Anda di halaman 1dari 13

TUGAS HUKUM PERDATA

RESUME MATERI SUBSTANSI POKOK PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA

(Resume Materi Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata)

Dosen Pengampu:

Iswi Hariyani,S.H.,M.H.

Nuzulia Kumalasari,S.H.,M.H.

Disusun Oleh:

Nama : Wahidatul Karomatil Khasanah

NIM : 190710101251 (No Absen: 38)

Kelas : Hukum Perdata Kelas H

UNIVERSITAS JEMBER

2020
Substansi Pokok Pembuktian dan Daluwarsa

A. Substasnsi Pokok Pembuktian


1. Pengertian Pembuktian
Perlu diketahui dalam substansi pembuktian dikenal pengertian mengenai alat
bukti, bukti dan pembuktian itu sendiri. Alat bukti adalah segala apa yang menurut
undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu 1). Yang dimaksud alat bukti
adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian 2).
Sedangkan yang dimaksud dengan pembuktian adalah usaha yang berwenang untuk
mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu
perkara yang bertujuan supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk
memberikan keputusan mengenai perkara tersebut3).
Dalam suatu pemeriksaan di depan hakim yang harus dibuktikan ialah hal-hal yang
dibantah saja oleh pihak lawan. Hal-hal yang diakui oleh hakim atas suatu kebenaran
antara kedua pihak yang berperkara tidak berselisih, maka tidak perlu dibuktikan.
Menurut pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa barang siapa
mengajukan peristiwa-perstiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan
membuktikan peristiwa-peristiwa itu ; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-
peristiwa itu4). Artinya setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya mempunyai hak
untuk menaguhkan haknya ataupun membantah hak orang lain menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan baginya untuk membuktikan kebenaran adanya peristiwa tersebut.
Misalnya, seseorang menggugat orang lain supaya orang tersebut dihukum karena
mengambil tanah warisanya, yang mana tanah tersebut merupakan harta warisan
peninggalan ayahnya yang secara hukum sah menjadi miliknya, tetapi pendiriannya
disangkal oleh pihak tergugat, maka pihak yang menggugat wajib membuktikan bahwa
dia ahli waris dari orang tuanya dan tanah tersebut merupakan milik si meninggal
tersebut. Apabila telah berhasil membuktikan dan pihak tergugat membantah dengan
dalih telah membeli tanah tersebut, maka pihak tergugat wajib membuktikanya.

1)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.323
2)
Ibid
3)
Ibid
4)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.177
2. Macam-macam Pembuktian
Ada lima macam pembuktian yang sah, yaitu:
a) Pembuktian dengan Tulisan
Bukti tulisan dapat dibagi dalam bentuk surat-surat akta dan surat-surat lain.
Surat akta adalah “Suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan
sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditanda tangani” 1).
Surat-surat akta dibagi menjadi dua yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan.
Yang dimaksud dengan akta autentik adalah suatu akte yang dibuat oleh atau di
hadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk
membuat surat-surat akte tersebut2). Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris,
jurusita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil dan sebagainya.
Pembuktian dengan tulisan ada dua macam yaitu dengan akta autentik dan akta di
bawah tangan.
1) Akta Autentik,
Akta autentik merupakan akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa di tempat di
mana akta dibuat3).
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam suatu akta autentik, yaitu:
a. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
b. Dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang
c. Dibuat oleh pejabat umum atau di hadapan siapa akta itu dibuat mempunyai
kewenangan untuk kita4).
Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya
tidak perlu dilengkapi dengan alat-alat bukti lain. Pada intinya pembuatan akta
autentik bersifat sempurna, mengikat, formil, dan materil. Apabila suatu pihak
mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa
yang dituliskan di dalam akta itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim
itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi5).

