Anda di halaman 1dari 8

MATERI ALAT BUKTI DAN KEKUATAN

PEMBUKTIAN
PERSANGKAAN, PENGAKUAN, DAN SUMPAH

TUGAS KELOMPOK

Diajukan Untuk Memperoleh Nilai Dari Mata Kuliah


“ HUKUM ACARA PERDATA G”

Oleh :
Farah Azzahra Reynaldi (110110180317)
Vidya Khairina Utami (110110180320)

Dosen Pengajar :

Prof. Dr. H. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.


Sherly Ayuna Putri, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
1

BAB I
PERSANGKAAN
1.1 Persangkaan
Pasal 164 HIR (Pasal 284 Rbg, 1866 BW) menyebut persangkaan sebagai alat
bukti sesudah saksi. Tentang pengertian persangkaan sering terjadi salah penegrtian. Ada
kalanya persangkaan dianggap sebagai alat buktiyang berdiri sendiri atau sebagai suatu
dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian.1
1. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke atau rechterlijke
vermoedens¸praesumptiones facti)
Hakimlah yang memutus berdasarkan kenhataan. Apakah mungkin dan sampai
berapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu.
2. Persangkaan berdasarkan hukum (wetterlijke atau rectsvermoedens, praesumptiones
juris)
Undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan
harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan.
Persangkaan hukum dibagi dua :
a. Praesumptiones juris tantum, yakni persangkaan berdasarkan hukum yang
memungkinkan adanya pembuktian lawan.
b. Praesumptiones juris et de jure, yakni persangkaan berdasarkan hukum yang
tidak memungkinkan pembuktian lawan.

Persangkaan diatur dalam HIR (pasal 172), Rbg (Pasal 310) dan BW (Pasal 1915-
1922). Menurut BW, persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-
undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kea rah peristiwa lain
yang belum terang kenyataannya.

Pasal 1916 BW mengatur bahwa persangkaan berdasarkan undang-undang ialah


persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-
perbuatan tertentu, antara lain 2:

1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Cet.V,(Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka,2017),hlm.
186
2
Retnowulan Sutantio,Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan Praktek,( Bandung :Mandar Maju,2009),hlm.79.
2

1. Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat


dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-
ketentuan undang-undang.
2. Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan
guna menetapkan hak pemilikan atau pembebasan dari utang.
3. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan
4. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah
oleh salah satu pihak.

Contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan pembuktian


lawan misalnya: Pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439 BW, 42, 44 Peraturan Kepailitan.
Persangkaan menurut undang-undang ini membebaskan orang, yang untung karenanya
dari segala pembuktian lebih lanjut (Pasal 1921 ayat 1 BW). Kekuatan pembuktiannya
bersifat memaksa.
3

BAB II
PENGAKUAN
2.1 Pengakuan
Diatur dalam HIR Pasal 174, 175, 176, Rbg Pasal 311, 312,313, dan BW pasal
1923-1928. Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar
persidangan. Pengakuan di muka persidangan merupakan keterangan sepihak, baik
tertulis ataupun lisan, yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di
persidangan, yang membenarkan seluruh atau sebagian peristiwa, hak yang
menghubungkan hukum yang diajukan lawannya, mengakibatkan pemeriksaan lebih
lanjut oleh hakim tidak diperlukan lagi.

Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak, atau


hubungan hukum yang diajukan oleh lawan.3 Pasal 1916 BW menentukan bahwa
kekuatan yang diberikan pada pengakuan merupakan persangkaan menurut undang-
undang.4

Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 1926 bahwa pengakuan di muka hakim


persidangan tidak dapt ditarik kembali, kecuali bahwa pengakuan itu adalah akibat dari
suatu kesesatan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.

a. Pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan5


Pasal 176 HIR (persidangan 313 Rbg) berbunyi : “Tiap pengakuan harus diterima
keseluruhannya dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak
selebihnya, sehingga merugikan yang memberi pengakuan. Maksudnya adalah,
bahwa suatu pengakuan harus diterima bulat, hakim tidak boleh memisah-misahkan
atau memecah-mecahkan pengakuan itu.
Pengakuan dengan kualifikasi adalah oengakuan yang disertai dengan sangkalan
terhadap sebagian dari tuntutan.
Pengakuan dengan clausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.

