Anda di halaman 1dari 44

JENIS-JENIS ALAT

BUKTI
Alat Bukti Tulisan

Menjadi hal yang berbeda jika di dalam hukum acara perdata, bukti tertulis

merupakan alat bukti yang paling utama, sehingga dalam praktek berbisnis

dalam masyarakat, para pihak harus datang kepada notaris untuk membuat

akta-akta sesuai dengan yang mereka butuhkan dalam hubungan bisnisnya.


Selain lima jenis alat bukti yang diatur dalam ketentuan Pasal 1866 BW Jo
Pasal 284 RBg dan 164 HIR, di dalam hukum acara perdata juga masih
dikenal alat bukti lain yaitu pemeriksaan setempat dan keterangan ahli,
sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 180 RBg Jo 153 Ayat
(1) HIR, Pasal 181 RBg serta Pasal 154 Ayat (1) HIR. Adapun menurut BW
maupun RBg atau HIR, pengelompokan alat-alat bukti dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu antara lain:
Bukti Tulisan
(surat)

Dalam menjalankan kegiatan usaha, para pihak sering membuat surat-

surat atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya,

baik yang bersifat administrasi maupun yang bernilai uang. Asikin

menyatakan “Surat yang bernilai uang disebut surat berharga serta surat

berharga yang tidak bernilai uang.


Dari uraian di atas, maka lahirlah beberapa bentuk surat berharga
sebagai alat bukti, antara lain sebagai berikut:
Akta

Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan

sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani

oleh pembuatnya. Unsur penting yang digolongkan dalam pengertian

akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti. Oleh

karena itu, unsur yang paling penting terkait dengan pembuktian adalah

tandatangan.
Fungsi Akta Ditinjau dari
Segi Hukum Pembuktian

1. Akta berfungsi sebagai formalitas kausa

2. Akta berfungsi sebagai alat bukti

3. Akta berfungsi sebagai probationis kausa


1. Akta berfungsi sebagai formalitas kausa

Maksud dari fungsi akta sebagai formalitas kausa adalah suatu akta

berfungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan

hukum. Jadi jika perbuatan hukum itu, tidak dibuat dalam bentuk akta

maka perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah terjadi.


2. Akta berfungsi sebagai alat bukti

Fungsi utama akta adalah sebagai alat bukti. Jadi tujuan utama pembuatan

suatu akta adalah diperuntukan dan dipergunakan sebagai alat bukti.

Pada saman sekarang ini, seluruh aspek kehidupan manusia yang terkait

dengan kepentingan hukumnya, acap kali dibuat dalam bentuk akta.

Misalnya, jual-beli, harus dibuat dengan Akta Jual beli dan lainya.
Mengenai Akta ini, dapat dibedakan menjadi beberapa akta yaitu:

Akta Autentik

Pengaturan terkait akta autentik ditegaskan dalam Pasal 1868 BW, yang

berbunyi: Suatu akta autentik akta adalah akta yang dibuat dalam bentuk

yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum

yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat.


Pengaturan terkait akta autentik ditegaskan dalam Pasal 1868 BW. Oleh
karena itu, jika suatu akta dibuat tidak dihadapan pejabat yang
berwenang atau bentuknya cacat, maka akta tersebut tidak sah atau tidak
memenuhi syarat formil sebagai akta autentik, namun akta tersebut
hanya bernilai sebagai akta dibawah tangan, jika akta tersebut
ditandatangani. Disamping itu, mengenai akta autentik juga diatur dalam
ketentuan Pasal 285 RBg Jo Pasal 165 HIR.
Akta dibawah tangan
Pengaturan mengenai akta dibawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur di
dalam Stb. 1867 No. 29, tidak diatur dalam HIR. Namun untuk luar Jawa
dan Madura diatur dalam Pasal 286 – 305 RBg.
Dengan demikian, jika ditinjau dari pasal tersebut di atas, akta dibawah
tangan adalah:
1. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan
2. Tidak dibuat atau ditandatangani oleh pihak yang berwenang
3. Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat
oleh paling sedikit dua pihak.
Akta pengakuan sepihak
Akta pengakuan sepihak adalah akta yang bukan termasuk dalam akta
dibawah tangan yang bersifat partai (dua pihak) tetapi merupakan surat
pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta
pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada
ketentuan Pasal 1878 BW, dengan syarat:
1. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan oleh pembuat
dan penandatangan
2. Atau paling tidak pengakuan tentang jumlah atau objek barang
yang disebut di dalamnya ditulis dengan tulisan tangan sendiri oleh
pembuat dan penandatangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya
melengkapi, namun membutuhkan bukti autentik atau butuh alat bukti
aslinya, diantaranya alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti
foto kopy. Namun semua alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan
penunjukan barang aslinya. Disamping alat bukti berupa tulisan (surat)
yang ditandatangani, di dalam teori pembuktian juga dikenal alat bukti
tulisan yang bukan akta.
Yang dimaksud alat bukti tulisan yang bukan akta adalah setiap tulisan

yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan atau tidak

ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang

bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan tetapi pada

dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.


Alat Bukti Saksi

Dalam suatu sengketa perdata, tidak selamanya pembuktian dengan


menggunakan alat bukti tulisan (surat). Jika pihak penggugat sama sekali
tidak memiliki bukti surat maka proses pembuktian suatu peristiwa di muka
persidangan dapat menggunakan bukti saksi. Maksud dari kesaksian adalah
kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa
yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi
oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil dalam
persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah
keterangan berdasarkan peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri
sedangkan dugaan atau pendapat yang diperoleh dari hasil kesimpulannya
sendiri tidak termasuk dalam kesaksian.
Pemberlakuan pembuktian dengan saksi ini, secara tegas diatur dalam Pasal
1895 BW. Dengan demikian, maka secara prinsip alat bukti saksi dapat
menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali sengketa
tertentu yang oleh undang-undang menentukan lain bahwa sengketa itu
hanya dapat dibuktikan dengan akta, sehinga alat bukti saksi tidak dapat
diterapkan. Pembebanan pengajuan alat bukti saksi tersebut, sesuai
ketentuan Pasal 121 Ayat (1) HIR, merupakan kewajiban para pihak yang
bersengketa.
Namun jika para pihak yang berkepentingan tidak mampu secara sukarela

