Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM PEMBUKTIAN DAN LUAR WAKTU

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah hukum perdata

Dosen penguji: Prihatini Purwaningsih, S.H., M.H.

Disusun oleh :

Tegar Pratama Saputra M. 221103012281

Hawa Fitriani. 221103012239

Muhammad Wahyu. 221103012195

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum perdata memuat seperangkat aturan tentang hak dan kewajiban

perorangan, seperangkat aturan tersebut berdasarkan ilmu hukum diklasifikasikan

menjadi beberapa bagian, 1) Hukum tentang diri seseorang; 2) Hukum keluarga; 3)

Hukum kekayaan; dan 4) Hukum warisan. Hukum perdata juga memiliki

pembagian yang berbeda jika ditinjau berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, pembagiannya diklasifikasikan menjadi empat, yaitu 1) Buku I memuat

perihal orang, didalamnya membahas hukum diri seseorang dan hukum keluarga;

2) Buku II memuat perihal kebendaan yang membahas hukum perbendaan dan

hukum kewarisan; 3) Buku III memuat perihal perikatan dalam pembahasannya

memuat hukum kekayaan yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban setiap orang

atau pihak-pihak tertentu; 4) Buku IV memuat perihal pembuktian dan daluwarsa,

bagian ini memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu

terhadap hubungan hukum.

Bagian pembahasan hukum perdata berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang ke-IV tentang pembuktian dan daluwarsa merupakan hal

yang urgen untuk dipahami, sebab ini merupakan sebagian pengetahuan yang

2
terdapat dalam hukum acara perdata, artinya dengan mempelajari serta mengetahui

hukum pembuktian dan daluwarsa kita telah mengetahui dasar-dasar pelaksanaan

hukum acara perdata. Hal inilah yang melatar belakangi disusunnya makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Mengetahui dasar-dasar hukum pembuktian dan hukum daluwarsa akan

mempermudah dalam memahami serta mengkaji lebih jauh tentang hukum

pembuktian dan daluwarsa tersebut. Untuk itu masalah yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengertian serta teori-teori yang menjelaskan tentang

pembuktian?

2. Apa-apa saja alat yang digunakan dalam perkara pembuktian?

3. Bagaimanakah pengertian, syarat, serta bentuk daluwarsa?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian

Pembuktian (Inggris: evidentiary, Belanda: bewijs) berasal dari kata bukti,

yang berarti keterangan nyata; sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa

(KBBI, 1999:151). Menurtu beberpa ahli diantaranya R. Subekti (1975:5)

pembuktian adalah upaya meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-

3
dalil yang dikemukakan dengan persengketaan. Kemudian Nashr Farid Washil

(2004:26) mengartikan pembuktian sebagai upaya atau kegiatan menampilkan

alat-alat bukti yang sah berdasar hukum kepada hakim yang memeriksa suatu

perekara guna mentapkan apakah seseorang itu memiliki hak atau tidak.

Pembuktian memiliki dasar yang dituangkan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Dasar ini terdapat dalam pasal 1865 yang berbunyi “Setiap orang

yang mendalikan bahwa dia mempunyai suatu hak atau, guna meneguhkan haknya

sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukan kepada suatu

peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”

( Tjitrosudibio, 2006:475). Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa tuntutan

untuk mendapatkan hak, meneguhkan, atau pun membantah hak orang lain

terhadap sesuatu, pihak yang menuntut, meneguhkan, atau pun melakukan

pembelaan harus memiliki bukti atas hak tersebut.

Pembuktian dalam hukum perdata juga dianggap sebagai sebagian dari

perkara hukum acara perdata. Dalam hal ini hukum pembuktian hanya berlaku

dalam perkara sengketa yang sering diselesaikan dalam acara perdata. Dengan

adanya hukum pembuktian inilah hakim dapat menentukan pihak mana yang

menang dan kalah (Wansyah, 2014:10). Menang atau kalah merupakan

konsekuensi seberapa kuat atau pun lemah bukti yang diajukan oleh beberapa

pihak dalam menyelesaikan perkara sengketa, untuk itu adanya pembuktian dalam

menyeleseaikan perkara sangat diorientasikan.

