Anda di halaman 1dari 14

Tugas

Hukum Acara

PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA

Oleh:

KELOMPOK : IV
KETUA :LUKAS CHRISTOPHER WIJAYA (2216000085)
ANGGOTA :ANDIKA KELVIN F. PAKPAHAN (2216000002)
:EFRAI DAELI (2216000032)
:LAURA YOLANDA HUTABARAT (2216000037)
:MUHAMMAD MUQSITH LUBIS (2216000053)
:MUHAMMAD ZAKY ALBARI (2216000034)
:DELLA RAHMANIAR (2216000045)

Falkutas Sosial Sains


Prodi Ilmu Hukum
Universitas Pembangunan Panca Budi
Medan
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum yang terjadi di antara masyarakat adalah dengan perantara kekuasaan kehakiman. Orang yang merasa dirugikan hak atau kepentingannya dapat
menggugat orang yang dianggap merugikannya di muka pengadilan yang berwenang.
Tujuan para pencari keadilan mengajukan perkara di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan keputusan yang adil guna menyelesaikan perkaranya, sehingga hak-hak maupun kepentingan-
kepentingan yang dilindungi oleh hukum materiil, baik berupa hukum tertulis maupun tidak tertulis, dapat diwujudkan lewat pengadilan. Tentu saja para pencari keadilan tersebut, terutama pihak
yang mengajukan gugatan (Penggugat), mempunyai keinginan agar perkaranya dapat cepat selesai.
Keperluan ini, mereka harus menaati ketentuan peraturan perundangan yang mengatur cara-cara penyelesaian perkara melalui pengadilan yang berlaku. Peradilan yang bersifat cepat, sederhana,
biaya murah, dan dengan kata-katas ederhana sering kali mengalami realita yang justru sebaliknya. Kalau kita perhatikan, suatu perkara perdata yang diajukan ke muka pengadilan diselesaikan
dalam waktu yang relatif lama. Ini bisa dikarenakan oleh para pihak yang berperkara sendiri, hakim yang memeriksa perkaranya, saksi-saksi, atau mungkin juga hukum acara yang dipakaitidak
memadai.
Penyelesaian suatu perkara, para pihak dapat menggunakan upaya yang diberikan oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan (upaya hukum). Salah satu upaya hukum yang dapat dipergunakan
oleh tergugat dalam sidang pemeriksaan perkara adalah upaya melawan gugatan yang berupa eksepsi dan rekonveksi, di samping jawaban atas pokok perkaranya (verweer ten prinsipaal).
Penggugat juga diberi hak untuk membantah atas jawaban tergugat dalam bentuk replik,sebagaimana tergugat juga berkesempatan mengajukan duplik atas jawaban yang disampaikan oleh
penggugat. Replik duplik ini bisa terjadi berulang kali selama itu diperlukan.
Faktor lain yang menyebabkan persidangan menjadi lama adalah adanya interfensi dari pihak lain yang biasa disebut sebagai pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa saja mendukung penggugat
untuk memenangkan tuntutannya atau berpihak kepada tergugat agar lepas dari segala tuntutan. Bahkan, pihak ketiga boleh mengajukan dirinya sendiri untuk masuk dalam proses acara
persidangan tanpa membela siapapun.
.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Masalah yang dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata?
2. Apa yang dimaksud dengan Perkara Perdata?
3. Bagaimana asas-asas Pemeriksaan Perkara Perdata?
4. Bagaimana tahap Pemeriksaan Perkara Perdata?

C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini secara rinci adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perkara perdata
3. Untuk mengetahui apa saja asas-asas Pemeriksaan Perkara Perdata
4. Untuk mengetahui Bagaimana tahap Pemeriksaan Perkara Perdata

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA


Hukum acara perdata merupakan hukum formal yaitu hukum yang mengatur tentang tata cara atau beracara perdata ke pengadilan, dengan kata lain hukum acara perdata adalah hukum yang
mengatur cara bagaimana seseorang mempertahankan hak dan kepentingannya yang dirasa terganggu oleh pihak lain melalui pengadilan sehingga tercapai tertib hukum. Secara umum,
penyelesaian sengketa perdata pengadilan terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui.

