Anda di halaman 1dari 19

Waode Fitriani, Miniartiningsih Sam

A. PENDAHULUAN
Trauma pelvis adalah trauma dengan penanganan yang cukup sulit
dalam perawatan trauma dan terjadi pada 3% dari cedera tulanng. Pasien
dengan fraktur pelvis biasanya pada usia muda dan mereka memiliki skor
keparahan cedera yang tinggi. Tingkat kematian yang tinggi, khususnya
pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik, karena perdarahan yang
cepat dan kesulitan untuk mencapai hemostasis Untuk alasan ini, sangat
penting untuk mengelola resusitasi, untuk mengontrol perdarahan dan
mengelola cedera tulang terutama pada jam pertama dari trauma.
Awal kematian umumnya karena perdarahan atau cedera otak yang
terkait. Kematian lanjut biasanya karena sepsis dan kegagalan multiorgan.
Korban sering mengalami implikasi jangka medis dan sosial ekonomi
akibat patah tulang panggul. Ini termasuk masalah kesehatan mental, sakit
kronis, arah panggul yang miring, perbedaan panjang kaki atau rotasi,
kelainan gaya berjalan, seksual dan disfungsi urologis dan pengangguran
jangka panjang.2 Sebuah panggul yang stabil dapat menahan gaya normal
fisiologis vertikal dan rotasi, tetapi baik patah tulang atau cedera ligamen
dapat mengganggu stabilitas pelvis.
Gangguan ligamen panggul menciptakan ketidakstabilan rotasi
anterior, sedangkan cedera ligamen posterior menciptakan baik dan
vertikal ketidakstabilan rotasi.Fraktur tidak selalu timbul karena hal
tersebut, banyak fraktur minor yang terjadi pada simphisis pubis atau yang
terjadi pada ramus superior dan inferior. Fraktur lain dapat menjadi luas
dan menggangu sendi sacro-iliaca. Trauma pelvis yang lebih berat terkait
dengan perdarahan yang luas di pelvis dan jaringan retroperitoneal dan
dapat berakibat fatal untuk korban, khususnya korban yang lanjut usia.5
Pasien trauma pelvis harus ditangani oleh antara ahli bedah trauma,
ahli bedah ortopedi, ahli radiologi intervensi, ahli anestesi, dokter ICU dan
ahli urologi.

1
B. PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Trauma pelvis adalah trauma pada area pelvis yang dapat terjadi
mulai dari yang ringan hingga yang mengancam kehidupan. Hal ini
termasuk fraktur ring pelvis, fraktur acetabulun, serta injury pada jaringan
yang ada pada area pelvis.
II.
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologinya, antara
lain penurunan produksi sel darah merah, baik yang dikarenakan
ineffective erythropoiesis maupun aplasia sumsum tulang, peningkatan
destruksi sel darah merah (hemolisis), dan perdarahan.12 Anemia hemolitik
didefinisikan sebagai destruksi prematur sel darah merah.13
Anemia secara umum didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
terjadi penurunan massa sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin di
dalam darah.11 Kadar hemoglobin yang didefinisikan sebagai anemia pada
bayi dan anak berbeda dengan dewasa. Batas bawah konsentrasi
hemoglobin normal ketika lahir adalah 14 g/dL dan akan mengalami
penurunan sampai 11 g/dL pada umur 1 tahun (Tabel 1).2
Tabel 1. Karakteristik Sel Darah Merah Pada Anak

2
(Tabel dikutip dari: Means RT, Glader B. Anemia: General Considerations.
In:Greer et al. Wintrobe’s Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams
&Wilkins 2009; p. 780-809.)

