tingkat trokanter
femur yang lebih besar (Gambar 5-9).
Dalam kasus cedera geser vertikal, traksi longitudinal yang
diterapkan melalui kulit atau kerangka juga dapat membantu memberikan
stabilitas. Ini harus dilakukan dengan berkonsultasi dengan spesialis
ortopedi. Pengikat panggul eksternal adalah prosedur darurat sementara.
Aplikasi yang tepat adalah wajib, dan pasien dengan pengikat panggul
membutuhkan pemantauan yang cermat. Pengikat ketat atau yang
tertinggal dalam posisi berkepanjangan
FIGURE 5-9 Pelvic Stabilization. A. Pelvic binder. B. Pelvic stabilization using a
sheet. C. Before application of pelvic binder. D. After application of pelvic binder.

Pada keadaan dimana pelvic binder tidak tersedia, sebuah metode


simple untuk mengikat pelvis dapat dilakukan dengan mengikat secara
sirkumferensial pelvis dengan sprei atau kain yang kuat. Kain kemudian diikat
dengan kuat ke anterior dengan ujungnya difiksasi dengan klem.
Tidak mengikat kain dengan simpul di anterior karena dapat memberikan
tekanan yang berlebihan dan dapat menyebabkan kerusakan kulit. Keuntungan
dari kain ini adalah dapat dilakukan angiografi (dengan pembolongan kain)
dan bila diperlukan laparotomi, kain dapat diturunkan ke panggul. Pelvic
binder adalah alat yang temporer sebelum dilakukan fiksasi eksterna dan atau
angiografi iliaca interna dan atau repair definitif pelvis. Pada pasien
denganfraktur vertikal yang tidak stabil, traksi pada femoral distal (contoh,
Steinman) pin harus dipasang untuk menurunkan hemipelvis (Fig 8B)
Sangat direkomendasikan telah dipasang iv akses dan cairan inisial
telah dimasukkan sebelum dilakukan pelepasan pelvic binder atau alat PASG,
karena hipotensi yang signifikan sering terjadi pada saat ini. Secara
bersamaan, volume yang cukup harus diberikan sesuai dengan keadaan klinis
pasien. Dapat diterapkan rumus 1 ml kehilangan darah diganti dengan 3 ml
kristaloid, atau menurut ATLS diberikan 2 L kristaloid sebagai cairan inisial.
Jika didapatkan respon yang baik, pemberian kristaloid maintenance harus
diberikan sambil menunggu darah.
Pada pasien dengan respon transien atau no response, dimasukkan lagi
2 L kristaloid dan kemudian dimasukkan darah O negatif tanpa crossmatch
(biasanya dengan PRBC) secara cepat. Keadaan ini membutuhkan kontrol
perdarahan secepatnya. Pasien ini terus membutuhkan cairan yang banyak dan
masif secara terus menerus. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan
terjadinya suatu dilutional coagulopathy. Infus Trombosit atau FFP harus
segera disiapkan. Dengan rule of thumb, 2-4 unit FFP dan 5-6 unit trombosit
diperlukan untuk setiap 5-10 unit PRBC yang dimasukkan. Sebagai tambahan,
cryoprecipitate dan recombinant activated faktor VII juga diperlukan pada
kondisi seperti ini.

