Anda di halaman 1dari 26

MATERI VII,VIII, DAN IX

JAWABAN, REPLIK,DUPLIK, EKSEPSI,


REKOVENSI, ACARA ISTIMEWA, ACARA
DENGAN 3 PIHAK, DAN PEMBUKTIAN

TUGAS KELOMPOK

Diajukan Untuk Memperoleh Nilai Dari Mata Kuliah


“ HUKUM ACARA PERDATA G”

Oleh :
Farah Azzahra Reynaldi (110110180317)
Vidya Khairina Utami (110110180320)

Dosen Pengajar :

Prof. Dr. H. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.


Sherly Ayuna Putri, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
1

BAB I
JAWABAN, REPLIK, DUPLIK, EKSEPSI, DAN
REKOVENSI

1.1 Jawaban

Pada HIR dan Rbg tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai wajibnya
tergugat untuk menjawab gugatan penggugat, meskipun hanya tercantum
dalam Pasal 121 ayat 2 HIR dan Pasal 145 ayat 2 Rbg mengenai tergugat yang
dapat menjawabnya, baik secara lisan maupun tertulis. 1 Meskipun begitu
dalam pemeriksaan perkara di persidangan jawab menjawab antar kedua belah
pihak merupakan hal yang sangat penting, namun dapat dikatakan bahwa apa
yang diucapkan oleh tergugat adalah sasaran penggugat.Sehingga dapat
dikatakan bahwa jawab tergugat yang mendapat tempat pertama.2

Tergugat dalam hal ini, sangat diperlukan untuk dapat membalikkan


jawabannya dengan gugat balik, hal ini disebabkan kalah menangnya pihak
yang digugat tergantung pada keliahaiannya dalam membela diri. Jawaban
tergugat dapat berupa :3
1. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara,yaitu dalam bentuk
pengakuan atau bantahan terhadap pokok perkara; atau
2. Jawaban dalam bentuk tangkisan atau eksepsi, yaitu jawaban yang tidak
langsung mengenai pokok perkara. Dengan kata lain, pengadilan
mengakhiri proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa pokok
perkara.4

1
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Cet.V,(Yogyakarta : Cahaya Atma
Pusaka,2013), hlm.126.
2
Bambang Sugeng & Sujayadi,Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi,Cet III,(Jakarta : Kencana,2015),hlm.49
3
Ibid,hlm.50
4
Rai Mantili & Anita Afriana,Buku Ajar Hukum Acara Perdata,(Bandung:Kalam
Media,2015),hlm.25
2

Pengakuan dalam hal ini membenarkan isi gugatan, baik untuk sebagian
maupun untuk seluruhnya.5 Dengan kata lain, pengakuan merupakan jawaban
yang membenarkan isi gugatan, artinya apa yang digugatkan kepada tergugat
diakui kebenarannya.6 Tergugat tetap terikat dengan pengakuan itu hingga
sampai ke tingkat banding atau tidak dapat ditarik kembali.

Referte dengan pengakuan haruslah dibedakan, dikarenakan memang


keduanya bukanlah bersifat membantah tetapi memiliki isi yang berbeda.
Pengakuan sendiri merupakan jawaban yang membenarkan isi gugatan,
sedangkan referte berarti menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan
hakim, dengan kata lain dengan tidak membantah atau membenarkan gugatan
dengan diserahkan kepada hakim. Sehingga pada referte, tergugat hanya
menunggu putusan. Tetapi dalam tingkat banding, tergugat masih bisa
mengajukan bantahan.7

Bantahan merupakan pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak


mengakui apa yang digugatkan terhadap tergugat. 8 Bantahan terdiri dari
tangkisan dan sanggahan. Dalam tidak langsung mengenai pokok perkara
merupakan tangkisan, sedangkan yang langsung mengenai pokok perkara
disebut sangkalan. Tergugat juga harus mengemukakan alasan didalam
bantahannya. Alasan dalam bantahan bertujuan untuk lebih menjelaskan
dalam duduk perkaranya. Pasal 113 Rv juga mensyaratkan mengenai bantahan
tergugat itu disertai alasan-alasan. Maka dalam hal ini, hakim juga dapat
mengesampingkan bantahan yang dikemukakan oleh tergugat apabila tidak
cukup beralasan sesuai dengan putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 1 April
1938.9 Penggugat dalam hal ini juga harus membuktikan bantahan yang dibuat
oleh tergugat adalah salah atau tidak benar adanya.

5
Sudikno Mertokusumo,loc.cit.
6
Bambang Sugeng & Sujayadi, loc.cit.
7
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit,hlm.127.
8
Bambang Sugeng & Sujayadi,loc.cit.
9
Supomo,Hukum Acara Peradilan Perdata Pengadilan Negeri,( Jakarta : Fasco,1958),hlm.66.
3

1.2 Eksepsi

Eksepsi merupakan bantahan yang tidak langsung mengenai pokok


perkara sehingga disebut dengan tangkisan. Eksepsi mengandung tentang
batalnya gugatan berdasarkan dari syarat formalitas gugatan. 10 HIR pada
dasarnya hanya mengenal satu macam eksepsi, yaitu tidak berkuasanya
hakim.11 Eksepsi ini disebut dengan eksepsi prosesuil, yaitu upaya menuju
kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan diakibatkan ketidakwenangan
hakim. Eksepsi ini menyangkut mengenai kekuasaan absolut dan kekuasaan
relatif.