2. EPIDEMIOLOGI
Anemia hemolitik memiliki beragam etiologi dan prevalensi yang
berbeda satu dengan yang lainnya, defisiensi glucose-6-phosphate
dehydrogenase memiliki prevalensi yang tinggi dengan estimasi lebih dari
500 juta orang di dunia (mayoritas asimtomatik) dan merupakan penyebab
paling umum dari anemia hemolitik akut.6 Hereditary spherocytosis adalah
anemia hemolitik defek membrane yang ditemukan di seluruh kelompok
ras dan etnis, namun paling umum ditemukan pada di Eropa utara dengan
estimasi sekitar 1 dari 5000 orang. Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering
kejadian ikterus dan anemia hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia
insidennya diperkirakan 1-14%, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15%,
di Indonesia bagian Timur disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 - 6,7%. 7,8

3
Kelainan hemoglobin seperti sickle cell disease merupakan
penyakit genetic yang paling umum terdeteksi dalam program skrining
neonatus di Amerika Serikat yaitu 1 dari 2647 kelahiran.9 Sekitar 3% dari
populasi dunia membawa gen β-thalassemia dan 5-10% dari seluruh
populasi di Asia Tenggara membawa gen α-thalassemia.9 Autoimmune
Hemolytic Anemia (AIHA) primer tidak jarang terjadi, estimasi 1 dari
80.000 populasi per tahun di Indonesia belum diketahui dengan pasti10
3. ETIOLOGI
 Gangguan intrakorpuskular
Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme dalam
eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:2,3
1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit, terbagi menjadi:
a. Sferositosis
b. Ovalositosis (eliptositosis)
c. A-beta lipoproteinemia
d. Gangguan pembentukan nukleotida
2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit.
a. Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G6PD)
b. Defisiensi Glutation reduktase
c. Defisiensi Glutation
d. Defisiensi Piruvatkinase
e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
f. Defisiensi Difosfogliserat Mutase
g. Defisiensi Heksokinase
h. Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
3. Hemoglobinopati Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin,
yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal) misalnya HbS,
HbE dan lain-lain.
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin misalnya talasemia

4
 Gangguan ekstrakorpuskuler
Gangguan ini biasanya didapat (acquired ) dan dapat disebabkan oleh:3,8,9
1. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin (hemolisin)
streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan
penghancuran eritrosit.
3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya reaksi antigen-
antibodi seperti:
a. Inkompatibilitas ABO atau Rhesus.
b. Alergen yang berasal dari luar tubuh, kemudian menimbulkan reaksi
antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.
c. Hemolisis akibat proses autoimun

4. PATOFISIOLOGI
Pengetahuan mengenai eritropoiesis, hemoglobin, metabolisme,
usia dan destruksi sel darah merah, serta etiologi dan patogenesis
terjadinya anemia hemolitik pada anak mutlak harus dimengerti terlebih
dahulu agar dapat menggunakan sarana pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis secara efisien dan memberikan terapi yang sesuai.
 Hematopoiesis
Hematopoiesis sudah terjadi sejak fetus, namun terdapat lokasi
anatomis hematopoiesis yang berbeda pada orang dewasa. Hematopoiesis
fetus terjadi pada tiga lokasi anatomis: mesoblastik, hepatik, dan
myeloid.14 Hematopoiesis mesoblastik terjadi pada struktur ekstra
embrionik, secara prinsip di yolk sac, dan mulai terjadi antara hari ke-10
dan hari ke-14 masa kehamilan. Pada masa kehamilan antara minggu ke-6
dan ke-8, liver menggantikan yolk sac sebagai lokasi primer hematopoiesis
dan antara minggu ke- 10 dan ke-12 hematopoiesis ekstraembrionik sudah
tidak terjadi. Hematopoiesis hepatik terjadi sepanjang masa gestasi, namun
pada trimester kedua mulai mengalami penurunan seiring dengan
peningkatan hematopoiesis pada sumsum tulang (myeloid). Liver tetap