1)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.178
2)
Ibid
3)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.324
4)
Ibid, hlm.325
5)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.179
2) Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan
perantaraan seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual beli atau
sewa menyewa yang dibuat sendiri oleh kedua pihak yang mengadakan
perjanjian itu1). Akan tetapi apabila tanda tanganya di sangkal, maka pihak yang
telah melakukan pengajuan perjanjian maka diwajibkan untuk membuktikan
kebenaran tanda tanganya pada akta resmi tersebut, pihak tersebut harus
membuktikan bahwa tanda tangan tersebut asli bukan palsu. Jadi, akta di bawah
tangan adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat umum yang telah
ditentukan oleh undang-undang dan hanya di tanda tangani oleh para pihak yang
bersangkutan.
Akta di bawah tangan memilki kekuatan bukti yang sempurna, apabila para
pihak yang menandatangani akta yang tercantum dalam akta tersebut. Jika pihak
yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal
tanda tanganya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa
yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut
memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi 2).
Suatu akta di bawah tangan berisi suatu pengakuan terkait berhutang karena
meminjam sejumlah uang tunai harus seluruhnya ditulis dalam surat perjanjian
dan harus ditulis sendiri oleh pihak yang bertanda tangan. Dalam akta perjanjian
terdapat tanggal, mengenai tanggal berlaku ketentuan yang menyatakan bahwa
terdapat pihak ketiga, tanggal tersebut dapat diterima apabila:
a. Tanggal akta itu diresmikan (notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
undang-undang
b. Tanggal meninggalnya orang yang memberi tanda tangan
c. Tanggal dibuktikanya tentang adanya akta-akta di bawah tangan itu dari akta-
akta lain
d. Tanggal dimana pihak ketiga mengakui adanya akta tersebut3).

1)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.179
2)
Ibid
3)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.326
b) Pembuktian dengan Kesaksian
Setelah pembuktian dengan tulisan, Pembuktian dengan kesaksian ialah cara
pembuktian pembuktian dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di hadapan
hakim. Suatu kesaksian harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan
mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi 1). Jadi tidak
diperkenankan seseorang memberikan kesaksian hanya mendengar dari orang lain.
Seorang saksi tidak dibolehkan memberikan keterangan yang merupakan
kesimpulan-kesimpulan yang yang ia simpulkan sendiri dari peristiwa yang
dialaminya, karena hakim yang berhak menarik kesimpulan. Contohnya,
Seseorang bersaksi dan menerangkan bahwa ia melihat pihak penggugat telah
menyerahkan sejumlah uang kepada pihak tergugat, atau ia meliaht tergugat
minum beberapa botol bir, tetapi ia tidak boleh menerangkan bahwa tergugat
berhutang pada penggugat atau tergugat berada dalam keadaan mabuk ketika ia
membuat perjanjian dengan penggugat2). Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan
lasan bagaimana ia mengetahui hal yang diterangkan. Dengan demikian, dalam
memberi kesaksian diharapkan tidak memberi keterangan atau kesaksian yang
berupa kesimpulan, tetapi menerangkan latar belakang peristiwa yang telah terjadi.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna, tetapi terserah
kepada hakim untuk menerima atau tidak, artinya hakim berhak secara penuh
untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan dari seorang saksi.
Seorang saksi yang mempunyai hubungan kekerabatan yang erat dengan pihak
yang berperkara dapat ditolah oleh pihak lawan, dan saksi tersebut dapat meminta
dibebaskan dari kewajibanya memberikan keterangan sebagai saksi. Di dalam
undang-undang dijelaskan bahwa keterangan dari seorang saksi tidaklah cukup,
artinya hakimtidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu
pihak atas keteranganya satu orang saja, jadi kesaksian itu selalu harus ditambah
dengan suatu alat pembuktian lain3).

1)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.180
2)
Ibid, hlm.181
3)
Ibid, hlm.181
Orang-orang yang berhak memberi Kesaksian
Semua orang yang cakap untuk memberiakan kesaksian di muka hakim, namun ia
dapat meminta dibebaskan dari kewajibanya untuk memberikan kesaksian karena:
a. Mereka yang dalam pertalian keluarga dalam garis samping dalam derajat kedua
atau semenda dengan salah satu pihak
b. Mereka yang dalam pertalian keluarga dalam garis lurus tak terbatas dan dalam
garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak
c. Mereka yang karena kedudukan, pekerjaanya atau jabatanya menurut undang-
undang diwajibkan merahasiakan sesuatu1).
Orang-orang yang bisa memberikan kesaksian dalam hal-hal berikut:
a. Dalam perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak
b. Dalam perkara-perkara mengenai nafkah terhadap anak belum dewasa
c. Dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan
pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian
d. Dalam perkara-perkara mengenai suatu perjanjian perburuhan2).

