Oleh:
Nur Basuki Minarno
Dosen Fakultas Hukum Unair
Hukum Pembuktian
Berbicara tentang Notaris maka kita harus mengawali pembahasannya dari hukum
pembuktian, terutama alat bukti karena tugas utama dari Notaris adalah membuat alat bukti
yang menurut pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari :
• a. bukti tertulis
• b. bukti dengan saksi
• c. persangkaan-persangkaan
• d. pengakuan, dan
• e. sumpah
Pembuktian dalam perkara perdata menempatkan bukti tulisan menjadi bukti utama/pokok,
berbeda dengan perkara pidana yang menempatkan kesaksian sebagai bukti yang utama
disamping surat-surat, keterangan terdakwa dan petunjuk
Akta Otentik Sebagai Alat Bukti Sempurna
• Subekti, menyatakan ada 2 (dua) unsur penting dalam suatu akta yaitu : kesengajaan
untuk membuat bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu.
• Pasal 1867 KUHPerdata
” Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dibawah
tangan ”.
Dari kedua kategori tulisan tersebut (akta otentik dan akta/surat dibawah tangan), maka
akta otentik mempunyai nilai pembuktian yang tertinggi meskipun keduanya dapat
merupakan bukti tertulis.
• Pasal 1870 KUHPerdata
” Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat didalamnya ”
NOTARIS
Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, termasuk
pelayanan Negara kepada masyarakat dibidang hukum.
Pelayanan Negara dibidang hukum kepada masyarakat dapat dibagi dalam dua bagian :
• 1. Pelayanan Negara kepada masyarakat dalam hukum publik
• 2. Pelayanan Negara kepada masyarakat dalam bidang hukum perdata.
Pelayanan Negara dalam hukum perdata dilakukan dengan memberikan ketertiban dan kepastian
hukum untuk mencapai keadilan yang dilakukan antara lain melalui pembuatan alat bukti (akta
otentik) yang dibuat oleh Pejabat Umum.
Pejabat Umum adalah Organ Negara (yang mandiri/ independen, terpercaya dan penuh rasa
tanggung jawab) yang dilengkapi oleh kekuasaan umum, berwenang untuk menjalankan
sebagian dari kekuasaan Negara dalam bidang hukum privat untuk membuat alat bukti yang
otentik (sah/benar) dalam hukum pembuktian dalam bidang hukum perdata.
Notaris Sebagai Pejabat Umum:
• Terdapat notaris “nakal” suatu realita, tetapi sebagian besar Notaris masih berada
dalam koridor sebagai Pejabat Umum yang selalu berada pada kebenaran dan keadilan.
• Sesungguhnya para penegak hukum (penyidik dan penyelidik) apabila memahami
dengan benar kedudukan akta otentik tidak harus/tidak boleh memanggil Notaris untuk
menjadi saksi terhadap akta yang dibuatnya.
• Hal ini tidak saja bertentangan dengan azas dan prinsip dari akta Notaris, juga dapat
mengurangi objektifitas dari akta dan penyidik tersebut.
• Akhir-akhir ini dijumpai adanya trend menyertakan Notaris dalam proses gugat
menggugat, dalam perkara perdata maupun dalam proses perkara perdata yang
menggunakan jalan/ melalui proses pidana.
• Dengan anggapan dapat mempermudah untuk memperoleh bukti atau melalui
intimidasi untuk memperoleh bukti.
Pemeriksaan Notaris: Upaya untuk mempermudah memperoleh
bukti atau mempertentangkan antara keterangan Notaris dengan
akta yang dibuatnya
• Pengertian kesaksian dalam peradilan perdata terdapat dalam pasal 171
ayat (2) HIR, yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat,
dengar atau rasakan sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi persoalan.
• Tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, bagaimana
sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya.
• Pasal 1907 KUHPerdata : ” Tiap - tiap kesaksian harus disertai dengan alasan
- alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan ”
• Dalam hal keterangan atau kesaksian yang dimintakan kepada Notaris
adalah apa yang ia (Notaris) lihat, dengar atau rasakan sendiri, tentu hal ini
hanya terhadap/terbatas pada pembuatan aktanya dan tidak pada
penggunaan aktanya.
Lanjutan:
• Sedangkan pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan 170 KUHAP, memberikan hak
kepada Notaris untuk meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan
kesaksian.
• Notaris diberikan hak untuk minta dibebaskan dalam memberikan kesaksian
karena Notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai kewajiban untuk
merahasiakan isi akta dan pengetahuan Notaris terhadap apa yang
diberitahukan oleh klien kepada Notaris.
• Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi akta sesuai dengan sumpah
jabatan yang terdapat dalam pasal 4 Undang Undang Jabatan Notaris (UUJN) :
” Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh
dalam pelaksanaan jabatan saya ”
Saksi Instrumentaris
• Satu hal yang harus dipahami dan diikuti bahwa kewajiban merahasiakan isi akta tidak saja
pada Notarisnya tetapi juga pada pembantu-pembantunya dan terutama saksi dalam akta.
• Saat ini sering dijumpai karena terhadap Notaris memerlukan prosedur khusus dalam
pemanggilannya (Pasal 66 UUJN), maka ditempuhlah pemanggilan terhadap saksi-saksi.
• Kewajiban merahasiakan bagi Asisten dan pegawai kantor Notaris dapat kita analogikan
atau kita persamakan dengan :
”Rahasia Jabatan yang harus dipegang oleh seorang pengacara berlaku bagi semua orang
yang bekerja dikantornya”.
P.A.F. Lamintang & C.Djisman Samosir dalam Hukum Pidana Indonesia Hal. 136 :
“Ketentuan menurut pasal 322 KUHPidana memberikan pengecualian jika seorang
Pengacara atau sekretarisnya dipanggil ke sidang Pengadilan untuk memberikan kesaksian
didalam suatu Perkara Pidana, (B.R.V.C 8 Nop 1948, 1949 Nomor 66)”
Lanjutan:
• Kewajiban untuk merahasiakan melekat pada diri Notaris didasarkan
pada syarat-syarat yang melekat pada diri Notaris sebagai Pejabat
yang menjalankan kepercayaan masyarakat, kepercayaan dan
kewajiban merahasiakan pada ketentuan UUJN, Kode Etik dan
Sumpah Jabatan.
• Hal ini merupakan pelanggaran terhadap asas fiduciary duty/asas
kepercayaan, pelanggaran terhadap pasal 4 dan pasal 54 UUJN.
• Pengertian Notaris harus ditafsirkan sebagai : Notaris, Karyawan dan
Saksi-saksi dalam akta.
Pemberian keterangannya dilakukan tanpa dasar/alasan yang cukup, termasuk
mekanisme dan prosedurnya, maka kepada Notaris dapat dikenakan ketentuan pasal
322 KUHPidana :
• Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam pasal 1 ayat 26
dan ayat 27 tentang ketentuan umum.
• Pasal 1 ayat 26 KUHAP :
” Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri ”
• Kepada Notaris kewajiban memberikan kesaksian hanya boleh dilakukan setelah ia
mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah.
• ( Pengertian Notaris, termasuk pembantu dan karyawan Notaris ). Pasal 7 ayat 3,
” Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ” .
• Menjunjung tinggi hukum yang berlaku termasuk Undang Undang Jabatan Notaris
Saksi dan Kesaksian menurut KUHPidana
• Perluasan pengertian saksi oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana putusan
MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 : ”orang yang dapat memberikan keterangan dalam
rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak
selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” . Biasa disebut saksi
testimonium de auditu dan saksi yang meringankan/memberatkan
• Notaris hanya dapat memberikan kesaksian terhadap apa yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan yang ia alami sendiri, yang diberikan setelah memperoleh
persetujuan Majelis Pengawas Daerah.
• Majelis Pengawas Daerah, hendaknya selalu berada pada keadaan independen
tanpa tekanan dari pihak manapun dan objektif serta berada pada kebenaran dan
keadilan serta memperhatikan perlindungan kepada masyarakat melalui jabatan
Notaris.
Pemidanaan Notaris
Harus dibedakan antara :
• - Notaris sebagai pribadi, dan
• - Notaris dalam jabatan
Asas Legalitas
Pasal 1 ayat 1 KUHP:
” Tiada satu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan”
• Dari ketentuan tersebut terdapat 2 (dua) asas yaitu :
1. Terdapat Undang-undang menyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman
2. larangan untuk mempergunakan penafsiran secara ”analogis” dalam
lapangan hukum pidana.
Kekuatan Pembuktian Akta
1. Kekuatan Pembuktian Lahir.
- Apa yang nampak pada lahirnya (luarnya): Kepala akta, badan akta, dan akhir
akta (vide: pasal 38 UUJN)
2. Kekuatan Pembuktian Formil
- Terkait dengan pertanyaan apakah para pihak (kontraktan) telah memberikan
pernyataan?
3.Kekuatan Pembuktian Materiil
- Apakah benar pernyataan yang dituangkan dalam akta?
Permasalahan Pidana dan Perdata Terkait dengan Aspek Formal
Akta Notaris
Unsur delik:
• 1. Sengaja
• 2. memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-
olah benar dan tidak dipalsu
• 3. Jika dipakai dapat menimbulkan kerugian
Pasal 264 ayat (1) KUHP