Anda di halaman 1dari 10

Nama : Vidya Khairina Utami Mata Kuliah : Hukum Pengawasan E

NPM : 110110180320 Dosen : Dr. Adrian E. Rompis, S.H., M.H.


R. Adi Nuzaman, S.H.,M.H.

Tugas 3
1. Pasal 7 Ayat 1 UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Perizinan Usaha, yang
menyebutkan “Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha
kegiatan usaha.”

Hal ini merupakan pengawasan prefentif yang dilakukan oleh pemerintah kepada badan
usaha dengan penilaian sebelum dibentuknya badan usaha berdasarkan tingkat bahaya
atas jenis kegiatan usaha, kriteria kegiatan usaha, lokasi kegiatan usaha, keterbatasan
sumber daya, dn/atau risiko volatililitas. Sehingga dalam hal ini cocok dengan
pengawasan prefentif , yang dimana bentuk pengawasannya seperti bentuk pre audit
sebelum pekerjaannya dimulai.1

2. Pasal 8 ayat 1 huruf a UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Penataan
Ruang dan Wilayah yaitu wewenang dari pemerintah pusat dalam “pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis nasional”.
3. Pasal 8 ayat 5 huruf b UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Penataan Ruang
dan Wilayah yaitu “menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.”

Berdasarkan Pasal 8 ayat 1, dapat dikatakan pemerintah pusat melakukan pemeriksaan


terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, hal ini merupakan pengawasan
secara represif (pengawasan yang dilakukan setelah berjalannya rencana) terhadap
pemerintah daerah dalam melaksanakan penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.Pengawasan ini dilakukan secara tidak langsung yang dilakukan dengan
lapora dari penjabat atau satuan kerja yang bersangkutan dan dilakukan oleh pengawas
fungsional yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Namun, untuk Pasal 8 ayat 5 huruf b,
bisa dikatakan untuk standar pelayanan minimal dalam hal ini sebagai bentuk
pengawasan preventif untuk memastikan pelayanan setelah rencana dilancarkan
berjalan dengan baik.

4. Pasal 11 huruf a UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Penataan Ruang dan
Wilayah, yaitu wewenang pemerintah daerah salah satunya yaitu “ pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota.”

1
Angger Sigit P. & Meylany Chahyaningsih,Pengawasan Hukum Terhadap Aparatur Negara, Jakarta : Media
Pressindo,2018,hlm.20.
Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah menjalankan perintah dari
pemerintah pusat sebagai pengawas legislatif atas pengawasan pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota. Selain itu hal ini menunjukkan adanya pengawasan tidak
langsung dari pemerintah daerah untuk pemerintah pusat.Namun, sekaligus dapat
menjadi pengawasan secara langsung untuk pemerintah daerah itu sendiri. Pengawasan
dilakukan secara represif dikarenakan dilaksanakan setelah rencana dilakukan.

5. Pasal 18 ayat 1 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Penataan Ruang dan
Wilayah, yaitu “Penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota
dan rencana detail tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi
dari Pemerintah Pusat.”

Pemerintah pusat dalam pasal ini melakukan pengawasan secara prefentif demi untuk
menjalankan rencana detail tata ruang yang akan dijalankan oleh pemerintah daerah.
Dengan kata persetujuan substansi, maka pemerintah pusat dalam hal ini juga
memeriksa secara langsung, dengan kata lain sebagai bentuk pengawasan langsung
dalam bentuk pemeriksaan dokumen, penilaian, dan pengujian atas rencana.

6. Pasal 26 ayat 6 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Penataan Ruang dan
Wilayah, yaitu “Peninjauan kembali Rencana tata ruang wilayah kabupaten dapat
dilakukan lebih dari I (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan
lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan ;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.”

Bentuk peninjauan kembali ini pada dasarnya memiliki aspek pengawasan, dikarenakan
sesuai dengan fungsi pengawasan yang diungkapkan oleh Soearno Handayanigrat, yaitu
untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan pekerjaan tidak
mengalami hambatan-hambatan dan pemborosan.2 Dengan kata lain, peninjauan
kembali dapat dikatakan sebagai aspek untuk melihat dan meninjau atas kerugian atau
kesalahan yang terjadi terhadap perubahan lingkungan demi mencegah hambatan
kedepannya.

7. Pasal 16 ayat 2 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Pemanfaatan Ruang
Persisir, yaitu “Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat.”

2
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Bandar Lampung : Universitas Lampung Press,2009,hlm.82.
Pemerintah pusat dalam hal ini melakukan pengawasan dalam bentuk prefentif bagi
masyarakat dengan mengadakan perizinan bagi mereka yang ingin berusaha dengan
pemanfaatan di laut. Hal ini demi mencegah terjadinya penyimpangan, kelalaian, dan
kelemahan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan, yang sesuai dengan fungsi
pengawasan.3

8. Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 UU No.11 Tahun 2020 Cipta Kerja Klaster Lingkungan Hidup,
yaitu :

(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana
usaha dan/atau kegiatan.
(2) Uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan
lingkungan hidup Pemerintah Pusat.

