Anda di halaman 1dari 16

”PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERSIDANGAN PERDATA“

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

HUKUM ACARA PERSIDANGAN PERDATA

Dosen Pembimbing :

Mochammad Fahd Akbar S.H M.H.

Disusun Oleh:

1. MUHAMMAD HASYIM : 1591014031


2. FARIDATUL KHASANAH : 1591014032
3. RIKA FITRIANI : 1591014033
4. IZZAL MAJDI : 1591014034
5. M. FADIL ALUSI : 1591014035

UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN HUKUM KELUARGA

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu
sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara kedua belah
pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki
nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam pembuktian itu maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat
menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun
pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan
sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Jadi pembuktian hanya diperlukan dalam
suatu perkara dimuka pengadilan. Jika tidak ada perkara atau sengketa dimuka
pengadilan mengenai hak perdata seorang.
Hukum Pembuktian ini termuat dalam HIR (pasal 162 sampai dengan 177),
RBg (pasal 282 sampai dengan 314), stb. 1867 no. 29 (tentang kekuatan pembuktian
akta dibawah tangan) dan BW buku IV (pasal 1856 sampai dengan 1945).
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan
lebih dalam mengenai pembuktian dan alat bukti sebagai salah satu tata cara dan
beracara dalam hukum acara perdata.

B. Rumusan Masalah
1. Apa dan Bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ?
2. Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?

C. Tujuan
1. Ingin mengetahui Apa dan Bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
2. Ingin mengetahui alat bukti apa saja yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pembuktian
Pembuktian dalam hukum acara perdata diatur dalam:
1. Pasal 163 HIR ditentukan bahwa:
“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu
perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain,
maka orang itu harus membuktikan adanya hak kejadian itu”
2. Pasal 1865 BW. ditentukan bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna
meneguhkan hak sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk
suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”
3. Pasal 283 RBg ditentukan bahwa:
“Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk
menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak
atau keadaan itu”
Dari beberapa bunyi pasal tentang pembuktian sebagaimana tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu pernyataan
tentang hak atau peristiwa di dalam persidangan apabila disangkal oleh pihak lawan
dalam suatu perkara, harus dibuktikan tentang kebenaran dan keabsahanya.

B. Arti Dan Sifat Pembuktian


Dalam suatu proses perdata , salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat
menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil
untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya
akan di tolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatanya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya,
sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan,
tidak perlu dibuktikan lagi.
 Beberapa hal atau keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain:
a) Hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diakui
b) Hal-hal atau keadaan-keadaan yang tidak disangkal
c) Hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai
atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.
 Dasar Hukum Pembuktian
1) Hierziene Inlandse Reglement (HIR) stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan
madura)
2) Rechtreglement Buingewesten (RBg) stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa
dan madura)

3
3) Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (RV)
4) Buku KUHPerdata
 Macam- macam alat bukti menurut pasal 164 HIR
a. Alat bukti surat atau tertulis
Alat bukti berupa surat atau tertulis ini dapat berupa surat yang dibuat
secara tertulis baik oleh para pihak yang berperkara secara dibawah tangan
atau dibuat oleh pihak lain yang karena jabatannya mempunyai hak untuk
itu.
Alat bukti berupa surat atau tertulis terdapat 3 macam yaitu :
 Akta Autentik
Alat bukti berupa akta autentik diatur dalam :
1) Pasal 165 HIR dinyatakan bahwa:
“surat akta yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian
oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk
membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak
dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari
padanya tentang segala apa yang disebut di dalam surat itu dan
juga tentang segala yang ada dalam surat itu sebagai
pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini jika yang
diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada
surat akta itu”.
2) Pasal 285 RBg dinyatakan bahwa:
“sebuah akta autentik yaitu yang dibuat dengan bentuk yang
sesuai dengan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang ditempat akta itu dibuat merupakan
bukti lengkap antara para pihak serta keturunanya dan mereka
yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat didalamnya
dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka, hal terakhir ini
sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa
yang menjadi akta pokok itu”.
3) Pasal 1868 BW dinyatakan bahwa :
“suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat
dimana akta dibuatnya”.
Dari bunyi ketiga pasal diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud akta autentik adalah suatu surat yang dibuat secara
tertulis oleh pejabat umum yang karena jabatanya mempunyai
wewenang untuk itu.