V. RESUSITASI, DISABILITAS DAN EKSPOSUR


Monitoring yang tepat pada respon pasien terhadap resustasi adalah
sangat penting. Perfusi ke perifer dapat dilihat dari capillary refill, bentuk
pulsasi, warna kulit,dan temperatur tubuh. Metode monitoring yang lebih
spesifik memerlukan kateter urine untuk mencata urine output (target
0,5ml/kg/menit) dan akses arterial untuk mengukur tekanan arteri dan
pemeriksaan analisa gas darah secara berkala. Status volume dapat diketahui
dari metode monitoring ini dan dapat ditambah dengan pemeriksaan central
venous pressure (CVP). Perdarahan yang masih berlangsung dapat dimonitor
melalui pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit. Mengenai kadar laktat,
masih menjadi perdebatan apakah termasuk indikasi untuk menentukan status
resusitasi.
Monitoring suhu tubuh (core body temperatur) sangat penting dalam
pemberian cairan berjumlah banyak dan terus menerus. Darah dan kristaloid
biasanya lebih dingin dari suhu ruangan. Volume yang besar selama resusitasi
membuat pasien menjadi dingin dan menambahkan efek syok hipovolemik
sebagai faktor lingkungan. Menghangatkan cairan intravena dan darah
diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh setidaknya pada 32 C s/d 35 C.
Lebih dianjurkan untuk mencapai suhu normal 37 C. Suhu yang lebih rendah
menyebabkan problem koagulasi, fibrilasi ventrikel, angka infeksi surgical
yang tinggi dan gangguan asam basa.
Gastrik tube harus dimasukan melalui nasal kecuali ada fraktur basis
cranium. Kateterisasi urine digunakan untuk melakukan dekompresi sebelum
dilakukan diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau laparotomi dilakukan.
Sebelum dilakukan kateterisasi pada laki-laki harus diperiksa adanya
perdarahan dari meatus urethra, adanya hematom skrotum, dan pemeriksaan
palpasi prostat. Pada perempuan, dilakukan pemeriksaan vagina seperti
inspeksi meatus pada pria. Jika pada pemeriksaan diatas didapatkan hal-hal
tersebut, maka diperkirakan adanya cedera uretra, dan kateterisasi uretra harus
ditangguhkan sampai dilakukan retrograd urethrogram pada pasien stabil, atau
dilakukan katetrisasi kandung kemih suprapubic sementara pada pasien yang
tidak stabil. Telah dilaporkan bahwa pada 57% laki-laki dengan cedera uretra
akibat fraktur pelvis tidak memberikan gejala klasik. Urethrografi dilakukan
setelah hemodinamik pasienstabil (Marvin, 2000).

VI. EVALUASI DIAGNOSTIK DAN RENCANA TERAPI


Secondary survey ( fraktur pelvis)
Klasifikasi dari fraktur mungkin tidak dapat diketahui pada primary
survey. Setelah pasien diperiksa dan semua cdedera yang mengancam
kehidupan telah diatasi, resusitasi dilanjutkan sambil melakukan secondary
survey. Pada tahapan ini work up trauma dan evaluasi yang lebih teliti dari
fraktur pelvis dilakukan ( dengan staging dari cedera signifikan lain) Harus
diperhatikan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, instabilitas pelvis, termasuk
deformitas dari ekstremitas bawah tanpa fraktur tulang panjang, biasanya
terdapat perbedaan panjang tungkai (leg length discrepancy) yang membuat
pemendekan atau rotasi eksternal/internal, tergantung dari cederanya.
Pembengkakan dan kontusi yang masif di daerah flank, paha atau pantat
dengan adanya hematom atau perdarahan adalah tanda dari adanya perdarahan
banyak dari fraktur pelvis atau struktur yang berdekatan. Semua luka terbuka yang
terdapat pada lipat paha atau perineum harus dicurigai sebagai fraktur pelvis yang
terbuka, dan diperiksa secara teliti besarnya luka, keadaan tulang dan sendi, dan
kontaminasi luka. Colok dubur ( dan colok vagina pada perempuan) adalah penting
untuk menghilangkan kecurigaan sebuah fraktur pelvis yang terbuka. Inspeksi dari
permukaan posterior pelvis dilakukan saat dilakukan log-rolled pada pasien untuk
melihat keadaan belakang tubuhnya.
Palpasi dari aspek posterior pelvis, mungkin dapat memperlihatkan hematom
yang luas, soft tissue de-gloving, sebuah gap pada daerah fraktur atau dislokasi dari SI
joint. McCormick et.al, 2003 mempelihatkan bahwa adanya nyeri tekan yang
didapatkan dari palpasi daerah posterior pelvis dapat mendeteksi adanya cedera dari
cincin posterior ( sensitivitas 98% dan spesifitas 94%). Demikian pula palpasi dari
simfisis dapat mendeteksi adanya gap. Tanda dari potensial instabilitas memperkuat
kecurigaan adanya fraktur pelvis terbuka, hematom skrotalis, dan cedera syaraf
plexus lumbosacralis (Bootlang, 2003). Walaupun jarang, fraktur terbuka pelvis (Fig
11A) adalah cedera yang sangat berat, membutuhkan transfusi darah yang masif,dan
colostomy.(Fig 11B)
Fraktur terbuka juga biasanya terjadi akibat kecelakaan motor (27%
terbuka, 6 % tertutup) dan mempunyai disrupsi cincin pelvis yang tidak stabil
(45% terbuka 25% tertutup). Fraktur pelvis terbuka memerlukan darah yang
lebih banyak daripada yang tertutup, keduanya pada hari pertama (16 unit
pada fraktur terbuka dan 25% pada fraktur tertutup) dan selama dalam
perawatan di rumah sakit ( 29 unit pada fraktur terbuka dan 9 unit pada fraktur
tertutup). Kolostomi untuk diversi diperlukan untuk semua luka di perineal
dan perirectal, terutama untuk mencegah terjadinya infeksi pelvis seperti
osteomyelitis. Disabilitas kronis juga menjadi komplikasi pada fraktur
terbuka, terutama pada masalah fisiologi dan fungsional (Brenneman et al.,
1997).