Pengertian hukum acara perdata menurut para ahli:


1. Menurut Subekti, Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materiel”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
2. Menurut Soediman Kartohadiprodjo, Hukum perdata (materil) adalah kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata.
3. Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum perdata adalah hukum antar-perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga
dan di dalam pergaulan masyarakat.

Pengertian hukum perdata dalam artian luas dan sempit:


● Hukum perdata dalam arti yang lebih luas adalah hal-hal hukum dalam arti hukum perdata (BW), yaitu semua hukum dasar yang mengatur kepentingan individu.
● Hukum perdata dalam arti sempit adalah hukum perdata dalam pengertian Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Subekti mengatakan hukum perdata dalam arti yang lebih luas
mencakup semua hukum privat yang substantif, yaitu semua hukum dasar yang mengatur kepentingan individu. Hukum perdata kadang-kadang digunakan dalam arti yang lebih sempit
sebagai lawan dari hukum komersial.

3
B. HUKUM ACARA PERDATA SEBAGAI HUKUM FORMAL
Secara umum, dapat diartikan bahwa hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang mengatur cara seseorang harus bertindak terhadap orang lain, negara atau badan hukum (demikian
juga sebaliknya) seandainya hak dan kepentingan mereka terganggu, melalui badan yang disebut badan peradilan sehingga terdapat tertib hukum. Sebagai hukum perdata formal, hukum acara
perdata yang merupakan hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan tuntutan hak merupakan aturan permainan (spelregels) dalam melaksanakan tuntutan hak itu. Hukum acara
perdata mempunyai fungsi penting sehingga harus bersifat formal dan mengikat. Tidak boleh disimpangi dan bersifat memaksa bagi semua pihak yang menggunakannya. Ada beberapa asas
dalam hukum acara perdata. Asas dasar utama yang penting dalam hukum acara perdata Indonesia adalah asas point d’interet point d’action, yang berarti bahwa barang siapa yang mempunyai
kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak/gugatan ke pengadilan. Asas lainnya adalah actori incumbit probatio, yang berarti bahwa barang siapa yang mempunyai sesuatu hak atau
mengemukakan suatu peristiwa harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (Pasal 163 HIR).

Kaidah hukum acara perdata sampai saat ini terbagi menjadi sebagai berikut:
1. Het Herziene Indonesisch Reglament (HIR) berlaku khusus untuk daerah Jawa dan Madura;
2. Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg.) berlaku khusus untuk kepulauan lainnya di Indonesia;
3. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman;
4. Undang-undang Republik Indonesia No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
5. Undang-undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
6. Undang-undang Republik Indonesia No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
7. Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tentang Perkawinan, serta peraturan pelaksanaannya;
8. Undang-undang No. 20 tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulang.

4
C. PENGERTIAN PERKARA PERDATA
Perkara perdata adalah suatu perkara yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan. Hubungan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya
apabila terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil- adilnya.
Perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak hanya terhadap perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang dihadapi oleh para pihak, tetapi dalam hal-hal
tertentu yang sifatnya hanya merupakan suatu permohonan penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang berkepentingan agar hak-hak
keperdataannya mendapatkan keabsahan.
Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata
dalam arti yang sempit adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia menyatakan bahwa pengertian perkara perdata adalah meliputi perkara yang mengandung sengketa
(contentius) dan yang tidak mengandung sengketa (voluntair).

D. ASAS-ASAS PEMERIKSAAN PERDATA


Bagi semua pengadilan, tidak hanya dalam Pemeriksaan Perkara Perdata, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 13 menyebutkan bahwa:
1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan ini dijamin kemungkinan adanya social controle atas
pekerjaan para hakim.
Peraturan di atas pada umumnya dapat dianggap sebagai pokok asas bagi pemeriksaan perkara perdata, bahwa hakim, untuk dapat mengambil putusan yang tepat, sebaiknya mendengarkan
kedua belah pihak. Akan tetapi tidak mungkin ditentukan, bahwa pendengaran kedua belah pihak ini harus dilakukan, sebab adalah sukar memaksa para pihak untuk datang menghadap di
muka hakim

5
C. PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA
Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum, Adapun tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah:

1.Pencabutan dan Perubahan Gugatan


Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan oleh penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal yang ditentukan para pihak datang ke pengadilan. Di
ruang pengadilan, maka salah satu pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap pihak penggugat adalah, apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak ada perubahan lagi? Jika penggugat
menjawab bahwa gugatan sudah tidak ada perubahan, maka tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban terhadap gugatan tersebut.