 Akta Dibawah Tangan


Akta dibawah tangan diatur dalam :
1. Pasal 286 RBg
2. Pasal 287 RBg

4
3. Pasal 288 RBg
4. Pasal 1 Ordonansi dengan stb. 1867 nomor 24 tanggal 14
maret 1867 yang diubah dengan stb. 1916 nomor 43 dan 44
5. Pasal 1A ordonansi dengan stb. 1867 nomor 24 tanggal 14
maret 1867 yang disisipkan dengan stb. 1916 nomor 43 dan 44
6. Pasal 1B ordonansi dengan stb. 1867 nomor 24 tanggal 14
maret 1867 yang disisipkan dengan stb. 1916 nomor 43 dan 44
7. Pasal 1874 BW
8. Pasal 1874 a BW
9. Pasal 1875 BW

 Surat Biasa
Alat bukti berupa surat biasa ini dalam praktek persidangan
dipengadilan umumnya hanyalah dijadikan alat bukti
penunjang yang sifatnya insidentil dan bukan merupakan alat
bukti yang pokok dalam suatu sengketa, kecuali apabila dalam
sengketa yang dihadapi oleh para pihak ada bukti lain yang
sah, maka bukti surat biasa dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang pokok dalam suatu perkara ditambah dengan alat bukti
sumpah.
Alat bukti surat atau tertulis yang dibuat oleh pejabat umum
diatur dalam :
1. Pasal 137 HIR
2. Pasal 138 HIR
3. Pasal 148 Rv
4. Pasal 149 Rv
5. Pasal 289 RBg
b. Alat bukti dengan saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktik lazim disebut dengan
kesaksian. Dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi
sangat penting artinya, terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam
hukum adat, dimana pada umumnya karena adanya saling percaya
mempercayai tidak dibuat sehelai surat pun. Oleh karena bukti berupa
surat tidak ada, pihak-pihak akan berusaha untuk mengajukan saksi
yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang dimajukan
dimuka persidangan.
Dalam suasana hukum adat dikenal dua macam saksi, yaitu
saksi-saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri
peristiwa-peristiwa yang menjadi persoalan, dan saksi-saksi yang pada
waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk
menyaksikan perbuatan hukum tersebut.
Yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat,
dengar atau rasakan sendiri, dan tiap-tiap kesaksian harus disertai
alasan-alasan dan sebabnya, dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-

5
hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa,
yang terjadi karena akal tidak dipandang sebagai penyaksian (Pasal
171 ayat 2 HIR).
Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan karena
hal itu adalah tugas hakim. Saksi yang akan diperiksa sebelumnya
harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan
menerangkan yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib
memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja memberi
keterangan palsu, saksi dapat dituntut dan dihikum untuk sumpah
palsu menurut pasal 242 W.v.S. (KUHpidana).
Peratutran yang menyangkut perihal cara mengucapkan sumpah
atau janji terdapat dalam Eedsregeling dari Stbl. 1920 No. 69.
Ketentuan dalam pasal 5 Eedsregeling tersebut memperkenankan
untuk mengucapkan janji bagi mereka yang menurut agamanya
dilarang mengucapkan sumpah.
Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian pasal 172 HIR
memberikan petunjuk sebagai berikut : “dalam hal menimbang harga
kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi
yang satu dengan yang lain, persetujuan kesaksian-kesaksian dengan
apa yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang
diperselisihkan; segala sebab yang kiranya dari tempat lain tentang
perkara yang diperselisihkan; segala sebab yang kiranya ada pada
saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu.”
Berikut ini yang dapat diajukan sebagai saksi menurut Pasal 145
adalah :
 Yang tidak dapat didengar sebagai saksi, adalah :
a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut
keturunan yang lurus dari salah satu pihak
b) Suami atau istri salah satu pihak, meskipun telah
bercerai
c) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar
bahwa mereka sudah berumur 15 tahun
d) Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatanya terang
 Akan tetapi keluarga sedarah atau semenda tidak boleh ditolak
sebagai saksi karena keadaan itu dalam perkara tentang
keadaan menurut hukum sipil dari pada orang yang berperkara
atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
 Orang tersebut dalam pasal 146 (1) a dan b, tiodak berhak
minta mengundurkan diri dari pada memberikan kesaksian
dalam perkara tersebut dalam ayat dimuka.
 Pengadilan negri berkuasa akan mendengar diluar sumpah
anak-anak atau orang-orang gila yang kadang-kadang terang
ingatanya, yang dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi
keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan saja.