Uji kelayakan yang dipaparkan pada pasal diatas memaparkan aspek pengawasan dalam
bentuk pengawasan prefentif. Hal ini untuk mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan hidup yang nantinya akan disebabkan oleh pembuangan limbah oleh badan
usaha dan melewati baku mutu. Pembuktian bahwa adanya pengawasan secara aktif
atau langsung juga dibuktikan bahwa uji kelayakan akan dilakukan oleh lembaga uji
kelayakan lingkungan hidup yang nantinya, tetapi terdapat pula pengawasan secara
pasif atau tidak langsung yang nantinya akan melaporkan kepada Pemerintah Pusat hasil
uji kelayakan tersebut.

9. Pasal 34 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Lingkungan Hidup
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL.
(2) Pemenuhan standar UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(3) Berdasarkan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
menerbitkan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
(4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi UKL-UPL.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 34, terdapat aspek pengawasan mengenai usaha yang tidak
berdampak penting dalam lingkungan hidup dengan pemenuhan standar UKL-UPL.
Standar UKL-UPL ini pada dasarnya merupakan bentuk pengawasan sebelum
terbentuknya usaha tersebut untuk melihat apakah standar dari perusahaan

3
Ibid.
berdampak penting terhadap lingkungan apa tidak sebelum terbentuknya usaha. Dalam
hal ini maka terbukti adanya pengawasan prefentif. Adanya pernyataan kesanggupan
pengelolaan lingkungan hidup dalam hal ini dapat pula dikatakan sebagai pengawasan
prefentif untuk menjaga badan usaha tersebut untuk tetap mengelola lingkungan hdup
dan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup.

10. Pasal 59 ayat 4 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Lingkungan Hidup,
yaitu “Pengelolaan Limbah 83 wajib mendapat Perizinan Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.”

Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, dapat dikatakan bahwa izin untuk melakukan pengelolaan
limbah B3 dapat dikatakan sebagai aspek pengawasan. Hal ini untuk membuat setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 tetap melakukan pengelolaan limbah B3 dan tidak
mencemari lingkungan hidup. Maka sesuai dengan fungsi pengawasan yang dipaparkan
sebelumnya, yaitu mencegah terjadinya penyimpangan, kelalaian, dan kelemahan agar
tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan. Selain itu, pengawasan seperti ini maka
berbentuk pengawasan prefentif yang dimana sebelum rencana dilaksanakan dengan
adanya pre audit oleh pemerintah dan mencegah terjadinya pencemaran.

11. Pasal 71 ayat 1 ,ayat 2,dan ayat 3 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Lingkungan Hidup, yaitu :

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap


ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pelindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis
yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, pemerintah pusat atau pemerintah daerah
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat
fungsional.

Pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 terlihat bahwa terdapat aspek pengawasan dalam bentuk
pasif atau tidak langsung dan pengawasan fungsional. Pengawasan dalam bentuk pasif
dalam hal ini terlihat dari ayat 2 yang dimana disebutkan pemerintah pusat atau daerah
mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada penjabat/
instansi teknis yang bertanggung jawab, sehingga dapat dikatakan bahwa pemeriksaan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah tidaklah langsung. Sedangkan
pengawasan fungsional, diartikan sebagai pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang
tugas pokoknya melakukan pengawasan.4 Sehingga, hal ini sesuai dengan ayat 3 yang
4
Angger Sigit P. & Meylany Chahyaningsi,Op.cit.hlm.21.
dimana terdapat kalimat pejabat “pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat
fungsional.”

12. Pasal 36 B ayat 2, ayat 3, dan ayat 6 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Bangunan Gedung, yaitu :

(2) Penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi melakukan kegiatan


pengawasan dan bertanggung jawab untuk melaporkan setiap tahapan
pekerjaan.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat melakukan inspeksi pada setiap tahapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagai pengawasan yang dapat menyatakan lanjut atau
tidaknya pekerjaan konstruksi ke tahap berikutnya.
(6) Dalam hal pelaksanaan diperlukan adanya perubahan dan/atau penyesuaian
terhadap rencana teknis, penyedia jasa perencana wajib melaporkan kepada
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk
mendapatkan persetujuan sebelum pelaksanaan perubahan dapat dilanjutkan
berdasarkan norma, standar prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.

