Anda di halaman 1dari 117

TENTANG

PEMBUKTIAN,PUTUSAN,UPAYA
HUKUM DAN EKSEKUSI
PUTUSAN PERKARA PERDATA

(DISUSUN OLEH DR.AANG ACHMAD UNTUK


KULIAH UMUM HK.ACARA PERDATA)
• PEMBAHASAN TENTANG PEMBUKTIAN:
• A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN.
• B. APA-APA YG HARUS DIBUKTIKAN.
• C. HAL-HAL YG TIDAK PERLU DIBUKTIKAN.
• D. BEBAN PEMBUKTIAN.
• E. ALAT-ALAT BUKTI DL PERKARA PERDATA.
• F. PEMERIKSAAN SETEMPAT.
• G. KETERANGAN AHLI.
A.PENGERTIAN PEMBUKTIAN
• Dalam jawab menjawab di muka sidang
Pengadilan Negeri,pihak-pihak yg berperkara
dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yg
bisa dijadikan dasar untuk meneguhkan hak
perdatanya ataupun untuk membantah hak
perdata pihak lain.
• Peristiwa-peristiwa tersebut tidak cukup hanya
dikemukakan akan tetapi harus diiringi bukti-
bukti yg syah menurut hukum agar dapat
dipastikan kebenarannya atau peristiwa itu
harus disetai pembuktian secara yuridis.
Dalam acara pembuktian para pihak
membuktikan tetang peristiwa dan fakta-
fakta yang menjadi dasar gugatan dan
jawabannya.
• Hakim harus mampu menemukan
kebenaran dari peristiwa dan fakta yg
diajukan para pihak dg cara pembuktian.
• Agar putusannya adil Hakim harus mampu
mengenali,memahami dan mengkonstatir
peristiwa tersebut.
B. APA-APA YANG HARUS DIBUKTIKAN
• Yang harus dibuktikan oleh para pihak yang
berperkara bukan hukumnya,tapi peristiwanya
atau hubungan hukumnya.
• Hakim harus melakukan pengkajian terhadap
peristiwa-peristiwa tsb,mana yg penting (relevant)
yg harus dibuktikan dan mana yg tidak penting
(irrelevant) yg tidak perlu dibuktikan.
• Perintiwa yg penting misalnya: apakah antara
penggugat dan tergugat pada waktu dan tempat
tertentu benar-benar mengadakan perjanjian
hutang piutang dan sah men urut hukum?
C. PERISTIWA DAN FAKTA /HAL-HAL YANG
TIDAK PERLU DIBUKTIKAN

1. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek


2. Dalam hal Tergugat mengakui gugatan Pgt.
3. Dalam hal dilakukan Sumpah Decisoir.
4. Dalam hal bantahan yg kurang cukup atau diajukan
referte
5. Hakim secara ex officio dianggap mengenal
peristiwanya,yaitu :
•”
Apa itu Pembuktian

• Membuktikan adalah meyakinkan Hakim


tentang kebenaran dalil atau peristiwa yg
dikemukakan para pihak dalam suatu sengketa
di Pengadilan.
• Tindakan pembuktian hanya diperlukan bila
timbul suatu sengketa antara dua pihak atau
lebih: “selama tidak ada yg menyangkal maka
mobil yg saya pakai adalah milik saya,tidak
perlu dibuktikan”.
A. MACAM-MACAM ALAT BUKTI
• Berdasarkan Pasal 164 HIR,Pasal 284 RBg,Pasal
• 1866 KUHPdt, ada lima alat bukti dl perkara perdata di
Indonesia,yaitu:
• 1.- Bukti Surat atau Tertulis,
• 2.- Bukti Saksi
• 3.-Persangkaan
• 4.-Pengakuan,dan
• 5.-S u m p a h
• Dalam Hukum Acara Perdata Hakim terikat pada alat-alat bukti
yg syah,hal ini berarti Hakim hanya boleh mengambil keputusan
berdasarkan alat-alat bukti yg ditetrapkan oleh Undang-Undang.
1. Alat Bukti Tertulis/Surat
• Merupakan segala sesuatu yg memuat tanda-
tanda bacaan untuk mencurahkan pikiran dan isi
hati seseorang yg ditujukan untuk dirinya atau
orang lain yg dapat digunakan untuk alat bukti;
• Ada dua macam alat bukti tertulis atau surat:
• 1. Surat yang bukan Akta,
• 2. Surat berupa akta,terdiri : a) akta otentik dan
b) akta dibawah tangan.
1. Surat yg bukan akta
Surat dibawah tangan yg bukan akta tercantum dalam
pasal 1874 KUHPdt, antara lain:
- Buku Daftar atau Register,
- Surat-Surat Rumah Tangga,
- Catatan-catatan yg dibubuhkan kreditur pada suatu
alas hak yg selamanya dipegang ( pasal 1881,1883
KUHPdt,pasal 294 ,297 RBg);
Kekuatan pembuktian terhadap surat bukan akta
diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim
(1881 ayat 2 KUHPdt,pasal 294 ayat 2 RBg)
• Catatan mengenai tanah dalam Buku leter C
• Tidak mempunyai kekuatan bukti mutlak,bahwa
nama yg tercantum didalamnya sebagai pemilik
masih dapat dipatahkan oleh bukti lain.
• Mengenai fhotocopy dapat diterima sebagai alat
bukti dg syarat harus disyahkan bahwa fhotopy
tsb sesui dg aselinya (Putusan MARI No.701
K/Sip/1974,tanggal 14 April 1976).
• Mikrofilem,mikrochip,atau faksimili dapat
dianggap sebagai bukti tertulis,sepenjang
memenuhi ketentuan Putusan MA tsb diatas.
• Undang-undang hanya mengatur kekuatan pembuktian
terhadap salinan suatu akta,sedangkan surat yg bukan
akta diserahkan kepada pertimbangan hakim.
• Salinan suatu akta memiliki kekuatan pembuktiuan
sepanjang sesuai dengan akta aslinya ( pasal 301
RBg,pasal 1888 KUHPdt) dan Hakim berwenang untuk
memperlihatkan aselinya dipersidangan, bila aselinya
tidak ada lagi atau hilang,maka kekuatan pembuktian
diserahkan kepada hakim (pasal 301 RBg,pasal 1889
KUHPdt)
• Tembusan surat yg dibuat dengan kertas karbon berlaku
sesuai dengan aselinya,karena temnusan itu sama dengan
surat yg ditulis pada halaman pertama.
2. A k t a
• Akta adalah surat yg diberi tanda-tangan,yg memuat peristiwa
yg menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yg dibuat sejak awal
untuk pembyuktian(pasal 1869 KUHPdt),fungsi tanda –tangan
untuk memudahkan identifikasi serta mengindividualisir suatu
akta; dengan demikian karcis KA,rekening listrik,resi dll tidak
termasuk dalam pengertian akta.
• Sidik jari/cap jempol dianggap indetik dengan tanda-tangan asal
dikuatkan dengan suatu keterangan yg diberitanggal oleh
Notaris atau pejabat lain yg tunjuk UU yg menerangkan bhw
sidik jari itu benar-benar dari orang ybs (pengesyahan
dinamakan waarmerking).
• Alat bukti tertulis yg diajukan harus diberikan
materai guna memenuhi pasal 2 ayat 1a UU
No.13 Tahun 1986 tentang Bea Materai,tapi
materai bukan syarat syahnya perjanjian,
tampa materai perjanjian tetap sah hanya
harus dinazegeling(pasal 10 UU no.13 Tahun
1985) agar alat bukti itu dinyatakan syah
sesuai dg putusan MARI 589K/Sip/1970 yg
berpendapat surat bukti yg tidak diberi
materai bukan merupakan alat bukti yg syah.
Dua Fungsi Akta
• 1. Akta berfungsi Formil(formalitas
causa),yaitu acta berfungsi sebagai sarana
untuk lengkap atau sempurnanya alat
bukti.Dalam hal ini akta merupakan syarat
formil adanya suatu perbuatan,contoh:
• Perjanjian pemborongan(pasal 1767 KUHPdt)
• Perjanjian utang piutang dengan bunga(1767,
KUHPdt),perdamaian ( 1851 KUHPdt)
• Yang disyaratkan untuk akta otentik antara lain
pemberian hipotik(pasal 1171 BW)
,shenking(1682 BW) melakukan sumpah oleh
orang lain(pasal 1945 BW),

