Anda di halaman 1dari 15

MATERI ALAT BUKTI DAN KEKUATAN

PEMBUKTIAN
SURAT DAN SAKSI

TUGAS KELOMPOK

Diajukan Untuk Memperoleh Nilai Dari Mata Kuliah


“ HUKUM ACARA PERDATA G”

Oleh :
Farah Azzahra Reynaldi (110110180317)
Vidya Khairina Utami (110110180320)

Dosen Pengajar :

Prof. Dr. H. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.


Sherly Ayuna Putri, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
1

BAB I
SURAT
1.1 Surat
1.1.1 Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR,
164, 285-305 Rbg. S 1867 No. 29 dan pasal 1867-1894 BW (baca
juga pasal 138-147 RV). Alat bukti tertulis atau surat adalah segala
sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencarahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pemuktian. Dengan demikian,
segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi
tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam
pengertian alat bukti tertulis atau surat. Seperti potret gambar atau
denah atau peta, tidak tergolong dalam bentuk alat bukti tertulis
atau surat.1

Surat sebagai alat bukti yang utama. Hal ini dikarenakan


terdapat pihak yang sengaja membuat alat-alat bukti yang akan
digunakan dalam membuktikan perbuatan hukum yang dilakukan
oleh pihak tersebut dan apabila terjadi sengketa dalam perbuatan
keperdataan, maka bukti yang disediakan merupakan bentuk
tulisan.2 Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu, surat
yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta,
sedangkan akta sendiri dibagi menjadi akta otentik dan akta di
bawah tangan.

Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda


tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Cet.V,(Yogyakarta : Cahaya Atma
Pusaka,2017),hlm. 157-158.
2
Efa Laela Fakhriah,Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia,(Bandung : Mandar
Maju,2019),hlm.63-64.
2

perikatan, yang dibuat dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi


untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta, surat harus
ditandatangani. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat
disebut akta ada pada Pasal 1869 BW. Dengan demikian, karcis
kereta api, resi, dan sebagainya lebih lanjut menjadi akta otentik
dan akta di bawab tangan. 3
Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk
membedakan akta yang satu dari akta yang lain. Jadi, fungsi tanda
tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk
mengindividualisir sebuah akta.

Oleh karena itu, nama atau tanda tangan yang ditulis


dengan huruf balok tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok,
tidak seberapa tampak ciri-ciri atau sifat-sifat si pembuat.
Penandatanganan adalah membubuhkan nama atau paraf dari si
penandatangan, dan hendaknya ditulis oleh kehendaknya sendiri.

Surat yang ditandatangani oleh orang yang tidak cakap


hukum tidak dapat dijadikan alat bukti. Seseorang juga tidak dapat
menyatakan bahwa ia tertipu paabila ia meletakkan tanda
tangannya dibawah suatu surat perjanjian tanpa membaca surat itu
terlebih dahulu.

Selain tanda tangan, pada suatu akta di bawah tangan


dikenal sidik jari yang dikuatkaan dengan sautu keterangan yang
diberi tanggal oleh notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
undang-undang.

Alat bukti tertulis yang diajukan dalam acara perdata harus


dibubuhi materai untuk memenuhi pasal 2 ayat (1)a Undang-

3
Ibid
3

undang Bea Materai 1986 (UU No. 13 tahun 1985). Namun, ini
bukan berarti materai merupakan syarat sahnya sebuah perjanjian.
Perjanjian sendiri tetap sah tanpa materai. Putusan MA tanggal 13
Maret 1971 No. 589 K/Sip/1970 berpendapat bahwa surat bukti
yang tidak diberi materai bukan alat bukti yang sah.

1.1.2 Fungsi Akta4


Sebagai fungsi formil yang berarti untuk lengkapnya atau
sempurnanya suatu perbuatan hakim haruslah dibuat suatu akta.
Disyaratkan akta bawah tangan untuk pasal 1610 BW, Pasla 1767
BW, dan pasal 1851 BW. Sementara disyaratkan akta otentuk
untuk pasal 1171 BW, Pasal 1682 BW, dan pasal 1945 BW. Selain
untuk fungsi formil, akta juga memiliki fungsi sebagai alat bukti.
Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta tidak membuat
syarat sahnya perjanjian, tapi dapat digunakan sebagai alat bukti di
kemudian hari.