Eksepsi kewenangan absolut berkaitan dengan kewenangan absolut dari


empat lingkungan peradilan dan peradilan khusus, yang dimana masing-
masing mempunyai yurisdiksinya masing-masing. Sehingga yurisdiksi
masing-masing pengadilan tidak boleh dilanggar oleh yurisdiksi pengadilan
lainnya.12 Pengajuan eksepsi diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv
yang mengenai eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat
setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses pemeriksaan
dimulai, sebelum dijatuhkannya putusan di persidangan tingkat pertama.

Eksepsi kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu


pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama (Pasal 118
HIR).13Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau
berbentuk tulisan (Pasal 121,Pasal 133 HIR, Pasal 125 ayat 2 Rv). Pengajuan
eksepsi kewenangan relatif juga harus disampaikan pada sidang pertama dan
bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap pokok perkara
( Pasal 125 ayat 2 dan Pasal 133 HIR). Tidak terpenuhinya syarat tersebut,
mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi gugur.

10
Ibid, hlm.79.
11
Rai Mantili & Anita Afriana,loc.cit.
12
Zainal Asikin,Hukum Acara Perdata Indonesia,(Jakarta : Prenadamedia,2018), hlm.92.
13
Ibid,hlm.93.
4

Eksepsi tolak (eksepsi declatoir) merupakan tangkisan yang bersifat


mengelakkan, yaitu pemeriksaan perkara supaya tidak diteruskan. Seperti
contohnya, pada eksepsi batalnya gugatan, eksepsi tidak berwenang
memeriksa gugatan, eksepsi perkara telah diputus, eksepsi penggugat tidak
pernah mengajukan, dan eksepsi tidak mungkin naik banding.14

Eksepsi materiil merupakan tangkisan yang didasarkan pada ketentuan


hukum materiil.Seperti pada eksepsi tunda (dilatoir exceptie),yaitu eksepsi
yang bersifat menunda diteruskannya perkara.Jenis dari eksepsi tunda, yaitu
eksepsi karena ada penundaan pembayaran penggugat sehingga tuntutan
penguggat belum bisa dikabulkan. Lalu terjadi pada eksepsi halang, yaitu
eksepsi yang bersifat menghalangi dikabulkannya gugatan penggugat, yang
telah mendekati pokok perkara. Jenis dari eksepsi halang, yaitu eksepsi
tentang lampau waktu dan eksepsi tentang penghapusan hutang.15

1.3 Replik dan Duplik

Pada sidang ketiga, penggugat menyerahkan replik setelah tergugat


memberikan jawaban dalam bentuk tertulis. .Replik merupakan tanggapan
penggugat terhadap jawaban tergugat.16 Replik dibuat salinannya dan
diberikan kepada hakim, tergugat serta disimpan untuk penggugat sendiri.
Duplik diadakan dalam sidang keempat, tergugat menyerahkan duplik, yaitu
merupakan tanggapan tergugat atas replik dari penggugat.17 Jawab menjawab
tertulis ini sekurang-kurangnya akan berlangsung sampai tiga kali
persidangan, lain halnya dengan lisan yang akan berlangsung lebih cepat.

14
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.26
15
Ibid
16
Istijab,Hukum Acara Dalam Praktek,(Pasuruan :Qiara Media,2019),hlm.76.
17
Ibid.
5

1.4 Cara Mengajukan Jawaban

Menurut Pasal 136 HIR dan Pasal 162 Rbg, jawaban yang berisikan
tangkisan, kecuali tangkisan tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh
dimajukan dan dipertimbangkan terpisah, tetapi diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkara. Pandangan dari Wirjono Prodjodikro
dengan Supomo atas Pasal 136 HIR mengalami perbedaan yang signifikan.
Menurut Wirjono Prodjodikro, bahwa Pasal 136 HIR hanyalah anjuran saja
dan tidak ada sanksi.18 Sedangkan menurut Supomo, hanya untuk menghindari
kembatan yang tidak perlu atau dibuat-buat.19 Jawaban tergugat dalam hal ini
untuk mempermudah, dapat dilakukan denga cara tidak dipisah-pisahkan, hal
ini dikarenakan untuk mencegah kerugian dalam pihak penggugat. Pasal 113
Rv juga mensyaratkan mengenai bantahan tergugat itu disertai alasan-alasan.
Maka dalam hal ini, hakim juga dapat mengesampingkan bantahan yang
dikemukakan oleh tergugat apabila tidak cukup beralasan sesuai dengan
putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 1 April 1938.20