untuk menghadirkan saksi, meskipun telah diupayakan dan kesaksian

tersebut sangat relevan dengan pokok perkara yang sedang diperiksa maka

menurut Pasal 139 Ayat (1) HIR, sesuai tugas dan kewenangannya hakim

dapat menghadirkannya, dengan meminta kepada juru sita pengadilan untuk

memanggil saksi tersebut untuk hadir pada hari sidang yang telah

ditentukan.
Mengenai ketidak hadiran seorang saksi dalam perkara perdata, secara tegas
telah diatur dalam Pasal 139-142 HIR, apabila seorang saksi tidak datang
maka para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
walaupun secara paksa sesuai ketentuan Pasal 141 Ayat (2) HIR. Syarat-
syarat alat bukti saksi, sebagai berikut:
1. Orang yang cakap
Cakap adalah orang yang bertindak menjadi saksi itu, tidak dilarang
menurut Pasal 145 HIR Jo Pasal 172 RBg dan Pasal 1909 BW, antara lain
yaitu:
1) Keluarga sedarah dan semendah menurut garis lurus dari salah satu
pihak.
2) Suami istri dari salah satu pihak meskipun telah bercerai, namun dalam
perkara tertentu dapat menjadi saksi sesuai Pasal 145 Ayat (2) HIR Jo
Pasal 1910 Ayat (2) BW.
3) Anak yang belum cukup umum 15 Tahun sesuai Pasal 145 ke-3 HIR Jo
Pasal 1912 BW.
4) Orang gila, sesuai Pasal 1912 BW.
5) Orang yang dalam tahanan selama proses persidangan berlangsung atas
perintah hakim, sesuai Pasal 1912 BW,
2. Keterangan disampaikan di muka persidangan pengadilan
Keterangan saksi sebagai alat bukti itu, harus disampaikan di muka
persidangan sesuai ketentuan Pasal 144 HIR Jo Pasal 171 RBg dan Pasal
1905 BW.
3. Diperiksa satu per satu
Saksi yang dihadirkan di persidangan dapat diperiksa satu per satu,
mengenai identitas, serta hubungan keluarga dengan para pihak, sesuai
Pasal 144 Ayat (1) dan (2) HIR Jo Pasal 171 Ayat(1) RBg.
4. Mengucapkan sumpah
Pengucapan sumpah dari saksi sebelum dimintai keterangan di muka
persidangan merupakan syarat formil. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 147
HIR Jo Pasal 175 RBg dan Pasal 1911 BW. Pengucapan sumpah menurut
Agamanya sebelum bersaksi merupakan kewajiban untuk menerangkan
yang sebenar-benarnya dari apa yang sebenarnya (sistem promisoris).
5. Keterangan saksi tidak sah sebagai alat bukti
Minimal dua orang saksi di persidangan perdata kerena keterangan
seorang saksi saja tidak dapat dipercaya dan harus dipenuhi atau
ditambah dengan bukti lain, unus testis nullus testis.
6. Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan
Keterangan dari saksi harus berlandaskan pada pengetahuan serta
berdasarkan penglihatan, pendengaran dan pengalaman sendiri
(berdasarkan fakta)
7. Saling persesuaian
Antara keterangan saksi yang satu dengan saksi lainnya serta alat bukti
lain terdapat persesuaian atau kecocokan sehingga mampu memberikan
suatu kesimpulan yang utuh tentang peristiwa hukum yang
disengketakan.
Adanya alasan menurut pembentuk undang-undang mereka tidak dapat
didengar keterangannya sebagai saksi yaitu:
a. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif jika didengar
sebagai saksi.
b. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan tetap baik, yang mungkin akan
retak jika dia dapat memberikan kesaksian.
c. Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah
memberikan keterangan. Akan tetapi jika dalam perkara tertentu seperti
dalam sengketa tentang perjanjian ekerjaan.
Kesaksian itu diberikan menurut keadaannya dapat digolongkan ke
dalam:
(a) Saksi yang tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan dapat
melihat atau mendengar dan mengalami sendiri peristiwa hukum yang
hendak diterangkannya. Saksi tersebut tidak dipersiapkan oleh para
pihak pada saat peristiwa itu dilakukan. Misalnya, Sdr. Jhoni pada saat
berkunjung ke rumah sdr. Badrul, secara kebetulan melihat sdr. Badrul
dan sdr. Roy sedang mengadakan transaksi jual beli.
(a) Saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada saat perbuatan hukum itu

dilakukan telah diminta dengan sengaja oleh para pihak untuk

menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Misalnya Sdr. Jhoni diminta

oleh sdr. Badrul untuk ikut serta menyaksikan transaksi jual beli antara

Badrul dengan Roy.


Mengenai keterangan saksi ini, harus diberikan di muka persidangan
mengenai peristiwa hukum yang diketahui, didengar dan dialami sendiri
oleh saksi. Dengan demikian, saksi harus menyampaikan sendiri, tidak
boleh secara tertulis atau diwakilkan kepada orang lain, sebagai penafsiran
dari ketentuan Pasal 166 Ayat (1) RBg Jo Pasal 140 Ayat (1) HIR dan Pasal
176 RBg Jo Pasal 148 HIR, yang mengatur tentang sanksi terhadap saksi
yang tidak datang walaupun telah dipanggil secara patut dan terhadap saksi
yang enggan memberikan keterangannya dan di dalam praktek hukum acara
perdata, tidak dapat diterapkan.
Alat Bukti Persangkaan

Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR Jo Pasal 284 RBg, Pasal 1866 BW,
mengatur tentang persangkaan sebagai salah satu alat bukti dalam perkara
perdata. Dan pengaturan mengenai persangkaan, ditegaskan dalam Pasal
173 HIR Jo Pasal 130 RBg dan Pasal 1915 – Pasal 1922 BW. Jika ditinjau
dari ketentuan tersebut di atas maka yang dimaksud dengan persangkaan
adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum.
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagai berikut:
1. Persangkaan undang-undang (wattelijke vermoeden)
Persangkaan undang-undang merupakan suatu peristiwa yang oleh
undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Persangkaan
yang lahir dari ketentuan undang-undang, sehingga kesimpulan yang
dilakukan oleh hakim atas dasar undang-undang itu, disebut juga
sebagai persangkaan undang-undang. Misalnya, mengenai pembayaran
sewa. Apabila terdapat bukti pembayaran selama tiga kali terturut-turut,
maka hal itu dapat membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah
dibayar.
2. Persangkaan Hakim
Persangkaan hakim adalah suatu peristiwa yang oleh hakim disumpulkan
untuk membuktikan peristiwa lain. Misalnya dalam suatu perkara
perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus.
Alasan ini oleh tergugat dibantah maka penggugat mengajukan saksi yang
menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat
tinggal dan menjalani hidup masing-masing selama bertahun-tahun.
Berikut ini adalah contoh-contoh persangkaan undang-undang;
1. Setiap tembok yang dipakai sebagai pembatas antara 2 (dua)
pekarangan maka tembok itu dianggap sebagai milik bersama antara 2
(dua) pemilik pekarangan yang berbatasan itu, kecuali ada suatu alas
hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya. (Pasal 633BW)
2. Setiap anak yang dilahirkan selama perkawinan maka suami dari
perempuan yang melahirkan adalah ayahnya (Pasal 250 BW)
3. Tiap benda bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang harus
dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya
dianggap sebagai pemiliknya (Pasal 1977 Ayat (1) BW)
Alat Bukti Pengakuan

Pengaturan mengenai alat bukti pengakuan, ditegaskan di dalam Pasal

174-176 HIR Jo Pasal 311-313 RBg, dan Pasal 1923-1928 BW.

Pengakuan merupakan keterangan, baik tertulis maupun lisan yang

membenarkan suatu peristiwa atau hubungan hukum yang dikemukakan

pihak lawan.

Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut

ketentuan tersebut di atas antara lain, sebagai berikut:


1. Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak
kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara.
2. Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau
dalam sidang pengadilan.
3. Keterangan itu merupakan pengakuan (bekentenis, confession)
bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan
benar untuk keseluruhannya atau sebagian.
Alat Bukti Sumpah

Ketentuan mengenai pengaturan alat bukti sumpah dapat dijelaskan

dalam Pasal 155-158 dan Pasal 177 HIR Jo Pasal 182-185 dan Pasal

314 RBg, Jo Pasal 1929-1945 BW. Dalam hukum acara perdata, alat

bukti sumpah ditempatkan di bagian akhir, yang memberikan kesan

bahwa alat bukti sumpah ini tidak penting. Akan tetapi dalam praktek

hukum acara perdata, alat bukti sumpah sering diterapkan untuk

mengakhiri sengketa.
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau
pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:
1. Agar orang yang bersumpah dalam memberikan keterangan atau
pernyataan itu, takut atas murka Tuhan, jika dia berbohong;
2. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya
pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang
sebenarnya;
2. Diucapkan di Muka Hakim dalam Persidangan

Mengenai pengaturan syarat yang kedua, telah ditegaskan dalam Pasal

1929 dan 1944 BW, sumpah diucapkan di hadapan hakim yang

memeriksa perkara. Atau menurut Pasal 158 Ayat (1) HIR, sumpah

selalu dilakukan dalam sidang Pengadilan Negeri.


