Anda di halaman 1dari 25

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti

Dalam Pengadilan Tata Usaha Negara


Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak
berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat
kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga
Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.
Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat
kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah
mencapai kebenaran mutlak.
Jadi pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-
pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula
terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.
Tujuan Pembuktian

 Tujuan pembuktian adalah berusaha memberikan


kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang
menjadi pokok sengketa, kepada Hakim. Guna
pembuktian adalah sebagai dasar keputusan
Hakim.
 Yangdibuktikan ialah fakta hukum yang menjadi
pokok sengketa.
Dasar Hukum Pembuktian

Pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 100 sampai
dengan pasal 107 UU PTUN.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan
menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan
diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya
pihak tergugat.
Hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul
beban pembuktian
 Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak
arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa
dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama
olehnya. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:
 ”Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia
mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-
pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu”
Untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan
pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai.
Berhubungan dengan menilai pembuktian, hakim dapat
bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai
satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai
kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat
oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan
alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165
HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Teori Pembuktian

Terdapat 2 (dua) teori yang menjelaskan tentang


sampai berapa jauhkah hukum positif dapat
mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian
peristiwa didalam sidang, yaitu:
1.Teori Pembuktian Bebas
2.Teori Pembuktian Terikat
1. Teori Pembuktian Bebas

 Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat


hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada
hakim.
 Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan
kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
 Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati
keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang
diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan
keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja
hakim menilai masih belum terbukti.
 Tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara
sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak
menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil
pembuktian.
2. Teori Pembuktian Terikat

 Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh


pihak berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan
alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.
 Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin
memberikan kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat
bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila pihak
sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila
ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti
surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga
dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai
“Unus Testis Nullus Testis”.
 Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 3
macam:
a) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada
hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini
dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).
b) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim
diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
c) Teori Pembuktian Gabungan
Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai
suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila
sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah
tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.
Jenis Alat bukti

 Dalam proses pembuktian, maka yang mendapat kesempatan


membuktikan alat-alat bukti yang dimiliki adalah pihak
penggugat terlebih dulu, dan giliran selanjutnya adalah pihak Tergugat.
Dalam sistem PTUN masalah pembuktian, alat bukti yang dapat digunakan
ditentukan jenis-jenisnya yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU
PTUN sebagai berikut:
a. Surat atau tulisan.
b. Keterangan ahli.
c. Keterangan saksi.
d. Pengakuan para pihak.
e. Pengetahuan Hakim.
1. Surat atau Tulisan

 Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat
atau tulisan adalah :
“segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian”.
 Macam-macam alat bukti surat, yaitu:
Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian.
b) Bukan akta ·
1. Surat atau Tulisan

 Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :


1. Akta otentik.
2. Akta dibawah tangan
 Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti
terdiri atas tiga jenis, yaitu :
a) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum,
yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum
yang tercantum di dalamnya.
b) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c) Surat-surat lain yang bukan akta.
 Akta otentik ada dua macam, yaitu :
1) Akta yang dibuat oleh pejabat (AmbtelijkAkten).
2) Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)
Kekuatan Pembuktian akta otentik

 Akta otentik.
Akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu;
1. Kekuatan Pembuktian formil membuktikan antara pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan Pembuktian materill membuktikan antara pihak bahwa benar-benar
peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat membuktikan antara pihak bahwa pada tanggal tersebut
dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pejabat umum tadi
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
 Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti
surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya.
 Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis
tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka hakim dapat
memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan
alat bukti tersebut.
 Alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan
pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai
pembuktian tersebut.
 Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat
terletak pada akta aslinya.
 Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih
ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy
dan salinan itu sesuai dengan aslinya.
 Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada
para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan
perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak
membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta
tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.
2. Keterangan Ahli

 Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa :


keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di
bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia
ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas
permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya.
 Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli
untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang
dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang
pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN).
 Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai
suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh
ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli
di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru
taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak
dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak
dapat diangkat sebagai ahli.
3. Keterangan Saksi

 Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan


memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia
lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau
keadaan tersebut.
 Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila
dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi.
 Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar
keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai
berikut :
1) Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa.
2) Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai.
3) Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
4) Orang sakit ingatan.
 Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula
mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
a) Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu
pihak.
b) Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.
4. Pengakuan Para Pihak

 Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari
apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”. Menurut pasal 105 UU No.5/1986,
pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan
yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.
 Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa
sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai
kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu.
Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu
benar, kendatipun belum tentu benar.
 Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan
kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar
persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk
menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu
sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau
tidak menerimanya.
5. Pengetahuan Hakim

 Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan


diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini maka
pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang
dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam
persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan
tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi
pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di
luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam
memutus perkara.
 Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara
TUN dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan
segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta
dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan :
1) Apa yang harus dibuktikan.
2) Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan
oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri.
3) Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian.
4) Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan
Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem
“Vrij bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka
memperoleh kebenaran materiil. Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986,
maka dapatlah disimpulkan bahwa hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran
pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah
ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi
kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat
bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara
perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.

Anda mungkin juga menyukai