3
Efa Laela Fakhriah,Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia,(Bandung : Mandar Maju,2019),hlm.67.
4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Ps.1916.
5
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit., hlm .192-196.
4

Baik pengakuan kualifikasi maupun clausula haruslah diterima bulat dan tidak
boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya. Pada pengakuan yang tidak
boleh dipisah-pisahkan, pembuktiannya dibebankan kepada penggugat. Penggugat
harus dibebani dengan pembuktian seakan-akan jawaban tergugat seluruhnya
merupakan sangkalan terhadap gugatan penggugat.
Dalam hal tergugat mengajukan pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisah,
penggugat dapat memilih :
1. Menolak sama sekali pengakuan itu seluruhnya dan memberi pembuktian sendiri.
2. Membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar, kalau
berhasil dibuktikan ia dapat meminta hakim untuk memisahkan pengakuan
tergugat dari keterangan tambahan tergugat yang tidak terbukti benar.
b. Pengakuan di luar persidangan.6
Pengakuan jenis ini ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam
suatu perkara perdata di luar persidangan. Pengakuan ini diatur dalam pasal 175 HIR
(Pasal 312 Rbg, 1927, 1928 BW) yang mengatakan bahwa kekuatan pembuktian
daripada pengakuan lisan di luar persidangan diserahkan pada pertimbangan hakim
(Psal 1928 BW). Sedang pasal 1927 BW menentukan bahwa suatu pengakuan lisan di
luar persidangan tidak dapat digunakan selain dalam hal-hal dimana diizinkan
membuktikan dengan saksi.

6
Alfitra,Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia,(Jakarta :Raih Asa
Sukses,2011),hlm.139-140.
5

BAB III
SUMPAH
3.1 Sumpah

Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyatnan yang khidmat yang diberikan
atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat
mahakuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan ataa janji
yangtidak benar akian dihukum oleh-Nya.7 Jadi pada hakikatnya, sumpah merupakan
tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.

Dari Batasan tersebut, dapat disimpulkan adanya 2 macam sumpah yakni sumpah
untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebut sumpah promissoir,
dan sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar
demikian atau tidak, yang disebut sumpah assetoir atau confirmatoir, yaitu:

a. Sumpah suppletoir 8(Pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW)


Sumpah suppletoir atau pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabtannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian
peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Untuk memerintahkan
sumpah ini salah satu pihak harus ada pembuktian permulaan terlebih dahulu.
Fungsi sumpah ini adalah untuk menyelesaikan perkara, maka mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya bukti lawan.
Hakim tidak wajib untuk memerintahkan sumpah ini, tapi hakim memiliki wewenang.
Tanpa adanya bukti sama sekali, hakim tidak boleh memerintahkan atau membebani
sumpah suppletoir, demikian pula apabila alat buktinya cukup lengkap.
Sudah menjadi pendapat umum bahwa pasal 1032-1939 BW tidak berlaku lagi
sumpah suppletoir.

7
Efa Laela Fakhriah,Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata,(Bandung : Refika Aditama,2017),hlm.22.
8
Bambang Sugeng, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi Perkara Perdata,(Jakarta :
Kencana) ,hlm.73-74.
6

b. Sumpah penaksiran 9(eastimatoir, schattingseed)


Pasal 155 HIR (Pasal 182 Rbg, 1940 BW) mengatur tentang sumpah
penaksiran yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada
penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi. Hakim tidak wajib membebani
sumpah penaksiran kepada penggugat, karena sumpah ini baru dapat dibebankan oleh
hakim apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya.
Kekuatan pembuktian sumpah ini sama dengan sumpah suppletoir.

c. Sumpah decisoir10
Adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada
lawannya (Pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW). Pihak yang meminta lawan
mengucapkan sumpah disebut deferent, pihak yang harus bersumpah disebut delaat.
Sumpah decisoir dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada
pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan sumpah ini dapat dilakukan pada
setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
Akibat mengucap sumpah ini adalah kebenaran peristiwa yang dimintakan
usmpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu
palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsi
(Pasal 242 KUHP).
Menolak untuk mengucap sumpah decisoir mengakibatkan kalahnya delaat.
Siapa yang dibebani sumpah decisoir dan tidak mau mengucapkannya dan tidak
mengembalikan sumpah ini kepada deferent, atau siapa yang memerintahkan pihak
lawan untuk bersumpah tapi dikembalikan oleh delaat kemudian deferent menolak
untuk berusmpah haruslah dikalahkan. (Pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1932 BW)
Sumpah harus dilakukan di persidangan, kecuali kalau karena alasan-alasan yang sah
penyumpahan tidak dapat dilangsungkan di persidangan dan hanya dapat dilakukan di
hadapan lawannya.
Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah mimbar, dan sumpah
klenteng.

9
AchmadAli,Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata,(Jakarta: Kencana,2012),hlm.99.
10
Bambang Sugeng,loc.cit.
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Bambang Sugeng & Sujayadi. (2015). ,Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi,Cet.III. Jakarta: Kencana.
Sudikno Mertokusumo. (2013). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pusaka.
AchmadAli. (2012). Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta: Kencana.
Alfitra. (2011). Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia.
Jakarta: Raih Asas Sukses.
Efa Laela Fakhriah. (2017). Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung:
Refika Aditama.
Efa Laela Fakhriah. (2019). Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Mandar
Maju.
Retnowulan Sutanto & Iskandar Oeripkartawinata. (2009). Hukum Acara Perdata Dalam Teori
Dan Praktik,Cet.II. Bandung: Mandar Maju.

B.KODIFIKASI HUKUM
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

Anda mungkin juga menyukai