Orang-orang yang tidak berhak memberi kesaksian


a. Orang yang belum mencapai usia 15 tahun
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena dungu, sakit ingatan atau mata
gelap
c. Orang yang telah dimasukan ke tahanan atas perintah hakim3).

c) Pembuktian dengan Persangkaan


Persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang
sudah terang dan nyata, dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan
bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga telah terjadi4).

1)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.327
2)
Ibid
3)
Ibid
4)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.181
Macam-macam persangkaan dalam undang-undang dibedakan menjadi dua yaitu
persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan menurut hakim, penjelasan
mengenai masing-masing persangkaan sebagai berikut:
1) Persangkaan menurut undang-undang
Persangkaan menurut undang-undang pada hakikatnya merupaka suatu pembebasan
dari kewajiban pembuktian sesuatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang
berperkara1). Misalnya:adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut
menurut undang-undang, menurut undang-undang menimbulkan persangkaan bahwa
uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga sudah dibayar 2). Maka,dengan
menunjukan bukti kwitansi pembayaran sewa rumah yang telah dibayar untuk tiga
bulan berturut-turut maka yang penyewa rumah bebas untuk tidak membayarnya lagi.
Persangkaan-persangkaan khusus berdasarkan ketentuan undang-undang yang
dihubungkan dengan peristiwa tertentu di antaranya:
a.Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal,karena semata-mata dari sifat
dan wujudnya dianggap dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-
undang,
b. Hal-hal dimana hak milik atau pembebasan utang oleh undang-undang
disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu,
c.Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan diberikan kepada putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan mutlak,
d. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau sumpah
salah satu pihak3).

2) Persangkaan menurut Hakim


Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim, terdapat dalam pemeriksaan suatu
perkara dimana untuk membuktikan suatu peristiwa tidak bisa didapatkan saksi-saksi
yang dengan mata kepala sendiri telah melihat peristiwa tersebut4).

1)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.182
2)
Ibid
3)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.327
4)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.182
Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina
dengan pria lain, hal tersebut tentu sangat sulit untuk memperoleh saksi yang melihat
dengan kepala sendiri perbuatan zina yang telah terjadi, akan tetapi jika ada saksi yang
melihat seorang istri itu menginap sekamar dengan denga pria lain sedangkan dalam
kamar tersebut hanya terdapat satu tempat tidur,maka dari keterangan saksi hakim
dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang tersebut telah melakukan
perbuatan zina dan lazimnya dalam praktek perbuatan zina hanya bisa dibuktikan
dengan persangkaan1). Dengan demikian, suatu persangkaan yang ditetapkan oleh
hakim terdapat dalam pemeriksaan suatu perkara dimana untuk pembuktian suatu
peristiwa tidak bisa didapatkan saksi-saksi yang dengan mata kepala sendiri telah
melihat peristiwa tersebut2).

d) Pembuktian dengan Pengakuan


Suatu pengakuan merupakan suatu pernyataan tentang kebenaran, oleh salah satu
pihak yang bersengketa tentang apa yang dikemukakan oleh lawanya, pengakuan
meliputi pernyataan akan kebenaran dari tuntutan serta hubungan hukum dan peristiwa 3).
Sebenrnya suatu pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak
mengakui suatu hal maka pihak lawanya dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan
hal tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan telah membuktikan hal
tersebut4).
Macam-macam pengakuan, yaitu:
1) Pengakuan di muka hakim
Menurut undang-undang, suatu pengakuan yang dilakukan di depan hakim,
merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran suatu peristiwa
yang diakui5).Suatu pengakuan di muka hakim tidak bisa ditarik kembali, kecuali
apabila dibuktikan bahwa pengakuan itu adalah adalah akibat dari suatu kekhilafan
mengenai hal-hal yang terjadi6).