1.5 Rekonvensi

Rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan 132 b HIR yang disisipkan
dalam HIR dengan S.1927-300 yang diambil alih dari Pasal 244-247 Rv. Pada
hukum acara perdata rekonvensi merupakan gugatan, yaitu gugat balik. Gugat
balik merupakan ketika seorang tergugat ingin menggugat penggugat dalam
suatu perkara yang terpisah dari perkara yang sebelumnya antara penggugat
dan tergugat, dengan kata lain kedudukan penggugat sebelumnya pada
gugatan pertama atau gugatan konvensi menjadi tergugat dalam gugat
21
rekonvensi. Rekonvensi dapat terjadi apabila dilakukan dengan adanya

18
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Acara Perdata di Indonesia,(Bandung :Sumur ,1980),hlm.45
19
Supomo,Op.Cit.,hlm.71.
20
Ibid,hlm.66.
21
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.130.
6

hubungan dengan gugatan konvensi, dengan kata lain mempunyai dasar


hubungan yang sama.

Tujuan dari rekonvensi merupakan sebagai pengimbang gugatan


penggugat, sehingga dapat diperiksa sekaligus.22 Dengan kata lain, untuk
menggabungan dua tuntutan yang bertujuan untuk menghemat biaya,
mempermudah prosedur, dan menghindari putusan-putusan yang bertentangan
satu sama lain. Rekonvensi dalam hal ini dapat menguntungkan bagi tergugat
dalam gugat konvensi, untuk tidak mewajibkan membayar biaya perkara.
Bahkan apabila dikabulkan untuk digabungkan, maka tergugat dalam
konvensi tidak perlu wajib membayar uang terlebih dahulu kepada penggugat
dalam konvens untuk memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan putusan,
sehingga dapat diperhitungkan kembali jumlah uang yang harus
dibayarkannya berdasarkan perhitungan hutang dari gugatan rekonvensi.

Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban


pertama yang diajukan oleh tergugat, baik secara tertulis maupun lisan.23 Jika
berdasarkan tulisan, maka jawaban tergugat terhadap penggugat sekaligus
dalam diformulasikan gugatan rekonvensi sebagaimana lazimnya membuat
surat gugat, sedangkan apabila lisan dapat diajukan dengan penyampaian
secara rinci peristiwanya hukum yang dijadikan tuntutan dan dicatat oleh
panitera pada Berita Acara Sidang. Hakim dalam yang menangani gugatan
rekonvensi juga harus yang menangani gugatan konvensi, meskipun hakim
dapat memisahkan kedua gugatan. 24 Bukan berarti rekonvensi harus diberikan
pada sidang pertama, bisa saja diberikan pada saat duplik, asalkan sebelum
dimulainya pembuktian. Hakim juga harus dapat membedakan rekonvensi
dengan syarat. Menurut Pasal 132 a HIR dan Pasal 157 ayat 2 Rbg, apabila

22
Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,Cet.VIII,
(Jakarta : Kencana,2016),hlm.56
23
Ibid,hlm.57.
24
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.133.
7

dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukannya konvensi, maka pada


tingkat banding tidak diperbolehkan mengajukan tuntutan.

Menurut ketentuan dalam Pasal 132 a HIR dan Pasal 157 Rbg dalam setiap
gugatan tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali
dalam tiga hal, yaitu :25
1. Penggugat dalam kualitas yang berbeda.
Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penguggat bertindak
dalam suatu kualitas, sedagkan rekonvensi ditujukan kepada dirinya
atau sebaliknya. Dengan kata lain, penggugat dalam konvensi tidak
boleh digugat dengan rekonvensi apabila penggugat bukan mewakili
dirinya sendiri. Seperti contohnya, pada PT. Sabang Salomon yang
mempunyai direktur bernama Faisal menggugat Abdul Wahid. Pada
jawaban pertama tergugat Abdul Wahid mengajukan rekonvensi
terhadap penggugat Faisal sebagai dirinya pribadi. Dalam hal ini tidak
diperbolehkan dikarenakan Faisal bertindak atas nama badan hukum.

2. Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa


gugatan rekonvensi
Pengadilan negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak
berwenang untuk memeriksa gugatan rekonvensi. Seperti contohnya
terjadi pada Pengadilan Agama, yang tidak mempunyai wewenang
secara mutlak dalam memeriksa utang piutang yang dalam gugatan
konvensinya memeriksa gugatan perceraian.
3. Perkara mengenai pelaksanaan putusan
Gugatan rekonvensi tidak boleh dilakukan dalam hal pelaksanaan
keputusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Dengan kata lain, tidak dapat dilakukan penetapan hak lagi
dikarenakan sudah diputus perkaranya yang sehingga tinggal

25
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.28-29.
8

melakukan pelaksanaan dari putusan tersebut. Apabila tetap ada


rekonvensi yang diajukan, maka harus ditolak oleh hakim.