1.1.3 Kekuatan Pembuktian Akta


Akta sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian
yang dimana terdiri dari tiga kekuatan pembuktian, yaitu :5
a. Kekuatan pembuktian lahir
Didasarkan atas keadaan lahir, yakni apa yang
tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang
tampaknya seperti akta, dianggap mempunyai
kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti
sebaliknya.
b. Kekuatan pembuktian formil

4
Ibid, hlm.168-169.
5
Ibid
4

Memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa


pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan
apa yang dimaksud dalam akta.
c. Kekuatan pembuktian materiil
Memberi kepastian tentang materi suatu akta,
bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan
melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.

Menurut bentuknya, akta dapat dibagi menjadi


akta otentik dan akta di bawah tangan6 :
A. Akta Otentik7
Secara teoritits, akta otentik berarti surat
atau akta yang sejak semula dengan sengaja
dibuat secara resmi untuk pembuktian. Menurut
hukum paositif, penjelasan mengenai akta
otentik dirangkum pada pasal 1868 KUHPerdata
(juga pasal 165 HIR dan 285 Rbg) : Suatu akta
otentik dalah akta yang bentuknya ditentukan
oleh undang-undang dan dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.8
Berdasarkan pasla 1 Peratursan Pejabat
Notaris, satu-satunya pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik adalah notaris.
Yang dikecualikan dari notaris adalah pejabat
yang ditunjuk oleh undang-undang, seperti
panitera, juru sita, pegawai catatan sipil, dan
sebagainya.

6
Ibid,hlm.162.
7
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.162.
8
Retnowulan Sutantio,Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan Praktik,( Bandung :
Mandarmaju,2009),hlm.65.
5

Menurut pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg,


1868 BW, akta otentik dibagi menjadi :
1. Akta yang dibuat oleh pejabat
2. Akta yang dibuat oleh para pihak.

Kekuatan pembuktian akta otentik :

a) Kekuatan pembuktian lahir akta otentik


Berarti tanda tangan pejabat diangap sebagai
aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.
Beban pembuktiannya terletak pada siapa
yang mempersoalkan otentik tidaknya akta
ini.
b) Kekuatan pembuktian formil akta otentik
Membuktikan kebenaran dari paa yang
dilihat, ddengar, dan dilakukan pejabat. Ini
adalah pembuktian tentang kebenaran dari
keterangan pejabat sepanjang mengenai apa
yang dilakukan dan dilihatnya.
c) Kekuatan pembuktian materiil akta otentik
Pada umumnya akta pejabat tidak
mempunyai kekuatan pembuktian materiil.
Lain halnya dengan akta yang dibuat oleh
para pihak, bagi para pihak dan mereka yang
memperoleh hak dari padanya merupakan
bukti sempurna. Semua akta yang dibuat
oleh para pihak memunyai kekuatan
pembuktian materiil.

B. Akta di bawah tangan9

9
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.167.
6

Ialah akta yang sengaja dibuat untuk


pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
seorang pejabat. Mengenai akta dibawah tangan
tidak diatur dalam HIR tapi diatur dalam S 1867
No.29 untuk Jawa dan Madura, sementara untuk
luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286-
305 Rbg.
Ketentuan khusus akta dibawah tangan yaitu
akta di bawah tangan yang memuat utang
sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai
atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis
sekuruhnya dengan tangan sendiri oleh orang
yang menandatangani. Akta ini hanya dapat
diterima sebagai permulaan bukti tertulis.
Dalam pasal 1902 BW dikemukakan
syarat-syarat bila terdapat permulaan bukti
tertulis :
1. Harus ada akta
2. Akta harus dibuat oleh orang
terhadap siapa dilakukan tuntutan
atau dari orang yang diwakilinya
3. Akta harus memungkinkan
kebenaran peristiwa yang
bersangkutan.

Kekuatan pembuktian akta di bawah


tangan :

a) Kekuatan pembuktian lahir akta di


bawah tangan
Orang terhadap siapa akta di bawah
tangan itu digunakan diwajibkan
7

membenarkan (mengakui) atau


memungkiri tanda tangannya, sedang
bagi ahli warisnya cukup hanya
menerangkan bahwa ia tidak kenal
akan tanda tangan tersebut. Hakim
harus memerintahkan untuk
memeriksa kebenaran tanda tangan
itu.
b) Kekuatan pembuktian formil akta di
bawah tangan
Kekuatan pembuktian formil ini
sama dengan akta otentik, jadi telah
pasti bagi siapapun bahwa si
penandatangan menyatakan seperti
yang terdapat di atas tanda
tangannya.
c) Kekuatan pembuktian materiil akta di
bawah tangan
Suatu akta dibawah tangan hanyalah
pemberi pembuktian sempurna demi
keuntungan orang kepada siapa si
penanda tangan hendak memberi bukti.

