Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara
Perdata dan Peradilan Agama
2022
Kata Pengantar
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
kelompok kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Pembuktian?
2. Apa saja asas-asas dalam Pembuktian?
3. Apa yang dimaksud Sistem Pembuktian?
4. Apa yang dimaksud Beban Pembuktian?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami Pembuktian
2. Untuk mengetahui asas-asas dalam Pembuktian
3. Untuk memahami Sistem Pembuktian
4. Untuk memahami Beban Pembuktian
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan dalam arti yuridis yakni
memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan agar memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Adapun Subekti menyatakan, bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim
mengenai kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Dengan demikian, membuktikan merupakan suatu proses
menjelaskankedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dengan berdasarakan
pada dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dengan tujuan tercapainya
kesimpulan yang diambil oleh hakim untuk menentukan siapa yang benar dan siapa
yang salah.
Pembuktian yaitu upaya penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum,
kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran
suatu peristiwa yang dikemukakan.1 Sementara Subekti berpendapat bahwa
pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan
ataupun dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.2 Dengan demikian,
pembuktian merupakan usaha para pihak yang berkepentingan untuk dalam
menunjukkan hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara kepada hakim.
Pembuktian ini bertujuan agar hal-hal yang ditunjukkan dan dikemukakan kepada
hakim tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memberi keputusan
mengenai perkara tersebut. Adapun bukti-bukti dan alat-alat bukti yang diajukan
dalam persidangan kepada hakim menjadi hal-hal yang berkenaan dengan suatu
perkara yang disengketakan.
Dalam melakukan pembuktian oleh para pihak yang berperkara dan hakim
yang memimpin pemeriksaan perkara perdata di persidangan, harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan hukum pembuktian yang termuat dalam Pasal 162-177 HIR
1 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 2008,
hlm. 55.
2 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, hlm.7. Mohon dilihat juga: Soepomo, Hukum Acara
2
dan Pasal 282-314 RBg, Stb. 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian akta di
bawah tangan dan Pasal 1865 – 1945 KUHPerdata.yang mengatur hal-hal berikut.
a. Cara Pembuktian
b. Beban Pembuktian
c. Macam-macam alat bukti
d. Kekuatan alat-alat bukti
3
dari orang lain yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan. Adapun
berdasarkan asas ini, maka ada ketentuan khusus yang melarang beberapa
golongan yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi (recusatio), antar lain:
a. Orang yang tidak mampu secara mutlak, antara lain:
1) Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan
yang lurus dari salah satu pihak yang berperkara.
2) Suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperakara,
meskipun sudah berstatus cerai.
b. Orang yang tidak mampu secara nisbi, antara lain:
1) Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.
2) Orang gila, walaupun terkadang ingatannya sehat.
4
7. Asas Actori Incumbit Probatio
Asas Actori Incumbit Probatio adalah asas terkait dengan beban pembuktian,
bahwa barangsiapa yang mempunyai suatu hak atau menyangkali adanya hak
orang lain, maka harus dibuktikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal
pembuktian yang diajukan oleh para pihak sama-sama kuat, maka baik
penggugat maupun tergugat ada kemungkinan dibebani dengan pembuktian
oleh hakim.
8. Asas Yang Tidak Biasa
Asas Yang Tidak Biasa harus membuktikan bahwa barangsiapa yang
menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan sesuatu yang tidak
biasa itu.
C. Sistem Pembuktian
3Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., 2021, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, Bumi Aksara, Jakarta,
hlm. 6.
5
Pembatasan kebebasan itu, berlaku juga kepada hakim. Hakim tidak bebas dan
tidak leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti.
Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti di luar yang ditentukan
secara enumeratif dalam undang-undang, hakim mesti menolak dan
mengesampingkannya dalam penyelesaian perkara.4
Namun belakangan berkembang lagi satu metode pembuktian yang tidak
lagi ditentukan jenis atau bentuk alat bukti secara enumeratif. Metode pembuktian
tersebut mendasarkan kepada pendapat bahwa kebenaran tidak hanya diperoleh
dari alat bukti tertentu, tetapi dari alat bukti mana saja pun harus diterima sebagai
suatu kebenaran sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti, tidak disebut satu
persatu. Ditinggalkannya sistem yang menyebut satu per satu alat bukti berdasar
alasan, bahwa metode pembuktian yang mengikuti alat bukti yang enumeratif oleh
UU dianggap tidak komplet. Metode itu tidak menyebut dan memasukkan alat
bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Misalnya, alat bukti elektronik (electronic evidence), meliputi data elektronik
(electronic data), berkas elektronik (electronic file), maupun segala bentuk sistem
komputer yang dapat dibaca (system computer readable form).5
Dalam menilai kekuatan pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau
terikat oleh undang-undang, untuk ini terdapat 3 teori, yaitu:
a. Teori Pembuktian Bebas
Menurut teori ini, penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya
kepada hakim, tidak menghendaki adanya ketentuan yang mengikat
hakim dalam menilai pembuktian.
b. Teori Pembuktian Negatif
Menurut teori ini harus ada ketentuan yang mengikat, yang bersifat
negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan
bagi hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
4 M. Yahya Harahap, S.H., 2008. “Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, dan
Putusan Pengadilan”, Sinar Grafika, Jakarta hlm. 555.