1)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.182
2)
Ibid
3)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.329
4)
Ibid, Prof Subekti, S.H, hlm.182
5)
Ibid, hlm.183
6)
Ibid, P.N.H Simanjuntak, S.H, hlm.329
2) Pengakuan di luar sidang pengadilan
Pengakuan di luar siding merupakan pengakuan lisan yang dilakukan di luar
siding pengadilan tidak dapat dipakai,selainnya dalam hal-hal dimana diizinkan
pembuktian dengan saksi-saksi,jadi mengenai pengakuan di luar siding diserahkan
kepada penilaian oleh hakim sendiri1).

e) Pembuktian dengan Sumpah


Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat bahwa Tuhan adalah Yang Maha tau
dan bahwa Tuhan akan menghukum tiap dusta, pada waktu orang memberikan suatu
keterangan atau kesanggupan, sumpah pada hakekatnya adalah suatu perbuatan yang
bersifat keagamaan2).
Ada dua macam sumpah yaitu, sumpah yang menentukan dan sumpah tambahan.
Penjelasan dari masing-masing sumpah adalah sebagai berikut:
1) Sumpah yang menentukan
Sumpah yang menentukan adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu
pihak yang berperkara kepada pihak lawan nya dengan maksud untuk mengakhiri
perkara yang sedang diperiksa oleh hakim3).Apabila pihaklawan mengangkat sumpah
yang perumusanya dirancang sendiri oleh pihak yang memerintah pengangkatan
sumpah maka ia akan dimenangkan, sebaliknya jika tidak berani mengangkat
sumpah atau menolak maka ia akan dikalahkan. Pihak yang memerintah untuk
mengangkat sumpah dapat mengembalikan sumpah kepada lawanya yang artinya
meminta kepada pihak lawanya untuk melakukan pengangkatan sumpah. Misalnya,
jika perumusan semula yang berbunyi: “ saya bersumpah bahwa bersungguh-
sungguh saya telah menyerahkan barang” perumusan yang dikembalikan akan
berbunyi: “ saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh saya tidak menerima barang”
4)
. Apabila sumpah dikembalikan maka pihak yang memerintah melakukan
pengangkatan sumpah akan dimenangkan oleh hakim jika ia mengangkat sumpah
itu, sebaliknya maka akan dikalahkan apabila menolak sumpah itu.

1)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.329
2)
Ibid, hlm.330
3)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.184
4)
Ibid, hlm184
Kesimpulan dari penjelasan tentang sumpah yang menentukan adalah “Suatu
sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak
lawanya, mempunyai suatu kekuatan pembuktian yang memaksa, jika sumpah itu
telah diangkat” 1).

2) Sumpah tambahan atau pelengkap


Sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada
salah satu pihak yang berperkara, apabila hakim itu berpendapat bahwa di dalam
suatu perkara sudah terdapat suatu “ permukaan pembuktian”, yang perlu ditambah
dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan
putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu2). Pihak yang diperintahkan untuk
melakukan sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak perintah
sumpah tambahan tersebut, akan tetapi dia tidak dapat mengembalikansumpah yang
diperintahkan oleh hakim kepada pihak lawan. Terhadap sumpah tambahan
sebenarnyadapat dikatakan bahwa ia menentukan juga jalan perkara. Ada kalanya
sebuah kesaksian atau suatu persangkaan dianggap sebagai permulaan dalam
melakukan pembuktian. Hakim memiliki kekuasaan atau hak penuh untuk
memerintahkan sumpah tambahan kepada pihak yang berperkara entah itu kepada
pihak penggugat atau justru kepada pihak tergugat karena semua terserah kepada
pertimbangan hakim sendiri.
Unsur-unsur yang harus terdapat dalam sumpah tambahan antara lain yaitu:
a. Ada itikad baik
b. Ada alas hak yang sah
c. Menguasai barang tersebut secara terus menerus selama 20 tahun atau 30 tahun
tanpa ada yang menggugat3).
Itikad baik harus selamanya dianggap ada, sedangkan siapa yang menunjukan itikad
buruk maka diwajibkan untuk membuktikanya.