1.1.4 Surat lainnya yang bukan akta


Dalam pasal 1881 BW (Pasal 294 Rbg) dan 1883 BW
(Pasal 297 Rbg) diatur secara khusus beberapa surat di bawah
tangan yang bukan akta, yaitu buku daftar (register), surat-surat
rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh
seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya
8

dipegangnya. Kekuatan pembuktian surat-surat bukan akta


diserahkan pada pertimbangan hakim.10

1.1.5 Salinan
Kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis
terletak pada aslinya (Pasal 30 Rbg, 1888 BW). Salinan suatu
akta mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan
akta aslinya. Apabila akta aslinya sudah tidak ada lagi,
kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim (Pasal 302
Rbg, 1889 BW).11

10
Ibid,hlm.69.
11
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.175.
9

BAB II
SAKSI

2.1 Saksi
2.1.1 Kesaksian Sebagai Alat Bukti
Kesaksian diatur sebagai alat bukti dialam Pasal 139-
152,158-172 HIR ( Pasal 165-179 Rbg), 1985, dan 1902-1912
BW.Kesaksian merupakan kepatian yang diberikan kepada hakim
di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara yang dipanggl di persidangan.12
Dengan kata lain keterangan yang diberikan oleh saksi harus
mengenai peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri,
sedangkan untuk pendapat atau dugaan tidak dapat dianggap
sebagai sebuah kesaksian. Kesaksian merupakan alat bukti yang
objektif, hal ini dikarenakan saksi sebagai pihak ketiga melihat dan
mengetahui sendiri peristiwa yang bersangkutan sehingga dapat
ditemukan kebenaran.

Saksi merupakan pihak ketiga yang harus dihadapkan


didepan hakim secara lisan dan pribadi pada persidangan, serta
tidak dapat diwakilkan dan tidak boleh dibuat secara tertulis ( Pasal

12
Ibid,hlm.176.
10

139 ayat, Pasal 140 ayat 1 HIR). Sesuai dengan pasal tesebut, maka
apabila saksi tidak hadir dan telah dipanggil dengan patut, serta
enggan memberi kesaksian, dapat dihadapkan dengan saksi pula.

Pada asasnya, setiap orang yang bukan salah satu pihak


dapat didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh
pengadilan wajib memberikan kesaksian, tetapi memiliki batasan
didalamnya atau berupa syarat untuk dapat dijadikan saksi, yaitu :13
1 Syarat untuk menjadi saksi :
a. Menurut Pasal 145 ayat 1 sub 3 jo. Ayat 4 HIR, yaitu telah
berumur 15 tahun;
b. Menurut Pasal 145 ayat 1 sub 4 HIR, yaitu erpikiran sehat;
dan
c.Tidak sedang menjadi tahanan.
d. Menurut Pasal 145 HIR, yaitu saksi tidak dapat diminta
keterangan apabila memiliki hubungan kekerabatan dengan
salah satu pihak, seperti
I. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut
keturunan yang harus dari salah satu pihak, hal ini
dikarenakan bahwa mereka secara objektif tidak
cukup didengar kesaksiannya, untuk menjaga
hubungan kekeluargaan, dan untuk mencegah
timbulnya tekanan batin. Tetapi mereka tidak boleh
menolak apabila menyakut keperdataan salah satu
pihak dalam perjanjian kerja, pemberian nafkah, dan
pencabutan kekuasaan orang tua ( Pasal 145 ayat 2
HIR , Pasal 1910 alinea 2 sub 2 dan sub 3 BW).
II. Suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun
dalam hal in sudah melakukan perceraian.

13
Rai Mantili & Anita Afriana,Buku Ajar Hukum Acara Perdata,(Bandung:Kalam Media, 2015),
hlm.46-47.
11

e. Ada segolongan orang yang atas pemerintaan mereka sendiri


dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian
( Pasal 146 HIR, Pasal 174 Rbg, Pasal 1909 alinea 2 BW),
yaitu :14
1) Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar dari salah
satu pihak;
2) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan
saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri
salah satu pihak;
3) Semua orang karena jabatan, martabat, atau hubungan
kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia, akan
tetapi semata-mata hanya tentang hal yang
diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan, atau
hubungan kerja yang sah saja.