5
menjadi organ hematopoietik yang dominan sampai masa gestasi 20-24
minggu.14 Pada bulan akhir masa kehamilan dan setelah kelahiran, sel
darah merah secara eksklusif diproduksi oleh sumsum tulang.15
Pluripotential hematopoietic stem cell (PHSC) merupakan sel
tunggal dari sumsum tulang yang merupakan induk dari seluruh sel darah
dan mampu untuk melakukan self-renewal.14,15 Adanya kemampuan self-
renewal menyebabkan kemampuan sumsum tulang untuk terus
memproduksi sel-sel darah, walaupun jumlahnya akan semakin berkurang
seiring dengan bertambahnya usia.15 Pertumbuhan dan diferensiasi dari
stem cell sampai sel darah dewasa yang spesifik membutuhkan keberadaan
dari hematopoietic growth factor.14
 Eritropoiesis
Colony Forming Unit-Erythrocyte (CFU-E) stem cells akan
berdiferensiasi menjadi proerythroblast yang kemudian membelah
beberapa kali sampai menjadi eritrosit dewasa.15 Maturasi dari eritrosit
mencakup sintesis hemoglobin dan pembentukan badan eritrosit yang
kecil, tanpa inti, dan bentuk bikonkaf.16
Beberapa perubahan tingkat seluler terjadi ketika maturasi eritrosit.
Volume sel dan nukleus berkurang, dan nukleolus semakin mengecil
sampai menghilang.16 Kromatin akan berkondensasi dan mengecil sampai
dikeluarkan dari sel.15,16 Terdapat penurunan gradual dari ribosom
(penurunan basophilia) yang diikuti dengan peningkatan jumlah dari
hemoglobin dalam sitoplasma. Mitokondria dan organel lain secara
gradual akan menghilang.16 Sintesis hemoglobin dimulai sejak dalam
proerythroblast dan terus berlanjut hingga fase retikulosit dari eritrosit
(Gambar 2).15

6
Jumlah sel darah merah di dalam sistem sirkulasi harus diregulasi
karena dua alasan penting, antara lain supaya jumlah sel darah merah yang
adekuat selalu tersedia untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan,
namun juga agar sel darah merah tidak berlebihan hingga menghambat
aliran darah.15 Regulasi dari produksi sel darah merah secara utama
dipengaruhi oleh hormon eritropoietin (EPO) yang produksinya sangat
tergantung dari oksigenasi jaringan (Gambar 3).15,17 Pada orang dewasa
normal, hormon EPO 90% diproduksi di ginjal dan 10% sisanya secara
utama oleh liver.15 Sebaliknya pada fetus, liver berperan lebih dominan
daripada ginjal dalam memproduksi EPO, namun mekanisme perpindahan
dominasi produksi EPO dari liver ke ginjal masih belum diketahui sampai
sekarang.17

7
Gambar 3. Pengaruh oksigensi jaringan dan eritrropoiein terrhadap
erritrropoiesis
(Gambar dikutip dari Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th
ed. Saunders, 2006. p. 419-428)
 Metabolisme, Usia, dan Destruksi eritrosit
Eritrosit tidak memiliki nukleus sehingga tidak mampu untuk
melakukan sintesis protein.14 Hal ini menyebabkan usia dari eritrosit yang
terbatas karena ketidakmampuan untuk mengganti atau memperbaiki
protein-protein vital yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup,
walaupun sebenarnya mekanisme definit penyebab terjadinya destruksi
pada eritrosit tua belum diketahui secara jelas.18 Usia eritrosit normal
sekitar 120 hari.3,13 Selain nukleus, sel darah merah dewasa juga tidak
memiliki mitokondria sehingga adenosine triphosphate (ATP) tidak dapat
dihasilkan melalui siklus Krebs, melainkan melalui glikolisis anaerobik
(Embden-Meyerhof pathway); sekitar 10% dari glukosa dimetabolisme
melalui pentose phosphate pathway.14
Destruksi eritrosit terjadi melalui dua mekanisme, antara lain
secara intravascular maupun ekstravaskular.3 Secara fisiologis, destruksi

8
eritrosit intravascular hanya terjadi secara minimal (sekitar 10-20%),
sedangkan 80-90% terjadi di ekstravaskular yaitu melalui makrofag yang
terdapat di limpa.18 Limpa atau spleen berfungsi sebagai filter yang efisien
untuk eritrosit yaitu tidak hanya menghancurkan eritrosit tua, namun juga
membersihkan permukaan dan materi intraselular eritrosit.10 Makrofag
(terutama di dalam limpa) mendeteksi perbedaan eritrosit muda dan
eritrosit tua melalui deformabilitas dan atau perubahan permukaan
eritrosit.3 Kemampuan deformabilitas harus dimiliki oleh eritrosit untuk
melewati celah-celah sempit dari splenic pulp. Bentuk bikonkaf,
komposisi membran, dan viskositas hemoglobin dalam eritrosit
menentukan deformabilitasnya. Perubahan permukaan eritrosit dapat
terjadi karena penempelan antibodi pada antigen permukaan eritrosit,
komplemen, atau perubahan kimiawi.3
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang terjadi ketika
kecepatan destruksi prematur sel darah merah melampaui kapasitas
sumsum tulang dalam memproduksi eritrosit.13 Anemia hemolitik dapat
diklasifikasikan berdasarkan lokasi defeknya, antara lain defek selular dan
ekstraselular
Pada anemia hemolitik, usia eritrosit memendek, jumlah eritrosit
menurun, EPO meningkat, dan terjadi peningkatan aktivitas sumsum
tulang.13 Peningkatan eritropoiesis direfleksikan dengan ditemukannya
peningkatan retikulosit di dalam darah. Sumsum tulang dapat
meningkatkan produksinya sebanyak 2-3 kali lipat dari normal dalam
keadaan akut dengan kapasitas maksimum sampai 6-8 kali pada hemolisis
kronik.2,13

4. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Pendekatan inisial pada pasien anemia, antara lain anamnesis yang


detil, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium esensial yang
minimal.11 Manifestasi klinis dari anemia secara umum tergantung dari

9
tingkat keparahan dan laju penurunan kapasitas angkut oksigen (oxygen-
carrying capacity) dari darah, kapasitas kompensasi dari sistem
kardiovaskular dan respirasi, dan fitur yang terasosiasi dengan etiologi
utama yang menyebabkan anemia.2 Anemia yang progresifitasnya terjadi
secara gradual tanpa disertai penyakit kardiopulmonal dapat menyebabkan
kompensasi tubuh yang efektif sehingga pasien tidak akan mengalami
gejala dan tanda klinis anemia sampai kadar Hb turun sampai atau
dibawah 8 g/dL.2 Sebaliknya, bila anemia terjadi secara akut, sesak nafas,
pusing atau pingsan (terutama dalam keadaan transisi dari posisi duduk
atau tidur telentang), dan kelelahan hebat merupakan gejala yang
prominen.2
Dalam anamnesis, gejala anemia hemolitik yang mungkin
ditemukan antara lain gejala anemia non spesifik seperti kelemahan,
toleransi aktivitas berkurang, sesak nafas atau gejala-gejala seperti sakit
kepala, pusing, sinkop, demam, menggigil, nyeri abdomen dengan atau
tanpa distensi, nyeri pinggang, urin gelap seperti teh atau kola
(hemoglobinuria, biasanya pada anemia hemolitik intravaskular), ikterus
(keadaan sekarang atau riwayat ikterus saat neonatus (biasanya
berhubungan dengan etiologi anemia hemolitik congenital seperti
hereditary spherocytosis atau defisiensi G6PD), dan riwayat batu
empedu.2,3 Etnis, usia, dan jenis kelamin pasien memiliki nilai cukup
penting dalam mengarahkan diagnosis anemia hemolitik.
Hemoglobinopati, seperti hemoglobin S dan C lebih umum
ditemukan pada orang kulit hitam, thalassemia beta lebih umum
ditemukan pada orang kulit putih, thalassemia alfa paling sering
ditemukan pada orang kulit hitam dan kuning.11
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda ikterik
(hiperbilirubinemia yang biasa ditemukan pada anemia hemolitik), pucat
(tanda umum anemia), splenomegali, petekie atau purpura (anemia
hemolitik autoimun dengan trombositopenia), ulkus pada ekstremitas
bawah (hemoglobinopati), perubahan bentuk wajah (anemia hemolitik

10
kongenital, thalassemia mayor), dan katarak (defisiensi G6PD).3,11
Penurunan kadar hemoglobin dan serum haptoglobin, peningkatan hitung
retikulosit, bilirubin indirek, serum lactate dehydrogenase (LDH),
urobilinogen urin, dan hemoglobinuria (+ darah pada urine dipstick,
namun tidak ada eritrosit pada urin) merupakan hasil pemeriksaan
penunjang yang dapat ditemukan pada anemia hemolitik.19 Pada pasien
yang diduga dengan anemia hemolitik, pemeriksaan apusan darah tepi
harus dilakukan karena mayoritas etiologi anemia hemolitik berhubungan
dengan kelainan morfologi yang dapat dilihat pada apusan darah tepi.
Direct antiglobulin test (DAT) atau yang dikenal dengan Coombs
test dapat diperiksa untuk mengidentifikasi antibody dan komponen
komplemen pada permukaan eritrosit.10 Coombs test yang positif akan
mengarahkan diagnosis ke autoimmune hemolytic anemia (AIHA).
Pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis anemia hemolitik lainnya,
antara lain elektroforesis Hb, panel enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase),
dan osmotic fragility test. Berikut adalah alur diagnostik yang dapat
digunakan (Gambar 6)

Tabel 2.. Anemia hemolitik : kemungkinan diagnosis berdasarkan


morfologi eritrosit

Morfologi Eritrosit Kemungkinan Diagnosis


Sickle cell Sickle cells disease

11
Target cell Hemoglobinopati (HbC, HbS,
thalassemia,
liver disease)
Schistocytes / burr cells / helmet Microangiopathic hemolytic anemia
cells / RBC fragments – DIC, HUS, TTP
Spherocytes Hereditary spherocytosis, autoimmune
hemolytic anemia
Cigar-shaped cells Hereditary elliptocytosis
“Bite” Cells Defisiensi G6PD
Fragmented erythrocytes, elliptocytes Hereditary pyropoikilocytosis

12
6. PENATALAKSANAAN
Terapi pada anemia hemolitik umumnya bersifat suportif, seperti terapi
transfusi, suplemen asam folat, dan splenektomi.
 Terapi Transfusi
Secara prinsip, indikasi utama pada transfusi eritrosit adalah
pemberian eritrosit yang cukup untuk mencegah atau mengembalikan

13
keadaan hipoksia jaringan yang diakibatkan kompensasi yang tidak
adekuat.20 Transfusi umumnya diberikan bila anemia terjadi secara akut
dan bergejala, pasien memiliki penyakit jantung atau paru, atau sebelum
pembedahan mayor. Gejala simtomatik anemia antara lain dispneu,
takipneu, takikardia, apnea, bradikardi, kesulitan makan (feeding
difficulties), dan letargi. Dosis transfuse umumnya 10-15 ml/kg dan
diberikan dalam 2-4 jam.21 (Tabel 4).21

Tabel 4. Pedoman Transfusi Eritrosit pada Anak


Anak dan Remaja
Kehilangan akut 5% dari volume sirkulasi darah (>17ml/kg)
Hemoglobin <8 g/dl pada periode perioperatif
Hemoglobin <13 g/dl dan penyakit kardiopulmunal berat (penggunaan
ventilator)
Hemoglobin <8 g/dl dan anemia kronis simtomatik
Hemoglobin <8 g/dl dan kegagalan sumsum tulang (marrow failure)
Bayi usia 4 bulan kebawah
Hemoglobin <13 g/dl dan penyakit baru berat (menggunakan ventilator)
Hemoglobin <10 g/dl dan penyakit paru sedang (membutuhkan oksigen
tinggi)
Hemoglobin <13 g/dl dan penyakit jantung berat (penyakit jantung
sianotik)
Hemoglobin <10 g/dl dan pembedah mayor
Hemoglobin <8 g/dl dan anemia simtomatik

(Tabel dikutip dari: Strauss RG. Chapter 470. Red Blood Cell Transfusions and
Erythropoetin Therapy. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson Textbook of Pediatrics. 18th edition. Saunders, 2007. p. 2055-2056.)

Pasien dengan anemia hemolitik akut atau kronik mungkin


membutuhkan transfusi eritrosit, terutama pada saat terjadi krisis hemolitik

14
atau aplastik.22 Pada autoimmune hemolytic anemia (AIHA) biasanya
klinisi akan menemukan darah yang tidak inkompatibel dengan pasien.
Pasien tersebut memproduksi antibodi yang bereaksi dengan seluruh
eritrosit, termasuk eritrosit dirinya sendiri. Dalam keadaan tersebut,
transfusi akan tetap dilakukan terutama pada kadar hemoglobin <6 g/dL,
apabila transfusi tidak dilakukan justru akan membahayakan nyawa
pasien.22
Anak dengan thalassemia mendapatkan keuntungan dari program
hipertransfusi (hypertransfusion program) yaitu menjaga kadar
hemoglobin diatas 9-10 gr/dL karena memampukan anak tersebut
bertambah berat dan tinggi, memperbaiki hepatosplenomegaly,
osteoporosis, dan dilasi jantung.20 Resiko transfusi antara lain infeksi,
reaksi transfusi hemolitik dan nonhemolitik, kelebihan cairan (fluid
overload), graft vs host disease, gangguan elektrolit dan keseimbangan
asam-basa, reaksi alergi, acute lung injury, post transfusion purpura,
hipotermia, dan transfusion hemosiderosis (iron overload) pada transfusi
eritrosit jangka panjang.21,22 Transfusional hemosiderosis merupakan
komplikasi transfusi eritrosit yang sering ditemukan pada pasien dengan
thalassemia mayor, namun dapat dicegah dengan penggunaan
deferoxamine.
Deferoxamine mengikat besi dan beberapa kation bivalen sehingga
dapat dieksresikan melalui urin dan feses. Obat ini diberikan dengan dosis
30-40 mg/kgbb secara subkutan dalam 8-12 jam (malam hari) dan minimal
5-6 malam dalam satu minggu.9 Selain deferoxamine, dikenal pula
deferiprone dan deferasirox sebagai terapi pengikat besi lainnya.
Deferiprone tidak lebih efektif dari deferoxamine dalam mengikat besi
tubuh, namun lebih efektif dalam mengikat besi pada jantung (cardiac
iron).9
 Splenektomi
Indikasi splenektomi tersering adalah kelainan hematologi (Tabel
5).23 Splenektomi dilakukan pada pasien dengan anemia hemolitik karena

15
dapat mengurangi anemia yang terjadi, namun pertimbangan untuk
tindakan tersebut harus dipikirkan dengan matang karena resiko
komplikasi yang mungkin terjadi. Secara umum, splenektomi dapat
dipertimbangkan pada anemia hemolitik berat dengan etiologi tertentu,
seperti hereditary spherocytosis, defisiensi piruvat kinase, warm-antibody
autoimmune hemolytic anemia, dan hemoglobinopati (sickle cell anemia,
thalassemia).13,24
Splenektomi pada defisiensi G6PD masih kontroversial.24
Komplikasi dari splenektomi antara lain komplikasi pascasplenektomi
langsung (infeksi lokal, perdarahan, pankreatitis), sepsis
pascasplenektomi, trombosis dan tromboemboli.7 Splenektomi sebaiknya
ditunda sampai pasien berusia 6-9 tahun karena resiko infeksi yang tinggi
bila pembedahan dilakukan dibawah umur tersebut.7,13 Kegagalan
splenektomi (Splenectomy failure) jarang terjadi, namun penyebab
tersering dikarenakan accessory spleen yang tidak terangkat ketika
pembedahan.7 Setiap kandidat splenektomi harus menerima vaksinasi,
antara lain pneumococcus, meningococcus, dan H. influenza, dan
antibiotik profilaksis pascasplenektomi yaitu penicillin V 125 mg dua kali
sehari pada anak dibawah 5 tahun dan 250 mg dua kali sehari pada anak
lebih besar dan orang dewasa (pada pasien alergi penicillin dapat diberikan
eritromisin) selama minimal 5 tahun setelah pembedahan.7