VII. EVALUASI RADIOLOGIS DAN MODALITAS IMAGING LAI


Seperti telah dijelaskan, fiksasi eksterna (Fig 11B) dapat dipasang
segera, tergantung dari stabilitasnya, letak rumah sakit, dan pengalaman
institusi. Pada rumah sakit dengan fasilitas angiografi yang dapat
dipergunakan pada keadaan emergensi untuk melakukan resusitasi, maka
angiografi harus dilakukan sebelum fiksasi eksterna. Sebaliknya bila
angiografi tidak dapat dilakukan segera, fiksasi eksterna dapat dilakukan
segera sambil menunggu kedatangan ahli radiologi intervensi. Pada keadaan
ini, pemasangan fiksasi eksterna dapat dimengerti. Pada pasien dengan
perdarahan dan hemodinamik yang tidak stabil(Pasien dengan FAST atau
DPL yang (-) dan thoraks foto yang tidak menunjukkan adanya hematotoraks)
angiografi pelvis harus dilakukan segera.
Foto rutin pelvis tidak diperlukan pada pasien yang asimptomatis,
sadar, pasien trauma tumpul abdomen dengan pemeriksaan pelvis yang
normal. Walaupun demikian, dokter harus melakukan foto AP pelvis sedini
mungkin pada pasien yang dilakukan resusitasi dengan trauma tumpul berat
yang simptomatik atau terdapat hipestesi. Beberapa fraktur sakral dan disrupsi
SI jointdapat terlihat pada gambaran pelvis AP. Untuk melihat kelainan
tersebut, perlu dilakukan proyeksi inlet dan outlet.
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk fraktur cincin pelvis
termasuk Pelvis AP, inlet view, dan outlet view. (Fig 12)
Pemeriksaan pelvis AP dilakukan sebagai foto rutin pada pasien
trauma (Fig 12A). Inlet view dilakukan dengan memberikan sinar dari 40
derajat kaudal (Fig 12B) dan outlet view diambil dengan sinar 20 – 35 derajat
dari arah cephal pada laki-laki dan 30-45 derajat pada perempuan. Pada foto
pelvis PA, penilaian dari seluruh cincin anterior termasuk adanya fraktur
ramus dan atau sifisial diastasis adalah penting. Foto ini juga memberikan
informasi mengenai lokasi fraktur, pola fraktur, dan displacement secara
keseluruhan. Foto ini juga dapat dipergunakan untuk melihat adanya fraktur
acetabular, fraktur panggul, atau fraktur avulsi dari processus transversus dari
vertebra L5, sebuah tanda dari fraktur pelvis yang tidak stabil.
Inlet view juga dapat dipegunakan untuk menilai hubungan
anterior.posterior antara sacrum dengan ilium. Tepi pelvis jiga dilihat
termasuk garis iliopectineal dan ramus pubis. Cedera pada posterior (fraktur
sakral dan disrupsi SI joint) juga dapat dilihat dengan foto ini. Adanya rotasi
juga dapat diidentifikasi bila simfisis tidak segaris dengan processus spinosus.
Foto outlet view dapat digunakan untuk menilai pergeseran
hemipelvis, dan dapat mengidentifikasi migrasi superior dan atau rotasi dari
hemipelvis. LLD (leg length discrepancy) dapat juga dinilai. Foramina
sacralis dapat terlihat baik dengan foto ini Fraktur acetabular yang melibatkan
socket dari panggul bukanlah fraktur pelvis. Fraktur acetabulum biasanya
terjadi pada pasien muda sebagai hasil dari cedera berdaya tinggi. Atau bisa
timbul pada pasien berusia tua dari sebuah cedera berdaya rendah seperti
terjatuh. Fraktur ini dapat dihubungkan dengan cedera cincin pelvis, dislokasi
panggul, atau fraktur femoral head.
Pemeriksaan radiologis untuk fraktur acetabulum adalah dengan
pemeriksaan pelvis AP dan oblique 45 derajat, yang dikenal dengan Judet
view (Fig 13)