Rv dalam hal ini menambah mengenai pengecualian diajukannya


rekonvensi, seperti pada penguasaan yang sedangkan rekonvensi dapat
dilakukan apabila mengenai tuntutan tentang eigendom ( Pasal 244
No.3 Rv). Dengan kata lain, tidaklah tepat rekonvensi yang tunduk
pada acara biasa, diperbolehkan teerhadap tuntutan konvensi yang oleh
undang-undang ditentukan untuk diperiksa dengan acara khusus yang
menyimpang dari acara biasa, misalnya seseorang yang tergugat dalam
gugat cerai tidak dapat mengajukan gugatan rekonvensi mengenai
pemutuan dalam perjanjian.26

26
Sudikno Mertokusumo,Op.Cit.,hlm.132.
9

BAB II
ACARA ISTIMEWA DAN ACARA DENGAN TIGA
PIHAK

2.1 Acara Istimewa

Pemanggilan terhadap tergugat dan penggugat yang diperintahkan oleh


Ketua Majelis Hakim yang dengan menetapkan hari sidang pertama, lalu
menyuruh panitera untuk memberitahukan kepada juru sita untuk melakukan
pemanggilan kepada para pihak dengan cara yang patut. Juru sita melakukan
pemanggilan dengan membuat berita acara pemanggilan yang dilakukan
terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah dengan memperhatikan
tenggang waktu tidak boleh kurang dari tiga hari kerja yang diatur dalam Pasal
122 HIR. Apabila pemanggilan dilakukan dengan cara yang tidak patut
menurut undang-undang, maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang dipanggil
untuk menghadiri sidang.27

Apabila terdapat pihak tergugat atau pihak penggugat yang tidak dapat
menghadiri sidang yang telah ditentukan harinya untuk mengadili perkara
tertentu, dan tidak pula menghadirkan wakil dari pihak yang berperkara untuk
menghadap sidang yang telah ditentukan, maka akan berlaku acara istimewa
dan bukan acara biasa. 28 Acara istimewa diatur didalam Pasal 124 dan Pasal
125 HIR. Sehingga dengan kata lain, apabila penggugat dan tergugat hadir
dalam sidang tersebut, maka berlakulah acara biasa dan bukan acara istimewa.
Pada acara istimewa, dibagi lagi menjadi gugur dan perstek. Pada gugur,
dalam hal ini yang tidak dapat hadir adalah penggugat, sedangkan perstek
yang tidak dapat hadir adalah tergugat.

27
Bambang Sugeng & Sujayadi, Op.Cit.,hlm.29
28
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata: Dalam Teori dan
Praktek,Cet.XI,(Bandung : Mandar Maju,2009),hlm.22.
10

2.1.1 Gugur

Menurut Pasal 124 HIR yang mengatur mengenai perihal gugur,


yaitu :

“Jika penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang


ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula
menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat
gugatannya dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara;
akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi,
sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.”

Patut dalam hal ini adalah pemanggilan yang dilakukan oleh juru
sita haruslah sesuai dengan cara pemanggilan yang ada menurut undang-
undang. Hakim dalam hal ini harus terlebih dahulu dengan teliti
memeriksa berita acara pemanggilan pihak-pihak, apabila tidak patut maka
hakim dapat memutuskan bahwa biaya pemanggilan yang tidak sah
menjadi tanggungan dari juru sita atau bahkan dengan tindakan
administratif. Selain itu, apabila berita acara dikerjakan dengan patut,
seksama dan seandainya pemanggilan dilakukan secara semena-mena,
hakim tidak dapat mengugurkan gugatan tetapi akan menyuruh juru sita
untuk memangil penggugat sekali lagi dikarenakan keteledoran dari juru
sita.29

Pihak penggugat yang telah dipanggil dengan patut, tetapi tetap


tidak bisa hadir tetapi mendatangkan wakil atau surat yang menyatakan
bahwa pihak penggugat berhalangan secara sah atau dengan mengutus
wakilnya tetapi surat kuasa yang diberikan kepada wakilnya tidak

29
Ibid,hlm.23.
11

memenuhi persyaratan, maka hakim dapat mengundurkan sidang tanpa


mengugurkan gugatan.30

Jika terjadi suatu kendala dengan penggugat,yaitu wafat dan telah


dipanggil untuk hadir sidang secara patut, sehingga tidak dapat menghadiri
persidangan. Maka dalam hal ini ahli warisnya dapat dipanggil atau
diberitahukan sendiri oleh ahli waris untuk melanjutkan atau mencabut
gugatan, sehingga membuat ahli waris tersebut menjadi penggugat. Jika
terdapat diantara para ahli waris yang tidak ingin ikut menggugat, dapat
diikutsertakan sebagai turut tergugat agar gugat tidak dinyatakan tidak
diterima. Apabila kematian atau wafat penggugat tidak diinformasikan
oleh ahli waris terhadap pengadilan, maka dengan ketidaktahuan
pengadilan dapat menyebabkan gugurnya gugatan.31

Gugurnya gugatan dibuat sebuah surat putusan dan dengan


keharusan penggugat sebagai hukuman untuk membayar biaya perkara.
Hal ini bukan berarti penggugat tidak dapat mengajukan kembali
perkaranya, tetapi setelah dilakukan pembayaran dapat mengajukan
gugatannya sekali lagi, setelah dilakukan pembayaran persekot. Perkara
yang digugurkan bukan berarti pokok persoalan atau pokok perkara
ditolak, hal ini dikarenakan pokok perkara tersebut belum diperiksa.