6
Pasal 146 HIR menyebutkan golongan-golongan orang
yang diperkenankan untuk mengundurkan diri. Hal ini berarti,
bahwa bukan hakim yang karena jabatan akan menolak
mereka, seperti halnya saksi yang dilarang dalam pasal 145
HIR, akan tetapi saksi sendiri yang oleh undang-undang diberi
hak untuk tidak mau didengar dibawah sumpah. Kalau saksi
tersebut tidak minta untuk mengundurkan diri, saksi itu tidak
boleh ditolak. Hanya nanti dapat dipertimbangkan, bahwa oleh
karena adanya hubungan darah, keterangan saksi tidak dapat
dipercaya penuh, oleh karena sebagaimana yang telah
dikemukakan diatas, hakim harus memperhatikan segala
sesuatu yang dapat mempengaruhi keterangan saksi (pasal 172
HIR).
Menurut pasal 146 (1) HIR yang boleh mengundurkan
diri untuk memberikan kesaksian, adalah :
a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki
dan ipar perempuan dari salah satu pihak
b) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, dan
saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau istri
salah satu pihak
c) Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan
atau jabatan sah diwajibkan menyimpan rahasia, akan
tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang
diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau
jabatanya itu. 1
c. Alat Bukti Persangkaan
Pasal 164 HIR (28 RBg. 1866 BW ) menyebut sebagai alat
bukti sesudah saksi.
Tentang pengertian persangkaan banyak terdapat salah
pengertian. Ada kalanya persangkaan itu dianggap sebagai alat bukti
yang berdiri sendiri atau sebagai suatu dasar pembuktian atau suatu
pembebasan pembebanan pembuktian.
Kalau pembuktian secara yuridis itu merupakan persangkaan
yang meyakinkan, maka persangkaan itu merupakan pembuktian
sementara
Pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan persangkaan tidak
lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya saja
pembuktian dari ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu ditempat
tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama
ditempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi
persangkaan.
Menurut ilmu pengetahuan, persangkaan merupakan bukti
yang tidak langsung dan dibedakan seperti berikut :
1
Retnowulan Sutantio, 2009, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 70-73

7
1. Persangkaan berdasarkan kenyataan
2. Persangkaan berdasarkan hokum
Persangkaan berdasarkan hokum dibagi menjadi dua :
 Praesumptiones juris tantum,
 Praesumptiones juris et de jure,
Persangkaan diatur dalam HIR (pasal 172), RBg (pasal 310)
dan BW (pasal 1915- 1922). Menurut pasal 1915 BW maka
persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-
undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata
kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataanya. Jadi menurut
pasal 1915 BW ada dua persangkaan, yaitu yang didasarkan atas
undang-undang( Praesumptiones juris) dan yang merupakan
kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim (Praesumptiones
facti).
Pasal 1915 BW mengenai dua macam persangkaan, yaitu
persangkaan yang didasarkan atas undang-undang dan
persangkaan yang didasarkan atas kenyataan, maka pasal 173 HIR
(pasal 310 RBg.) hanya mengatur tentang persangkaan yang tidak
disarankan pada ketentuan undang-undang dan sama sekali tidak
mengatur persangkaan-persangkaan lainnya.
Persangkaan berdasarkan undang-undang menurut pasal 1916
BW ialah persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain:
 Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan
batal, karena dari sifat dan keadaanya saja dapat diduga
dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-
undang
 Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat
dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak pemilikan atau
kebebasan dari hutang.
 Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada
putusan hakim.
 Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang pengakuan
atau sumpah oleh salah satu pihak.
Tentang persangkaan menurut undang-undang yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan diatur dalam pasal 1921 ayat 2
BW, yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan
perbuatan-perbuatan tertentu (pasal 184, 911, 1681 BW).
Persangkaan yang tidak memungkinkan bukti lawan pada
hakikatnya bukanlah persangkaan.
Contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan
pembuktian lawan misalnya: pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439
BW, 42, 44 peraturan kepailitan. Persangkaan menurut undang-
undang ini membebaskan orang, yang untung karenanya dari

