Anda di halaman 1dari 4

Nama : Vidya Khairina Utami Dosen : Dr. Idris, S.H., MA.

NPM : 110110180320 Garry Gumelar Pratama, S.H., M.H.


Kelompok/Kelas : B/ D1 Sigar Aji Poerana, S.H

“Ruang Lingkup Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969”


Pembicara :
Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LL.M., Ph.D.

Konvensi ini menjadi suatu yang sangat menarik dalam wacana Hukum Internasional,
khususnya Hukum Perjanjian Internasional dengan beberapa alasan, yaitu:
1. Tampaknya konvensi ini merupakan suatu perjanjian atau konvensi yang pertama yang
mengatur mengenai bagaimana Perjanjian Internasional itu dibuat. Tetapi, itu tidak
berarti bahwa tidak ada Perjanjian Internasional sebelum adanya Konvensi Wina 1969.
2. Lalu, hal ini menandai suatu perkembangan yang menguatkan adanya pergeseran Hukum
Internasional, dimana suatu norma yang berbasis kepada praktik negara-negara (custom).
Hal ini dikarenakan Hukum Internasional itu secara teoritis dibangun di atas paradigma
Hukum Alam, yaitu yang mendalilkan bahwa ada suatu norma internasional atau norma
universal yang terus ditaati oleh seluruh bangsa atau seluruh negara. Adapun sebabnya
ialah karena memang negara dan bangsa niscaya membutuhkan norma tersebut. Jadi, ini
sebuah asumsi normatif yang mendasari lahirnya Hukum Internasional karena
kesepakatan antar negara itu tidak menjadikan negara lain itu terikat dan itu sampai saat
ini dipegang. Tetapi, bagaimana kemudian agar semua negara terikat oleh norma tersebut,
maka jawabannya adalah tidak mungkin ada kalau norma itu dibuat oleh negara lewat
kesepakatan.
Hal tersebut merupakan asumsi pada awalnya, sehingga kemudian justifikasinya adalah
terhadap norma universal yang berbasis kepada Hukum Alam. Secara teoritis, asas seperti ini
sangat diterima akan tetapi di dalam praktik tidah mudah untuk menjadikan universalitas dari
Hukum Alam itu dapat dibuktikan. Oleh karenanya, dimulai sebetulnya pada abad ke-18 awal
ketika Hugo Grotius melakukan apa yang disebut sebagai sekulerisasi dari Hukum Alam
sekaligus melakukan sistematisasi terhadap Hukum Internasional, juga melakukan modernisasi
terhadap Hukum Internasional. Grotius sebetulnya memberikan jawaban dengan sekulerisasi itu,
karena bagaimana agar Hukum Internasional diterima oleh semua negara atau semua bangsa dan
jawabannya ialah dengan Hukum Alam.
Hukum Alam pada saat tersebut menjadi identik dengan Hukum Tuhan (Lex Divina).
Oleh karenanya, tidak akan bisa tercapai universalitas Hukum Internasional yang diinginkan
apabila demikian dan akan dianggap bahwa Hukum Internasional sebagai law of christian. Maka,
Grotius melakukan sekulerisasi dan adapun yang dimaksud dengan sekulerisasi Hukum
Internasional oleh Grotius adalah bukan menafikkan bahkan menghilangkan elemen-elemen
agama dalam Hukum Internasional, khususnya Hukum Kanonik karena Hukum Kanonik juga
memiliki kontribusi penting dalam perkembangan Hukum Internasional, tetapi Grotius
melakukan pengurangan dominasi Hukum Kanonik dalam Hukum Internasional. Jadi, maksud
sekulerisasi oleh Grotius adalah bagaimana agar bangsa-bangsa yang lain yang berbeda dengan
bangsa-bangsa Eropa, yang berbeda dengan agama bangsa-bangsa Eropa dapat menerima
Hukum Internasional.
Kemudian, Grotius melakukan sistematisasi dari Hukum Internasional dan menerbitkan
masterpiece nya yaitu Hukum Perang dan Damai, dan ketika sekaligus memodernisasi apa yang
