Anda di halaman 1dari 14

MACAM MACAM SUMPAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Advokasi

Dosen Pengampu: Ilham Akbar, S.H.I.,M.H

Disusun Oleh : Kelompok 9

Utari Vionika Arfani

Wenny Dwi Lestari

Wiwik Handayani

Yuliza Azzahra

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM KELUARGA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

1444 H/2023 M
DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Alat Bukti………………………………………………………………2
Macam- Macam Bukti……………………………………………………………..2
Alat Bukti Sumpah…………………………………………………………………4
Macam- Macam Alat Bukti Sumpah………………………………………………5
Kekuatan Hukum Alat Bukti Sumpah…………………………………………….8
BAB III
Kesimpulan………………………………………………………………………….10
Saran ………………………………………………………………………………...10
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Proses peradilan perdata saat ini bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat
Indonesia. Macam peradilan yaitu peradilan Perdata dan Pidana. Pada peradilan perdata
menggunakan hukum acara perdata, dalam penanganan suatu perkara sebagai bahan acuan.
Pada hukum acara perdata tidak dicari kebenaran materiil karena juga memerlukan
keyakinan hakim seperti dalam hukum acara pidana.

Dalam proses perdata terdapat pembagian yang tetap antara pihak yang berperkara dan
hakim. Para pihak yang harus mengemukakan peristiwa, sedangkan soal hukum adalah
urusan hakim. Dalam proses pidana tidaklah demikian, di sini terdapat perpaduan antara
peristiwa dan penemuan hukum. Jaksa pada hakekatnya tidak membuktikan ia mempunyai
inisiatif penuntutan dan dakwaannya menentukan kemana proses harus diserahkan, tetapi
selanjutnya ia sama kedudukannya dengan penasehat hukum dan terdakwa.

Didalam hukum acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang membuktikan,
tetapi dalam hukum acara perdata pembuktian merupakan suatu hal yang penting guna
membuktikan gugatan ataupun bantahan. Meski demikian pembuktian dalam hukum acara
perdata hanya terjadi jika ada penyangkalan. Pengakuan ketika sidang tidak memerlukan
pembuktian selanjutnya. Karena pengakuan menurut undang-undang merupakan alat bukti
yang sempurna.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian dimaksud sebagai suatu
rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan perkara di muka
hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan. Dalam proses mencari
keadilan di pengadilan, maka para pihak berupaya untuk memenangkan perkaranya dengan
cara mereka masing-masing.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Yang dimaksudkan dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan 1. “Membuktikan”
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristwa, sehingga
dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara perdata,
maka acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran formal. Siapa yang
mengaku mempunyai hak atau membantah hak orang lain harus membuktikan (pasal 163
HIR, 1865 BW pasal 283 RBg).
Bahwa tujuan pembuktian ini untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah
pihak, yakni penggugat dan tergugat; Mencari kebenaran formal berarti hakim perdata
menyelidiki kebenaran dari peristiwa-peristiwa yang dikemukakan, akan tetapi hanya
sepanjang pihak-pihak yang bersangkutan yang menghendakinya. Hakim perdata dilarang
untuk mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut atau melebihi hal yang tidak diminta (pasal
178 ayat 3 HIR, pasal 189 ayat 3 RBg)2.

B. MACAM-MACAM ALAT BUKTI

Menurut sistim HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah.
Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-
undang (pasal 164 HIR. 289 RBg. 1866 BW) ialah: alat bukti tertulis, pembuktian dengan
saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah3.
1) Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285,-305 RBg. S
1867 no. 29 dan pasal 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala
sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan

1
Prof. R. Subekti, SH, Hukum Pembuktian, hal. 1
2
Martiman Prodjohamidjojo, S.H, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 11
3
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal. 141

2
isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian.
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan
akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih
lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.
2) Pembuktian dengan Saksi
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR (ps. 165-179
RBg), 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan
kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.
Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian
yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara
berfikir tidaklah merupakan kesaksian. Seorang saksi dipanggil di muka sidang
untuk memberi tambahan keterangan untuk menjelaskan peristiwanya.
3) Persangkaan
Menurut pasal 1915 BW maka persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang
oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke
arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Jadi menurut pasal 1915 BW
ada dua persangkaan, yaitu yang didasarkan atas undang-undang (praesumptiones
juris) dan yang merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim
(praesumption esfacti).
4) Pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR (ps. 174, 175, 176), RBg
(ps. 311, 312, 313) dan BW (ps. 1923-1928). Pengakuan di muka hakim di
persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan keterangan sepihak tanpa
persetujuan pihak lain, baik tertulis maupun lisan dalam perkara di persidangan,
yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan
pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.