8
segala pembuktian lebih lanjut (pasal 1921 ayat 1 BW). Kekuatan
pembuktianya bersifat memaksa.
Telah menjadi pendapat umum bahwa persangkaan menurut
undang-undang didalam ilmu pengetahuan tidaklah perlu
dipertahankan. Persangkaan berdasarkan kenyataan, kekuatan
pembuktianya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang hanya
boleh memperlihatkan persangkaan yang penting, seksama,
tertentu dan ada hubunganya satu sama lain. Persangkaan-
persangkaan semacam itu hanya boleh diperhatikan dalam hal
undang-undang membolehkan pembuktian dengan saksi. Demikian
pula apabila diajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau
suatu akta berdasarkan alasan adanya iktikad buruk atau penipuan
(pasal 1922 BW).
Berbeda dengan pada persangkaan menurut undang-undang,
maka disini hakim bebas dalam menemukan persangkaan
berdasarkan kenyataan. Setiap peristiwa yang dibuktikan dalam
persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan.
Pembentuk undang-undang dalam bahasa aslinya menggunakan
bentuk jamak untuk persangkaan (vermoedens). Ini berarti bahwa
hakim tidak boleh mendasarkan putusannya hanya atas satu
persangkaan saja. Dengan perkataan lain satu persangkaan saja
tidaklah cukup sebagai alat bukti. Sekarang pendapat ini sudah
tidak lagi dianut, sehingga satu peristiwa saja sudah dianggap
cukup.2

d. Alat Bukti Pengakuan


Alat bukti berupa pengakuan dalam hukum acara perdata
apabila pihak tergugat atau pihak lawan dalam perkara
dipersidangan telah mengakui adanya suatu peristiwa hukum,
umumnya tidak perlu adanya pembuktian. Namun, jika ternyata
dalam suatu perkara pengakuan seseorang terhadap hak
kepemilikan atas suatu benda baik bergerak maupun tidak
bergerak dan terjadinya suatu peristiwa hukum disangkal oleh
pihak lawan, maka pihak yang disangkal tersebut harus dapat
membuktikan adanya bukti hak kepemilikan atas bendanya dan
bukt atau saksi yang melihat dan mendengar terjadinya
peristiwa hukum yang dilakukan oleh pihak yang sedang
berpekara.
Pengakuan dalam hukum acara perdata menurut pasal
1923 BW. Terdapat dua macam :
a) Pengakuan di Muka Hakim