dimaksud Grotius sebagai positivisasi dari Hukum Internasional. Jadi, yang semula Hukum
Alam yang berasumsi kepada voluntery recognition (pengakuan secara sukarela) dan
kesukarelaan itu sebetulnya keniscayaan bahwa kalau tidak menerima norma universal ini maka
kita tidak dapat hidup berdampingan secara damai. Hukum Internasional hadir karena memang
dibutuhkan dan kalau tidak ada Hukum Internasional ini maka kita tidak dapat hidup damai.
Oleh karenanya, pada awalnya Hukum Internasional identik dengan Hukum Perang dan Damai.
Kemudian, perdamaian itu melahirkan berbagai wujud supaya mencapai tujuannya yaitu
perdamaian, seperti Hukum Perdagangan, Hukum Diplomatik dan Konsultan, dsb.
Dilihat positivisasi, salah satu bentuknya itu adalah lahirnya perjanjian-perjanjian, maka
muncul Perjanjian Perdamaian Westphalia. Dari sudut pandang kacamata kristis, Perjanjian
Perdamaian Westphalia adalah perjanjian negara-negara kolonial Eropa. Jadi, bagaimana mereka
itu tidak bertengkar, misalnya Inggris menjajah di Amerika, Kanada, Asia, Australia, dll. Adapun
mereka itu sebenarnya berdamai sesama kolonial. Jadi, pada saat itu sesama kolonial tidak boleh
saling mendahului dan negara-negara jajahan tetap saja menjadi negara terjajah. Oleh karena itu,
Hukum Internasional ala Westphalia itu adalah Hukum Internasional yang Euro-sentrik, dimana
konsep-konsepnya itu condong kepada nilai-nilai kolonialisme Eropa. Jadi, yang lebih tepatnya
adalah European Colonialism Values, bukan European Values dalam arti keseluruhan.
Contohnya, yang klasik seperti res nullius (res: wilayah, nulius: kosong – wilayah kosong),
dimana konsentrasinya itu untuk res nullius secara singkatnya adalah siapa yang datang,
kemudian dia mendudukinya, maka dia menjadi pemilik di sana. Oleh nilai kolonialisme Eropa,
res nullius dimaknai suatu wilayah yang di sana penghuninya bukan Eropa. Jadi, ketika mereka
datang ke Australia dan di sana ada aborigin sebagai indigenous people, maka bagi Eropa itu
adalah res nullius.
Hukum Internasional merupakan one of significan element. Jadi, Hukum Internasional
merupakan legal device bagi kolonialisme Eropa agar mereka memiliki justifikasi di sana.
Kemudian, terjadi positivisasi berdasarkan perjalanan sejarahnya dan juga fakta-fakta sosial
dimana negara-negara itu bukan saja ada di Eropa, tetapi tersebar ke benua-benua lain,
khususnya negara-negara yang dulu dijajah sudah menjadi independent states. Selanjutnya,
timbul pemikiran terkait bagaimana caranya agar negara-negara berkembang menjadi bagian dari
norma kebiasaan internasional, dan jawaban yang timbul ialah dilakukannya kompilasi praktik
negara-negara yang dilaksanakan oleh suatu komisi yang dibentuk oleh PBB, bernama
International Law Commission (Komisi Hukum Internasional). Komisi Hukum Internasional itu
kemudian mengkompilasi kebiasaan-kebiasaan dalam pembentukkan Perjanjian Internasional,
dan puncaknya kompilasi ini kemudian menjadi kodifikasi. Adapun akhirnya, kodifikasi tersebut
menjadi Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969.
Konvensi Wina 1969 menjadi sangat unik dan menjadi contoh yang sangat baik terkait
bagaimana relasi, interaksi antara Perjanjian Internasional dan kebiasaan internasional. Oleh
karenanya Konvensi Wina 1969 mengatur terkait hal tersebut. Sebagaimana karakteristik dari
