Pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 100 sampai
dengan pasal 107 UU PTUN.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan
menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan
diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya
pihak tergugat.
Hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul
beban pembuktian
Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak
arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa
dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama
olehnya. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:
”Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia
mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-
pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu”
Untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan
pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai.
Berhubungan dengan menilai pembuktian, hakim dapat
bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai
satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai
kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat
oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan
alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165
HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Teori Pembuktian
Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat
atau tulisan adalah :
“segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian”.
Macam-macam alat bukti surat, yaitu:
Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian.
b) Bukan akta ·
1. Surat atau Tulisan
Akta otentik.
Akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu;
1. Kekuatan Pembuktian formil membuktikan antara pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan Pembuktian materill membuktikan antara pihak bahwa benar-benar
peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat membuktikan antara pihak bahwa pada tanggal tersebut
dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pejabat umum tadi
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti
surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya.
Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis
tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka hakim dapat
memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan
alat bukti tersebut.
Alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan
pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai
pembuktian tersebut.
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat
terletak pada akta aslinya.
Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih
ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy
dan salinan itu sesuai dengan aslinya.
Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada
para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan
perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak
membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta
tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.
2. Keterangan Ahli
Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari
apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”. Menurut pasal 105 UU No.5/1986,
pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan
yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.
Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa
sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai
kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu.
Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu
benar, kendatipun belum tentu benar.
Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan
kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar
persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk
menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu
sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau
tidak menerimanya.
5. Pengetahuan Hakim