• 2. Akta berfungsi sebagai alat bukti


(probationis causa)yaitu akta sejak awal dibuat
untuk sebagai alat bukti dikemudian hari.
Kekuatan Pembuktian
• 1.Kekuatan Pembuktian lahir: yaitu kekuatan yg
disasarkan keadaan lahir,penilaian alat bukti ini
hanya dari segi penampakan lahiriah sebagai
akta,kecuali ada bukti sebaliknya;
• 2, Kekuatan pembuktian formil: yaitu kuatan
pembuktian didasarkan benar tidaknya pernyataan
yang bertanda tangan dibawah akta tsb.
• 3. Kekuatan Pembuktian matteriil, yaitu kekuatan
pembuktian yg memberikan kepastian mengenai
suatu meteri suatu akta,memberikan kepastian
tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak
menyatakan danmelakukan seperti tercantum dl akta
1) Akta Otentik
• Diatur dalam pasa.l165 HIR,285 RBg,1868 BW
• Akta otentik adalah akta ygdibuat oleh pejabat
yg diberi wewenang oleh pemerintah menurut
peraturan per-undang2an yg berlaku,baik dg
atau tampa bantuan pihak yg berkepentingan
yg mencatat apa yg dimintakan untuk dimuat
didalamnya oleh yang berkepentingan;
• Dalam hal ini yg dimaksud pejabat adalah
notaris,panitera,juru-sita,pegawai catatan
sipil,hakim dll.
• Akta otentik merupakan alat bukti yg
sempurna bagi kedua belah fihak,ahli
warisnya atau orang2 yang mendapat hak
dari padanya;
• Bagi piah ketiga akta otentik ini merupakan
alat bukti dg kekuatan pembuktian bebas,yg
penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan
hakim ( 165 HIR,285 RBg,1870 KUHPdt)
• Akta otentik dibagi dua:
• -akta dibuat pejabat yg berwenang,tentang
apa yg dilihat dan dilakukannya;
• -akta dibuat para pihak,yg dibuat dihadapan
pejabat yg berwenang atas permintaan ybs.
Tiga Kekuatan Pembuktian Otentik
• 1.Kekuatan pembuktian lahir, suatu akta yg
secara lahir tampak sebagai aktra,dianggap
sebagai akta otentik sampai dibuktikan
sebaliknya;beban pembuktian pada siapa yg
mempersoalkan ( 138 HIR,164 RBg);
• 2.Kekuatan pembuktianformiel,membuktikan
kebenaran dan kepastian terhadap apa yg
dilihat,didengar dan dilakukan pejabat
pembuat akta;
• 3.Kekuatan pembuktian materiel,pada
umumnya tidak memiliki kekuatan
2.Akta di bawah Tangan
• Akta yg sengaja dibuat untuk pembuktian para
pihak tampa bantuan dari pejabat yg
berwenang,hanya untuk kepentingan para
pihak yg membuatnya;
• 1.Kekuatan pembuktian lahir,bila tanda-
tangannya diakui ybs maka akta memiliki
kekuatan dan menjadi bukti yg sempurna;
terhadap pihak ke-tiga memiliki kekuatan
bebas, tidak memiliki kekuatan bukti lahir
karena tanda-tangannya bisa disangkal;
• 2.Kekuatan pembuktian formal,bila tanda-
tangan diakui berarti keterangan atau
pernyataan dalam akta tersebut dibuat oleh
sipenanda-tangan,dan kekuatan pemb uktian
formalnya sama dg akta otentik;
• 3. Kekuatan pembuktian materiil,menurut
pasal 288 RBg,pasal 1875 KUHPdt,akta
dibawah tangan yg diakui oleh orang
terhadap siapa akta digunakan atau dapat
diakui menurut undang2,merupakan bukti yg
sempurnba seperti akta otentik,bagi penanda-
tangannya,ahliwarisnya atau orang yg
mendapat hak dari mereka;
C. ALAT BUKTI SAKSI /KESAKSIAN
• Diatur dl pasal 139-152,168-172 HIR,pasal
165-179 RBg,dan pasal; 1902-1912 KUHpdt.
• Kesaksian adalah wujud kepastian yg diberikan
kpd hakim dimuka sidang tentang peristiwa yg
disengketakan dg cara pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dl sengketa,yg dipanggil secara
patut oleh Pengadilan;
• Keterangan yg diberikan saksi adalah peristiwa
/kejadian yg dialami,diketahui dan didengar
sendiri,artrinya tidak boleh memberikan
pendapat ( psl 171 ayat 2 HIR)
Asas Testominium de audite,adala keterangan
saksi harus mengetahui dan mengalami
sendiri,bukan pengetahuan atau mendengar
keterangan orang lain,keterangan saksi yg
demikian bukan merupakan alat bukti;
Unus testis nullus testis,artinya seorang saksi
saja tampa alat bukti lainnya tidak dianggap
sebagai pembuktian (pasal 169 HIR, 306 RBg
dan 1905 KUHPdt);
• Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi
memiliki arti sangat penting,terutama
perjanjian2 dl hukum adat,yg pd umumnya tdk
menggunakan alat bukti tertulis,melainkan
dengan sikap saling percaya saja.
• Oleh karena bukti tertulis atau surat tidak
pernah ada,maka para pihak harus
mengajukan saksi yg dapat membenarkan
atau menguatkan dalil2 utuk diajukan
dihadapan persidangan di Pengadilan
Orang yang tidak boleh menjadi saksi
• A. Tidak mampu menjadi saksi secara mutlak:
• Hakim dilarang untuk meminta keterangan
dan mendengar kesaksian dari golongan saksi
yg tidak mampu mutlak:
• 1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda
menurut keturunan lurus dari salah satu
pihak( psl 145 ayat 1 sub 1 HIR,172 ayat 1 RBg
dan 1910 alinia 1 KUHPdt);
• 2. Suami atau istri salah satu pihak meskipun
telah bercerai( psl 145 ayat 1 sub 2 HIR,172
sub. 3 dan 1910 al.1 KUHPdt)
• B. Tidak mampu menjadi saksi secara relatif.
• Golongsn saksi ini boleh didengar keterangan
nya oleh Hakim,tetapi tidak dianggap sebagai
saksi,keterangannya dianggap penjelasan saja
dan tidak perlu disumpah(psl 145 ayat 4 HIR,
173 RBG)mereka ini adalah :
• -anak-anak yg belum mencapai umur15 tahun
(psl.145 ayat 1 sub 3 jo 4 HIR,173 ayat 1 sub 5
RBg dan 1912 KUGHPdt)
• -Orang gila,walaupun kadang2 ingatannya
pulih dan sehat( 145 ayat 1 sub.4 HIR, 173 ayat
1 sub 5 RBg,dan 1912 KUHPdt)
• Orang yg dibawah pengampuan / oc
Golongan yg dibebaskan Kewajiban
Menjadi saksi
• Atas permintaannya dibebaskan menjadi saksi:
• (psl 146 HIR, 174 RBg,1909 al.2 KUHPdt) yaitu:
• -Saudara laki-laki dan permpuan serta ipar
laki-laki dan perampuan salah satu pihak;
• -Keluarga sedarah menurut keturun grs lurus;
• -Saudara laki-laki dan perampuan suami-istri ;
• -Orang-orang tertentu karena
martabat,jabatan atau hubungan kerja yg sah
dan diwajibkan menjaga rahasiaa; mis.
Dokter,pengacara,notaris,polisi,agawan dll;
Kewajiban seorang Saksi:
• -1. saksi wajib menghadap ke muka sidang
(pasal 140,141 HIR,166,167 RBg;
• -2. saksi Wajib bersumpah menurut Agamanya
(147 HIR,175 RBg, 1911 KUHPdt)
• -3. Saksi Wajib memberikan keterangan,dg
sanksi bisa disandera bila enggan memberikan
ketarangan setelah disumpah;
• Hakim tidak wajib mempercayai saksi seperti b
ukti tertulis hgakim wajib terikat pd bukti surat
tersebut;
D. ALAT BUKTI PERSANGKAAN
Diatur dl pasal 173 HIR,310 RBg,1915-1922 BW.
Persangkaan adalah kesimpulan yang diambil
dari suatu peristiwa yang telah terbukti kearah
suatu peristiwa yang belum terbukti ; yang
berhak menarik kesimpulan tsb adalah hakim
maka disebut persangkaan hakim atau bila yg
menarik kesimpulan undang2 maka disebut
persangkaan undang2(psl 1916 BW)
Pembuktian dg persangkaan dilakukan bila
terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-
saksi yg melihat atau mengalami sendiri
peristiwa yang harus dibuktikan;
E. BUKTI PENGAKUAN
• (Diatur dalam psl174, 175, 176, HIR ,psl.311,
312,313,RBG, dan 1923-1928 KUHPdt)
• Pengakuan adalah keterangan sepihak baik
tertulius maupun lisan,yang secara tegasa dan
nyata diterangkan oleh salah satu pihak atau
lebih dl penyelesaian perkara dipersidangan,
yang berisi pembenaran sebagian atau
seluruhnya terhadap suatu peristiwa,hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh pihak
lawan,yang mengakibatkan tidak perlu lagi
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut;
• Pengakuan merupakan bukti yang sempurna
terhadap yg melakukannya,bnaik secara
pribadi maupun diwakilkan secara khusus,juga
sebagai alat bukti yg bersifat menentukan
yang tidak perlu ada pembuktian dari pihgak
lawan (psl.1916 ayat 2 no.4 KUHPdt);
• Dengan demikian bila tergugat mengakui
gugatan penggugat,maka hakim harus
mengabulkan tuntutan penggugat dan hakim
tidak diperkenankan dl hal ini untuk membuat
putusan berdasarkan keyakinannya semata;
• Pengakuan tergugat membebaskan penggugat
untyuk mengajukan pembuktian sesuai dg
DUA BENTUK PENGAKUAN BERDASARKAN
PASAL 1923 KUHPdt
• 1. Pengakuan yg diberikan di depan Hakim
dipersidangan ( psl 174 HIR,311 RBg,1925
BW),Pengakuan ini tidak dapat diterik
kembali,kecuali terjadi kekeliruan bukan
seolah-olah kekeliruan (psl 1926 ayat 2 BW);
• 2. Pengakuan yg diberikan diluar persidangan
(pasal 175 HIR,312 RBg,1927,1928 KUHPdt)
untuk membenarkan pernyataan2 yg
diberikan oleh pihak lawan,penilaiannya
diserahkan kepada Hakim;
Doktrin Ilmu Hukum ada tiga bentuk pengakuan:
• 1. Pengakuan Murni: pengakuan yg sifatnya
sederhana dan sesuai sepenuhnya dg tuntutan
pihak lawan,dl hal ini tdk ada alasan bagi
hakim untuk memisah-misahkan pengakuan ;
• 2. pengakuan dengan Kualifikasi, adalah
pengakuan dengan disertai penyangkalan
terhadap sebagian tuntutan penggugat, atau
jawaban tergugat yg berisi sebagian
pengakuan sebagian penyangkalan;
• 3. Pengakuan dengan klausala,pengakuan
disertai dengan keterangan tambahan yang
bersifat membebaskan dapat berupa
pembayaran, pembebasan,atau konpensasi,
pengakuan yangmerupakan jawaban tergugat
bersifat penjelasan merupakan penolakan
gugatan penggugat;
• Pengakuan kulifikasi atau klausula tidak boleh
dipisah-pisahkan dari keterangan tambahan
nya sebagaimana diatur dl pasal 176 HIR,313
RBg dan 1924 KUHPdt; terhadap jawaban tsb
yg merupakan penolakan tergugatpembuktian
harus dibebankan kepada penggugat;
F. ALAT BUKTI SUMPAH
• Diatur dl psl 155-158,177 HIR,182-185 RBg
dan pasal 1929-1945 KUHPdt;
• Sumpah adalah pernyataan yang dibuat oleh
seseorang secara khidmat dan bersahaja yang
diucapkan pada saat memberikan janji atau
keterangan dengan mengaitkan sifat Tuhan
Yang Maha Kuasa,dengan meyakini akan
kutukan-NYA bila ternyata memberikan
keterangan yang tidak benar.Jadi sumpah
adalah perbuatan formal yang terkait dengan
agama dan keyakinan seseorang yang
MACAM-MACAM SUMPAH
• 1. Sumpah Pelengkap (Suppletoir) diatur
pasal 155 HIR,182 RBg,dan 1940 KUHPdt,
sumpah yg diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak dalam
rangka melengkapi pembuktian permulaan
peristiwa yg menjadi sengketa untuk dijadikan
dasar putusan Hakim;
• Sumpah ini baru dapat dilaksanakan hakim
bila pembuktian belum memadai dan tidak
ada bukti lainnya dan bila ditambah sumpah
supliutoir maka pemeriksaan menjadi selesai
dan hakim dapat menjatuhkan putusan.
2. SUMPAH PENAKSIR(ESTIMATOIR)
• Diatur dl psl:155 HIR,182 RBg,1940 BW.
• Sumpah penaksir adalah sumpah ygdiperintah
kan oleh hakim karena jabatannya kpd pihak
penggugat untuk menentukan bentuk dan
jumlah ganti rugi;Sumpah ini baru dilakukan
bila yg bersangkutan telah membuktikan hak
nya atas ganti rugi tersebut,namun bentuk dan
jumlahnya yang belum pasti dan tidak tersedia
cara lain untuk menentukan hal tersebut
selain dg cara menaksir saja;Dalam praktek
bentuk dan jumlah ganti rugi harus didahului
dan dipastikan dg pembuktian berupa sumpah
penaksir(estimatoir)
3.SUMPAH PEMUTUS(DECISOIR)
• Diatur dl pasal 156 HIR,183 RBg dan 1930 BW.
• Sumpah pemutus(decisoir) adalah sumpah yg
dibebankan atas permintaan salah satu pihak
kepada lawannya.Dalam hal ini pihak yg minta
lawannya untuk mengucapkan sumpah
disebut deferent dan yg harus bersumpah
disebut delaat.
• Sumpah ini dapat dibebankan oleh hakim
kepada salah satu pihak meskipun tidak ada
pembuktian sama sekali,sehingga dapat
dilakukan setiap saat selama pemeriksaan
dipersidangan;
• Keinginan untuk membebani sumpahpemutus
ini berasal dari salah satu pihak,sehingga yg
bersangkutan berkewajiban untuk merumus
kan bunyi atau substansi sumpahnya.Sumpah
pemutus dapat dibebankan kepada para pihak
pribadi atau orang dibEri kuasa khusus dengan
akta otentik(psl.157 HIR,184 RBg dan 1945 BW
• Sumpah decisoir ini dapat menimbulkan
akibat yaitu kebenaran peristiwa yg diminta
untuk bersumpah menjadi pasti dan pihak
lawan tidak diperkenankan membuktikan
bahwa sumpah itu adalah palsu.
BAB XII
PUTUSAN HAKIM DALAM
PERKARA PERDATA
A
A.Defini Putusan
• Putusan hakim adalah suatu pernyataan (Statement)yg
dibuat oleh hakim sebagai pe-jabat negara yg diberi
wewenang untuk itu diucapkan dimuka sidang terbuka
untuk umum dengan tujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan perkara antara para pihak yang bersengketa;
• Putusan yg diucapkan hakim dipersidangan (uitspraak) tidak
boleh berbeda dengan konsep putusan yg tertulis(vonis);
• MA dalam surat Edarannya no.5 /1959,tanggal 20 April 1959
dan no.I/1962,tanggal 7 Maret 1962 mengintruksikan bhw
waktu putusan diucapkan konsep putusannya harus sudah
selesai dibuat,hal ini untuk menghindarkan perbedaan
antara yg diucapkan dg tulisan(vonis) dan bila terjadi
perbedaan maka yg yg adalah yg diucapkan dipersidangan;
• Tujuan akhir dari proses peradilan adalah
untuk mendapatkan putusan hakim yg
memiliki kekuatan hukum tetap,artinya
putusan itu tidak dapat diubah-ubah lagi,dan
selanjutnya dilaksanakan dengan sukarela tau
bila tidak dapat dipaksakan dengan bantuan
alat negara;
• Proses pembuatan putusan oleh hakim dg
menetapkan fakta-fakta atau kejadian yg
dianggap benar yg selanjutnya menerapkan
hukumnya yg berlaku terhadap fakta-fakta tsb;
• Dlm putusan hakim harus mempertimbangkan
tentang duduk perkaranya terlebih dahulu kemu-
dian mempertimbangkan tentang hukumnya;
Setelah hakim menganggap bahwa peristiwa yg
menjadi sengketa telah terbukti berarti hakim
telah mengkonstatir peristiwa yg menjadi seng
-keta,selanjutnya hakim harus menentukan
peraturan apakah yg sesuai dan tepat untuk
diterapkan dalam sengketa tersebut;hakim harus
berhasil menemukan hukumnya dan sekaligus
mengkualifisir peristiwanya yg dianggap telah
terbukti tersebut;
B.PENEMUAN HUKUM(RECHHTFINDING)
• Upaya menemukan atau mencari hukum oleh hakim
bukanlah sekedar menemukan atau mencari undang-
undang untuk dapat dite-rapkan pada suatu peristiwa
konkrit saja,tapi harus diarahkan kepada undang-
undang atau aturan hukum yg berlaku,sebaliknya
undang-undang atau aturan hukum juga harus
disesuaikan dg peristiwa konkrit yg telaah terbukti;

• Jadi peristiwa konkrit harus diarahkan kepada


undang-undang agar UU tsb dapat dterapkan
peristiwa konkrit tsb;
• Setelah hukumnya ditemukan,hakim menerapkan hukum
tsb pada peristiwa yg telah terbukti dl proses
pembuktian,selanjutnya hakim menjatuhkan putusan;
• Ada tiga hal yg harus dipertimbangkan hakim dalam
menjatuhkan putusannya yaitu : keadilan, kepastian
hukum dan kemanfatan;
• Putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan,
mengandung kepastian hukum dan sekaligus juga
memiliki manfaat bagi para pihak yg bersangkutan dan
masyarakat luas;
• Sumber hukum yg dijadikan acuan hakim dl menemukan
hukumnya adalah : UU yg tertulis,hukum kebiasaan yg
tidak tertulis,putusan desa,yurisprudensi atau doktrin hk;
C.PUTUSAN DAN PENETAPAN HAKIM
• Dalam praktek peradilan selalu dibedakan antara
putusan (vonis) dan penetapan hakim
( beschikking)keduanya bentuk akhirdari proses
peradilan yg merupakan sarana untuk meng-akhiri ,
menyelesaikan perkara di pengadilan ;
• Putusan(vonis) adalah bentuk penyelesaian perkara dl
peradilan contentieus,sedangkan dl bentuk voluntair
disebut penetapan;
• Putusan adalah perbuatan hakim sebagai penguasa
atau pejabat negara yg dilakukan untuk memutuskan /
mengakhiri sengketa, sedangkan penetapan dibuat
berkaitan dg adanya permo-honan yg tidak berdasarkan
sengketa : misalnya pengangkatan wali, anak angkat dll;
D. KEKUATAN PUTUSAN HAKIM,
(dalam bukunya Prof.Dr.Sudikno)
• Dalam HIR tidak diatur tentang kekuatan
putusan hakim,tapi berdasarkan doktrin ada
tiga macam kekuatan putusan hakim yitu:
• 1. Kekuatan Mengikat,
2.Kekuatan Pembuktian dan
3. Kekuatan Eksekutorial atau kekuatan untuk
dilaksanakan.
1.Putusan Memiliki Kekuatan Mengikat
• Putusan hakim dipengadilan bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa dan menetapkan hak
atau hukum baru terhadap sesuatu peristiwa
hukum dan putusan harus dihormati dan
ditaati para pihak dan tidak boleh bertindak
bertentangan dengan putusan pengadilan;
• Putusan hakim memiliki kekuatan mengikat
terhadap para pihak(1917 KUHPdt)
Teori Kekuatan Hukum mengikat
• 1. Teori hukum materil:
• Bersifat materil karena mengadakan peruba- han
terhadap wewenang dan kewajiban ke-perdataan yg
meliputi: menetapkan, meng-hapuskan atau
mengubah; menurut teori ini putusan hakim dapat
menimbulkan atau me-niadakan hubungan
hukum,sehingga putusan hakim merupakan sumber
hukum materiil; teori ini sekarang ditinggalkan
karena tidak dapat dipertahankan terhadap pighak
ke-tiga;
2.Teori Hukum Acara
• Munurut teori ini putusan hakim bukanlah merupakan sumber
hukum materiel, melainkan sumber wewenang prosesuil;
Dengan kata lain siapa yg dlm suatu putusan hakim diakui
sebagai pemilik (eigenar),maka ia dg sarana procesuil terhadap
lawannya dapat bertindak sebagai pemilik;
• Akibat putusan bersifat hukum acara tsb yaitu diciptakannya
atau dihapuskannya wewenang atau kewajiban prosessuil.Bila
UU mensyaratkan agar putusan menjadi hukum baru,maka
putusan hakim tsb baru memiliki arti hukum meteriel;
• Kelemahan teori ini bersifat sangat sempit dan kurang
luas,sebab suatu putusan bukanlah hanya se-mata2 sebagai
wewenang prosesuil;
3.Teori hukum pembuktian.
• Menurut teori ini putusan hakim merupakan
bukti substansi yg ditetapkan dl putusan
tsb,sehingga memiliki kekuatan mengikat.
• Terikatnya para pihak terhadap putusan hakim
memiliki arti positif dan Negatif.
• Arti positif:apa yg telah diputuskan hakim
dianggap benar,pembuktian lawan tidak
dimungkinkan(pasal 1917 dan 1920 KUHPdt)
• Terikat putusan dalam arti negatif: bhawa hakim
tidak boleh memutus perkara yg pernah diputus
sebelumnya antara para pihak yg sama,menganai
pokok perkara yg sama( pengulangan proces disebut
nebis in idem pasal 134 Rv);
• Dalam hukum acara perdata semua putusan memiliki
kekuatan mengikat baik dalam arti positip maupun
negatif(psl 1917,1920 KUHPdt pasal 134 Rv);
• Putusan memiliki kekuatan hukum tatap (inkracht
van gewijsde) bila tidak ada lagi upaya hukum biasa
yg tersedia,yaitu :perlawanan, banding,kasasi.
putusan tsb tidak bisa dirubah kecuali dengan upaya
hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali(PK) atau
perlawanan pihak ke-tiga(derdenverzet).
2. Putusan memiliki kekuatan pembuktian
• Putusan hakim dlm bentuk tertulis
merupakan akta otentik yg dapat
digunakan sebagai alat bukti bagi para
pihak,dlmmelaksanakan upaya hukum
atau pelaksanaan putusan tersebut
• Putusan hakim tidak memiliki kekuatan
mengikat terhadap pihak ke-tiga ,tapi
memiliki kekuatan pembuktian terhadap
pihak ketiga.
• Menurut pasal 1916 ayat 2 no.3 KUHPdt,
putusan hakim merupakan persangkaan
bahwa isi putusan itu benar(res yudicata
pro veritatebabaetur), sedangkan
kekuatan pembuktian putusan perdata
diserahkan kepada pertimbangan hakim,
hakim memiliki kebebasan untuk
menggunakan kekuatan pembuktian
putusan terdahulu .Putusan verstek sama
sekali tidak memiliki nilai kekuatan
mengikat;
• Putusan pidana yg isinya menghukum dan
telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat
dipergunakan sebagai bukti dl perkara perdata
mengenai peristiwa yg telah terjadi,kecuali
ada bukti lawan berkekuatan
pembuktiannyamengikat(pasal 1918 BW). Bila
seorang dibebaskan dari segala tuduhan
pidana, maka putusan bebas itu tidak dapat
digunakan sebagai bukti dalam perkara
perdata untuk mengajukan gugatan ganti rugi
(pasal 1919 KUHPdt)
3.Putusan Memiliki Kekuatan Eksekutorial
• Putusan hakim selalu bertujuan untuk menye-
lesaikan suatu sengketa dan menetapkan hak atau
kedudukan hukum nya, yg selanjutnya mewujudkan
realisasi atau pelaksanaan ekse-kusinya secara paksa
yg dilakukan oleh alat negara;
• Putusan yg memiliki kekuatan eksekutorian
disyaratkan adanya irah-irah”Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”(pasal 4 ayat
1 UU No.14 Tahun 1970,hal yg sama terhadap akta
Notaris yg mencantumkan kalimat yg sama (pasal
224 HIR ,258 RGb dan 440 Rv)
E.Jenis Putusan Hakim
• Pasal 185 ayat 1 dan 196 ayat 1 RBg, memuat jenis-
jenis putusan yaitu:1.Putusan Sela 2.Putusan Akhir.
• 1. Putusan Sela : adalah putusan hakim ygdijatuhkan
sebelum memutuskan pokok perkaranya dg tujuan
untuk memperlancar atau mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara dipersidangan;
• Putusan Sela bersifat sementara dan bukan putusan
tetap ,karena pemeriksaan perkara belum selesai,
sehingga hakim tidak terikat dg putusan sella yg
bersifat sementara;
• Dalam praktek peradilan putusan sela diucapkan
oleh Ketua majelis dalam persidangan yg terbuka
untuk umum dan dicatat dalam Berita Acara sidang
Beberapa Jenis Putusan Sela:
• a. Putusan preparatoir: putusan dijatuhkan
untuk mempersiapkan dan mengatur peme-
riksaan perkara,putusan ini tidak mempenga-
ruhi terhadap pokok perkara misalnya:
gugatan dl rekonpensi tidak diputus bersama
dg konvensi, putusan menerima atau menolak
penundaan sidang,atau putusan yg mewajib-
kan tergugat asli datang menghadap dimuka
sidang dsb;
• b. Putusan interlokutair:yitu putusan sela yg
dijatuhkan hakim dg amar berisikan perintah
pembuktian,putusan ini dapat mempengaruhi
terhadap pokok perkara,misalnya: putusan
hakim untuk mengangkat ahli tertentu guna
mendengar keterangannya;putusan tentang
pembuktian beb an pembuktian kepada salah
sati fihak, putusan yg memerintahkan
pemeriksaan setempat dll;
• C. Putusan provisionil,yaitu putusan hakim yg
bertujuan untuk menetapkan suatu tindakan
sementara bagi kepentingan salah satu pihak
yg berperkara,sifat putusan ini berhubungan
dan mempengaruhi pokok perkara,misalnya :
tentang conservatoir beslaag, atau putusan
ubv terhadap tergugat meskipun sidang masih
berjalan;
• D. Putusan insidentil,yaitu putusan hakim yg
bersifat menunda persidangan,misalnya:
masuknya pihak ke-tiga sebagai pihak,
penerimaan permohanan kedua belah pihak
untuk memanggil saksi tertentu,dll;
UPAYA HUKUM PERDATA
UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN HAKIM
 
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh
undang-undang kepada seseorang atau badan hukum
perdata untuk melawan putusan hakim dengan
tujuan untuk mencegah dan atau memperbaiki
kekeliruan dalam putusan hakim tersebut akibat
adanya penemuan bukti-bukti atau fakta-fakta baru
 
Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam
upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa
UPAYA HUKUM BIASA
• Upaya Hukum Biasa adalah upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh para pihak selama tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang yang bersifat
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
untuk sementara, kecuali bila putusan hakim tersebut
dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu (uitvoerbaar bij vorraad). Pasal 180 HIR 

• Ada tiga bentuk upaya hukum biasa yaitu : perlawanan


(verzet), banding, dan kasasi 

• Yang termasuk dalam upaya hukum luar biasa ini meliputi


peninjauan kemabali (request civil) dan perlawanan pihak
ketiga (derdenverzet)
• Setelah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
(inkracht van gewijsde) suatu putusan hakim tidak
dapat diubah dan diganggu gugat lagi. untuk putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, masih
tersedia upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu
upaya hukum luar biasa.
• Berbeda dengan upaya hukum biasa, upaya hukum
luar biasa pada dasarnya bersifat tidak menangguhkan
eksekusi (Pasal 207 ayat 3 HIR dan Pasal 66 ayat 2 UU
Mahkamah Agung No:14/1985) 
• Yang termasuk dalam upaya hukum luar biasa ini
meliputi peninjauan kembali (request civil) dan
perlawanan pihak ketiga (derdenverzet)
PERLAWANAN /VERZET

• Perlawanan (Verzet) adalah suatu upaya hukum


terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya
tergugat (Pasal 125 ayat 3 dan Pasal 129 HIR, Pasal
149 ayat 3 dan Pasal 153 RBg) 
• Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak
tergugat yang biasanya selalu dikalahkan, sedangkan
bagi penggugat yang dengan putusan verstek
dikalahkan, dapat menempuh upaya hukum banding
(Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 1947
dan Pasal 200 RBg)
TENGGANG WAKTU VERZET

• Tergugat yang perkaranya diputus secara verstek, jika ia tidak


menerima putusan tersebut dapat mengajukan perlawanan
(verzet) terhadap putusan ini dalam tenggang waktu :
• 14 hari setelah diberitahukan dengan langsung;
• Sampai dengan delapan hari setelah Ketua mengeluarkan
perintah pelaksanaan putusan tersebut dalam pasal 197 HIR, 208
R.Bg. Jika ia tidak datang untuk ditegur, sedangkan panggilannya
yaitu dengan cara seperti memajukan perkara biasa;
• Jika tidak diberitahukan dengan langsung delapan hari setelah ia
diberi teguran (bilamana ia lalai atau tidak mau memenuhi isi
putusan itu dengan suka rela) 
• Dalam suatu pemeriksaan perkara perlawanan (verzet)
kedudukan pelawan (opposan) tetap sebagai tergugat semula
• Dengan adanya perlawanan terhadap putusan verstek,
pelaksanaan putusan verstek itu menjadi tertunda, kecuali
apabila dalam putusan verstek nyata-nyata diperintahkan
dapat dilaksanakan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad)
walaupun pada perlawanan ataupun naik banding

• Perlawanan terhadap putusan verstek hanya dapat dilakukan


satu kali saja; jadi jikalau dalam pemeriksaan tentang
perlawanannya diputus sekali lagi dengan putusan verstek, ia
tidak dapat lagi mengajukan perlawanan untuk kedua kalinya,
dan jika masih juga ia mengajukan perlawanan harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
 
BANDING
• Upaya hukum banding adalah salah satu bentuk upaya hukum
untuk mendapatkan perbaikan (revisi) terhadap putusan hakim
di pengadilan tingkat pertama yang disediakan bagi pihak yang
dikalahkan. 
• Banding bila salah satu pihak dalam sengketa perdata merasa
tidak puas dan tidak adil terhadap putusan hakim di pengadilan
negeri, maka yang bersangkutan dapat menempuh upaya hukum
banding ke pengadilan tinggi. Pengadilan tinggi selanjutnya akan
melakukan pemeriksaan ulang terhadap perkara tersebut
• Peraturan tentang banding dalam perkara perdata yang berlaku
sekarang adalah UU No. 20/1927 untuk Jawa dan Madura,
sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura ialah Pasal 199
sampai dengan 205 R.Bg
Procedure Banding
 
• Permohonan banding harus diajukan kepada Panitera
Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, dalam
waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya
pengumuman putusan (Pasal 7 UU No.20/1947, Pasal
199 R.Bg) 
• Perihal Pembanding dan Terbanding boleh
mengajukan memorie dan contra memorie banding,
beserta surat keterangan dan bukti-bukti baru karena
pemeriksaan di tingkat banding masih yudex factie
dan perkara diperiksa kembali secara keseluruhaN
Yudex factie
• Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
merupakan lembaga yudex factie, yaitu
peradilan/hakim berfungsi memeriksa dan
mengadili perkara baik mengenai faktanya
maupun aspek hukumnya, sehingga apa yang
telah diputuskan oleh hakim pengadilan tinggi
mengenai duduk perkaranya dan hasil
pembuktian sudah final tidak boleh diubah-
ubah lagi meskipun dalam pemeriksaan
tingkat kasasi di Mahkamah Agung
Memori banding
• Alasan-alasan diajukan banding
• Memorie banding bagi pembanding merupakan hak bukan
suatu kewajiban dan dapat diajukan kapan saja selama
perkara banding belum diputus;
• Alasan memorie banding bersifat formal biasanya meliputi
• Surat kuasa khusus untuk banding tidak memenuhi syarat
sebagaimana di tentukan oleh undang-undang;
• Ketidak wenangan pengadilan (kompetensi) baik absolut
maupun relatif
• Bahwa surat gugatan penggugat adalah “obscuur libel”,
misalnya petitumnya tidak jelas, kabur dan posita tidak tegas
dan sempurna bahkan bertentangan dengan petitumnya;
• Bahwa Putusan Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan
dimana subjek tergugat tidak lengkap digugat.
sambungan
• Alasan-alasan banding bersifat materiil, lazimnya dalam
praktek peradilan sebagai berikut:
• Bahwa Putusan PN harus dibatalkan karena didasarkan
pertimbangan yang kurang lengkap (Pasal 184 (1), 319 HIR,
Pasal 618 R.Bg dan Pasal 23 UU 14/1970);
• Putusan PN salah menerapkan hukum pembuktian atau
hukum acara pada umumnya;
• Pengadilan Negeri telah memutus melebihi dari tuntutan atau
memutus terhadap hal yang tidak dituntut (Pasal 178 (2), (3)
HIR, Pasal 189 (2), (3) R.Bg.
• Isi Putusan Pengadilan Tinggi ada 3 (tiga) kemungkinan yaitu :
• Menyatakan permohonan banding tidak dapat diterima;
• Menguatkan putusan pengadilan negeri;
• Membatalkan putusan pengadilan negeri;
• Memperbaiki putusan pengadilan negeri
KA S A S I
• Upaya hukum kasasi (cassatie, cassation,
casser/Perancis) yang berarti membatalkan atau
memecahkan, adalah salah satu tindakan Mahkamah
Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-
putusan pengadilan-pengadilan lain (PN/PT, PA/PTA,
TUN/PTUN, Mahmil/Mahmilti dan bukan merupakan
pemeriksaan tingkat ketiga
• Bukan peradilan tingkat ke-III karena dalam tingkat
kasasi tidak dilakukan pemeriksaan kembali
perkaranya, tetapi hanya diperiksa masalah
hukumnya /penerapan hukumnya
 
Prosedure Kasasi
• Permohonan kasasi diajukan ke Panitera PN yang
memutus perkara tersebut dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari putusan PT diucapkan /
diumumkan atau diberitahukan kepada para pihak;
• Permohonan kasasi wajib mengajukan memorie
kasasi dalam tengga waktu 14 hari setelah
menyatakan kasasi di kepaniteraan PN (Psl. 47 (1) UU
14/1985), pihak temohon kasasi dalam waktu 14 hari
sejak memorie kasasi diterima mengajukan kontra
memorie kasasi (Psl. 47 (3) UU 14/1985)
 
Alasan-Alasan diajukan Kasasi
 
• Alasan-Alasan Kasasi
diajukan

• Tidak berwenang atau melampaui batas kewenangan


(competentie);
• Salah menerapkan hukum/melanggar hukum yang
berlaku baik secara formil maupun materiil;
• Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian tersebut dengan batalnya putusan
• Contoh: sidang terbuka untuk umum (Psl 17 (1),(2) UU
14/1970)
 
Isi Putusan Tingkat Kasasi
• Permohonan kasasi tidak dapat diterima (apabila
permohonan kasasi tidak memenuhi syarat formal, misal
lewat tenggang waktu 14 hari, terlambat mengajukan
memorie kasasi, surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi
syarat)
• Permohonan kasasi ditolak:
• (Dalam hal yudex factie tidak jelas dalam meneraPeninjauan
kembali an hukumnya)
• Permohonan kasasi dikabulkan
• (Bahwa alasan-alasan / keberatan-keberatan pemohon kasasi
dalam memorie kasasi dibenarkan oleh MA dan yudex factie
dianggap salah atau tidak benar dan tepat dalam penerapan
hukum atau alasan-alasan hukum lain.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Adalah upaya hukum yg hanya diperbolehkan


dalam hal-hal tertentu yang disebutkan secara
tegas dalam undang-undang;

Upaya Hukum Luar biasa terdiri :


1. Peninjauan Kembali (Request Civil )
2. Perlawanan Pihak Ketiga ( Derdenverzet)
Upaya hukum luar biasa pada dasarnya bersifat
tidak menangguhkan eksekusi ( Pasal 207 ayat
3 HIR dan pasal 66 UU MA 1985)
Upaya Hukum Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan 1(satu) kali yang dituhjukan ke MA
melalui PN yang memutus perkaranya dl
tingkat pertama
Tenggang waktu PK 189 hari sejak diketahui
alasan-alasan PK ( psl 69 haruf a UU 14/1985
jo UU No.51 Tahun 2009)
• Alasan-alasan Peninjauan Kembali :
• 1. Apabila putusan didasarkan pada :
a. Kebohongan atau b) tipu muslihat pihak lain
yg diketahui setelah perkara diputus
c) Didasarkan bukti yang kemudian oleh Hakim
Pidana diunyatakan palsu
2. Apabila setelah perkara diputus ditemukan
surat bukti bersifat menentukan yang pada
saat perkara diperiksa tidak dapat atau belum
ditemukan kemudian ditemukan (novum)
3. Apabila putusan mengabulkan :
- suatu yang tidak dituntut,
- Lebih apa yang dituntut,
Hal tersebut sesuai dengan pasal 178 ayat 2 HIR,
189 ayat 2,3 Rbg
4. Apabila lmengenai suatu bagian dari tuntutan
belum diputus dan dipertimbangkan sebab-
sebabnya;
5. Putusan bertentangan satu dengan yang
lainnya dalam hal-hal:
• -pihak-pihak yang sama,
• -mengenai soal yang sama,
• -atasa dasar yang sama,
• -oleh pengadilan yang sama dan
• -sama tingkatnya
• 6. Apabila dari suatu putusan terdapat hal-hal
• - suatu kehilafan Hakim atau
• - kekeliruan yang nyata;
Isi Putusan Penijauan Kembali:
• a. Putusan yg menyatakan permohonan
peninjauan kembali tidak dapat
diterima( misalnya dl hal : PK tidak
nmemenuhi syarat,Tidak ada Surat Kuasa, PK
terlambat,m PK diajukan 2X,PK atas dasar
putusan yang belum in kracht vg)
• b. Putusan yang menyatakan permohonan PK
ditolak ( dl hal PK diajukan tdk beralasan atau
bila putusan Kasasi atau Yudex Factie tdk
melanggar alasan-palasan PK)
• c. Putusan yang menyatakan PK
dikabulkan;l( dl hal alasan-alasan PK sesuai dg
pasal 67 UU 14 tahun 1985 jo 51 tahun 2009
MA.

• Upaya Hukum Derdenverzet dilakukan pihak


ke-tiga melawan putusan Hakim yg meriugikan
pihak ke-3 tersebut,yang nyata-nyata sebagai
pemilik barang sengketa ( CB.RV,Eks.
Pemegang hiphoteek,gadai,penyewa dll),pada
prinspnua putusan mengikat kedua belah
fihak dan tidak mengikat pihak ke-tiga (1917
BW);
EKSEKUSI /PELAKSANAAN
PUTUSAN DAN
PERMASALAHANNYA
Disusun oleh :
H.AANG ACHMAD
Pengertian
• Istilah “Eksekusi” yang dialih bahasakan “Pelaksanaan” putusan,
merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh
Pengadilan kepada pihak yang kalah. Merupakan aturan dan tata
cara lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara perdata di
Pengadilan.
• Eksekusi merupakan suatu tindakan yang berkesinambungan
dari keseluruhan proses Acara Perdata yang diatur dalam pasal
195 s/d 224 HIR atau pasal 206 s/d 256 Rbg, sedangkan yang
mengatur tentang “sandera (gejzeling)” yaitu pasal 209 s/d 223
HIR atau psl 242 sampai 257 RBg tidak lagi dilaksanakan secara
efektif (SEMA No.2/1964 tanggal 22 Januari 1964).,karena
tindakan penyanderaan terhadap debitur bertentangan dengan
rasa perikemanusiaan.
• Eksekusi atau menjalankan putusan pengadilan yakni
melaksanakan secara paksa dg bantuan kekuatan umum apabila
pihak yg kalah tidak mau melaksanakan dg sukarela;
• Tanggapan atas SEMA No.2/1964,Tanggal 22 Januari 1964:
• Yang keberatan:
• 1.Penghapusan pasal-pasal yg mengatur sandera seolah-olah
Mahkamah Agung selaku lembaga yudikatip seolah-olah telah
mengambil alih fungsi Lembaga Legeslatip.
2.Ditinjau dari segi etikad buruk debitur,sering dijumpai dalam
praktek debitur mengambil kredit dari bank pemerintah yg sangat
besar (ratusan milyar)lalu dibagi-bagikan kepada keluarganya untuk
usaha dan sukses dilain pihak debitur pura-pura macet
mengembalikan hutangnya dan harta kekayaannya sudah diatur
dialihkan untuk menghindari pelelangan, kalaupun disisakan jauh
tidak memadai dg kreditnya(contoh kasus BLBI yg merugikan
keuangan negara ratusan triliun,yg sampai saat ini tdk dikembalikan)
• 3.Hendaknya dibatasi penerapannya secara kausistis,terutama debi-
tur bersekala kecil dilingkungan masyarakat rendah dan ekonomi
lemah;
• Pasal-pasal yang efektif berlaku sebagai pedoman
eksekusi masih terdapat lagi pasal 225 HIR atau pasal 259
Rbg. Tentang “eksekusi tergugat untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu”,juga pasal 180 HIR mengatur
tentang pelaksanaan putusan secara serta merta. Aturan
lain yang tidak kalah pentingnya adalah ruang lingkup
eksekusi ialah pengaturan Lelang No. 189/1908 (verdu
reglement St. 1908/No. 189) yang kesemua aturan
tersebut satu sama lain saling berkaitan, dan harus
dipahami oleh yang akan menimbulkan kesulitan
dikemudian hari. Serta UU No. 49 Prp/1960 mengatur
tentang kewenangan “parate eksekusi” yang
dilimpahkan Undang-undang kepada Instansi PUPN .
Azas-Azas Eksekusi
1. Menjalankan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
2. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat
kondemnatoir;
3. Putusan tidak dijalankan secara suka
rela
4. Eksekusi Atas Perintah Dibawah
Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
1.Menjalankan Putusan yang telah berkekuatan
Hukum Tetap(in kracht van gewijsde)
• Pada prinsipnya hanya putusan yg telah memperolah
kekuatan hukum tetap yg dapat dieksekusi:
• -karena dalam putusan tsb.telah terkandung wujud
hubungan hukum yg tetap dan pasti antara para
pihak yg berperkara;
• -hubungan hukum tersebut mesti ditaati dan mesti
dipenuhi oleh pihak yg dihukum dl amar putusannya;
• -cara dipenuhinya dg sukarela kalau tidak putusan
dilaksanakan secara paksa dengan jalan bantuan
kekuatan umum;
Perkecualian azas putusan yang telah
memperolah kekuatan hukum tetap;
Ada beberapa bentuk pengecualian yg dibenarkan Undang-
Undang memperkenankan eksekusi dapat dijalankan diluar
putusan yg telah memperoleh kekuatan hukum yg tetap,yaitu:
a. Pelaksanaan putusan lebih dulu,atau uitvoerbaar bij
voorraad,menurut pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal 191 ayat 1
RBg dapat dijalankan walaupun Tergugat mengajukan
banding atau kasasi,putusan tersebut disebut putusan serta
merta;
b. Pelaksanaan putusan provisi,pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal
191 ayat 1 RBg atau Pasal 54 RV membolehkan menjalankan
pelaksanaan putusan provisi mendahului pemeriksaan dan
putusan pokok perkara untuk sementara;
• c. Akta Perdamaian,diatur dalam pasal 130 HIR atau pasal 154
RBg,yang mengatur tentang
• Selama proses persidangan berlangsung,kedua belah fihak yg
berperkara dapat berdamai,baik atas anjuran hakim maupun
inisiatif dan kehendak kedua belah fihak;
• Apabila tercapai perdamaian dalam persidangan maka :
• Hakim membuat akta perdamaian yang menghukum kedua
belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian;
• Sifat dari akta perdamaian yang dibuat dipersidangan
mempunyai kekuatan eksekusi seperti putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
• d. Eksekusi terhadap grose akta pengakuan
utang,diatur dalam pasal 224HIR atau pasal
258 RBg,eksekusi yang dijalankan untuk
memenuhi isi perjanjian yg dibuat oleh para
pihak dalam bentukgrose akta.
• e. Eksekusi Hak Tanggungan,diatur dalam
Undang-Undang No.4 Tahun 1999;
2.Putusan Tidak dijalankan secara sukarela

• a. Tentang kepastian pemenuhan putusan secara


sukarela,tidak ada aturan atau tatacara pemenuhan
putusan tsb. Dalam praktek ada pengadilan yg tidak
mau campur tangan ada pengadilan yg aktip ambil
bagian menyelesaiakan administrasi yutisial
pemenuhan keputusan secara sukarela,dengan cara
membuat berita acara pemenuhan putusan dengan
ditanda-tangani Panitera,Jurusita, dua orang saksi
dan para pihakj yg bersangkutan sehingga ada
kepastian hukum tentang pelaqksanaan putusan tsb;
• b. Manfaat menjalankan putusan secara sukarela,
dititik beratkan dari segi kepentingan diri tergugat
/tereksekusi, yaitu :
• 1) membebaskan tergugat dari segi meteril yaitu
biaya eksekusi yg harus diganti tereksekusi dan
terhindar dari kerugian moril,nama baik serta
jatuhnya harga jual barang yg dilelang,dll;
• 2) pelaksanaan putusan secara paksa dengan
bantuan kekuasaan umum(kepolisian,provos
meliter,hansip, masyarakat setempat akan memakan
biaya tinggi untuk biaya
operasionil,tranfortasi,konsumsi ,honor petugas
keamanan dll;
3.Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir.
• Putusan bersifat kondemnatoir yakni putusan yang amar atau
diktumnya mengandung unsur penghukuman dalam perkara
yg berbentuk kontentiosa/contradictoir/berlawanan bukan dl
bentuk putusan bersifat deklaratoir yg amarnya hanya
mengandung pernyataan saja tampa dibarengi dgpenghkman;
• Ciri-ciri dijadikan indikator putusan bersifat kondemnatoir dl
amar atau diktum putusannya terdapat perintah menghukum
pihak yg kalah,yg dirumuskan sbb:
• Menghukum atau memerintahkan menyerahkan barang;
• Menghukum ataumemerintahkan pengosongan tanah/rumah
• Menghukum atau memerintahkan melakukan perbuatan
tertentu.
• Menghukum atau memerintahkan penghentian suatu
perbuatan atau keadaan
• Menghukum atau memerintahkan melakukan pembayaran
sejumlah uang.
4. Eksekusi Atas Perintah dan Dibawah Pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri
• Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri yg dulu memeriksa dan memutuskan
perkara ybs dalam tingkat pertama,diatur dalam pasaal 195
ayat 1 HIR atau pasal 206 ayat 1 RBG,yang perlu dipedomani
sbb:
• a. menentukan pengadilan negeri mana yg berwenang
menjalankan eksekusi putusan,yaitu:
• -di Pengadilan mana perkara/gugatan diajukan ;
• -di Pengadilan Negeri mana perkara diperiksa dan diputus
pada tingkat pertama,dg hak untuk melimpahkan wewenang
menjalankan eksekusi dan tidak mempersoalkan apakah
putusan yg hendak dieksekusi itu produk PT atau MA tkt
kasasi,eksekusi tetap diulakukan oleh PN yg memutus
pertama kali dl tingkat pertama;
• b. Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan
kepada pengadilan negeri; sesuai pasal 195 ayat 1 HIR atau
pasal 206 ayat 1 RBg,menjalankan eksekusi terhadap putusan
pengadilan mutlak hanya diberikan kepada pengadilan negeri
tingkat pertama,yakni pengadilan negeri dan Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang
menjalankan eksekusi,tampa mempersoalkan apakah eksekusi
itu isi putusan PT atau MA/Tkt Kasasi;
• Pengadilan Tingggi dan Mahkamah Agung tidak dapat
mencampuri eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan
negeri,kewenangan hanya bersifat pengawasan dan
meluruskan jalannya eksekusi apabila terdapat penyimpangan
pada saat menjalankan eksekusi,sesuai dg fungsi struktural yg
menempatkan peradilan yg lebih tinggi mengawasi dan
mengoreksi tindakan yg keliru dan menyimpang yg
mengakibatkan penyalah gunaan wewenang oleh PN;
• c. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri;asas tersebut sesuai dg rumusan pasal 195
aqyat 1 HIR atau pasal 206 ayat 1 RBg,yang menetukan bahwa
menjalankan eksekusi putusan pengadilan atas perintah dan
dibawah pimpinan KPN yg diberi wewenang untuk :
• -”memerintahkan eksekusi dan memimpin jalannya
eksekusi;”,kewenangan tersebut secara ex officio,sesuai pasal
197 ayat 1HIR atau pasal 208 RBG,yg digambarkan sbb:
• -KPN mmemerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi;
• -Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang
ada pada KPN adalah secara ex offico;
• -Perintah eksekusi dikeluarkan KPN berbentuk “surat –
penetapan” ( beschiking);
• -Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah Panitera atau
Juru-Sita Pengadilan Negeri;
MACAM-MACAM EKSEKUSI
• eksekusi riil;
• eksekusi pembayaran uang;

Salah satu azas eksekusi adalah bahwa eksekusi hanya dapat dijalankan
atas putusan pengadilan yang bersifat kondemnatoir (penghukuman),
yaitu tergugat/penggugat dihukum untuk melaksanakan salah satu
perbuatan :
a. menyerahkan suatu barang;
b. mengosongkan sebidang tanah atau rumah;
c. melakukan suatu perbuatan tertentu;
d. menghentikan suatu perbuatan atau keadaan;
e. membayar sejumlah uang.

Bahwa disini jelas yang berbentuk eksekusi riil adalah huruf a, b, c, dan
d sedang huruf e bentuk dari eksekusi pembayaran sejumlah uang.
lanjutan

Eksekusi riil;
• Eksekusi riil tidak diatur secara rinci
dalam Undang-undang, alasannya karena
eksekusi riil memiliki sifat yang mudah
dan sederhana; merupakan tindakan
nyata dan langsung apa dihukum dalam
amar putusan atau dictum putusan
Syarat-syarat eksekusi riil
adalah:
• Apabila putusan yang bersifat kondemnatoir telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
• Apabila tegugat sebagai pihak yang kalah tidak mau mentaati
dan memenuhi putusan secara suka rela;
• Eksekusi baru dijalankan apabila telah terlampaui tenggang
waktu peringatan /aanmaning;
• Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang
perintah eksekusi;
• Pelaksanaan eksekusi riil dilakukan oleh Panitera dan juru sita
Esekusi pembayaran uang

• eksekusi pembayaran sejumlah uang pada umumnya


bersumber dari perjanjian hutang atau penghukuman
membayar sejumlah uang yang bersumber dari ganti rugi
atau hutang;
• apabila amar putusan berisi penghukuman pembayaran
sejumlah uang, ini berarti tergugat dipaksa membayar
sejumlah uang kepada penggugat dengan cara menjual
secara lelang harta kekayaan tergugat;
• tata cara penjualan lelang, melalui tahapan-tahapan
persyaratan yang diatur dalam beberapa peraturan antara
lain psl 196 HIR tentang aanmaning/teguran, psl 197 HIR
tentang penyitaan, psl 200 HIR tentang penjuan secara
lelang, psl 224 HIR tentang eksekusi grasse akta hipotik, UU
Hak Tanggungan, UU No.4/1994, vendu reglement St. 1908
No. 189
Tata cara eksekusi riil
apabila pihak yang kalah tidak menjalankan putusan
secara sukarela yaitu:
• Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Surat Penetapan
eksekusi, berupa perintah pengosongan;
• Perintah ditujukan kepada juru sita;
• Tindakan pengosongan meliputi diri terhukum,
keluarganya dan barang-barangnya;
• Eksekusi bila perlu dengan bantuan kekuatan hukum
(polisi atau militer);
• Eksekusi riil yang berkenaan dengan exsekutorial
verkoop yakni eksekusi riil terhadap barang yang dijual
lelang atas pembayaran hutang di atur juga dalam HIR psl
200 (1) atau psl 218 (2) Rbg, yang berlaku azas hukum;
• Sambungan:
• Penjualan lelang atas barang yang dieksekusi
merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan pengosongan barang yang
dilelang, artinya Pengadilan Negeri diberi
wewenang untuk menjalankan pelaksanaan
pengosongan bila terlelang berserta keluarga
tidak mau secara suka rela mengosongkan
barang yang dilelang;
• Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam psl 1033 Rv, 200 (2) HIR, psl 218 (2) Rbg
dan peraturan-peraturan lain tentang eksekusi
PROSES EKSEKUSI / PELAKSANAAN PUTUSAN

• Pada prinsipnya eksekusi baru dapat dijalankan apabila


putusan Pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap, kemudian sejak kapan timbul kewenangan
menjalankan eksekusi ?
 