PENDAPAT AHLI
Mengenai pemeriksaan ahli, diatur dalam Pasal 154 HIR Juncto Pasal 181
RBg, yang menentukan bahwa apabila menurut pertimbangan pengadilan
suatu perkara dapat menjadi lebih jelas kalau diminta pendapat ahli, baik
atas permintaan para pihak atau atas permintaan hakim sendiri secara
jabatan, maka pengadilan dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintai
pendapatnya mengenai suatu hal dalam perkara yang sedang diperiksa.
Disamping itu, pengaturan mengenai ahli juga diatur dalam Pasal 215-229
Rv, walaupun dalam praktek peradilan sering digunakan istilah saksi ahli
namun dalam ketentuan hukum tidak menyatakan demikian.
1. Pengertian Ahli.
Maksud pemeriksaan ahli, tidak menyimpang dari aturan yang sebenarmya,
pengertian ahli dikaitkan dengan materi pokok perkara yang bersangkutan.
Pengertian ahli dalam kaitan dengan perkara adalah orang yang memiliki
pengetahuan khusus di bidang tertentu. Oleh karena itu, menurut hukum,
seorang dikatakan sebagai ahli apabila dia memiliki pengetahuan khusus
atau spesialis dibidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang itu, benar-
benar kompeten dalam bidang tertentu. Sedemikian spesialisnya
pengetahuan, kecakapan atau pengalaman yang dimiliki, sehingga
keterangan dan penjelasan yang diberikannya dapat membantu menemukan
fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa
2. Pengangkatan Ahli
Beberapa cara pengangkatan atau penunjukkan ahli, yang diatur dalam
Pasal 154 Ayat (1) HIR Juncto Pasal 215 Rv, yaitu;
a. Oleh Hakim secara Ex-Officio
Jika hakim berpendapat, bahwa perkara yang diperiksa perlu
mendapat penjelasan agar menjadi lebih terang dan jelas dari ahli
maka atas inisiatifnya sendri, hakim dapat menunjuk ahli secara ex-
officio. Oleh karena itu, tidak memerlukan persetujuan dari para
pihak. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa orang yang ditunjuk
harus benar-benar memenuhi syarat sebagai ahli sesuai dengan
spesialisasi yang dikuasai dalam bidang perkara yang disengketakan.
a. Atas Permintaan Salah Satu Pihak
Disamping penunjukan oleh hakim, ahli dapat juga ditunjuk atau diangkat
atas permintaan pihak yang berperkara, baik salah satu pihak atau kedua
belah pihak. Ada pendapat bahwa penunjukkan atau pengangkatan ahli atas
permintaan para pihak tidak mengikat hakim. Hakim bebas menilai, apakah
materi pokok perkara masih relevan membutuhkan keterangan seorang ahli.
Karena sesuai ketentuan Pasal 154 Ayat (1) HIR Juncto Pasal 216 Rv,
tujuan pemeriksaan ahli yaitu untuk memperoleh keterangan yang dapat
memperjelas materi pokok perkara.
3. Bentuk dan Penyampaian Pendapat Ahli.
Beberapa bentuk laporan atau keterangan ahli yang berkaitan dengan
permintaan atau penunjukan ahli, yaitu;
a. Bentuk Pendapat Ahli Berupa Laporan.
Pengaturan mengenai bentuk pendapat ahli, secara spesifik diatur dalam
ketentuan Pasal 154 Ayat (2) HIR, menyebutkan bahwa keterangan atau
opini maupun pendapat yang diberikan ahli adalah laporan. Bukan opini
atau pendapat atau keterangan sesuai yang biasa terjadi dalam praktek.
b. Laporan Disampaikan dalam Persidangan
Pasal 154 Ayat (2) HIR, menentukan bahwa jika ditunjuk seorang
ahli baik oleh hakim secara ex-officio, maupun oleh para pihak, maka
hakim harus menentukan hari sidang tertentu, agar ahli memberikan
laporan baik secara tertulis maupun lisan di dalam persidangan. Dan
pada saat perdidangan itu, diberikan kesempatan kepada para pihak
untuk mengajukan pertanyaan atau berdialog dengan ahli sehingga
tercapai kejelasan atas pokok perkara yang disengketakan.
c. Laporan Dikuatkan dengan Sumpah
Dalam Pasal 154 Ayat (2) HIR, Juncto Pasal 217 Rv, menegaskan
bahwa laporan yang berisi pendapat atau opini ahli yang disampaikan
di dalam persidangan dikuatkan dengan sumpah. Oleh karena itu,
pengucapan sumpah oleh ahli sebelum (promissory oath) memberikan
pendapat atau opnini itu, merupakan syarat formil keabsahan laporan
atau keterangan ahli. Dan jika syarat itu, tidak terpenuhi maka laporan
ahli tidak mempunyai nilai sebagai pendapat ahli.
4. Nilai Kekuatan Pembuktian Pendapat Ahli
Dalam ketentuan Pasal 1866 BW, Juncto Pasal 164 HIR, tidak
mencantumkan “ahli” atau “keterangan ahli” sebagai alat bukti. Maka
secara formil, ahli dapat dianggap bukan sebagai alat bukti, sehingga
menurut hukum pembuktian, pendapat ahli tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian. Namun menurut ketentuan Pasal 154 Ayat (2) HIR, Juncto
Pasal 229 Rv, dapat dijelaskan bahwa hakim atau pengadilan tidak wajib
mengikuti pendapat ahli, jika pendapat itu berlawananan dengan
keyakinannya.

Anda mungkin juga menyukai