5 M. Yahya Harahap, S.H., Op. Cit., hlm. 555.
6
pembuktian. Di sini hakim dilarang dengan pengecualian. Hal ini
diatur dalam Pasal 169 HIR (306 RBg), yang menyebutkan bahwa:
“Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tiada alat bukti lain,
tidak dapat dipercaya di dalam hukum.”
c. Teori Pembuktian Positif
Di samping adanya larangan, teori ini juga menghendaki adanya
perintah kepada hakim. Menurut teori ini hakim diwajibkan tetapi
dengan syarat. Hal ini termaktub dalam Pasal 165 HIR (285 RBg)
yang menyebutkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang mempunyai kekuatan bukti
yang mengikat bagi semua pihak (termasuk hakim).
D. Beban Pembuktian
Beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 Rbg, Pasal
1865 BW, yang berbunyi: “barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan hak itu atau untuk
menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.6
Tetapi ketentuan pasal ini kurang jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara
tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada penggugat atau tergugat. Untuk
menentukan beban pembuktian itu ada pada pihak mana, akan kita lihat bunyi
kalimat pasal tersebut di atas sebagai berikut:
6 Pasal 1865 BW
7
menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka dialah yang harus membuktikan
adanya peristiwa itu, beban pembuktian ada pada tergugat.
3. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah adanya
hak orang lain, dia harus membuktikan adanya peristiwa itu. Jika yang
menyebut peristiwa itu penggugat, beban pembuktian ada pada penggugat,
dan jika yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktian
ada pada tergugat. Ini berarti bahwa kedua belah pihak baik penggugat
maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat
wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat
berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan
membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian sebaliknya tergugat
tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan
oleh penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang
diajukannya ia harus dikalahkan. Sedang kalau tergugat tidak dapat
membuktikan bantahannya ia harus dikalahkan juga. Jadi kalau salah satu
pihak dibebani dengan pembuktian dan dia tidak dapat membuktikannya,
maka ia akan dikalahkan.
Kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan
pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara perdata, penggugat wajib mebuktikan
peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan
kebenaran bantahannya. Pembagian beban pembuktian sangat menentukan
jalannya peradilan. Jadi apabila salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan
ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan- dikalahkan. Oleh karena itu hakim
harus berhati-hati dalam melakukan pembagian pembuktian.7
Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah
adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang
menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut. Jika tergugat atau
penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat membuktikan maka ia harus
8
dikalahkan. Dalam hubungan ini hukum materiil sering kali sudah menetapkan
suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:
Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah
adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang
menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut. Jika tergugat atau
penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat membuktikan maka ia harus
dikalahkan. Dalam hubungan ini hukum materiil sering kali sudah menetapkan
suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:
9
a. Pihak yang mendalilkan, bahwa cap dagang yang telah didaftarkan oleh
pihak lawan telah tiga tahun lamanya tidak dipakai, harus membuktikan
adanya non-usus selama 3 (tiga) tahun itu; dan tidaklah tepat bila di
dalam hal ini, beban pembuktian diserahkan kepada pihak lawan, ialah
untuk membuktikan, bahwa selam tigas tahun itu secara terus menerus
menggunakan cap dagang dimaksud (Putusan MARI, Tanggal 10
Januari1957 No. 108K/Sip/1954).
b. Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, yakni menguntungkan dan
merugikan bagi penandatangan surat, penandatangan patut dibebani
untuk membuktikan positumnya (Putusan MARI, Tanggal 11
September 1957 No. 74K/Sip/1955)
c. Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan
hal yang tidak biasa itu. Orang yang diberi hak untuk memungut uang
sewa, pintu pintu toko, mengajukan bahwa pintu pintu toko tersebut
tidak selalu menghasilkan sewa (Putusan MARI Tangggal 21 November
1959 No. 162 K/Sip/1955).
d. Dalam sengketa jual beli, dimana pihak pembeli mendalilkan bahwa, ia
belum menerima seluruh barang yang dibelinya menurut kontrak,
sedang pihak penjual membantah dengan mengemukakan, bahwa ia
telah menyerahkan seluruh barang yang dujualbelikan, pihak pembeli
harus dibebani pembuktian, mengenai adanya kontrak dan pembayaran
yang telah dilakukan, sedang pihak penjual mengenai barang barang
yang telah diserahkannya (Putusan MARI Tanggal 30 Desember 1957
No.197/K/Sip/1956).