Masalahnya adalah jika penggugat menyatakan bahwa gugatan tersebut terdapat perubahan. Apakah diperkenankan perubahan tersebut? Hal-hal apa saja yang diperkenankan dalam masalah
perubahan gugatan tersebut?

a. Perubahan Gugatan
HIR/RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan. Yang mengatur adalah RV. Pasal 127 RV ditentukan bahwa perubahan gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak mengubah
dan menambah petitum – tuntutan pokok (onderwerp van den eis) akan tetapi di dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga dasar dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa batasan perubahan gugutan yang bersumber dari praktik peradilan:
1.Tidak boleh mengubah materi pokok acara
2.Perubahan gugatan yang tidak prinsipil dapat dibenarkan.
3.Perubahan nomor surat keputusan
4.Tidak mengubah posita gugatan.
5.Pengurangan gugatan tidak boleh merugikan tergugat.

6
b.Penambahan Gugatan
Penambahan gugatan misalnya, oleh karena semula tidak semua ahli waris diikutsertakan, lalu ditambah agar mereka yang belum diikutsertakan ditarik pula sebagai tergugat atau turut tergugat
atau misalnya dalam halk lupa dimohonkan/dicantumkan dalam petitum (tuntutan pokok) menyatakansah dan berharga suatu sita jaminan kemudian dimohonkan agar petitum itu ditambahakan,
diperkenankan. Juga apabila mohon agar gugatan ditambah dengan petitum agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad), dapat diluluskan.

c. Pengurangan Gugatan
Pengurangan gugatan senantiasa akan diperkenankan oleh hakim. Misalnya semula digugat untuk menyerahkan 4 bidang sawah, kemudian penggugat merasa keliru bahwa sesungguhnya sawah
yang dikuasai oleh tergugat itu bukan 4 bidang, akan tetapi hanya 2 bidang saja, maka ia diperkenankan untuk mengurangi gugat dan hanya hanya menggugat sawah yang 2 bidang yang dikuasai
tergugat itu.

d. Pencabutan Gugatan
Menyangkut pencabutan gugatan dalam HIR/RBg juga tidak diatur. Yang mengatur hal ini adalah Pasal 271 RV yang menetukan bahwa gugatan boleh dicabut oleh penggugat sebelum tergfugat
memberikan jawaban. Bila mana tergugat sudah memberikan jawaban, maka gugatan tidak boleh dicabut atau ditarik kembali kecuali disetujui oleh tergugat.

2. Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien. Pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki
penyelesaian sengketa melalui cara damai. Maka hakim mempunyai peranan aktif mengusahakan penyelesaian dengan cara perdamaian terhadap peristiwa perdata yang diperiksanya.
Selanjutnya hakim menjatuhka putusan (acte van vergelijk). Yang isinya menghukum pihak-pihak yang berperkara untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut.
Putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim. Karenanya sudah sepantasnya apabila
perjanjian perdamaian tersebut dipertanggungjawabkan sendiri oleh pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian hasil putusan dari kedua belah pihak tidak dapat dimintakan pemeriksaan
banding (Pasal 130 ayat 3 HIR/ Pasal 154 ayat 3 RBg).