suatu Perjanjian Internasional, itu hanya berlaku terhadap mereka yang terlibat. Maka, Konvensi
Wina 1969 tersebut pun hanya berlaku mengikat kepada mereka yang meratifikasinya. Adapun
untuk Perjanjian-Perjanjian Internasional yang dibuat sebelum Konvensi Wina 1969 tetap
berlaku menurut konvensi tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa Perjanjian Internasional sebelum
adanya konvensi ini dibuat atas dasar pada hukum kebiasaan yang berlaku yang sebetulnya
hukum kebiasaan tersebut sudah dikodifikasikan di dalam Konvensi Wina 1969. Kemudian,
adapun bagi negara-negara yang bukan member state dari Konvensi Wina 1969 tetap terikat
ketika membuat perjanjian, sepanjang mereka menempatkan/mengakui bahwa norma-norma
yang ada dalam Konvensi Wina 1969 sebagai customary international law.
Tidak semua Perjanjian Internasional memenuhi syarat dan diakui sebagai customary
international law. Jadi, uniknya Konvensi Wina 1969 ialah karena Konvensi Wina 1969
dibentuk dan dibangun di atas fondasi customary international law dan merupakan bentuk
positivisasi dari Hukum Internasional yang dibangun oleh Grotius. Dahulu, berbasis Hukum
Alam dimana tidak serba tertulis dan berbasis kepercayaan, kemudian positivisasi dan menjadi
konvensi internasional. Hukum Internasional identik dengan written law, jadi dalam hal ini
terjadi perkembangan dimana written law yang memakan waktu berubah menjadi soft law yang
merupakan de-positivisasi dari Hukum Internasional.
Jadi, Perjanjian Internasional menurut konvensi ini adalah kesepakatan internasional
dalam bentuk tertulis. Tidak ada positivism dalam bentuk yang tidak tertulis, karena kalau
Hukum Alam, hukum itu tidak dibentuk (berbasis keyakinan) sedangkan menurut aliran sejarah
bottom-up. Oleh karenanya, hukum itu aturan yang diturunkan, sedangkan menurut positivism,
hukum itu dibuat oleh pembuat hukum yang adalah sovereign yang apabila individu seperti Raja,
Ratu, Sultan, Kaisar sedangkan apabila kolektif seperti Parlemen dan kombinasinya. Menurut
positivism murni, hukum itu benar dan berlaku pertama-tama bukan karena substansinya,
melainkan karena pembuatnya memiliki kewenangan membuat hukum. Namun pada akhirnya,
hal itu dikoreksi kembali bahwa hukum yang baik ialah harus menampung aspirasi masyarakat
itu sendiri. Jadi, alasan mengapa dalam Konvensi Wina 1969 adalah written law karena wujud
yang paling nyata dibuat adalah tertulis. Akan tetapi, meskipun demikian Perjanjian
Internasional dalam bentuk tidak tertulis tetap merupakan Perjanjian Internasional hanya saja
tidak diakui oleh konvensi ini (karena konvensi hanya mengatur/mengakui dalam bentuk yang
tertulis). Jadi, pasca Konvensi Wina 1969 tetap ada perjanjian tidak tertulis meskipun sedikit
yang berdasarkan itikad baik. Oleh karenanya, itikad paik (pacta sunt servanda) sangat penting.
Selain itu, terkait Perjanjian Internasional yang menjadi penting menurut konvensi ini adalah
govern by international law. Adapun yang dimaksud international law di sini ialah konvensi ini
sendiri menurut penafsiran sempit, sedangkan menurut penafsiran luas ialah general
international law yang terkati dalam pembuatan Perjanjian Internasional, termasuk kebiasaan-
kebiasaan internasional yang baru lahir terkait dengan hal ini. Terakhir, adapun Perjanjian
Internasional yang dimaksud dalam konvensi ini merujuk pada Perjanjian Internasional yang
dibuat oleh negara.

Anda mungkin juga menyukai