• Bahwa eksekusi merupakan suatu alternatif terakhir, apabila
tergugat tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan secara
sukarela.
 
• Bahwa tergugat (yang kalah) tidak mau menjalankan putusan
secara suka rela terhitung sejak tanggal “peringatan”
(aanmaning) dilampaui baru eksekusi diberlakukan (yang
ditentukan oleh Ketua Pengadilan) yaitu tidak lebih dari 8
hari (psl 198 HIR dan 207 Rbg).
Sambungan
• Peringatan disini merupakan salah satu syarat
utama dalam menjalankan eksekusi, sehingga
berfungsinya eksekusi secara efektif terhitung
sejak tenggang waktu peringatan dilampaui.
• Agar peringatan Ketua Pengadilan negeri
memenuhi tata cara formal yang bernilai
otentik, maka harus dilakukan dalam
pemeriksaan sidang insidentil yang dihadiri
oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak
tergugat tentunya setelah dipanggil secara
patut.
Lanjutan
• Dalam persidangan tersebut diberitahukan adanya
permohonan eksekusi dari penggugat agar tergugat
menjalankan putusan dalam waktu yang telah
ditentukan, hal mana dicatat dalam berita acara.

• Sebagai lanjutan dari proses peringatan adalah


dikeluarkannya “surat penetapan” oleh Ketua
Pengadilan Negeri melalui panitera / juru sita untuk
malaksanakan / memerintahkan eksekusi dan
sekaligus memimpin jalannya eksekusi, dengan
disaksikan 2 orang saksi yang sekaligus membantu
dalam proses eksekusi nantinya.
LELANG EKSEKUSI

• Apabila telah dilakukan sita eksekusi tergugat masih juga belum


memenuhi putusan hakim tersebut, maka penggugat dengan
mengajukan surat permohonan yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang, untuk melaksanakan eksekusi,
kemudian Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan penetapan
tegoran kepada tergugat untuk melaksanakan putusan dengan suka
rela, apabila tegoran tidak dihiraukan dan sampai batas waktu yang
ditentukan tergugat tetap belum melaksanakan putusan dengan
suka rela, maka Ketua Pengadilan dapat langsung membuat
penetapan yang berisikan perintah kepada panitera/ juru sita untuk
melakukan pelelangan/penjualan di muka umum atas barang-
barang yang telah disita tersebut, melalui kantor lelang negara.

• Setelah Panitera /juru sita yg ditunjuk menetapkan hari dan tanggal


pelelangan, kemudian panitera melakukan pengumuman atas
lelang tersebut dalam harian umum yang terbit didaerah barang
tersebut berada.
Lanjutan

Catatan : Apabila yang akan dilelang barang


bergerak, maka pengumuman dilakukan satu kali
dalam tenggang waktu 14 hari sebelum lelang
dilaksanakan, namun kalau barang tidak bergerak,
maka dilakukan 2 kali dalam tenggang waktu 14
hari sebelum lelang itu dilaksanakan

Dalam jangka waktu 24 jam setelah hari lelang,


maka uang hasil lelang bersih (setelah dipotong
PPn, bea lelang, MPO) juru lelang / panitera harus
menyetorkan ke Pengadilan, guna dibagikan
kepada kreditur-kreditur.
PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM MENJALANKAN EKSEKUSI

Permasalahan eksekusi dapat dibedakan


menjadi dua yaitu :

• Permasalahan yang intern


• Permasalahan yang ektern
Permasalahan yang intern

Kesulitan-kesulitan yang dapat menghambat jalannya


penyelesaian perkara tersebut, antara lain :

• Adanya perlawanan dari pihak ke III yang merasa lebih


berhak atas barang yang disengketakan tersebut, sehingga
mengakibatkan adanya perintah penundaan eksekusi dari
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung RI
• Kurangnya bantuan dari instansi-instansi terkait lainya,
misalnya mengenai penerbitan SPT dalam hal lelang
• Diketahui bahwa barang yang akan dieksekusi tersebut
adalah tanah hak milik adat
• Kurangnya dana dari pemohon eksekusi,
Permasalahan yang ekstern

1. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada


 
• Secara mutlak harta kekayaan tereksekusi tidak ada/telah habis terjual sebelum
eksekusi dijalankan/oleh karena bencana alam.

• Pada saat eksekusi dijalankan, pemohon eksekusi tidak mampu menunjukan harta
kekayaan tereksekusi.

2. Putusan hanya bersifat Deklaratoir


 
• Apabila dalam suatu perkara kontentiosa (dua pihak) hanya memuat amar putusan
yang bersifat deklaratoir, maka eksekusi terhadap putusan tersebut harus
dinyatakan noneksekutabel
 
• Misalnya :
• Dalam amar putusan menyatakan :
• Penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah terperkara tanpa dibarengi dengan
penghukuman untuk tergugat menyerahkan dan mengosongkan tanah terperkara
3. Barang objek eksekusi ditangan pihak ketiga
• Tidak jarang bagi mereka yang berperkara memindah
tangankan haknya kepada pihak ketiga sebelum
perkaranya selesai, terlebih-lebih apabila hal itu tidak
diketahui oleh pihak penggugat, kalau keadaannya
demikian maka pada waktu eksekusi, tidak dapat
dijalankan.
4. Eksekusi terhadap penyewa noneksekutabel
• Pelaksanaan putusan terhadap pihak ke tiga yang
tidak turut digugat dalam suatu perkara, sama halnya
dengan eksekusi terhadap pihak ketiga yang
menguasai barang objek eksekusi berdasarkan alas
hak yang sah pada satu segi, pasal 1576 KUH Perdata
menentukan “jual beli tidak memutuskan sewa
 
5. Barang yang hendak dieksekusi dijaminkan kepada pihak ketiga
•Dalam prakteknya yang demikian ini sering sekali kita jumpai,
sehingga pada saat eksekusi hendak dilaksanakan tidak bisa,
karena barang-barangnya telah dijaminkan kepada pihak III

6. Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasannya


•Bagaimana mungkin eksekusi akan dijalankan apabila tanah yang
hendak dieksekusi tidak jelas batasnya, karena dikhawatirkan
tanah orang lain ikut tereksekusi, sehingga dalam prakteknya
sering diperintahkan (hakim) untuk sidang ditempat atau
pemeriksaan setempat (untuk memastikan) yang dihadiri para
pihak, dengan biaya pemeriksaan setempat ini dibebankan kepada
pihak pemohon eksekusi. Apabila setelah diadakan pemeriksaan
setempat tetap tidak ditemukan batas-batas yang jelas, maka
eksekusi dinyatakan tidak dapat dijalankan (noneksekutabel)
7. Perubahan status tanah menjadi tanah milik Negara
• Misalnya : tanah status HGB/HGU, perubahan tersebut disebabkan karena
faktor waktu.
• HGB waktunya adalah 20 tahun (dapat diperpanjang), mungkin pada saat
perkara terjadi berdasarkan pasal 224 HIR, waktu HGB sudah habis dan
tanah tersebut tidak diperpanjang lagi atau diperpanjang tetapi ditolak,
maka dengan demikian tanah tersebut beralih status menjadi Hak Milik
Negara, oleh karena itu eksekusi tidak dapat dijalankan (noneksekutabel)

8. Barang obyek eksekusi berada diluar negeri


• Kasus semacam ini dinyatakan noneksekutabel, karena sesuai dengan azas
“Nasionalitas & Teritorial” yang terkandung dalam per-UU-an Hukum
Acara Perdata, kecuali ada perjanjian antara Indonesia dengan negara lain.
• Atau sesuai dengan pasal 118 HIR, bahwa eksekusi dapat dijalankan
apabila gugatan atas barang diajukan di Pengadilan yang meliputi wilayah
hukum barang tersebut berada (luar negeri)
• 
9. Dua putusan yang saling berbeda
• Dalam praktek sering terjadi adanya dua putusan yang saling berbeda dan sama-sama telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, anehnya lagi diperiksa oleh Pengadilan yang sama
dan Hakim yang sama pula
• Kalau Pengadilan menghadapi persoalan yang demikian, maka yang dapat dijadikan alasan
noneksekutabel ialah :
 
A. fakta tentang adanya saling bertentangan antara dua putusan yang bersangkutan;
B. tidak tepat atas alasan Nebis in idem

10. Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama


• Yakni harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan (pasal 35 UU No.1 tahun 1974) dan
Yurisprudensi tgl. 19 Pebruari 1976 No. 985 K/sip/1973)

• Tetapi lain halnya dengan harta bersama yang telah terbagi


• Contohnya :
• Pada saat pembagian harta bersama di lakukan, suami tidak mengatakan /menyinggung
bahwa harta tersebut telah dijaminkan, maka eksekusi tidak dapat ditujukan terhadap harta
bagian si istri, karena pada saat eksekusi dilaksanakan harta tersebut bukan lagi harta
bersama tetapi mutlak harta milik si istri,

Anda mungkin juga menyukai