2
Sudikno Mertokusumo, 2010, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:Universitas Adma Jaya , 243-248.

9
Pengakuan di muka hakim yang telah disumpah baik itu
dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan maupun
melalui kuasa hukumnya dan tidak disangkal oleh pihak
lawannya, maka pembuktian dari pengakuan tersebut
telah sempurna dan kekuatan pembuktiannya mutlak
(pasal 1925 BW jo. Pasal 174 HIRjo. Pasal 311 RBg).
Pengakuan semacam ini masuk dalam pengakuan yang
murni karena pihak lawan atau tergugat membenarkan
secara keseluruhan gugatan penggugat dan tidak
mengadakan perlawanan atas gugatan. Penggugat.
Pengakuan yang diucapkan di muka hakim
dalam perkara perdata dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang sempurna tentang adanya peristiwa hukum yang
menjadi bjek dari pada sengketa, namun pengakuan
yang diucapkan di muka hakim dalam perkara pidana
akan memberatkan orang yang telah melakukan
pengakuan tersebut karena umumnya pengakuannya
berhubungan dengan kejahatan yang telah
dilakukannya, kecuali pengakuan yang diberikan oleh
saksi (pasal 174 HIR). Pengakuan dalam perkara
perdata umumnya dipergunakan untuk mengetahui
benar tidaknya kejadian atau peristwa hukum yang
dilakukan oleh pihak yang sedang berperkara. Jadi,
jelaslah sudah bahwa secara yuridis pengakuan dalam
perkara perdata tidak sama dengan pengakuan yang ada
dalam pengakuan perkara pidana, disini terdapat
perbedaan yang sangat bertentangan dalam hal
pengakuan dipakai sebagai alat bukti.
b) Pengakuan lisan diluar persidangan
Pengakuan lisan diluar siding pengadilan secara
yuridis tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
sempurna karena pengakuan tersebut dilakukan tidak
dengan sumpah, kecuali pengakuan lisan diluar siding
pengadilan yang dilakukan oleh saksi, walaupun tanpa
disumpah pengakuannya dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sempurna. Pengakuan lisan diluar
persidangan tanpa disumpah berharga tidaknya sebuah
pengakuan tersebut sebagai alat bukti sepenuhnya
tergantung pada pertimbangan hakim dalam menilai
sebuah pengakuan (pasal 1927 dan 1928 BW jo. Pasal
175 HIR jo. Pasal 312 RBg).
Ketentuan-ketentuan mengenai pengakuan diatur dalam:
a). Pasal 176 HIR dinyatakan bahwa :

10
“Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya
dan hakim tidak bebas akan menerima sebagian dan
menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang
mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan
maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara
yang terbukti yang kenyataan dusta”.
b). Pasal 313 RBg dinyatakan bahwa :
“Tiap pengakuan harus diterima seutuhnya dan
hakim tidak bebas dengan merugikan orang yang
memberi pengakuan, untuk menerima sebagian dan
menolak bagian lain dan hal itu boleh dilakukan hanya
sepanjang orang yang berhutang bermaksud untuk
membebaskan diri dengan mengemukakan hal-hal yang
terbukti palsu”.
Maksud dari pada bunyi pasal 176 HIR jo. Pasal 313
RBg tersebut diatas adalah bahwa hakim tidak
diperbolehkan menerima pengakuan hanya sebagian
dan sebagian lagi ditolak, kecuali :
1. Pihak yang melakukan pengakuan dengan maksud
tidak baik untuk membebaskan diri dari
kewajibannya memenuhi prestasi yang harus
dipenuhi sesuai dengan perjanjian yang telah
mereka sepakati bersama.
2. Jika dalam gugatan penggugat sebagian diakui atau
dibenarkan oleh tergugat dan sebagian lagi ditolak
atau disangkal tergugat yang disertai dengan bukti-
bukti yang sah dan tidak dibantah oleh pihak lawan
(penggugat), maka hakim dapat memisah-misahkan
pengakuan tersebut dengan cara menerima
pengakuan tersebut sebagian dan sebagian lagi
ditolak dengan harapan agar tidak merugikan pihak
tergugat dalam suatu perkara.
Jadi, dalam hal pengakuan dijadikan sebagai alat bukti
dalam suatu perkara, apabila tergugat atau pihak lawan
menyangkal atau menolak sebagian dari gugatan dan
sebagian lagi pengakuanya terhadap suatu tuntutan
penggugat menerima, maka hakim tidak diperbolehkan
memisah-misahkan pengakuan pihak lawan. Jika
ternyata hakim memisah-misahkan pengakuan tergugat,
maka tindakan hakim yang mengadakan pemisahan
terhadap pengakuan yang dikemukakan oleh tergugat
sudah barang tentu akan merugikan pihak yang telah
melakukan pengakuan.