7
3.Pembacaan Gugatan
Mengenai pembacaan surat gugatan ini diatur dalam Pasal 131 HIR / 155 RBg Pasal 1 yang berbunyi: “jika kedua belah pihak hadir, akan tetapi mereka tidak dapat diperdamaian (hal ini harus
disebutkan dalam berita acara) maka surat gugatan dibaca dan jika salah satu pihak tidak mengerti bahasa yang dipakai dalam surat itu, maka surat tersebut diterjemahkan kedalam bahasa yang
dimengerti oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua.
Surat gugatan selalu dibacakan oleh penggugat atau kuasa hukumnya yang sah, kecuali jika penggugat buta huruf dan menyerahkannya kepada panitera sidang. Usai gugatan dibacakan, majelis
menganjurkan damai dan kalau tidak tercapai maka majelis akan melanjutkan dengan menanyakan kepada penggugat apakah ia akan menjawab secara lisan atau tertulis, bila akan menjawab
secara tertulis maka akan membutuhkan waktu berapa lama untuk itu.
Hak bicara terakhir didepan sidang selalu pada tergugat jadi replik- duplik belum akan berakhir di depan sidang selalu ada pada tergugat, jadi proses replik-duplik belum akan selesai sepanjang
tergugat masih ada yang akan diutarakannya.

4.Jawaban Gugatan
Setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil, maka kepada tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atau gugatan yang diajukan oleh penggugat.
Sebagaimana penggugat diperkenankan untuk mengajukan gugatan secara tertulis dan lisan, maka tergugat pun diperkenankan untuk mengajukan jawaban secara tertulis dan lisan. Jawaban
tergugat dapat terdiri dari tiga macam yaitu:
1.Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara.
2.Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
3.Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang diajukan tergugat kepada penggugat.
Perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi para pihak berperkara, maka dalam Undang-Undang tidak ditentukan mengenai kewajiban tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam
Pasal 121 ayat 2 HIR hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara lisan maupun tertulis. Jawaban tergugat ini dapat berupa pengakuan, referte (diam) dan dapat pula berupa
bantahan atau penyangkalan.

8
5.Tahapan Replik-Duplik
Setelah tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan perkara di pengadilan selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik
ini juga dapat diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan- alasan penolakan yang dikemukakan
tergugat dalam jawabannya.
Setelah penggugat mengajukan Replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya ialah Duplik , yaitu jawaban tergugat terhadap Replik yang diajukan penggugat. Sama halnya dengan replik, duplik
inipun juga dapat diajukan dalam bentuka tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.
Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang biasanya proses Replik dan Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan dengan bentuk tulisan, sehingga untuk menyiapkan
segala kebutuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama, dengan cara menunda sidang selama beberapa hari sampai kedua belah pihak siap dan dapat melanjutkan persidangan.

Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai berikut:
1.Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir
2. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan yang berkaitan dengan hukum, begitupula Replik-Duplik yang diajukan oleh penggugat dan tergugat.
3. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau dari hakim harus melalui izin dari ketua majlis.
4. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang bersifat umum selalu oleh ketua majlis.

9
6.Gugatan Balik (Gugat Rekovensi)
Dalam Pasal 132 a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan rekovensi ialah gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat konvensi sebagai gugatan balasan atas gugatan penggugat
kepadanya pada saat proses pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini seseorang yang awalnya berkedudukan sebagai penggugat dalam konvensi menjadi tergugat dalam rekonvensi, sedangkan
tergugat dalam konvensi kedudukannya merangkap sebagai penggugat dalam gugat rekonvensi.

Pada dasarnya, gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam berbagai hal, kecuali 3 hal yang disebut dalam pasal 132a HIR, yaitu sebagai berikut:
1.Dalam gugatan konvensi bertindak bukan untuk diri sendiri (sebagai wali), sedangkan dalam gugatan rekonvensi bertindak untuk diri sendiri
2.Apabila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak berwenang secara mutlak untuk memeriksa gugatan rekonvensi
3.Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang tidak mengatur bahwa antara tuntutan penggugat rekonvensi dan tuntutan rekonvensi harus memiliki hubungan yang erat. Tuntutan rekonvensi dapat
berdiri sendiri (zelfstandig) yang oleh tergugat dapat diajukan kepada hakim didalam proses tersendiri. Namun dalam prakteknya seringkali dikaitkan bahwa dasar tuntutan rekonvensi harus
mempunyai hubungan dengan tuntutan konvensi. Hal tersebut didasarkan agar tujuan gugat rekonvensi dapat terealisasikan dengan baik, jadi sedapat mungkin harus ada konektifitas antara
keduanya sehingga dapat diselesaikan secara bersamaan.
Di sini perlu digaris bawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya berlaku dalam perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh karena itu dalam permohonan (voluntria) penuh
tidak berlaku gugat balik (rekonvensi).

7.Tahap Konklusi
Sebelum hakim melakukan musyawarah kemudian dilanjutkan dengan pengucapan keputusan akhir, masing-masing dari kedua belah pihak diperkenankan untuk menyampaikan konklusi atau
kesimpulan- kesimpulan dari sidang menurut pihak yang bersangkutan. Karena konklusi ini sifatnya hanya untuk membantu hakim dalam memutuskan perkara, maka pada dasarnya hakim boleh
meniadakan konklusi.

10
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN
Pengertian Hukum perdata dalam arti yang lebih luas adalah hal-hal hukum dalam arti hukum perdata (BW), yaitu semua hukum dasar yang mengatur kepentingan individu, sedangkan Hukum
perdata dalam arti sempit adalah hukum perdata dalam pengertian Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata
dalam arti yang sempit adalah perkara- perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.
Tahap-tahap dalam pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata yaitu diantaranya sebagai berikut:
1.Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Pencabutan dan perubahan gugatan diatur dalam RV. Pasal 127 RV bahwa perubahan gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak mengubah dan menambah petitum – tuntutan
pokok (onderwerp van den eis) akan tetapi di dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga dasar dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-peristiwa.
2.Tahap Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 130 HIR maupun Pasal 154
RBg dan putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim.
3.Pembacaan Gugatan
Yaitu pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan
(obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang ternuat dalam surat gugatan.
4.Jawaban Gugatan
Yaitu pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim.
5.Replik Penggugat
Yaitu respons Penggugat atas jawaban yang diajukan tergugat untuk meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
6.Duplik Tergugat
Yaitu jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan
terhadap gugatan penggugat.
11
7.Konklusi
Kesimpulan-kesimpulan dari sidang menurut pihak yang bersangkutan yang dibacakan oleh hakim.

B. SARAN
Saran kami untuk proses pemeriksaan perkara perdata. Yaitu, bahwa hakim untuk dapat mengambil putusan yang tepat, sebaiknya mendengarkan kedua belah pihak. Walaupun tidak mungkin
ditentukan, bahwa pendengaran kedua belah pihak ini harus dilakukan, sebab adalah sukar memaksa para pihak untuk datang menghadap di muka hakim. Ini juga sesuai dengan sifat hukum
perdata, yang pelaksanaannya pada umumnya diserahkan kepada kemauan yang berkepentingan sendiri, maka cukuplah apabila dalam peraturan hukum acara perdata kepada kedua belah pihak
diberi kesempatan penuh untuk untuk menjelaskan sendiri kepada hakim segala sesuatu yang mereka anggap perlu supaya diketahui oleh hakim, sebelum suatu putusan dijatuhkan. Pemberian
kesempatan ini berwujud memanggil kedua belah pihak supaya datang menghadap di muka hakim pada waktu yang ditentukan oleh hakim.

12
DAFTAR PUSAKA

A.Buku
Makarao, M. Taufik. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT Rineka
Cipta. 2009.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan).
Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Liberty. 1988.
Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Jakarta: CV Rajawali. 1991.
Syahrani, Riduan. Materi Dasar Hukum Acara Perdata.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000.
Sarwono. Hukum Acara Perdata, Teori dan Praktik.
Jakarta: Sinar Grafika. 2012.
Setiani, Astin Fajar. Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara Prodeo dalam Praktik.
Semarang: Universitas Negeri Semarang. 2011.
Fauzan M. Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media. 2005.
Soepomo R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri.
Jakarta: PT Pradnya Pramita. 1994.

B. Searching by Google
https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122996-PK%20III%20656.8264-Penerapan%20uitvoerbaar-Pendahuluan.pdf
https://hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-hukum-pidana-dan-perdata-lt57f2f9bce942f/

13

Anda mungkin juga menyukai