4
A. Pitlo (1968:3) mengatakatan bahwa acuan yang digunakan oleh orang-

orang dalam mengartikan hukum pembuktian menggunakan dua macam

pendekatan yang berbeda, yaitu:

1. Hukum materil adalah hukum dalam suasana damai, dan hukum formil

adalah suasana pertentangan. Hukum pembuktian sebagai bagian dari

hukum acara, dan dalam hukum acara terdapat pertentangan-pertentangan,

untuk itu menurut pandangan pertama ini hukum pembuktian diartikan

sebagai hukum formil dikarenakan sebuah indikator, yaitu adanya

pertentangan

2. Hukum materil adalah suatu aturan mengenai isi aturan, dan hukm formil

adala suatu aturan yang mengenai bentuk luar. Berbeda dengan pendekatan

yang pertama pendekatan ini mengetikan hukum pembuktian termasuk

dalam hukum materil, pendekatan ini menggunakan gugatan sebagai

indikator utama dalam mengartikan hukum pembuktian. Artinya adalah

hukum gugatan merupakan kumpulan-kumpulan yang melukiskan hukum

materil.

B. Teori-teori Pembuktian

Ilmu pasti memandang pembuktian harus logis dan seksama. Sebagai contoh

ilmu pasti dapat membuktikan secara pasti bahwa tiga ditambah dengan dua

5
ditambah tiga hasilnya tetap akan sama, dan dua garis yang sejajar tidak akan

pernah bertemu merupakan hal yang tak dapat diperdebatkan lagi validitas dan

kebenaran pembuktiannya.

Pembuktian prespektif ilmu hukum tidak seperti pembuktian prespektif ilmu

pasti. Ilmu hukum menolak pembuktian dari penalaran logis yang menurut ilmu

pasti akan menghasilkan kepastian, hal ini berbeda dengan anggapan ilmu hukum

bahwa pembuktian baik banyak maupun sedikit tidak memiliki kepastian. Asumsi

ilmu hukum tentang hal ini adalah jika bukti itu sempurna, maka bukti sangkalan

tidak mungkin diberikan (Pitlo,1968:8).

A.Pitlo (1968:45) mengatakatan bahwa terdapat teori-teori pembuktian dalam

ilmu hukum, diantaranya sebagai berikut:

1. Teori hak (Teori hukum subjektif)

Teori ini mengajarkan bahwa suatu perkara selalu mengenai hal

mempertahankan hak. Siapa yang mengemukakan suatu hak, mesti

membuktikan haknya. Tetapi tidak perlu membuktikan segala apa yang

diperlukan untuk membuktikan haknya.

Tuntutan untuk membuktikan dalam mempertahankan hak apakah

benar adanya akan memberikan keabsahan atas hak yang dimiliki tersebut.

pada dasarnya setiap manusia memiliki hak atas apa yang dimiliki, untuk

6
membuktikan kepemilikan tersebut sudah pasti harus dibuktikan terlebih

dahulu, agar supaya hak tersebut diakui oleh hukum.

2. Teori hukum (Teori hukum objektif)

Siapa yang datang kepada hakim, maka perbuatannya tidak lain dari

pada meminta kepada hakim untuk melaksanakan peraturan hukum atas

fakta-fakta yang penuntut kemukakan. Untuk itu, perlu fakta tersebut

dibuktikan kebenarannya, yang akan mengesahkan pelaksanaan peraturan

hukum termaksud hakim bersifat pasif. Hakim mengambil undang-

undang, kemudian membacanya disana (apabila seorang datang kepadanya

dengan tagihan karena jual-beli) apa pembeliannya itu, dilihatnya apakah

yang dibuktikan oleh penuntut memenuhi syarat undang-undang, dan

berdasarkan pemeriksaan ini mengabulkan tagihan itu, atau menolaknya.

3. Teori hukum acara dan teori kepatutan

Praktek peradilan mengajarkan kita, bahwa hakim dalam taraf terakhir

selalu menyisihkan aturan-aturan tentang beban pembuktian, apabila aturan

itu dalam hal yang konkrit membawa kepada hal yang tidak patut. Apabila

pelaksanaan aturan membawa kepada hal yang tidak patut, maka ia

mengikkuti perasaan kepatutannya dan mewajibkan beban pembuktian,

menurut perasaannya itu. ia boleh berbuat demikian.

C. Alat-alat Pembuktian

7
Subekti,R,Tjitrosudibio,R (2006:475) berpendapat bahwa alat-alat yang digunakan

dalam pembuktian sebagaiman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (B.W) dalam pasal 1866 terdiri atas:

1. Bukti tulisan;

2. Bukti dengan sakasi-saksi;

3. Persangkaan-persangkaan;

4. Pengakuan;

5. Sumpah;

Berikut uraian dari alat-alat yang digunakan dalam hukum pembuktian:

1. Bukti Tulisan

Selanjutnya berkaitan dengan bukti tulisan undang-undang B.W

mengatur cara-caranya, dalam hal ini terdapat dalam pasal 1867

“pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan yang otentik

maupun dengan tulisan-tulisan di bawa tangan”. Akta otentik dalam pasal

1869 undang-undang B.W ialah suatu akta yang didalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undan, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-

pegawai umum yang berkuasa. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan

tulisan dibawah tangan pasal 1874 undang-undang B.W menyebutkan

bahwa tulisan yang ditandatangani diberi suatu pernyataan dari seorang

notaries atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang dari

8
mana bahwa ia mengenal sipenanda tangan atau bahwa orang yang

diperkenalkan kepdannya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepda si

penandatangan, dan bahwa setelah itu penanda tangan telah dilakukan

dihadapan pegawai tersebut.

2. Bukti Saksi-saksi

Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian

merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang

diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-

peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh

seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang

adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan

saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa

yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik

kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan

mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak.

Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai

keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang sangat rapat hubungan

kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak

lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari

9
kewajibannya untuk memberikan kesaksian.Selanjutnya, undang-undang

menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak

boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas

keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah

dengan suatu alat pembuktian lain.

Perlu diketahui juga bahwa terdapat golongan orang yang tidak dapat

dijadikan sebagai saksi, yaitu orang yang belum berumur 15 tahun, orang

yang dungu, sakit jiwa, mata gelap yang berada di bawah pengampuan,

orang yang lemah ingatannya (pitlo, 1968:115).

Hal ini ditentukan dikarenakan tidak adanya kemampuan dari

golongan orang-orang tersebut, yang apabila dijadikan sebagai saksi,

kesaksiannya tidak valid bahka bisa melenceng dari kebenaran.

3. Persangkaan-persangkaan

Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa

yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini

ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah

terjadi. lebih jelasnya lagi bahwa Persangkahan adalah jika dari fakta-fakta

di ketahui di simpulkan dari kearah kepastian, tentang adanya suatu

pemikiran yang sebelumnya tidak di ketahui. Jadi dalam persangkaan. Kita

berhbungan dengan bukti langsung, jadi saya membuktikan bahwa saya

10
pada suatu hari tertentu tidak di A untuk itu saya membuktikan bahwa saya

pada hari itu berada di B, dari kenyataan, bahwa saya berada di B, orang

(hakim) menarik kesimpulan, bahwa saya tidak ada di A, hakim akan

berbuat demikian, apabilah undang-undang tidak menyinggung

persangkaan tampa memakai persangkaan orang hamper tidak mungkin

melaksanakan pembuktian (pitlo,1968:123).

Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan

yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan

persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).

Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden),

pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban

membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang

berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang

berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang

sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.

Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat

pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang

dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam

suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina

dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi

yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan

11
tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu

kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada

satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim

dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah

melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu

lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.

4. Pengakuan

A.Pitlo (1968:150) berpendapat bahwa Pengakuan adalah keterangan

dari salasatu pihak dalam satu perkara, dimana ia mengakui dimana apa

yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang di

kemukakan dari pihak lawan. Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat

pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak

lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat

dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab

pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.

Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim,

merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau

peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan

menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah

terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu

sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu

perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat,

12
tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang

menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian

jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang

yang telah ia terima dari penggugat.

Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh

dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses

yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang

disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu

pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang

masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya

penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu

diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan

sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara

yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan

pemisahan kekayaan.

5. Sumpah

Tidak semua orang suka pada kebenaran. Hal ini berlaku secara

menonjol apabila kepentingannya dipertaruhkan. Selain dari itu ilmu

spikologi mengajarkan kepada kita, bahwa tidak berkata benar tidak selalu

disebabkan oleh karena kita tidak berkehendak untuk mengatakan

13
sebenarnya, akan tetapi oleh karena kita tidak sanggup mengatakan hal

yang sebenarnnya, tidak ada sesuatu keterangan pun yang dapat diastikan,

bahwa tidak berisikan kebenaran, wakapun, tergantung dari orang yang

memberikan keterangan itu dan dari keadaan keliling dimana ini telah

terjadi, keterangan yang satu lebih dapat dipercaya dari pada yang lain

(pitlo,1968:172).

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang

”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed). Sumpah

yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan

oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud

untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak

lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak

yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan,

sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia

akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah,

mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta

kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja

perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan

semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah

bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan

sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa

14
sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah

dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan

sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah

itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan

sumpah itu. Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan

pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus

mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah

mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang

disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu

perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat

sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu.

Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan

terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak

yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa

sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara. Suatu

sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim

pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa

didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang

perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang

memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang

terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah

15
tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan

pembuktian.

Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah

tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak

dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya,

terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan

juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu

sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu

pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah

tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak

hakim itu sendiri.

Tidak semua orang suka pada kebenaran. Hal ini berlaku secara

menonjol apabila kepentingannya dipertaruhkan. Selain dari itu ilmu

spikologi mengajarkan kepada kita, bahwa tidak berkata benar tidak selalu

disebabkan oleh karena kita tidak berkehendak untuk mengatakan

sebenarnya, akan tetapi oleh karena kita tidak sanggup mengatakan hal

yang sebenarnnya, tidak ada sesuatu keterangan pun yang dapat diastikan,

bahwa tidak berisikan kebenaran, wakapun, tergantung dari orang yang

memberikan keterangan itu dan dari keadaan keliling dimana ini telah

terjadi, keterangan yang satu lebih dapat dipercaya dari pada yang lain.

D. Pengertian Daluwarsa

16
Salah satu fungsi dari hukum objektif adalah melindungi keadaan yang ada.

Apa yang ada seyogiyanyalah dilindungi. Tata masyarakat menghendakinya.

Pemlik dari sebidang tanah dalam melawan orang yang memakai sebagian dari

tanahnya tanpa izinnya. Seorang kreditur dapat menggugat debiturnya yang lalai

membayar. Bagaimana caranya orang mempertahankan haknya diatur oleh

undang-undang.

Orang yang haknya dilanggar dapat juga bersifat pasiv. Pemilik tanah

membiarkan orang menyerobot tanahnya. Kreditur membiarkan saja debiturnya

membayar. Hal ini bisa terjadi, oleh karena orang tidak mengetahui, bahwa ada

pelanggaran hak. Bisa juga terjadi oleh karena ia tidak cekatan, suka mengalah,

atau oleh suatu sebab lain apapun maka terjadilah sesuatu yang nyata yang

berlawanan dengan keadaan menurut hukum. Pemerintah tidak dengan sendirinya

mencampuri hal ini, karena tidak berada dibidang hukum perdata. Hakim

menunggu sampai orang yang dirugikan meminta jasanya.

Tata masyarakat menghendaki, bahwa keadaan yang baru ini, apabila sudah

lama berjalan menjadi suatu keadaan hukum, suatu tuntutan yang diladeni oleh

hukum. Adalah tidak patut apabila pemilik tanah selama 50 atau 100 tahun

membiarkan saja penyerobot dan ahli warisnya, kemudan tiba-tiba mengusr

mereka itu. Demikian juga tidak dapat dibenarkan juga apabla seorang kreditur,

sesuadah 50 atau 100 membiarkan saja debiturnya yang lalai itu, kemudian

menuntut debitur itu (Pitlo,1968:211).

17
E. Syarat-syarat Daluwarsa

Daluwarsa yang berlaku tidak hanya dilihat dari waktu yang telah lewat

sebagai akibat hukum. Akan tetapi terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar

supaya hukum daluwarsa ini berlaku. Dalam hal ini terdapat dua syarat yang harus

terpenuhi pertama yaitu kedudukan atau kekuasaan yang jelas terhadap suatu objek

daluwarsa tersebut, dan beritikad baik bagi orang yang telah mendapatkan

kekuasan terhadap benda tersebut.