3
5) Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang diucapkan pada waktu
memberi janji atau keterangan dengan mengingatakan sifat maha kuasa Tuhan,
dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar
akan dihukum oleh-Nya. Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (ps. 155-158, 177),
RBg (ps. 182-185, 314), BW (ps. 1929-1945).

C. ALAT BUKTI SUMPAH


Alat bukti sumpah sebagai alat bukti yang terakhir sesuai dengan apa yang
tercantum dalam pasal 1866 BW yang menyatakan bahwa macam-macam alat bukti
dalam perkata perdata meliputi : alat bukti surat, persangkaan, saksi, pengakuan, dan
alat bukti sumpah. Sumpah sendiri dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1929
sampai dengan pasal 1945 KUHPerdata4.
Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam KUHPerdata ialah suatu
peryataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut
nama Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah5.
Sumpah hanya dikenal bagi orang yang beragama Islam, sedangkan orang non
Islam menurut sarjana hukum Indonesia tidak mengenal adanya sumpah, tapi lebih
lazim dikenal adanya janji. Sehingga kesimpulan sumpah yang dikenal sebagai alat
bukti disamakan dengan pengertian janji.
Yahya Harahap menjelaskan bahwa sumpah sebagai alat bukti adalah suatu
keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan6:
1. Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan
itu, takut atas murka Tuhan apabila dia berbohong;
2. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan dianggap sebagai daya
pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.

4
Burgerlijk wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
5
Pasal 1929 KUHPerdata
6
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, 2013 (hal. 745)

4
Yahya menjelaskan bahwa dalam Pasal 1929 KUH Perdata diatur mengenai
klasifikasi sumpah yang terdiri dari7:
a) Decisoir/sumpah pemutus
b) Suppletoir/sumpah tambahan atau pelengkap
c) Aestimatoire/sumpah penaksir

D. MACAM-MACAM ALAT BUKTI SUMPAH


1) Sumpah Pemutus (Decisoir eed)
Sumpah decisoir disebut juga sumpah pemutus, ada juga yang
mempergunakan istilah sumpah menentukan, yaitu sumpah yang oleh pihak yang
satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk
menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah.
Sumpah inilah yang disebut sumpah pemutus, yaitu8:
a. merupakan sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah
atau permintaan pihak lawan;
b. pihak yang memerintahkan atau meminta mengucapkan sumpah disebut
deferent, yaitu orang atau pihak yang memerintahkan sumpah pemutus,
sedangkan pihak yang diperintahkan bersumpah disebut delaat atau
gedefereerde.
Makna sumpah pemutus yakni memiliki daya kekuatan memutuskan perkara
atau mengakhiri perselisihan. Jadi, sumpah pemutus ini mempunyai sifat dan
daya litis decisoir, yang berarti pengucapan sumpah pemutus:
a. dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara;
b. diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar
sumpah yang diucapkan;
c. undang-undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai
kekuatan pembuktian sempurna, mengikat, dan menentukan.
Ruang lingkup penerapan sumpah pemutus yaitu meliputi segala sengketa dan
dapat diperintahkan dalam segala jenis sengketa kecuali dalam hal kedua belah