Menurut Paal 172 HIR, menentukan dalam pertimbangan


nilai kesaksian, hakim harus memperhatikan kesesuaian atau
kecocokan antara keterangan para saksi. Kesesuaian dalam hal ini
dilihat dengan segi lain tentang perkara yang disengketakan,
pertimbangan yang mungkin ada dalam kesaksian dapat dilihat dari
saksi untuk menuturkan kesakasian, cara hidup, adat istiadat, serta
martabat para saksi dan segala sesuatu yang sekiranya
mempengaruhi tentang dapat atau tidaknya dipercaya seorang
saksi. Dengan kata lain, pertimbangan hakim mengenai kebenaran
kesaksian haruslah berdasarkan dari cara hidup, adat istiadat dan
martabatnya.

Keterangan saksi juga harus menerangkan bagaimana ia


mngetahui peristiwa tersebut. Dengan kata lain, saksi harus
menerangkan dengan detail penyebab dari peristiwa tersebut

14
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.183.
12

dimulai hingga berakhirnya peristiwa tersebut sesuai yang


diketahui dan dilihatnya sendiri ( Pasal 171 ayat 1 HIR, Pasal 308
ayat 1 Rbg, Pasal 1907 BW). Keterangan saksi yang tidak disertai
dengan penyebabnya tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang
sempurna.15

Keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga tidak


dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sempurn dan sah,
dikarenakan tidak berhubungan peristiwa itu sendiri. Keterangan
ini dinamakan testimonium de auditu, yang dimana bukanlah alat
bukti dan tidak perlu dipertimbangkan. 16 Tetapi, menurut undang-
undang hakim diberi kebebasan untuk menyimpulkan apabila
adanya persangkaan dari keterangan pihak ketiga yang
disimpulkan oleh saksi.

Pada dasarnya, hakim dapat menggunakan dua cara untuk


mendapatkan keterangan saksi. Pertama, dengan cara free narative,
saksi diberikan kesempatan oleh hakim secara bebas untuk
menjelaskan dari awal sampai akhir suatu peristiwa seperti seorang
narator. Kelemahan dari cara ini adalah membuang banyak waktu
dan terkadang yang diceritakan oleh saksi tidak relevan dengan
peristiwa yang bersangkutan, selain itu tidak semua saksi adalah
ahli hukum sehingga menyebabkan hakim harus dapat
menyaringnya. Kedua, dengan cara leading atau terpimpin, hakim
sebagai pihak yang dianggap tahu akan hukumnya dan dapat
membedakan peristiwa yang relevan, sudah menyiapkan daftar
pertanyaan. Daftar pertanyaan tersebut dibacakan oleh hakim dan
seperti memancing saksi untuk bercerita dengan relevan sesuai

15
Ibid,hlm.178.
16
Ibid,hlm.179.
13

dengan peristiwa. Keuntungan dari cara ini tentu akan menghemat


waktu dan akan tepat dengan sasaran.
2.1.2 Kekuatan Pembuktian dari Kesaksian
Kekuatan pembuktian saksi sebagai alat bukti diberikan
kepada hakim sebagai pertimbangan secara bebas. Hal ini
dikarenakan sangat memungkinkan saksi untuk memberikan
keterangan yang tidak dapat dipercaya.17 Sehingga dalam hal ini
keterangan saksi tidak dapat sebagai alat pembuktian yang cukup
tanpa adanya alat bukti yang lainnya ( unus testis nullus testis).

Keterangan saksi hanya sebagai alat bukti, tanpa alat bukti


lainnya, dapat menyebabkan gugatan ditolak. Keterangan saksi,
hakim juga sudah mempercayainya, bersamaan dengan alat bukti
lainnya, seperti pengakuan atau persangkaan tergugat baru dapat
dikatakan alat bukti yang sempurna.

Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik : Dalam Sistem Pembuktian Perdata,(Bandung : Refika
17

Aditama,2017),hlm.35.
DAFTAR PUSTAKA

Sudikno Mertokusumo. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya


Atma Pusaka.
Efa Laela Fakhriah. 2017. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung:
Refika Aditama.
Efa Laela Fakhriah.2019.Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia.Bandung :
Mandar Maju.
Rai Mantili & Anita Afriana. 2015. Buku Ajar Hukum Acara Perdata. Bandung: Kalam
Media.
Retnowulan Sutantio.2009.Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan Praktik.Bandung :
Mandarmaju.

Anda mungkin juga menyukai