Untuk menjadi orang yang berhak, diperlukan orang yang menguasai benda

dari orang lain selama waktu yang diperlukan untuk daluwarsa, menguasai benda

itu bagi dirinya sendiri. Kemudian orang yang mendapatkan kekuasaan terhadapp

benda tersebut harus beritikad baik, agar supaya terhindar dari situasi yang dapat

merugikan orang lain (Pitlo,1968:214).

F. Bentuk-bentuk Daluwarsa

Ada dua macam Daluarsa atau Verjaring :

1. Acquisitieve Verjaring

Acquisitieve Verjaring Adalah lampau waktu yang menimbulkan hak.

Syarat adanya kedaluarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang

menguasai benda tersebut. Daluwarsa bentuk ini juga disebut sebagai

daluwarsa memperoleh.(Pitlo,1968:214)

18
Pasal 1963 KUH Perdata: Pasal 2000 NBW “ Siapa yang dengan itikad

baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda

tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar

atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa , dengan

suatu penguasaan selama dua puluh tahun “. Dan “ Siapa yang dengan

itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik

dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.

Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama

kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dan apabila ia

bisa menunjukkan suatu title yang sah, maka dengan daluarsa dua puluh

tahun sejak mulai menguasai benda tersebut. Misalnya: Nisa menguasai

tanah perkarangan tanpa adanya title yang sah selama 30 tahun. Selama

waktu itu tidak ada gangguan dari pihak ketiga, maka demi hukum, tanah

pekarangan itu menjadi miliknya dan tanpa dipertanyakannya alas hukum

tersebut.

2. Extinctieve Verjaring

A.Pitlo (1968:214) berpendapat bahwa Extinctieve Verjaring atau

daluwarsa membebaskan Adalah lampau waktu lampau yang

melenyapakan atau membebaskan terhadap tagihan atau kewajibannya.

Misalnya: Dheya telah meminjam uang kepada Syamsul sebesar

19
Rp.10.000.000,00 . Dalam jangka waktu 30 tahun, uang itu tidak ditagih

oleh Syamsul, maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka

Dheya dibebaskan untuk membayar utangnya kepada Syamsul.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum pembuktian merupakan sebuah hukum yang digunakan untuk

menyelesaikan sebuah perkara sengketa. Hukum ini juga termasuk sebagai

pembahasan hukum acara perdata, sebab dalam perkara acara perdata

dibutuhkannya bukti-bukti oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang terjadi.

Teori-teori yang menjelaskan hukum pembuktian secara umum terbagi menjadi

tiga, yaitu teori hak (Teori hukum subjektif), teori hukum (Teori hukum objektif),

dan teori hukum acara dan teori kepatutan. Alat-alat yang digunakan sebagai

20
pembuktian dalam penyelesaian sengketa atau pun perkara diantaranya adalah

bukti tertulis, bukti saksi, bukti persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Masing-

masing dari setiap alat bukti tersebut memiliki kekuatan hukum untuk digunakan

dalam menyelesaikan perkara.

Hukum daluwarsa mengatur tentang tatacara masyarakat dalam menyelesaikan

perkara kekuasaan terhadap suatu benda. Dalam menyelasaikan perkara tersebut

para pihak harus memenuhi dua syarat, yaitu memiliki kekuasaan atau kedudukan

atas benda yang diperkarakan dan harus memiliki iktikad baik bagi orang yang

mendapatkan kekuasaan bagi benda tersebut. Perkara daluwarsa juga terbagi

menjadi beberapa bentuk yaitu daluwarsa memperoleh (Acquisitieve Verjaring)

dan daluwarsa membebaskan (Extinctieve Verjaring)

DAFTAR PUSTAKA

Pitlo, A. 1968. Pembuktian dan Daluwarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Belanda. Nederlannd: H.D. Tjeenk willink & Zoon, NV Haarlem.

21
Subekti, R, Tjitrosudibio, R. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Wansyah, Riyo. “Pembuktian dan Daluwarsa”. diambil pada tanggal 15 juni 2017.

Dari http://riyowansyah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pembuktian-dan-

daluarsa.htm, 2014.

Tim Penyusun, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Jakarta: Balai

Pustaka.

Subekti, R. 1975. Hukum Pembuktian. Jakarta: Padnya Paramita.

Anshoruddin. 2004. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum

Positif. Jakarta: Pustaka Pelajar.

22

Anda mungkin juga menyukai