2.1.2 Verstek

Pasal 125 ayat 1 HIR mengatur persoalan mengenai verstek, yang


berbunyi :
“ Jikalau si tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak
menghadap pada hari yang ditentukan, dan tidak juga menyuruh
orang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatan itu diterima

30
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.30.
31
Bambang Sugeng & Sujayadi,Op.Cit,hlm.31.
12

dengan keputusan tidak hadir, kecuali jika nyata kepada pengadilan


negeri bahwa gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.”

Verstek merupakan pernyataan bahwa tergugat tidak hadir,


meskipun tergugat menurut hukum acara diharuskan untuk hadir.32 Pada
hal ini berlaku apabila tergugat tidak datang menghadap pada sidang
pertama dan sudah diundur sesuai dengan Pasal 126 HIR, dan pihak
tergugat dan wakilnya tidak datang menghadap lagi.

Sedangkan dengan tergugat atau wakilnya tidak hadir pada sidang


pertama, lalu hakim mengundurkannya sesuai dengan Pasal 126 HIR.
Sidang kedua, tergugat hadir, tetapi pada sidang ketiga tergugat tidak
menghadiri lagi, maka perkara diperiksa secara acara biasa dan putusan
dijatuhkan secara dictoir atau perlawanan. Tetapi berbeda ketika dalam
pemeriksaan terdapat seseorang atau lebih tergugat hadir dalam sidang
pemeriksaan perkara, namun terdapat beberapa tergugat lainnya yang juga
tidak hadir, maka dalam hal ini harus diputus berdasarkan putusan
contradictoir dan bukan putusan verstek.33

Hakim, menurut Pasal 123 ayat 2 HIR, juga diharuskan untuk


terlebih dahulu memberi putusan tentang eksepsi dengan mendengar pihak
penggugat tentang eksepsi ini. Meskipun dalam hal ini, pihak tergugat atau
wakilnya tidak hadir, dapat dikatakan bahwa telah mengirimkan surat
jawaban berupa eksepsi yang mengenai kewenangan kekuasaan
pengadilan negeri. Jika eksepsi dibenarkan, maka hakim akan memutuskan
bahwa tergugat tidak hadir dan menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak
berwenang untuk mengadili perkara tersebut, sehingga pokok pekara tidak
diperiksa lebih lanjut.

32
Ibid,hlm.32.
33
Ibid
13

Putusan verstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan


dan kepadanya diterangkan, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan
terhadap putusan verstek tersebut terhadap pengadilan negeri yang sama
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan Pasal 129 HIR.
Pada bagian bawah surat putusan verstek, dicantumkan mengenai siapa
yang diperintahkan untuk menjalankan pemberitahuan putusan tersebut
secara lisan atau tertulis. Seperti halnya berita acara pemanggilan, surat
pemberitahuan putusan verstek dibuat oleh juru sita dan berisi keadaaan
yang benar-bernar terjadi dalam persidangan.34

Tergugat yang dikalahkan dengan putusan verstek dan tidak


menerima putusan itu dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan
itu.35 Putusan itu diberitahukan kepada tergugat sendiri bahwa perlawanan
dapat diterima dalam 14 hari sesudai pemberitahuan.Perlawanan atau
verzet terhadap putusan verstek dapat diajukan seperti mengajukan surat
gugat biasa tanpa di atas kerta materai.

Putusan yang tidak diberitahukan kepada tergugat, maka


perlawanan masih diterima sampai hari ke-8 sesudah peneguran atau tidak
hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari ke-14 untuk luar
Jawa dan Madura dan ke-8 untuk Jawa dan Madura sesuda dijalankannya
surat perintah penyitaan. Perlawanan terhadap verstek diajukan dan
diperiksa dengan cara biasa sama halnya dengan gugatan hal perdata,
ketika diajukan maka tertundalah jalannya putusan verstek, kecualikan
terdapat syarat yang berlainan. Perlawanan terhadap putusan verstek juga
dapat dilakukan sekali saja, dengan kata lain hanya untuk putusan verstek
yang pertama, sedangkan untuk yang kedua yang bersangkutan hanya
diperkenanan untuk mengajukan permohonan banding.36

34
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.31.
35
Ibid
36
Bambang Sugeng & Sujayadi,Op.Cit,hlm.38.
14

Tergugat berdasarkan Pasal 8 UU No.20 Tahun 1947 tentang


Banding, tidak diperkenankan untuk memajukan permohonan bandung,
melainkan hanya diperkenankan untuk mengajukan perlawanan terhadap
putusan verstek saja.37 Hal ini juga berlaku bagi pengugga yang telah
mengajukan permohonan banding. Putusan verstek berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan sebagai putusan yang telah mempunyai
kekuatanhukum tetap setelah permohonan banding dicabut.