Aspek pengawasan pada pasal tersebut terlihat kental dalam ayat 2 dan ayat 6 dengan
bentuk bentuk represif. Bentuk post audit yang dilakukan adalah bentuk laporan kepada
pemerintah pusat atau pemerintah daerah dari penyedia jasa pengawasan dan penyedia
jasa rencana. Pada ayat 3, terlihat sesuai dengan bentuk pengawasan secara aktif atau
langsung yang dimana digelar pada tempat kegiatan berlangsung dengan mengadakan
inspeksi atau pemeriksaan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

13. Pasal 26 ayat 1 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Perikanan, yaitu :

“Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan


Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.”

Aspek pengawasan dari pasal ini merupakan bentuk pengawasan prefentif yang dimana
diadakannya perizinan berusaha adalah untuk terjaganya pengelolaan perikanan negara
Indonesia dengan baik. Hal ini dilakukan demi lancarnya usaha dan pengelolaan
perikanan negara telah memenuhi standar pemerintah pusat yang dalam hal ini juga
terlihat pengawasan prefentif lebih dominan.

14. Pasal 48 ayat 3 dan ayat 4 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Perkebunan, yaitu
(3) Perusahaan Perkebunan yang telah mendapat Perizinan Berusaha wajib
menyampaikan laporan perkembangan usahanya secara berkala sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada pemberi izin.
(4) Laporan perkembangan usaha secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
juga disampaikan kepada Pemerintah Pusat.

Aspek pengawasan tidak langsung dalam hal ini terlihat dari pemerintah pusat
melakukan pengawasan seacara tidak langsung atau pasif oleh Pemerintah Pusat
dengan meminta bentuk laporan yang diberikan oleh perusahaan perkebunan.
Sedangkan hal ini juga membuktikan adanya pengawasan secara represif, dengan
melalui post audit yang dimana dengan meminta laporan setelah perusahaan berdiri.

15. Pasal 62 ayat 3 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Hewan, yaitu :

“Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di
bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan Kesehatan
Masyarakat Veteriner.”

Pemerintah pusat sekali lagi menggunakan aspek pengawasan dengan bentuk represif,
yang dimana setelah perusahaan itu berdiri akan terdapat dokter hewan yang akan
melakukan pengawasan dan memberikan laporan kepada pemerintah tentang usaha
rumah potong yang bersangkutan. Selain itu hal ini juga berbentuk pengawasan
fungsional, yang dimana dilakukan pengawasan oleh aparat yang tugas pokoknya
melakukan pengawasan di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner.

16. Pasal 46 ayat 2 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Tenaga Listrik, yaitu :

“Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat:
a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;
b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenaga listrikan;
c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha di bidang
ketenagalistrikan; dan
d. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan Perizinan
Berusaha.

Dalam hal ini, terlihat adanya aspek pengawasan dalam bentuk represif setelah
perusahaan tersebut berdiri. Selain itu, terdapat dua keunikan, bahwa terdapat
pengawasan secara langsung dan tidak langsung. Pengawasan secara langsung adalah
dalam bentuk inspeksi pengawasan di lapangan, namun yang tidak langsung adalah
bentuk laporan dan dilakukan penelitian dalam hal ini.
17. Pasal 100 ayat 1 dan ayat 2 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Perdagangan, yaitu :

(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1),
Pemerintah Pusat menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
(2) Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam melaksanakan pengawasan harus
membawa surat tugas yang sah dan resmi.

Dalam hal ini ditunjukkan bahwa, dalam pengawasan perdagangan, pemerintah pusat
tidak melakukan secara langsung, tetapi melalui petugas pengawas. Maka dalam hal ini
juga berbetuk pengawasan fungsional, yang dimana terdapat aparat resmi pengawas,
yaitu petugas pengawas di bidang perdagangan.

18. Pasal 155 ayat 1 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Perkapalan, yaitu
“Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat
pemerintah yang diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat.”
Dalam hal ini setiap kapal dilakukan pengukutan oleh pejabat pemerintah merupakan
bentuk pengawasan prefentif bentuk post audit sebelum pengoperasian kapal. Hal ini
juga menunjukann bahwa pengawasan ini bukanlah pengawasan secara tidak langsung
atau pasif. Alasan ini dikarenakan pengukuran tersebut dilakukan oleh pejabat
pemerintah yang diberi wewenang oleh pemerintah pusat, dengan kata lain pemerintah
pusat tidak turun tangan langsung dalam pengawasan.

19. Pasal 118 ayat 1 huruf f dan g UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Angkutan Udara, yaitu :

f. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara, termasuk keterlambatan dan


pembatalan penerbangan setiap jangka waktu tertentu kepada Pemerintah Pusat;

g. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan
publik terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi laba, arus
kas, dan perincian biaya, setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun
berikutnya kepada Pemerintah Pusat;

Laporan yang dipaparkan dalam Pasal 118 ayat 2 huruf f dan g dalam hal ini adalah
bentuk pengawasan yang diberikan pemerintah pusat kepada badan usaha angkutan
udara. Dalam hal ini jenis pengawasan yang dilakukan adalah pengawasan secara
represif yang dilakukan setelah badan usaha berdiri dan beroperasional. Selain itu,
pengawasan ini juga dilakukan secara internal yang dimana dilakukan oleh badan usaha
itu sendiri untuk huruf f, dan secara eksternal untuk laporan keuangan yang dilakukan
oleh kantor akuntan publik.