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Benoist B, McLean E, Cogswell M, Egli I, Wojdyla D. Worldwide prevalence
of anaemia 1993–2005.WHO Global Database on Anaemia. Geneva,
Switzerland: World Health Organization,2008
2. Means RT, Glader B. Anemia: General Considerations. In: Greer et al.
Wintrobe’s Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins 2009; p. 780-809.
3. Zimbelman JD. Hemolytic Anemia. In: Bajaj L, Hambidge SJ, Kerby G,
Nyquist AC. Berman’s Pediatric Decision Making. 5th ed. Philadelphia:
Saunders; 2011. p.596-597.
4. Jannus J, Moerschel SK. Evaluation of Anemia in Children. Am Fam Physician
2010; 81(12):1462-1471.
5. Recht M, Mahoney DH, Hoppin AG. Overview of Hemolytic Anemias in
Children. Uptodate 2012.
6. Luzzatto L, Poggi Vincenzo. Chapter 17. Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase
Deficiency. In: Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher
DE, Lux SE. Nathan And Oski’s Hematology of Infancy and
Childhood. 7th edition. Saunders, 2009. p. 883-907
7. Grace RF, Lux SE. Chapter 15. Disorders of the Red Cell Membrane. In: Orkin
SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE. Nathan
And Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. 7th edition.
Saunders, 2009. p. 659-837
8. Segel GB. Chapter 458. Hereditary Spherocytosis. In: Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th edition. Saunders, 2007. p. 2020-2023
9. DeBaun MR, Vichinsky E. Chapter 462. Hemoglobinopathies. In: Nelson
Textbook of Pediatrics. 18th edition. Saunders, 2007. p.2025-2038
10. Ware RE. Chapter 14. Autoimmune Hemolytic Anemia. In: Orkin SH, Nathan
DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE. Nathan And Oski’s
Hematology of Infancy and Childhood. 7th edition. Saunders, 2009. p.
613-658

17
11. Brugnara C, Oski FA, Nathan DG. Chapter 10. Diagnostic Approach to the
Anemic Patient. In: Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT,
Fisher DE, Lux SE. Nathan And Oski’s Hematology of Infancy and
Childhood. 7th edition. Saunders, 2009. p. 456-466.
12. Lissauer T, Clayden G. Illustrated Textbook of Paediatrics. 4th edition. Mosby
2012. p. 382-403.
13. Segel GB. Chapter 457. Definitions and Classification of Hemolytic Anemias.
In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. 18th edition. Saunders, 2007. p. 2018-2045.
14. Ohls RK, Christensen RD. Chapter 446. Development of The Hematopoietic
System. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson Textbook of Pediatrics. 18th edition. Saunders, 2007. p. 1997-
2003 .
15. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Saunders,
2006. p. 419-428
16. Mescher AL. Chapter 13. Hemopoiesis. In: Mescher AL, ed. Junqueira’s
Basic Histology: Text & Atlas. 12th ed. New York: McGraw-Hill;
2010.
17. Sieff CA, Zon LI. Chapter 6. Anatomy and Physiology of Hematopoiesis. In:
Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE.
Nathan And Oski’s Hematology of Infancy and Childhood. 7th edition.
Saunders, 2009. p. 195-246.
18. Glader B. Chapter 8. Destruction of Erythrocytes. In: Greer et al. Wintrobe’s
Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins
2009; p. 156-169
19. Berman BW. Chapter 48. Pallor and Anemia. In: Kliegman RM, Greenbaum
LA, Lye PS. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and Therapy.
2nd edition. Philadelphia; Saunders; 2004. p.873-894
20. Sloan SR, Friedman DF, Kao G, Kaufman RM, Silberstein L. Chapter 35.
Transfusion Medicine. In: Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look

18
AT, Fisher DE, Lux SE. Nathan And Oski’s Hematology of Infancy and
Childhood. 7th edition. Saunders, 2009. p.1623-1675
21. Strauss RG. Chapter 470. Red Blood Cell Transfusions and Erythropoetin
Therapy. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson Textbook of Pediatrics. 18th edition. Saunders, 2007. p. 2055-
2056.
22. Galel SA, Nguyen DD, Fontaine MJ, Goodnough LT, Viele MK. Chapter
23. Transfusion Medicine. In: Greer et al. Wintrobe’s Clinical Hematology 12th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins 2009. p. 673-721
23. Crary SE, Buchanan GR. Vascular Complications after Splenectomy for
Hematologic Disorders. Blood 2009; 114: 2861-2868
24. Park AE, Godinez CD. Chapter 34. Spleen. In: Brunicardi FC, Andersen DK,
Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, Pollock RE,
eds.Schwartz’s Principles of Surgery. 9th ed. New York: McGraw-Hill;
2010.
25. Segel GB. Chapter 463. Enzymatic Defects. In: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th edition.
Saunders, 2007. p. 2039-2042.

19

Anda mungkin juga menyukai