2.2 Acara dengan Tiga Pihak

Intervensi diatur dalam Pasal 279-282 Rv yang sekarang sudah tidak


berlaku lagi, tetapi menurut Pasal 279 Rv tersebut, barang siapa yang
mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa didalam
pengadilan, maka yang bersangkutan dapat ikut serta dalam perkara itu dengan
menyertai atau menengahi dengan syarat yang bersangkutan harus mempunyai
kepentingan yang cukup apabila ia tidak ikut serta dalam perkara tersebut,
maka ia akan menderita rugi.38 Inisiatif dalam hal ini merupakan masuknya
pihak ketiga dalam suatu perkara dikarenakan haknya dirugikan.

Menurut Pasal 393 ayat 2 HIR, bahwa hakim pengadilan negeri apabila
menganggap perlu dan benar-benar dibutuhkan dalam praktek, dapat
mengambilalih bentuk-bentuk yang tidak terdapat dan diatur dalam HIR,
seperti: Tussekoms,Voeging, dan vrijawing. Maka berdasarkan hal tersebut,
maka macam-macam intervensi, yaitu sebagai berikut :39
1. Tussenkoms ( Menengahi)
Tussenkoms merupakan pihak ketiga mencampuri urusan perkara
atas kemauannya sendiri untuk ikut kedalam proses pengadilan tanpa
memihak tergugat ataupun penggugat, melainkan hanya
37
UU Nomor 20 Tahun 1947,Ps.8.
38
Abdul Manan,Op.Cit.,hlm.60.
39
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.32-35.
15

memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri. Ciri-ciri dari


tussenkoms adalah :40
a. Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang masuk ke dalam
perkara yang sedang berlangsung, berdiri sendiri dan bukan
perkara baru;
b. Adanya kepentingan dari pihak yang berkepentingan untuk
mencegah timbulnya kerugian atau haknya yang terancam dan
apabila dibiarkan akan bertambah rugi;
c. Pihak yang mengadakan intervensi itu melawan tergugat dan
penggugat sekaligus dan tidak memihak pada pihak manapun,
sehingga hanya membela kepentingannya sendiri;
d. Pihak yang mengadakan intervensi mengajukan gugatan secara
tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memohon diberikan
izin dalam bergabungnya pada suatu perkara yang diperiksa.

Dalam pengajuan gugatan insidentiil seperti pengajuan gugatan


biasa, dalam hal ini surat gugatan akan diputus dalam putusan sela
dengan melihat apakah yang bersangkutan diperkenankan atau
tidaknya mencampuri perkara yang sedang berjalan tersebut.Syarat
untuk dapat diterimanya tussenkomst, yaitu :41

a. Merupakan tuntutan hak;


b. Adanya kepentingan hukum dalam sengketa yang berlangsung;
c. Kepentingan tersebut harus ada hubungannya dengan pokok
sengketa yang berlansung;
d. Kepentingan tersebut semata-mata untuk mencegah kerugian atau
mempertahankan haknya.
Apabila syarat-syarat tersebut dapat dibuktikan oleh hakim dalam
persidangan, maka majelis hakim dapat memperbolehkan gugatan

40
Abdul Manan,loc.cit.
41
Rai Mantili & Anita Afriana,Op.Cit.,hlm.34.
16

intervensi pihak ketika untuk masuk ke dalam proses persidangan.


Penetapan sebagai pihak diputus dengan putusan sela.

2. Voeging (Menyertai)
Voeging merupakan penggabungan pihak ketiga yang merasa
berkepentingan, lalu mengajukan permohonan kepada majelis agar
diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin
menggabungkan diri kepada salah satu pihak, penggugat atau
tergugat.42 Dengan kata lain, voeging memihak kepada salah satu pihak
yang bersangkutan, berbeda dengan tussenkomst yang tidak memihak.

Perihal diperkenankan atau tidaknya permohonan voeging, hakim


akan mempertimbangkannya dalam putusan sela. Putusan sela yang
dibuat tidak dengan cara terpisah, tetapi merupakan bagian dari berita
acara. Putusan ini juga harus memuat terlebih dahulu “Tentang
duduknya perkara” dan “Tentang Hukumnya”. Syarat dari diterimanya
voeging, merupakan :
a. Merupakan tuntutan hak;
b. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya dengan jalan
berpihak pada salah satu pihak;
c. Kepentingan tersebut harus ada hubungan dengan pokok sengketa
yang sedang berlangsung.

3. Vrijwaring ( penjaminan)
Vrijwaring yang diatur dalam Pasal 70-76 Rv bukanlah sebuah
intervensi, tetapi sebagai aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat
untuk menarik pihak ketiga kedalam perkara yang sedang berlangsung
guna menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan
penggugat.43 Tujuan ditariknya pihak ketiga adalah dapat

42
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.53.
43
Abdul Manan,Op.cit.,hlm.64.
17

membebaskan pihak yang menariknya dari pokok sengketa yang


sedang berlangsung di pengadilan. Dengan kata lain, pihak ketiga yang
masuk bukanlah berdasarkan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas
kepentingan dari pihak tergugat atau penggugat untuk membela
kepentingannya.