1)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.184
2)
Ibid, Prof Subekti, S.H, hlm.185
3)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.333
B. Substansi Pokok Daluwarsa
Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tak bergerak (dengan mana
dipersamakan benda yang tertulis atas nama) lama kelamaan dapat memperoleh hak
milik atas benda tersebut1). Apabila dapat meunjukan suatu titel yang sah, maka dengan
lewatnya waktu 20 tahun sejak mulai menguasai benda tersebut, ia menjadi pemilik sah
dari bendatersebut, Misalnya: Seorang yang membeli tanah secara jujur dari orang yang
sebenarnya tidak berhak menjual tanah tersebut, setelah lewat 20 tahun apabila selawa
masa tersebut tidak pernah ada satu pihak pun yang membantah haknya maka akan
menjadi pemilik yang sah atas tanah tersebut 2). Sebelum lewat waktu 20 tahun, oleh
undang-undang dia dianggap sebagai bezitter.
Setelah lewat 30 tahun bezitter yang jujur tersebut tidak diwajibkan menunjukan
titel lagi, yang artinya dia dapat menolak setiap tuntutan yang dilayangkan kepadanya
dan ia dapat dianggap telah memperoleh hak milik yang sah juga. Oleh undang-undang
ditetapkan bahwa dengan lewatnya 30 tahun, setiap orang dibebaskan dari semua
penagihan atau tuntutan hukum3). Artinya apabila seseorang digugat untuk
membayarkan suatu hutang yang telah lebih dari 30 tahun serta belum pernah menerima
gugatan atau suatu tuntutan apapun, maka bezitter yang tidak jujur dapat menolak
dengan membela dirinya terhadap tuntutan dengan mengajukan lewat waktu 30 tahun,
meskipun secara nyata ia tidak akan dapat menjadi pemilik yang telah menjadi
perselisihan tersebut.
Dari daluwarsa harus diperbedakan antara “pelepasan hak” yaitu hilangnya
sesuatu hak bukan karena lewat waktunya, tetapi karena sikap atau tindakan seorang
yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan sesuatu hak 4). Contohnya
seseorang membeli suatu barang ternyata barang yang datang ternyata terdapat
kerusakan yang disembunyikan untuk menyamarkan perhatian pembeli, jika tidak
mengembalikan barang tersebut tetapi terus dipakai sama pembelinya maka ia akan
kehilangan haknya untuk menuntut ganti rugi kepada penjual.

1)
Prof.Subekti,S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.185
2)
Ibid, hlm 186
3)
Ibid, hlm 186
4)
Ibid, hlm.187
1) Pencegahan lewat waktu
Pencegahan daluwarsa dapat dilakukan dengan memberikan peringatan, gugatan,
atau perbuatan hukum lain yang diberitahukan oleh pejabat yang berwenang atas nama
pihak yang berhak kepada pihak yang hendak dicegah daluwarsa itu tetapi daluwarsa
tidak tercegah jika peringatan atau gugatan ditarik kembali atau dinyatakan batal atau
ditolak oleh hakim1).
2) Penangguhan lewat waktu
Daluwarsa tidak dapat terjadi dalam hal-hal berikut:
a. Terhadap anak yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan
b. Terjadi antara suami dan istri
c.Terhadap seorang istri selama perkawinan
d. Terhadap piutang yang bergantung pada suatu syarat selama syarat tersebut tidak
dipenuhi
e.Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak
istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan, mengenai harta piutang-
piutangnya terhadap harta peninggalan2).

1)
P.N.H.Simanjuntak, S.H, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.334
2)
Ibid
DAFTAR PUSTAKA

Simanjuntak, P.N.H. 2017. Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana.

Subekti, R. 2005. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa. Cet. XXXII

Ussu, Darliyanti. 2014. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Lex Privatum
Ejournal Unsrat, Vol 2, No 1

Anda mungkin juga menyukai