7
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, 2013 (hal. 750)
8
Ibid

5
pihak tidak dapat mengadakan suatu perdamaian atau bahkan dalam hal tidak ada
upaya pembuktian apapun untuk membuktikan tuntutan itu9.
Syarat formil sumpah pemutus sebagai alat bukti adalah:
a. Tidak ada bukti apapun
Syarat ini disebut pada Pasal 1930 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal
156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement. Sumpah pemutus
merupakan alat bukti untuk memperkuat dalil gugatan atau bantahan
jika sama sekali tidak ada upaya lain untuk membuktikannya dengan
alat bukti lain. Kalau ada alat bukti lain, tidak ada dasar alasan untuk
memerintahkannya.
b. Inisiatif berada pada pihak yang memerintahkan
Syarat ini disebut pada Pasal 1929 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal
156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”). Sumpah pemutus
merupakan sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada
pihak yang lain untuk menggantungkan putusan perkara padanya. Itu
sebabnya, sumpah pemutus disebut juga sumpah pihak karena inisiatif
atau prakarsanya datang dari pihak yang berperkara atau berada di
tangan pihak yang memerintahkan.10
Menurut UU, baik sumpah penambah maupun sumpah pemutus harus
dilakukan sendiri, kecuali karena sesuatu sebab yang penting, maka pengadilan
dapat memberikan izin kepada salah satu pihak yang akan bersumpah untuk
menguasakan mengangkat sumpah itu. Surat kuasa untuk mengangkat sumpah ini
harus dibuat dalam bentuk akta otentik, yang memuat dengan jelas dan tegas
rumusan sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak. Dengan dilakukannya
sumpah, maka pemeriksaan perkara dianggap selesai dan hakim tinggal
menjatuhkan putusannya.
2) Sumpah Tambahan (Suppletoir eed)
Sumpah tambahan ini diatur dalam Pasal 1940 KUH Perdata:

9
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, 2013 (hal. 752) dan Pasal 1930 KUHPerdata
10
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, 2013 (hal. 754)

6
Hakim, karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak yang
berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu dapat
diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan.
Syarat formil sumpah tambahan adalah:
a. Alat bukti yang diajukan tidak mencukupi
Alat bukti yang tidak cukup dan sebelumnya ada permulaan
pembuktian sebagai landasan menerapkan sumpah tambahan. sumpah
tambahan tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti. Baru dapat
didirikan apabila ada permulaan pembuktian.
b. Atas perintah hakim.
Sumpah tambahan harus atas perintah hakim berdasarkan jabatannya.
Hakim yang berwenang menilai dan mempertimbangkan apakah perlu
atau tidak diperintahkan pengucapan sumpah tambahan.

3) Sumpah Penaksir (Aestimatoire eed)


Sumpah penaksir merupakan salah satu alat bukti sumpah yang secara khusus
diterapkan untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang
yang digugat oleh penggugat. Apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu
membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa nilai harga
barang yang dituntutnya. Begitu juga tergugat tidak mampu membuktikan
bantahannya berapa ganti rugi atau harga barang yang sebenarnya, taksiran atas
ganti rugi atau harga barang itu dapat ditentukan melalui pembebanan sumpah
penaksir. Jadi, penerapan sumpah ini baru dapat dilakukan apabila sama sekali
tidak ada bukti dari kedua belah pihak yang dapat membuktikan jumlah yang
sebenarnya.
Syarat formil utama agar sumpah penaksir dapat diterapkan yaitu apabila
penggugat telah mampu membuktikan haknya atas dalil pokok gugatan dan
karena sumpah penaksir tersebut asesor kepada hak yang menimbulkan adanya
tuntutan atas sejumlah ganti rugi atau sejumlah harga barang, maka selama belum
dapat dibuktikannya hak, tidaklah mungkin menuntut ganti rugi atau harga
barang.

7
E. KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SUMPAH
Sumpah sebagai alat bukti dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk
sebagai berikut: Sumpah Decisoir (Pemutus), Sumpah Suppletoir (Pelengkap) dan
Sumpah Aestimatoir (Penaksir)
1) Makna sumpah Decisoir (Pemutus) memiliki daya kekuatan memutuskan
perkara atau mengakhiri perselisihan. Jadi sumpah pemutus mempunyai sifat
dan daya litis decissoir, yang berarti dengan pengucapan sumpah pemutus:11
a. Dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara.
b. Diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan
ikrar sumpah yang diucapkan.
c. Dan undang-undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut
nilai kekuatan pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan.
2) Sumpah Suppletoir atau Sumpah Tambahan pihak yang diperintahkan oleh
hakim untuk bersumpah suppletoir tidak boleh mengembalikan sumpah
suppletoir tersebut kepada lawannya (ps. 1943 BW) ia hanya dapat menolak
atau menjalankannya. Dalam hal ini hakim secara ex officio dapat
memerintahkan Sumpah Suppletoir. Fungsi sumpah ini adalah menyelesaikan
perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang masih
memungkinkan adanya bukti lawan.
3) Pasal 155 HIR (ps. 182 Rbg, 1940 BW) mengatur tentang Sumpah
Penaksiran, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim kerena jabatannya
kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Kekuatan
pembuktian Sumpah Aestimatoir sama dengan Sumpah Suppletoir yaitu
bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan. Sumpah ini
dapat juga dilakukan di masjid.
Perlu diketahui bahwa sumpah juga dapat dilakukan di luar pengadilan, akan
tetapi sumpah tersebut mempunyai daya kekuatan sebagai alat bukti jika sumpah
tersebut dilakukan di depan Hakim, baik itu di depan Hakim Ketua yang memeriksa
perkara maupun di depan Hakim Anggota. Perbedaan dari kualitas pembuktian,
dalam sumpah pemutus para pihak sama sekali tidak mampu mengajukan bukti

11
Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hal 750

8
apapun sedangkan dalam sumpah tambahan para pihak atau salah satu pihak mampu
mengajukan pembuktian, tetapi tidak mencapai batas minimal pembuktian12.

12
Ibid., hlm. 766-767

9
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pembuktian adalah rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam
melangsungkan perkara di muka hakim. Dalam proses mencari keadilan di pengadilan,
maka para pihak berupaya untuk memenangkan perkaranya dengan cara mereka masing-
masing. Hakim bertindak sebagai penilai.
Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh
undang-undang (pasal 164 HIR. 289 RBg. 1866 BW) ialah: alat bukti tertulis,
pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam KUHPerdata ialah suatu peryataan
hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah. Menurut Pasal 1929 KUH
Perdata diatur mengenai klasifikasi sumpah yang terdiri dari Decisoir/sumpah pemutus,
Suppletoir/sumpah tambahan atau pelengkap dan Aestimatoire/sumpah penaksir.
Makna sumpah Decisoir (Pemutus) memiliki daya kekuatan memutuskan perkara atau
mengakhiri perselisihan. Sumpah Suppletoir/sumpah tambahan dimaknai adalah apabila
alat bukti masih kurang, namun sudah dilandasi pembuktian, maka hakim memerintahkan
pihak untuk bersumpah. Sumpah penaksir diterapkan untuk menentukan berapa jumlah
nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat. Apabila penggugat tidak
mampu membuktikan berapa jumlah ganti rugi dan tergugat tidak mampu membantah
ganti rugi.
2. Saran
Berdasarkan pembahasan diatas, mengenai alat bukti sumpah, maka kami memberikan
saran yaitu:
a. Dalam penentuan sumpah seseorang, sebaiknya orang tersebut benar-benar pasrah
akan semua pengakuannya terhadap Tuhan YME dan jujur akan kejadian yang
benar-benar terjadi, agar perkara dapat ditentukan keputusannya.

10
b. Apabila disuatu persidangan benar tidak ada bukti sumpah apapun, maka
dilakukan sumpah pemutus/decisoir dan diharapkan pada saat keputusan
diterapkan maka pihak tidak boleh melakukan perlawanan atas tidak terimanya
putusan. Karena sifat sumpah pemutus adalah pembuktian sempurna, mengikat
dan menentukan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek


Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, 2013
Ahmad Mujahidin. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah di Indonesia. (Jakarta: IKAHI, 2008)
Prof. R. Subekti, SH, Hukum Pembuktian
Martiman Prodjohamidjojo, S.H, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti.
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia.
Jurnal: Dian Dewi Pulungsari & Diyas Mareti Riswindani, ANALISIS YURIDIS
KEKUATAN PEMBUKTIAN PENILAIAN HAKIM TENTANG KETERANGAN
SEORANG SAKSI DI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA DITINJAU DARI
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA.
Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol. 23/No. 8/Januari/2017: Royke Y. J. Kaligis,
PENGGUNAAN ALAT BUKTI SUMPAH PEMUTUS (DECISOIR) DALAM PROSES
PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENURUT TEORI DAN
PRAKTEK.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5899301425dee/arti-sumpah-idecisoir-i--
isuppletoir-i--dan-iaestimatoire-i (diakses Selasa, Kamis, 15 Juni 2023 pukul 21:00)
https://profgunarto.files.wordpress.com/2012/12/alat-bukti-dalam-perdata-tugas.pdf (diakses
Kamis, 15 Juni 2023 pukul 21:25)
http://lawfile.blogspot.co.id/2011/07/alat-bukti-sumpah.html (diakses Kamis, 15 Juni 2023
pukul 21:43)

12

Anda mungkin juga menyukai