Prosedur acara vrijwaring tidaklah sama dengan prosedur yang


berlaku pada Tussenkoms atau Voeging. Pengajuan permohonan
dilakukan dengan jawaban secara lisan atau tulisan kepada majelis
hakim. Majelis hakim akan diperkenankan untuk memanggil seorang
sebagai pihak yang turur berpekara dalam perkara yang sedang
diperiksa oleh majelis tersebut, guna melindungi tergugat. 44 Apabila
hakim mempertimbangkan masuknya pihak ketiga cukup beralasan,
maka ia dimasukkan sebagai pihak dalam sengketa.

BAB III
PEMBUKTIAN

44
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit.,hlm.51.
18

3.1. Pengertian Pembuktian


Mengutip dari buku Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H., 45 yang
menjabarkan pengertian Pembuktian di Hukum Acara Perdata menurut Riduan
Syahrani, Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum, kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian
tentang kebenaran suatu peristiwa yang dikemukakan. Sementara Subekti
berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti
dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan sesuai hukum acara yang
berlaku.46

Andi Hamzah juga memberikan Batasan atas bukti dan alat bukti yang
dikutip dalam buku Prof. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H, yakni : “Bukti
adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian, atau
dakwaan. ALat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang
diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara
pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa,
kesaksian, keterangan ahli, saurat dan petunjuk, dalam perkara perdata
termasuk persangkaan dan sumpah.”

Dikutip dari buku Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata


yang ditulis oleh Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H. yang mengutip
pendapat Sudikno Mertokusumo mengenai pembuktian yaitu, pembuktian
mengandung beberapa pengertian 47:
a. Membuktikan dalam arti Logis
Membuktikan dalam arti logis berarti memberi kepastian yang
bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan.
b. Membuktikan dalam arti konvensional
45
Efa Laela Fakhriah, Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : CV. Mandar
Maju, 2019),hlm. 62
46
R.Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991),hlm. 7
47
Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung : Refika
Aditama, 2017),hlm. 28
19

Membuktikan dalam arti konvensional berarti memberi kepastian


tetapi bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relative
sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan :
1) Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, karenanya
bersifat intuitif dan conviction intime.
2) Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, karena itu
disebut conviction raisonnee.
c. Membuktikan dalam arti yuridis (hukum acara perdata)
Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata),
tidak lain berarti memberi dasar- dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan.

3.2. Subjek dan Objek Pembuktian48


Pembuktian adalah tentang meyakinkan hakim mengenai kebenaran suatu
peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di
persidangan. Peristiwa-peristiwa tersebut yang dikemukakan penggugat dan
tergugat belum tentu penting bagi hakim sebagai dasar pertimbangan
putusannya, oleh karena itu masih harus disaring oleh hakim, mana yang
relevan bagi hukum dan mana yang tidak. Maka demikian, yang menjadi
objek pembuktian adaah peristiwanya, bukan hukumnya.

Hakim dalam perkara perdata, terutama harus menemukan dam


menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian
menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.
Selain peristiwa, hak juga dapat dibuktikan sebagaimana disebut dalam pasal
163 HIR (283 Rbg) yang mengatakan bahwa “…siapa yang mengaku
mempunyai hak harus membuktikannya…”. Dari peristiwa itu yang harus
dibuktikan adalah kebenarannya. Dalam acara perdata, kebenaran yang harus
dicari hakim adalah kebenaran formal, yang artinya tidak boleh melampaui

48
Ibid,hlm. 29-30.
20

batas-batas yang diajukan/dimintakan oleh pihak-pihak yang berperkara. Pasal


178 ayat (3) HIR atau 189 ayat (3) Rbg melarang hakim untuk menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak dituntut atau akan mengabulkan lebih dari
yang dituntut.

Untuk subjek pembuktian adalah para pihak yang berkepentingan dalam


perkara atau sengketa tersebut, agar gugatannya diterima atau ditolak. Pihak
yang berkepentingan adalah penggugat dan tergugat.

Dalam pembuktian di muka persidangan, tidak semua peristiwa harus


dibuktikan, ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan, yaitu :
a. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui pihak
lawan.
b. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan sidang
pengadilan.
c. Segala sesuatu yang diketahui oleh umum (peristiwa notoir)

3.3. Asas Pembuktian49


Dikatakan bahwa “Asas pembuktian itu pada dasarnya adalah segala
sesuatu yang tidak normal itulah yang seharusnya dibuktikan, sedangkan yang
normal harus dianggap sudah terbukti.” Dan “Tidak semua dalil yang menjadi
dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, dalil-dalil yag tidak disangkal
apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi.”
a. Asas Ius Curia Novit yang berarti hakim dianggap mengetahui akan
hukumnya juga berlaku dalam pembuktian, karena dalam membuktikan,
tentang hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak
tetapi dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim.
b. Pasal 163 HIR (283 Rbg) “Siapa yang mendalilkan sesuatu makai a harus
membuktikannya.”