20. Pasal 20 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Haji dan Umroh, yaitu :
“Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan
warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari
pemerintah Kerajaan Arab Saudi.”

Jika dikaitkan dengan Pasal 58 UU Cipta Kerja Klaster Haji dan Umroh, dalam hal ini
dilakukan pengawasan dengan bentuk adanya perizinan. Maka bentuk pengawasan
yang dilakukan adalah berbentuk pengawasan prefentif yang dilakukan sebelum
berjalannya operasional usaha memberangkatkan jemaah untuk haji.

21. Pasal 83 ayat 1 dan ayat 2 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Haji dan
Umroh, yaitu :

(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap PIHK paling lama
60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Khusus.

(2) Hasil pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan
kepada DPR RI.

Dalam hal ini pemerintah pusat juga terbukti melakukan pengawasan secara represif
terhadap PIHK yang dimana melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Ibadah Haji
Khusus. Selain itu, pengawasan ini dilakukan secarara tidak langsung atau pasif oleh DPR
RI dengan diberikan laporan hasih evaluasi tersebut dari pemerintah pusat. Namun,
pemerintah pusat dalam hal ini turun tangan langsung dalam pengawasan dan evaluasi,
hal ini menunjukkan bahwa pengawasan ini merupakan pengawasan secara langsung
yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Tetapi perlu diketahui, maka pengawasan
terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus ini tidak dilakukan oleh lembaga PIHK itu
sendiri melainkan dilakukan oleh pemerintah pusat maka dalam hal ini berbentuk
pengawasan secara eksternal.

22. Pasal 157 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Pajak dan Retribsusi, yaitu:

(3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan
Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum,
dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.

(4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah
dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan
perundang- undangan lain yang lebih tinggi.
Dalam hal ini, terbukti adanya pengawasan secara prefentif yang dilakukan oleh Menteri
dalam negeri dan gubernur terhadap rancangan peraturan daerah demi kesesuan
dengan peraturan perundang-undangan. Pengawasan ini dilakukan secara langsung atau
aktif dengan menilik ada kata kepentingan umum.

23. Pasal 166 ayat 14 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Lembaga Pengelola
Investasi, yaitu “Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Lembaga Pengelola Investasi oleh Dewan
Direktur.”

Dalam hal ini, terbukti bahwa dalam Pasal tersebut, terjadi pengawsan secara internal.
Hal ini dikarenakan dalam penyelenggaraan Lembaga Pengelola Investasi terdiri dari
Dewan Pengawas dan Dewan Direktur, sehingga dewan pengawas juga dalam hal ini
mengikuti bentuk pengawasan langsung yang dimana secara langsung di lapangan
mengawasi kinerja dari dewan direktur.

24. Pasal 179 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Pembinaan dan Pengawasan, yaitu:

(1) Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara
dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab
pengawasan dan pembinaan.
(2) Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan
terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Berdasarkan pasal yang dipaparkan sebelumnya, maka pemerintah pusat secara jelas
disebutkan diwajibkan melakukan pengawasan atas tugas tanggung jawabnya atas
aparatur sipil negara dalam melakukan pengawasan. Dalam hal ini terbukti adanya
pengawasan secara represif yaitu pengawasan setelah adanya kinerja dari aparatul sipil
negara. Tetapi pemerintah pusat, berdasarkan ayat 3 dapat mendelegasikan
pengawasannya kepada pemerintah daerah, maka dalam hal ini pemerintah pusat
melaksanakan bentuk pengawasan secara pasif atau tidak langsung yang dimana
memungkinkan berbentuk laporan. Aparatur sipil negara dalam pengawasannya untuk
pelaksanaan perizinan berusaha dalam hal ini merupakan bentuk pengawasan, baik
pengawasan secara aktif yang dilakukan penilaian atau pemeriksaan terhadap sebelum
suatu badan usaha nantinya berdiri dan risiko yang mungkin timbul dari kinerja badan
usaha, biasanya berbentuk uji kelayakan, serta pengawasan secara pasif yang dimana
pengawasan dilakukan setelah biasanya badan usaha berdiri dengan melihat kinerja dari
badan usaha dan hasil risiko atas kinerjanya, dalam bentuk laporan kepada aparatul sipil
negara.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Angger Sigit P. & Meylany Chahyaningsih,2018,Pengawasan Hukum Terhadap Aparatur Negara,


Jakarta : Media Pressindo.

Nurmayani,2009, Hukum Administrasi Daerah, Bandar Lampung : Universitas Lampung Press.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Anda mungkin juga menyukai