Ada 6 landmark yang dapat dilihat pada foto AP. Termasuk


didalamnya garis iliopectineal (merepresentasikan columna anterior), garis
ilioischial (merepresntasikan posterior), tepi anterior, tepi posterior, teardrop,
dan atap. Pengertian yang mendalam mengenai anatomi acetabulum
diperlukan untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk fraktur ini.
CT (Computed tomography) scan harus dilakukan. Slices 3mm melalui
acetabulum memberikan gambaran yang adekuat untuk kebanyakan pola
fraktur. CT scan digunakan untuk menentukan klasifikasi atau untuk
mengkonfirmasi fraktur, menilai femoral head yang mungkin terkena akibat
cedera dan melihat adanya fragment intraartikuler. CT scan 3 dimensi tidak
diperlukan untuk menentukan klasifikasi dari fraktur.
Kategorisasi yang umum untuk sebuah fraktur acetabular adalah
klasifikasi Letournel (tabel1)
Klasifikasi ini memisahkan fraktur menjadi 5 tipe fraktur.
Yang termasuk simpel fraktur :
1. fraktur dinding posterior
2. fraktur dinding anterior
3. fraktur columa posterior
4. fraktur columna anterior
5. fraktur transverse
Dan keadaan yang berhubungan, yaitu :
1. Columna posterior dan dinding posterior
2. dinding posterior dan transverse
3. Kedua columna
4. T-type
5. hemitransverse posterior dan anterior

Pengobatan dilakukan berdasarkan kesesuaian artikuler dan stabilitas


sendi. Secara umum, kebanyakan fraktur acetabular yang displaced
memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi internal (ORIF). Pengobatan non
operatif dilakukan pada fraktur yang tidak displaced dengan join yang stabil.
Ada beberapa pola fraktur sekunder yang mengenai segmen artikular yang
menempel dimana head femoral sesuai dengan acetabulum namun segemen
ini sering ke medial dan proximal.
Pengobatan inisial dari fraktur acetabulum adalah traksi, jika head
femoral terletak lebih medial atau jika terjadi dislokasi panggul. Pin traksi
dipasang pada distal femur bila tidak ada fraktur di tempat tersebut. Bila
terdapat fraktur, pin traksi dapat dipasang pada proximal tibia. Harus
dipastikan tidak ada ligamentum dari knee joint yang terkena pin traksi pada
pemasangan di proximal tibia.
CT scan adalah imaging rutin untuk fraktur pelvis. Protokol standar
adalah dengan potongan 3 mm atau kurang pada pelvis termasuk acetabulum.
CT lebih akurat daripada foto polos untuk adanya fraktur, lokasi fraktur, dan
pola fraktur. Setelah ditemukan adanya fraktur pada foto polos, pasien harus
diperiksa dengan CT scan pelvis untuk mengklasifikasi fraktur dan
merencanakan fiskasi. (Fig 14)
CT scan dapat juga melihat adanya cedera pelvis dan struktur
abdomen (contoh kandung kencing) sebagai tambahan dari cedera acetabulum
dan head/neck femoral. Tanda radiologis dari ketidakstabilan pelvis adalah
displacement kompleks posterior SI > 5 mm, adanya gap fraktur posterior (
kebalikan dari impaksi), dan fraktur avulsi dari spina iliaca posterior, sacrum,
tuberositas ishiadica, atau processus transversus dari vertebra L5. Penelitian
terakhir menyatakan bahwa CT scan dapat mendiagnosa semua cedera yang
terlihat pada foto AP, tetapi CT scan sering dilakukan setelah jam pertama
dari evaluasi dan pengobatan.
Sumber perdarahan yang sering adalah :
1. Sumber dari eksternal ( contoh dari laserasi kulit kepala)
2. Intra torasic ( contoh hematotoraks)
3. Intraabdominal ( diketahui dari pemeriksaan FAST)
4. Dari ekstremitas besar ( contoh fraktur femur)
5. Perdarahan retroperitoneal, seperti yang terjadi pada fraktur pelvis
.
Setelah kemungkinan 4 penyebab pertama dapat disingkirkan, harus
dicurigai perdarahan berasal dari retroperitoneum (yang sering berhubungan
dengan fraktur pelvis). Dari fraktur pelvis sendiri dapat diperkirakan
sumbernya dari :
1. Permukaan tulang yang patah
2. Plexus vena pelvis
3. Cedera arteri pelvis
Penyebab tersering dari perdarahan pelvis yang terus menerus adalah
dari kerusakan pada plexus venosus pelvis posgerior. Perdarahan dari arteri
besar seperti a. iliaca komunis, eksterna dan interna adalah sumberpotensial
lain yang menyebabkan perdarahan. Cedera pada pembuluh besar biasanya
perdarahannya bersifat masif dan hilangnya pulsasi ke distal. Tingkat
keberatan dari perdarahan menentukan cara penanganan yang tepat.
Kerusakan a glutealis superior dapat terjadi bila fraktur mengenai greater
sciatic notch.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai