Anda di halaman 1dari 16

MATERI UPAYA HUKUM

BIASA DAN LUAR BIASA

TUGAS KELOMPOK

Diajukan Untuk Memperoleh Nilai Dari Mata Kuliah


“ HUKUM ACARA PERDATA G”

Oleh :
Farah Azzahra Reynaldi (110110180317)
Vidya Khairina Utami (110110180320)

Dosen Pengajar :

Prof. Dr. H. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.


Sherly Ayuna Putri, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
1

BAB I
UPAYA HUKUM
1.1. Pengertian

Hakim sebagai manusia dalam memberikan putusan pasti tidak luput dari
kekeliruan atau kekhilafan. Sehingga setiap putusan hakim dimungkinkan untuk
diperiksa ulang, supaya kekeliruan tersebut dapat diperbaiki demi adanya keadilan
dan kebenaran. Kekeliruan yang diperbaiki ini dinamakan sebagai upaya hukum, yaitu
upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.1
Menurut Retnowulan Sutantio, upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh
undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu
melawan putusan hakim.2 Sedangkan menurut Anita Afriana dan Rai Mantili, upaya
hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau
badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi
pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai, tidak
memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan
kesalahan sehingga salah memutuskan atau memihak pada salah satu pihak3

Upaya hukum perlu dibedakan dari daar hukum, jika dasar hukum itu hakim
secara ex officio wajib menambahkannya ( Pasal 178 ayat 1 HIR, 189 ayat 1 Rbg),
sedangkan dalam hal upaya hukum pihak yang bersangkutanlah yang tegas harus
mengajukannya.4 Pada hukum acara perdata, terdapat dua macam upaya hukum, yang
berdasarkan dari sifat dan berlakunya, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum
luar biasa.

Upaya hukum biasa pada dasarnya terbuka untuk setiap putusan selama
tenggang waktu tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan bersifat
menghentikan pelaksanan putusan untuk sementara.5 Menerima putusan tersebut
maka menghapuskan penggunaan upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa

1
Bambang Sugeng,Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi,(Jakarta : Prenadamedia
Group,2012), hlm.86.
2
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek,(Bandung
: Mandar Maju,2009),hlm.142.
3
Anita Afriani & Rai Mantili,Buku Ajar Hukum Acara Perdata,(Bandung : Kalam Media,2015),hlm.85.
4
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Cet.V.,(Yogyakarta : Cahaya Atma
Pusaka,2017),hlm.243.
5
Bambang Sugeng,loc.cit.
2

menangguhkan eksekusi , tetapi terdapat pengecualian apabila putusan tersebut


dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun telah
diajukan upaya biasa tetap eksekusi akan berjalan ( Pasal 180 HIR). Upaya hukum
biasa meliputi perlawanan terhadap verstek, banding, dan kasasi.

Upaya hukum luar biasa berbeda dengan upaya hukum biasa, terdapat dari
tidak menangguhkan eksekusi dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti.6
Upaya hukum luar biasa juga hanya boleh untuk hal-hal tertentu yang disebutkan
didalam undang-undang. Upaya hukum luar biasa berbentuk peninjauan kembali dan
perlawanan dari pihak ketiga.

1.1.1.1 Upaya Hukum Biasa

1.1.1.1 Perlawanan Terhadap Putusan Verstek

Tergugat yang tidak menerima putusan verstek dapat


mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan itu. Jika putusan
tersebut diberitahukan kepada tergugat itu sendiri, maka perlawanan
verstek dapat diterima 14 hari setelah pemberitahuan ( Pasal 129
HIR).7 Sedangkan apabila pemberitahuan tersebut tidak diberitahukan
kepada tergugat pribadi, perlawanan dapat diajukan sampai hari ke-8
setelah terguran untuk melaksanakan putusan verstek itu ( Pasal 196
HIR). Jika tidak datang waktu ditegur, sampai hari kedelapan setelah
putusan verstek dijalankan ( Pasal 197 HIR).

Perlawanan terhadap verstek diajukan seperti mengajukan surat


gugat biasa, dengan kata lain surat perlawanan itu harus di copy
beberapa rangkap dan tidak usah di atas kertas bermaterai, tetapi cukup
di kerta biasa.8 Apabila perlawanan diterima oleh pengadilan,
pelaksanaan putusan verstek akan berhenti, dikecualikan ada perintah

6
Retnowulan Sutantio,loc.cit.
7
Anita Afriana & Rai Mantili,Op.Cit.,hlm.31.
8
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.31.
3

dalam melanjutkan pelaksanaan putusan verstek tersebut ( Pasal 129


ayat 4 HIR,153 ayat 5 Rbg).

Pemeriksaan dan putusan terhadap perkara perlawanan sama


seperti perkara biasa, dengan kata lain pelawan tetap sebagai tergugat
dan terlawan tetap sebagai penggugat untuk kedudukannya masing-
masing. Pembuktian juga dilakukan oleh penggugat atau terlawan
dilakukan pertama kali.9 Apabila tergugat tidak hadir didalam acara
perlawanan lagi, untuk kedua kalinya diputus verstek, terhadap
tuntutan perlawanan verstek tidak diterima ( Pasal 129 ayat 5 HIR).

Perlawanan terhadap verstek hanya boleh diajukan sekali saja,


untuk kedua kalinya hanya boleh diajukan permohonan banding.
Apabila kedua belah pihak dan kuasa hukumnya tidak hadir dalam
perlawanan, maka menurut wibawanya pengadilan berhak mencoret
perlawanan dari daftar dan dianggap tidak pernah ada.10

1.1.1.2 Banding

Pihak yang merasa dikalahkan dengan putusan verstek dan


verzet, serta putusan biasa dari pengadilan negeri dan tidak merasa
puas dengan putusan tersebut, dikarenakan kurang adil dan benar,
maka dapat mengajukan pemeriksaan ke tingkat banding oleh
pengadilan tinggi.11 Dengan adanya pemeriksaan ke tingkat banding,
diharapkan akan mendapat putusan yang berbeda dengan putusan
semula atau dapat dikatakan putusan pengadilan negeri menjadi
mentah kembali dan pelaksanaan putusan dapat ditunda untuk
sementara waktu sampai mendapat keputusan yang pasti. Putusan
tersebut juga tidak akan memiliki kekuatan hukum tetap sampai ada
putusan di permohonan banding.

9
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.116.
10
Ibid
11
Bambang Sugeng,Op.Cit.,hlm.87.
4

Permohonan banding dapat dilakukan hanya kepada perkara


yang harga gugatnya lebih dari Rp.100,00 saja. Batasan tersebut
diberikan agar perkara-perkara kecil dapat diminta banding, hal ini
12
bertujuan untuk tidak menambah beban dari Pengadilan Tinggi.
Banding juga tidak dapat dilakukan oleh pihak yang menang, bahwa
banding sebaiknya disediakan bagi pihak yang kalah dalam perkara.

Putusan pengadilan negeri, kecuali dengan ketentuan tertentu


dapat dilaksanakan terlebih dahulu, atau putusan tersebut merupakan
putusan provisionil, tidak dapat dilaksanakan.13 Pemeriksaan di tingkat
banding umumnya hanya terhadap berkas-berkas yang dikirimkan,
sedangkan kedua belah pihak dalam perkara tersebut tidak akan
diperiksa lagi oleh pengadilan tinggi. Tetapi bukanlah tidak mungkin
untuk diperiksa kembali keduabelah pihak, tetapi sangatlah jarang hal
tersebut untuk terjadi, hal seperti ini terjadi ketika Pengadilan Tinggi
merasa pemeriksaan belum sempurna dilakukan dan menjatuhkan
putusan sela untuk maksud memperlengkapi pemeriksaan itu sendiri.

Apabila tergugat tidak hadir dalam pemeriksaan tingkat


pertama, tergugat tidak boleh mengajukan banding tetapi dapat
mengajukan perlawanan. Jika penggugat tidak menerima hasil putusan
yang ketika tergugat tidak hadir, maka penggugat dapat melakukan
banding dan tidak dapat mengajukan perlawanan. Permohonan banding
juga dapat dihadiri oleh kuasanya, yaitu orang yang telah diberi kuasa
khusus untuk mengajukan permohonan banding. Surat kuasa khusus
merupakan syarat mutlak yang dibuat untuk mejadi kuasa, haruslah
dibuat lebih awal sebelum permohonan banding. 14

Apabila putusan tingkat pertama yang diperiksa oleh


Pengadilan tinggi dianggap benar, maka putusan Pengadilan Negeri
dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi. Apabila putusan tingkat

12
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm. 244.
13
Retnowulan Sutantio & Iskanar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.147.
14
Ibid,hlm.151.
5

pertama yang diperiksa oleh Pengadilan Tinggi dianggap salah, maka


putusan Pengadilan Negeri akan dibatalkan, diubah dan diperbaiki di
tingkat banding dan Pengadilan Tinggi dapat memberikan putusan
yang berlainan dengan putusan pengadilan tingkat pertama.15

Perrmohonan banding harus diajukan kepada penitera


Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, terhitung 14 hari setelah
satu hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang
berkepentingan. ( Pasal 7 Undang-Undang No.20Tahun 1947). Setelah
salah satu pihak menyatakan naik banding dan dicatat oleh Panitera,
maka pihak lawan diberitahu panitera tentang permintaan banding,
selambat-lambatnya 14 hari setelah pemermintaan banding diterima
dan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk melihat surat-surat
serta berkasnya di Pengadilan Negerti selama 14 hari ( Pasal 11 ayat 1
UU No.20 Tahun 1947). Apabila lewat dari 14 hari untuk menyatakan
banding, maka Pengadilan Negeri tidak boleh menolak dan harus
mengajukannya ke Pengadilan Tinggi, karena yang berhak menolak
dan menerima adalah Pengadilan Tinggi. Bukti-bukti baru sebagai
uraiaan daripada alasan permohonan banding ( memori banding)
diserahkan kepada panitera Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan, sedangkan terbanding dapat menjawab memori
dengan kontra memori banding. Pembuatan dan pengiriman memori
banding bukanlah suatu keharusan, berbeda dengan kasasi. Memori
banding juga tidak merupakan sebuah keharusan bagi Pengadilan
Tinggi untuk memeriksa.16

Pencabutan permohonan banding sangatlah mungkin terjadi


dalam praktiknya. Sebelum diputus oleh Pengadilan Tinggi,
pencabutan permohonan banding dapat dilakukan tanpa adanya
persetujuan pihak lawan.

1.1.1.3 Kasasi

15
Anita Afriani & Rai Mantili,Op.Cit.,hlm.87.
16
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.246.
6

Semua putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh


pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, demikian pula
terhadap putusan pengadilan yang dimintakan bading dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.17 Dengan kata lain, pihak yang bersangkutan belum
atau tidak menggunakan hak melawan putusan, pengadilan yang
dijatuhkan di luar hadirnya tergugat atau hak memohon banding ke
Pengadilan Tinggi, maka pemeriksaan kasasi tidak dapat diterima,
kecuali undang-undang menetapkan lain.18 Kasasi sendiri adalah
tindakan Mahkamah Agung untuk menegakkan dan membetulkan
hukum, jika hukum ditentang oleh putusan hakim pada tingkatan
tertinggi.19 Menurut Wirjono Prodjodikoro, kasasi merupakan salah
satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas
putusan-putusan Pengadilan-Pengadilan lain.20 Kasasi adalah
pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan
peradilan dalam tingkat peradilan akhir. Ketentuan mengenai kasasi
dapat dilihat dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung yang telah diubah dalam Undang-Undang No.5
Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1985.

Tidak semua putusan dapat diajukan ke Mahkamah Agung,


hanya putusan yang berada di lingkungan umum peradilan biasa yang
dapat dimohonkan kasasi. Kasasi diajukan oleh para pihak yang
berkepentingan dan kuasanya ( Pasal 44 UU No.14 Tahun 1985).

Permohonan kasasi harus diajukan kepada kepaniteraan


Pengadilan Negeri yang memeriksa pokok perkara. Permohonan kasasi
dapat diajukan baik secara lisan maupun tulisan dalam tenggang waktu
14 hari kerja sesudah putusn atau penetapan pengadilan yang
dimaksudkan dibertahukan kepada pemohon ( Pasal 46 UU No.14
17
Undang-Undang No.20 Tahun 1947,Ps.10 (3).
18
Bambang Sugeng,Op.Cit.,hlm.95.
19
Supomo,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,(Jakarta : Penerbit Fasco,1958),hlm.168-169.
20
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Acara Perdata di Indonesia,(Bandung : Sumur Bandung,1970),hlm.118.
7

Tahun 1985). Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi


dalam buku daftar dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi
yang dilampirkan pada berkas ( Pasal 46 ayat 3 UU No.14 Tahun
1985). Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan dimasukkan
ke dalam buku daftar pemohon kasasi wajib memberikan dan
menyampai memori kasasi ( Pasal 47 UU No.14 Tahun 1985). Kedua
proses ini dikerjakan lewat dari tenggang waktu yang ditentukan, maka
permohonan harus dinyatakan tidak diterima.21

Pada memori kasasi haruslah dimuat mengenai keberatan atau


alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok perkara. Apabila tidak
secara terperinci keberatan-keberatan tersebut dijabarkan, maka dapat
dianggap keberatan-keberatan tersebut tidak sungguh-sungguh dan
dapat diabaikan.22 Keberatan-keberatan yang dapat dipergunakan
dalam permohonan kasasi, meliputi :23

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, berkaitan


dengan kompetensi relatif dan absolut dari pengadilan,sedangkan
melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan
melebihi yang diminta dalam surat gugatan.

2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Kesalahan


dalam menerapkan hukum formil atau hukum materiil, sedangkan
melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex
facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku
atau dapat juga diinterpretasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat
dilakkan oleh Judex facti.

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan


Perundang-Undangan yang mengancm kelalaian itu dengan batalnya

21
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.253.
22
Ibid
23
Anita Afriani & Rai Mantili,Op.Cit.,hlm.89-90.
8

putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak


terdapat irah-irah.

4. Berdasarkan Yurisprudensi MA No.492 K/SIP/1970, putusan yang


tidak cukup/ kurang lengkap dipertimbangkan.

Memori kasasi harus dimasukkan dalam waktu selambat-


lambatnya 14 hari sesudah mengajukan permohonan kasasi. Pihak
lawan berhak mengajukan jawaban terhadap memori kasasi terhadap
panitera dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya
salinan memori kasasi ( Pasal 14 ayat 3 UU No.5 Tahun 2004). Setelah
menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30
hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas
kepada Mahkamah Agung ( Pasal 48 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985).

Mengenai putusan Mahkamah Agung dalam permohonan


kasasi, hakim hanya memeriksa dari berdasarkan surat-surat belaka,
dan jika karen Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi melampaui
batas wewenangnya, maka Mahkamah Agung akan menyerahkan
perkara tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memutus.
Sedangkan apabila putusan tersebut dikarenakan Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Tinggi salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku atau telah lalai dalam memenuhi syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan , maka akan batal putusan tersebuit dan
Mahkamah Agung yang akan memutus sendiri perkara.24

1.1.2 Upaya Hukum Luar Biasa

1.1.2.1 Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali diatur dalam Rv semula dan bernamakan


Request Civiel, yang diatur dalam Pasal 385 Rv dan

24
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.173.
9

seterusnya.25Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan


putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat dan yang tidak lagi
terbuka untuk mengajukan perlawanan dapat ditinjau kembali atas
permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak didalam
perkara yang telah diputus dan dimintakan peninjauan kembali.26 Lalu
pengaturan saat ini mengenai peninjauan kembali diatur dalam UU
No.14 Tahun 1985, dari Pasal 66-77.

Pada Pasal 28 ayat 1c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985


dinyatakan, bahwa Mahkamah Agung bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.27
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja (
Pasal 66 ayat 1 UU No.14 Tahun 1985) dan dapat dicabut sebelum
diputus, serta tidak dapat diajukan kembali ( Pasal 66 ayat 3 UU No.14
Tahun 1985). Permohonan peninjauan kembali juga tidak
memberhentikan pelaksanaan putusan pengadilan.28 Surat permohonan
untuk peninjauan kembali sebaiknya dibuat secara jelas dan lengkap,
dan hendaknya tidak dibuat ala kadarnya saja.

Permohonan peninjuan kembali diajukan oleh para pihak yang


berperkara atau ahli warisnya atau wakilnya yang secara khusus
dikuasakan, apabila pihak pemohon meninggal dunia, maka ahli waris
dapat melanjutkannya ( Pasal 68 UU No. 14 tahun 1985). Pihak ketiga
yang tidak sebagai pihak dalam perkara perdata yang putusannya telah
memiliki hukum tetap, maka tidak dapat mengajukan permohonan
peninjauan kembali.29 Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan
baik secara tertulis maupun lisan ( Pasal 71 UU No.14 Tahun 1985)
kepada Mahkamah Agung yang memutus perkara dalam tingkat
pertama ( Pasal 70 UU No.14 Tahun 1985). Dalam waktu 14 hari
setelah Ketua Pengadilan Negeri memutus perkara dalam tingkat
pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka panitera
25
Ibid,hlm.193.
26
Bambang Sugeng,Op.Cit.,hlm.97.
27
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985,Ps.18 ayat 1c.
28
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.196.
29
Ibid,hlm.197.
10

mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan.30 Tenggang


waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya, adalah 30 hari
setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali
( Pasal 72 ayat 2 UU No.14 Tahun 1985). Apabila diajukan terlambat,
maka jawaban pihak lain akan dikesampingkan.

Berdasarkan Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985, alasan-alsan


untuk dapat putusan melakukan peninjauan kembali adalah sebagai
berikut :31

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu


muslihay pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus atau didasarkan pada buti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu. Dengan kata lain, putusan yang
didasari atas kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui oleh pemohon setelah perkara tersebut diputus, akan
tetapi seandainya kebohongan atau tipu muslihay pihak lawan
sudah diketahui sewaktu perkara sedang diperiksa di
Pengadilan Negeri, maka hal itu tidak bisa diajukan sebagai
alasan peninjauan kembali. Sesungguhnya lebih mudah, jika
putusan yang salah itu didasarkan atas bukti yang kemudian
oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara pidana
tersebut dinyakan palsu. Mengenai hal ini sebaiknya pemohon
peninjauan kembali yang hendak mengajukan alasan tersebut
harus berhati-hati untuk menunggu terlebih dahulu sampai
putusan yang menyatakan bahwa bukti yang dipakai sebagai
dasar putusan perkara perdata yang dimohon agar ditinjau
kembali, sudah berkekuatan hukum tetap. Hal ini disebabkan
dalam tenggang waktu 180 hari, baru dihitung sejak putusan
hakim pidana yang memperoleh kekuatan hukum tetap telah
diberitahukan kepada para pihak yang berperkara (Pasal 69 UU
No.14 tahun 1985).
30
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.255.
31
Retnowulan Sutantion & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.198-202.
11

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemuka surat-surat bukti


yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat ditemukan. Surat yang telah ditemukan, sebaiknya
jangan telalu terburu-buru untuk diajukan peninjauan kembali.
Dikarenakan Pasal 69 huruf b UU No.14 Tahun 1985, hari
diketemukannya surat tersebut harus dinyatakan dibawah
sumpah dan disahkan oleh penjabat yang berwenang, yaitu
camat atau panieta Pengadilan Negeri serta menjelaskan bahwa
telah diketemukannya surat tersebut.

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau


lebih daripada yang dituntut. Hal ini berdasarkan dari Pasal 178
ayat 3 HIR yang dimana menyatakan, bahwa “Ia dilarang
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau
meluluskan lebih dari apa yang dituntut.”

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus


tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. Apabila putusan
tersebut adalah putusan Pengadilan Negeri atau putusan
Pengadilan Tinggi, maka sudah tentu pihak yang bersangkutan
telah mengajukan hal tersebut dalam memori banding atau
memori kasasinya. Dalam memori kasasi atau memori
bandingnya sudah dikemukakan, tetapi dikarenakan
permohonan banding atau permohonan kasasinya secara
terlambat diajukan dan telah dinyatakan diterima, maka putusan
yang bersangkutan belum diperbaiki. Dikarenakan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut
masih dapat diajukan permohonan peninjauan kembali.

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal


yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama
atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang
12

bertentangan satu dengan yang lain. Jadi dalam pengadilan


yang sama, penggugat dan tergugat mengajukan suatu perkara
dan putusan pertama memenangkan penggugat, tetapi di
putusan yang lain memenangkan tergutat.

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim


atau suatu kekeliruan yang nyata.

1.1.2.2 Perlawanan Pihak Ketiga32

Pada asasnya suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak


yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga ( Pasal 1917 BW).
Tetapi, terdapat pula pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan oleh
suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan
ini ( Pasal 378 Rv). Perlawanan pihak ketiga diajuan oleh orang yang
semula bukan merupakan pihak dalam perkara yang bersangkutan,
akan tetapi oleh karena ia adalah pemilik barang yang akan dilelanh
atau akan diserahkan kepada penggugat, jadi oleh karena barang itu
adalah miliknya dan bukan milik tergugat, maka ia mengajukan upaya
hukum tersebut.

