TUGAS KELOMPOK
Oleh :
Farah Azzahra Reynaldi (110110180317)
Vidya Khairina Utami (110110180320)
Dosen Pengajar :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
1
BAB I
JAWABAN, REPLIK, DUPLIK, EKSEPSI, DAN
REKOVENSI
1.1 Jawaban
Pada HIR dan Rbg tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai wajibnya
tergugat untuk menjawab gugatan penggugat, meskipun hanya tercantum
dalam Pasal 121 ayat 2 HIR dan Pasal 145 ayat 2 Rbg mengenai tergugat yang
dapat menjawabnya, baik secara lisan maupun tertulis. 1 Meskipun begitu
dalam pemeriksaan perkara di persidangan jawab menjawab antar kedua belah
pihak merupakan hal yang sangat penting, namun dapat dikatakan bahwa apa
yang diucapkan oleh tergugat adalah sasaran penggugat.Sehingga dapat
dikatakan bahwa jawab tergugat yang mendapat tempat pertama.2
1
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Cet.V,(Yogyakarta : Cahaya Atma
Pusaka,2013), hlm.126.
2
Bambang Sugeng & Sujayadi,Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi,Cet III,(Jakarta : Kencana,2015),hlm.49
3
Ibid,hlm.50
4
Rai Mantili & Anita Afriana,Buku Ajar Hukum Acara Perdata,(Bandung:Kalam
Media,2015),hlm.25
2
Pengakuan dalam hal ini membenarkan isi gugatan, baik untuk sebagian
maupun untuk seluruhnya.5 Dengan kata lain, pengakuan merupakan jawaban
yang membenarkan isi gugatan, artinya apa yang digugatkan kepada tergugat
diakui kebenarannya.6 Tergugat tetap terikat dengan pengakuan itu hingga
sampai ke tingkat banding atau tidak dapat ditarik kembali.
5
Sudikno Mertokusumo,loc.cit.
6
Bambang Sugeng & Sujayadi, loc.cit.
7
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit,hlm.127.
8
Bambang Sugeng & Sujayadi,loc.cit.
9
Supomo,Hukum Acara Peradilan Perdata Pengadilan Negeri,( Jakarta : Fasco,1958),hlm.66.
3
1.2 Eksepsi
10
Ibid, hlm.79.
11
Rai Mantili & Anita Afriana,loc.cit.
12
Zainal Asikin,Hukum Acara Perdata Indonesia,(Jakarta : Prenadamedia,2018), hlm.92.
13
Ibid,hlm.93.
4
14
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.26
15
Ibid
16
Istijab,Hukum Acara Dalam Praktek,(Pasuruan :Qiara Media,2019),hlm.76.
17
Ibid.
5
Menurut Pasal 136 HIR dan Pasal 162 Rbg, jawaban yang berisikan
tangkisan, kecuali tangkisan tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh
dimajukan dan dipertimbangkan terpisah, tetapi diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkara. Pandangan dari Wirjono Prodjodikro
dengan Supomo atas Pasal 136 HIR mengalami perbedaan yang signifikan.
Menurut Wirjono Prodjodikro, bahwa Pasal 136 HIR hanyalah anjuran saja
dan tidak ada sanksi.18 Sedangkan menurut Supomo, hanya untuk menghindari
kembatan yang tidak perlu atau dibuat-buat.19 Jawaban tergugat dalam hal ini
untuk mempermudah, dapat dilakukan denga cara tidak dipisah-pisahkan, hal
ini dikarenakan untuk mencegah kerugian dalam pihak penggugat. Pasal 113
Rv juga mensyaratkan mengenai bantahan tergugat itu disertai alasan-alasan.
Maka dalam hal ini, hakim juga dapat mengesampingkan bantahan yang
dikemukakan oleh tergugat apabila tidak cukup beralasan sesuai dengan
putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 1 April 1938.20
1.5 Rekonvensi
Rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan 132 b HIR yang disisipkan
dalam HIR dengan S.1927-300 yang diambil alih dari Pasal 244-247 Rv. Pada
hukum acara perdata rekonvensi merupakan gugatan, yaitu gugat balik. Gugat
balik merupakan ketika seorang tergugat ingin menggugat penggugat dalam
suatu perkara yang terpisah dari perkara yang sebelumnya antara penggugat
dan tergugat, dengan kata lain kedudukan penggugat sebelumnya pada
gugatan pertama atau gugatan konvensi menjadi tergugat dalam gugat
21
rekonvensi. Rekonvensi dapat terjadi apabila dilakukan dengan adanya
18
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Acara Perdata di Indonesia,(Bandung :Sumur ,1980),hlm.45
19
Supomo,Op.Cit.,hlm.71.
20
Ibid,hlm.66.
21
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.130.
6
22
Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,Cet.VIII,
(Jakarta : Kencana,2016),hlm.56
23
Ibid,hlm.57.
24
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.133.
7
Menurut ketentuan dalam Pasal 132 a HIR dan Pasal 157 Rbg dalam setiap
gugatan tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali
dalam tiga hal, yaitu :25
1. Penggugat dalam kualitas yang berbeda.
Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penguggat bertindak
dalam suatu kualitas, sedagkan rekonvensi ditujukan kepada dirinya
atau sebaliknya. Dengan kata lain, penggugat dalam konvensi tidak
boleh digugat dengan rekonvensi apabila penggugat bukan mewakili
dirinya sendiri. Seperti contohnya, pada PT. Sabang Salomon yang
mempunyai direktur bernama Faisal menggugat Abdul Wahid. Pada
jawaban pertama tergugat Abdul Wahid mengajukan rekonvensi
terhadap penggugat Faisal sebagai dirinya pribadi. Dalam hal ini tidak
diperbolehkan dikarenakan Faisal bertindak atas nama badan hukum.
25
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.28-29.
8
26
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.132.
9
BAB II
ACARA ISTIMEWA DAN ACARA DENGAN TIGA
PIHAK
Apabila terdapat pihak tergugat atau pihak penggugat yang tidak dapat
menghadiri sidang yang telah ditentukan harinya untuk mengadili perkara
tertentu, dan tidak pula menghadirkan wakil dari pihak yang berperkara untuk
menghadap sidang yang telah ditentukan, maka akan berlaku acara istimewa
dan bukan acara biasa. 28 Acara istimewa diatur didalam Pasal 124 dan Pasal
125 HIR. Sehingga dengan kata lain, apabila penggugat dan tergugat hadir
dalam sidang tersebut, maka berlakulah acara biasa dan bukan acara istimewa.
Pada acara istimewa, dibagi lagi menjadi gugur dan perstek. Pada gugur,
dalam hal ini yang tidak dapat hadir adalah penggugat, sedangkan perstek
yang tidak dapat hadir adalah tergugat.
27
Bambang Sugeng & Sujayadi, Op.Cit.,hlm.29
28
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan
Praktek,Cet.XI,(Bandung : Mandar Maju,2009),hlm.22.
10
2.1.1 Gugur
Patut dalam hal ini adalah pemanggilan yang dilakukan oleh juru
sita haruslah sesuai dengan cara pemanggilan yang ada menurut undang-
undang. Hakim dalam hal ini harus terlebih dahulu dengan teliti
memeriksa berita acara pemanggilan pihak-pihak, apabila tidak patut maka
hakim dapat memutuskan bahwa biaya pemanggilan yang tidak sah
menjadi tanggungan dari juru sita atau bahkan dengan tindakan
administratif. Selain itu, apabila berita acara dikerjakan dengan patut,
seksama dan seandainya pemanggilan dilakukan secara semena-mena,
hakim tidak dapat mengugurkan gugatan tetapi akan menyuruh juru sita
untuk memangil penggugat sekali lagi dikarenakan keteledoran dari juru
sita.29
29
Ibid,hlm.23.
11
2.1.2 Verstek
30
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.30.
31
Bambang Sugeng & Sujayadi,Op.Cit,hlm.31.
12
32
Ibid,hlm.32.
33
Ibid
13
34
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.31.
35
Ibid
36
Bambang Sugeng & Sujayadi,Op.Cit,hlm.38.
14
Menurut Pasal 393 ayat 2 HIR, bahwa hakim pengadilan negeri apabila
menganggap perlu dan benar-benar dibutuhkan dalam praktek, dapat
mengambilalih bentuk-bentuk yang tidak terdapat dan diatur dalam HIR,
seperti: Tussekoms,Voeging, dan vrijawing. Maka berdasarkan hal tersebut,
maka macam-macam intervensi, yaitu sebagai berikut :39
1. Tussenkoms ( Menengahi)
Tussenkoms merupakan pihak ketiga mencampuri urusan perkara
atas kemauannya sendiri untuk ikut kedalam proses pengadilan tanpa
memihak tergugat ataupun penggugat, melainkan hanya
37
UU Nomor 20 Tahun 1947,Ps.8.
38
Abdul Manan,Op.Cit.,hlm.60.
39
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.32-35.
15
40
Abdul Manan,loc.cit.
41
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.34.
16
2. Voeging (Menyertai)
Voeging merupakan penggabungan pihak ketiga yang merasa
berkepentingan, lalu mengajukan permohonan kepada majelis agar
diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin
menggabungkan diri kepada salah satu pihak, penggugat atau
tergugat.42 Dengan kata lain, voeging memihak kepada salah satu pihak
yang bersangkutan, berbeda dengan tussenkomst yang tidak memihak.
3. Vrijwaring ( penjaminan)
Vrijwaring yang diatur dalam Pasal 70-76 Rv bukanlah sebuah
intervensi, tetapi sebagai aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat
untuk menarik pihak ketiga kedalam perkara yang sedang berlangsung
guna menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan
penggugat.43 Tujuan ditariknya pihak ketiga adalah dapat
42
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.53.
43
Abdul Manan,Op.cit.,hlm.64.
17
BAB III
PEMBUKTIAN
44
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.51.
18
Andi Hamzah juga memberikan Batasan atas bukti dan alat bukti yang
dikutip dalam buku Prof. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H, yakni : “Bukti
adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian, atau
dakwaan. ALat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang
diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara
pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa,
kesaksian, keterangan ahli, saurat dan petunjuk, dalam perkara perdata
termasuk persangkaan dan sumpah.”
48
Ibid,hlm. 29-30.
20
49
Ibid,hlm. 36-38
21
c. Asas Negative Non Sunt Probanda yang berarti sesuatu yang negative
sukar untuk dibuktikan.
d. Asas Omkering van bewijstlast yang berarti beban pembuktian terbalik
atau tanggung jawab secara multak (Strict Liability)
e. Audi et Alteram Partem yang berarti kedua pihak memiliki kesetaraan di
mata hakim dalam hal memenangkan pengadilan.
f. Asas Acta Publica Probant Sese Ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya
tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang telah ditentukan
maka akta itu berlaku atau dapat dainggap sebagai akta otentik sampai
penemuan berikutnya.
g. Testimonium de auditu Merupakan asas dalam pembuktian dengan
menggunakan alat bukti kesaksian. Namun yurisprudensi MA telah
mengatakan bahwa keterangan saksi de auditu bukan merupakan alat
bukti.
h. Unus testis nullus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi. Artinya
satu alat bukti saja tidak dapat menjamin kebeanarn suatu peristiwa atau
adanya hak.
50
Ibid,hlm. 30-32.
22
A. BUKU
Abdul Manan. 2016. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama,Cet.VIII. Jakarta: Kencana.
Bambang Sugeng & Sujayadi. 2015. ,Pengantar Hukum Acara Perdata dan
Contoh Dokumen Litigasi,Cet.III. Jakarta: Kencana.
Efa Laela Fakhriah. 2019. Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia.
Bandung: Mandar Maju.
Efa Laela Fakhriah. 2017. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata.
Bandung: Refika Aditama.
Istijab. 2019. Hukum Acara Dalam Praktek. Pasuruan: Qiara Media.
R.Subekti. 1991. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Pramita.
Rai Mantili & Anita Afriana. 2015. Buku Ajar Hukum Acara Perdata. Bandung:
Kalam Media.
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata. 2009. Hukum Acara Perdata:
Dalam Teori dan Praktek,Cet.XI. Bandung: Mandar Maju.
Sudikno Mertokusumo. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia,Cet.V.
Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka.
Supomo. 1958. Hukum Acara Peradilan Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta:
Fasco.
Wirjono Prodjodikoro. 1980. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung:
Sumur.
Zainal Asikin. 2015. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia
Group.
B. Peraturan Perundang-Undangan
UU No.20 Tahun 1947.
2