e. Dalam hal penggugat mendalilkan, bahwa ia menuntut penyerahan
kembali tanah pekarangan tersengketa, yang kini diduduki oleh
tergugat, oleh karena pekarangan tersebut, dulu hanya dipinjamkan saja
oleh penggugat kepada tergugat, sedang tergugat membantah dengan
dalil, bahwa pekarangan tersebut dulu benar milik penggugat, tetapi
pekarangan itu telah dibelinya lepas dari penggugat; pembenanan
pembuktian haruslah sebagai berikut; a. Pengguat diberi kesempatan
10
untuk membuktikan hal peminjaman tanah tersebut kepada tergugat
dan; b. Kepada tergygat diberi kesempatan untuk membuktikan tentang
pembelian lepas tanah tersebut (Putusan MA, Tanggal 10 Januari
1957.No.94K/Sip/1957).
f. Dalam hal jawaban tergugat yang menyangkal atau keterangan yang
berlainan dari surat gugatan. Maka penggugat harus menbuktikannya
(Putusan MA, Tanggal 4 Februari 1970.No. 499K/Sip/1970)
g. Beban pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus
membuktikan sesuatu yang negatif, adalah lebih berat daripada beban
pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang
tersebut terakhir, ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk
membuktikan (Putusan MA, Tanggal 15 Maret 1972.No.
547K/Sip/1971)
h. Berdasarkan yurisprundensi Hakim bebas untuk memberikan beban
pembuktian, lebih tepat jika pembuktian dibebankan kepada yang lebih
mampu untuk membuktikannya (Putusan MA. Tanggal 15 Maret
1972.No. 549Ksip/1971)
i. Pihak yang mengajukan sesuatu dalil, harus dapat membuktikan
dalilnya, untuk memnggugrkan dalil pihak lawan (Putusan MA, Tanggal
12 April 1972.No. 988K/Sip/1971)
j. Siapa yang mendalilkan sesuatu, haruslah membuktikan dalilnya
(Putusan MA.tgl 15 April 1972, No. 1121K/Sip/1971)
k. Jika tergugat asal menyangkal, penggugat asal harus membuktikan
dalilnya; alasan pengadilan tinggi untuk membenankan pembuktian
pada penggugat asal, karena tergugat asal menguasai sawah sengketa
bukan karena perbuatan melawan hukum, adalah tidak berdasarkan
hukum (Putusan MA, Tanggal 11 September 1975 K/Sip/1972).
l. Persoalan ada tidaknya onhellbare tweespalt, adalah mengenai penilaian
hasil pembuktian yang merupakan penghargaan dari suatu kenyataan.
Hal mana menjadi wewenang sepenuhnya dari juddex facttie, karena itu
tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi (Putusan MA.No.
11
221K/Sip/1973, Tanggal 18 Juni 1973; Putusan PT Surabaya No.
177/1972/Pdt; Putusan PN. Surabaya No. 367/1971/Pdt).
m. Menurut Yurisprudensi MA. Ganti rugi harus dibuktikan dan tergugat
dalam Kasasi, ini tidak dapat membuktikan hal itu, tetapi oleh karena
penggugat untuk kasasi baik di muka pengadilan negeri maupun dalam
memorie kasasinya bersedia untuk membayar ganti rugi sebesar 2 %
setiap bulan, maka mengenai presentasi ganti rugi ini perlu diperbaiki
(Putusan MA.No. 78K/Sip/1973. Tanggal 22 Agustus 1974).
n. Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum acara oleh sebab
kesimpulan kesimpulan oleh pengadilan tinggi, tidak berdasarkan pada
pembuktian yang diajkan dalam persidangan sebagaimana tercantum
dalam berita acara. (Putusan MA. No. 820 K/Sip/1973, Tanggal 21
Februari 1980.)
o. Pengadilan tinggi telah salah menerapkan hukum acara, karena telah
memerintahkan agar sita jaminan (conservatoir beslag), diangkat tanpa
disertai pertimbangan.
12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
Effendie, Bachtiar, Masdari Tasmin, dan A. Chodari. 1991. Surat Gugat dan
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
H S, Salim. 2021. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Bumi Aksara.
Rasyid, M Laila, dan Herinawati. 2015. Hukum Acara Perdata. Aceh Utara:
Unimal Press.
14