11
Pengakuan sebagai alat bukti dalam perkara perdata
terdapat tiga macam antara lain :
1. Pengakuan dengan klausul
Yang dmaksud dengan pengakuan klausul adalah
pengakuan yang disertai dengan keterangan
tambahan yang sifatnya dapat membebaskan diri dari
gugatan.
Pengakuan yang disertai dengan keterangan
tambahan yang sifatnya dapat membebaskan diri dari
gugatan dalam praktik peradilan umumnya dapat
berupa pembenaran tentang adanya peristiwa hukum
yang dialami oleh para pihak yang sedang
berperkara, tetap sesuai dengan perjanjian prestasnya
telah dipenuhi oleh pihak tergugat yang disertai
bukti yang sah.
2. Pengakuan dengan kualifikasi
Yang dimaksud pengakuan dengan kualifikasi
adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan
tambahan sangkalan dari pihak lawan.
Pengakuan yang disertai dengan keterangan
tambahan sangkalan dari pihak lawan dalam praktik
peradilan umumnya dapat berupa sangkalan dari
pihak lawan yang menolak sebagian dan menerima
sebagian dari pada tuntutan penggugat yang
disebabkan oleh karena prestasinya sebagian dari
perjanjian telah dipenuhi oleh tergugat.
3. Pengakuan murni
Yang dimaksud dengan pengakuan murni adalah
pengakuan yang membenarkan secara keseluruhan
gugatan penggugat.
Pengakuan semacam ini umumnya dalam praktik
peradilan pihak tergugat mengakui kebenaran
gugatan penggugat secara keseluruhan dengan terus
terang tanpa mengadakan sangkalan.

e. Alat Bukti Sumpah


Yang dimaksud alat bukti sumpah adalah sumpah yang
diucapkan oleh seseorang dimuka hakim untuk memberikan
keterangan yang sejujur-jujurnya tentang terjadinya suatu peristiwa
hukum dalam suatu perkara.
Dalam pengucapan sumpah dimuka hakim umunya disesuaikan
dengan agama ang dianut oleh seseorang yang akan disumpah karena
pengucapan sumpah yang disesuaikan dengan agama atau keyakinan
yang dimaksudkan agar yang bersangkutan setelah disumpah dapat

12
memberikan keterangan yang jujur terhadap terjadinya peristiwa
hukum yang didengar, dialami, dan dilihatnya secara langsung tanpa
adanya unsur kebohongan.
Sumpah menurut Pasal 1929 BW ada dua macam yaitu :
a). Sumpah Karena Jabatan
Yang dimaksud dengan sumpah karena jabatan adalah
seorang hakim yang karena jabatannya mempunyai hak untuk
memperintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk bersumpah
sebelum dilakukan pemeriksaan.
b). Sumpah Pemutus
Yang dimaksud dengan sumpah pemutus adalah
sumpah di muka hakim yang dilakukan oleh salah satu pihak atas
permintaan pihak lawan dalam suatu perkara untuk memperkuat
pengakuan terjadinya peristwa hukum yang menjadi sengketa.
f. Alat Bukti Keterangan Saksi Ahl
Yang dimaksud dengan alat bukti keterangan saksi ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang ahli dalam bidang ilmu
tertentu terhadap terjadinya peristiwa hukum dalam suatu perkara.
Alat bukti berupa keterangan ahli baru akan dipergunakan oleh
hakim dalam persidangan apabila dalam sengketa yang dihadapi oleh
para pihak yang sedang berperkara untuk memperjelas dan
mengungkap adanya peristiwa hukum diperlukan adanya keterangan
seorang ahliatau saksi ahli dibidang ilmu pengetahuan tertentu yang
berhubungan dengan perkara yang dihadapi oleh para pihak, maka
hakim karena jabatannya atau atas permintaan kedua belah pihak
yang berperkara dapat mengangkat seorang ahli yang keahliannya ada
hubungannya dengan perkara yang sedang dihadapi oleh para pihak.
Pengangkatan seorang ahli yang dibutuhkan dalam persidangan harus
disumpah terlebih dahulu di muka hakim,tetapi jika tempat tinggal
ahli tersebut berada diluar wilayah pengadilan yang memeriksa
perkara, maka ketua pengadilan dapat meminta bantuan kepada
pengadilan negri lain atau kejaksaan yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal atau domisili ahli yang dibutuhkan. Seorang ahli tersebut
sebelum memberikan keterangan tentang peristiwa hukum yang
sedang dihadapi oleh para pihak yang sedang berperkara harus
disumpah oleh hakim pengadilan negeri lain atau jaksa yang belum
ditunjuk untuk itu.
g. Alat Bukti Pemeriksaan Setempat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah
pemeriksaan langsung yang dilakukan oleh hakim anggota dan
panitera pengganti terhadap barang bergerak maupun barang tidak
bergerak yang menjadi objek persengketaan para pihak.
Dalam persidangan, apabila ada permintaan dari salah satu
phak atau para pihak yang sedang berperkara atau karena jabatannya