49
Ibid,hlm. 36-38
21

c. Asas Negative Non Sunt Probanda yang berarti sesuatu yang negative
sukar untuk dibuktikan.
d. Asas Omkering van bewijstlast yang berarti beban pembuktian terbalik
atau tanggung jawab secara multak (Strict Liability)
e. Audi et Alteram Partem yang berarti kedua pihak memiliki kesetaraan di
mata hakim dalam hal memenangkan pengadilan.
f. Asas Acta Publica Probant Sese Ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya
tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang telah ditentukan
maka akta itu berlaku atau dapat dainggap sebagai akta otentik sampai
penemuan berikutnya.
g. Testimonium de auditu Merupakan asas dalam pembuktian dengan
menggunakan alat bukti kesaksian. Namun yurisprudensi MA telah
mengatakan bahwa keterangan saksi de auditu bukan merupakan alat
bukti.
h. Unus testis nullus testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi. Artinya
satu alat bukti saja tidak dapat menjamin kebeanarn suatu peristiwa atau
adanya hak.

3.4. Beban Pembuktian50


Dalam pembagian beban pembuktian dikenal asas “Siapa yang
mendalilkan sesuatu maka ia harus membuktikannya” dan asas ini tercantum
dalam pasal 163 HIR (283 Rbg). Sebuah hal yang terlihat mudah untuk
dilakukan namun pada praktiknya sungguh sulit untuk diterapkan.

Berdasarkan asas pembagian beban pembuktian, maka pada prinsipnya di


perkara perdata, penggugatlah yang pertama-tama harus dibebani pembuktian
oleh hakim, kemudian diberikan kesempatan pada tergugat untuk melakukan
pembuktian balik . Namun, pada sengketa-sengketa tertentu seperti sengketa
lingkungan hidup atau sengketa kesalahan profesi medis, asas ini tidak dapat
diberlakukan. Dalam kasus seperti ini asas pembuktian yang berlaku adalah

50
Ibid,hlm. 30-32.
22

sistem pembuktian terbalik dengan asas tanggung jawab langsung atau


tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability).

Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban


pembuktian yang bersifat pedoman bagi hakim, yakni :
1. Teori Pembuktian yang bersifat Menguatkan Belaka (Bloot Affirmatief)
Menurut teori ini, siapa yang mengemukakan sesuatu maka harus
membuktikannya, bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar
hukum dari teori ini adalah sebuah pendapat yang mengatakan bahwa hal-
hal negative tifak mungkin dibuktikan. Teori ini sekarang sudah
ditinggalkan.

2. Teori Hukum Subjektif


Dalam teori ini, proses perdata selalu merupakan pelaksanaan dari
hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan
siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai suatu hak harus
membuktikannya. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan
semuanya namun wajib membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus
yang bersifat menimbulkan hak, sedangkan tergugat harus membuktikan
tidak adanya peristiwa-peristiwa yang bersifat menggagalkan.

3. Teori Hukum Objektif


Penggugat harus membuktikan kebenaran dari peristiwa yang
diajukannya dan kemudian mencari hukum objektifnya pada peristiwa
tersebut. Hakim bertugas menerapkan hukum objektif pada peristiwa yang
diajukan oleh para pihak, dan hanya dapat mengabulkan gugatan apabila
unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada.
4. Teori Hukum Publik
Bahwa mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan
merupakan kepentingan public, maka dari itu hakim harus diberi
wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran.
23

5. Teori Hukum Acara


Asas kedudukan prosesuil yang sama bagi para pihak di muka
hakim (Audi et alteram partem) membawa akibat bahwa kemungkinan
menang bagi para pihak harus sama. Hakim harus memberi beban
pembuktian kepada dua belah pihak seimbang atau patut.
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Abdul Manan. 2016. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama,Cet.VIII. Jakarta: Kencana.
Bambang Sugeng & Sujayadi. 2015. ,Pengantar Hukum Acara Perdata dan
Contoh Dokumen Litigasi,Cet.III. Jakarta: Kencana.
Efa Laela Fakhriah. 2019. Kapita Selekta Hukum Acara Perdata Indonesia.
Bandung: Mandar Maju.
Efa Laela Fakhriah. 2017. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata.
Bandung: Refika Aditama.
Istijab. 2019. Hukum Acara Dalam Praktek. Pasuruan: Qiara Media.
R.Subekti. 1991. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Pramita.
Rai Mantili & Anita Afriana. 2015. Buku Ajar Hukum Acara Perdata. Bandung:
Kalam Media.
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata. 2009. Hukum Acara Perdata:
Dalam Teori dan Praktek,Cet.XI. Bandung: Mandar Maju.
Sudikno Mertokusumo. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia,Cet.V.
Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka.
Supomo. 1958. Hukum Acara Peradilan Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta:
Fasco.
Wirjono Prodjodikoro. 1980. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung:
Sumur.
Zainal Asikin. 2015. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia
Group.

B. Peraturan Perundang-Undangan
UU No.20 Tahun 1947.
2

Anda mungkin juga menyukai