Disamping perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial,


terdapat juga dikenal perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan.
Tetapi terhadap sita jaminan, perlawanan ini bukanlah merupakan
upaya hukum luar biasa. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita
eksekutorial terdapat pada Pasal 208 jo. Pasal 207 HIR. Perlawanan
terhadap sita conservatoir harus diperkenankan oleh karena dibutuhkan
dalam praktik, hal ini dikarenakan pelawan harus benar-benar
mempunyai kepentingan atau hak milik atas benda tersebut untuk
meminta diangkatnya sita tersebut karena sita tersebut merugikan
haknya.

Pihak ketiga yang melakukan perlawanan disebut sebagai


pelawan, sedangkan untuk penggugat semula yang berdasarkan
32
Ibid,hlm.142-146,174-180.
13

permohononan sita disebut sebagai terlawan penyita, dan terakhir


tergugat semula disebur sebagai terlawan tersita. Perlawanan yang
dilakukan oleh istri tergugat semula atas dasar bahwa barang disita
untuk pembayaran utang suaminya itu merupakan barang gonogini,
tidak dibenarkan dan dapat ditolak. Berbeda dengan barang harta
asalnya, apabila ia dapat membuktikannya, maka barang tersebut benar
barang asalnya.

Peminjam uang juga tidak dapat dikatakan sebagai pihak ketiga


yang dapat melakukan perlawanan. Perlawanan pihak ketiga dapat
menganggap dirinya sebagai pemilik atas dasar perjanjian utang
piutang dengan atas klausal kepemilikan setelah adanya ijab kabul atau
serah terima, barulah pengadilan sksn membenarkannya.

Pada pemeriksaan dan memutus perkara perlawanan dilakukan


dengan acara biasa sedang dasar pengajuan berpedoman kepada pasal-
pasal Rv yang mengatur persoalan tersebut. Cara pengajuan
perlawanan dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan ( Pasal 195 ayat
7 HIR). Perlawanan diajukan ke Pengadilan Negeri yang mengajukan
eksekusi ( Pasal 195 ayat 6 HIR). Pengajuan yang terlambat , maka
dianggap perlawanan yang diajukan tidaklah berhasil33 Barang yang
telah dilelang atau akan tetap disita, akan tetap jadi pemilik baru yang
telah memiliki hak milik dan bukan pelawan. Jika ingin mengajukan
gugatan ganti rugi, dapat memintanya kepada tergugat semula, yaitu
orang yang merugikan pelawan. Eksekusi tidak ditangguhkan dalam
perlawanan.

Permohonan yang dimohon oleh pelawan dalam perlawanannya


adalah :

a. Agar dinyatakan bahwa perlawanan tersebut beralasan dan


tepat;
b. Agar dinyatakan bahwa pelawan adalah pelawan yang benar
c. Agar sita jaminan atau sita eksekutorial yang bersangkutan
diperintahkan untuk diangkat;

33
Putusan Mahkamah Agung No.1281 K/Sip/1980.
14

d. Agar para terlawan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Jika pelawan berhasil membuktikan, maka keempat hal tersebut


Akan dikabulkan oleh pengadilan. Jika tidak berhasil membuktiikan,
maka keempat hal tersebut dianggap tidak beralasan dan pelawan tidak
akan dianggap sebagai pelawan yang benar, serta dituntut unt
membayar pekara.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU

Anita Afriana & Rai Mantili. 2015. Buku Ajar Hukum Acara Perdata. Bandung: Kalam
Media.

Bambang Sugeng & Sujayadi. 2015. ,Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi,Cet.III. Jakarta: Kencana.

Sudikno Mertokusumo. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pusaka.

Supomo. 1958. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Penerbit Fasco.

Retnowulan Sutanto & Iskandar Oeripkartawinata. 2009. Hukum Acara Perdata Dalam Teori
Dan Praktik,Cet.II. Bandung: Mandar Maju.

Wirjono Prodjodikoro. 1970. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985.

Undang-Undang No.20 Tahun 1947.

C. Putusan Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Agung No.1281 K/Sip/1980. n.d.

Anda mungkin juga menyukai