13
hakim memandang perlu untuk mengadakan pemeriksaan setempat
terhadap objek yang menjadi sengketa para pihak yang sedang
berperkara dan diperkirakan objeknya tidak dapat diajukan kedepan
sidang pengadilan, maka hakim ketua dapat memperintahkan hakim
anggota yang dibantu oleh panittera pengganti mengadakan
pemeriksaan setempat terhadap objek sengketa. Pemeriksaan
setempat ini sangat diperlukan dalam hal penyitaan terhadap barang-
barang jaminan baik barang-barang bergerak maupun tidak bergerak
karna selain untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya juga dapat
dipergunakan untuk bahan mengambil keputusan khususnya terhadap
barang-barang yang tidak bergerak harus diketahui betul tentang letak
dan batas-batasnya. Hal ini disebabkan untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan dikemudian hari setelah putusan pengadlan
dikeluarkan. Misalnya letak objek sengketa sesuai bukti yang
diberikan tidak benar dan atau tidak sesuai. Jika ternyata tempat objek
yang menjadi sengketa berada diluar daerah hukum pengadilan negri
lain, maka ketua pengadilan dapat meminta bantuan kepada
pengadilan negeri lain atau kejasaan ditempat objek dari
persengketaan berada untuk mengadakan pemeriksaan setempat.
Hakim anggota dan panitera setelah mengadakan pemeriksaan
setempat terhadap barang-barang yang menjadi sengketa membuat
berita acara yang ditanda tangani oleh hakim anggota dan panitera
dan mengirimkannya kepada hakim ketua yang menangani perkara
tersebut (Pasal 153 HIR jo. Pasal 180 RBg jo. Pasal 211 Rv).3

BAB III

KESIMPULAN

3
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori & Praktik, Jakarta:Sinar Grafika, 267-285.

14
Hukum pembuktian positif kita dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg serta
KUHPerdata buku IV. Yang tercantum dalam HIR dan Rbg adalah hukum pembuktian baik
yang materiil maupun formil. Apa yang tercantum dalam KUHPerdata buku IV adalah
hukum pembuktian meteriil. Hukum pembuktian dalam KUHPerdata buku IV itu disusun
khusus untuk acara contradictoir atau peradilan voluntoir atau peradilan volunter pada
azasnya tidak berlaku hukum pembuktian dari KUHPerdata buku IV, tetapi diperlakukan
secara analog. Yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah yang
berkepentingan didalam perkara atau sengketa. Para pihaklah yang wajib membuktikan
peristiwa yang disengketakan dan bukan hakim. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 163 HIR
(Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW; “Barang siapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu” (Pasal 178 ayat 1 HIR, 189 ayat 1 Rbg, 50 ayat
1 Rv). Jadi dalam hal ini dipisahkan antara yang harus membuktikan atau yang harus
mengajukan alat-alat bukti, yaitu para pihak, dan yang harus menyatakan terbukti atau
tidaknya suatu peristiwa, yaitu hakim.

15
DAFTAR PUSTAKA

Sutantio, Retnowulan. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Pratek.
(Bandung: Mandar Maju). Cet ke 11.
Mertokusumo, Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya).
Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. (Jakarta: Sinar Grafika).
http://muhlisansyari.blogspot.com/2014/09/makalah-hukum-acara-perdata-pembuktian.html
diakses pada hari Rabu tanggal 24 pukul 14:55
http://nitawahyono.blogspot.com diakses pada hari Jum’at tanggal 26 pukul 13.45

16

Anda mungkin juga menyukai