Anda di halaman 1dari 17

PEMBUKTIAN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara
Perdata dan Peradilan Agama

Dosen Pengampu: Hotnidah Nasution, M. Ag.

Disusun oleh Kelompok 7:

Andi Besse Elona Qamilashaliha (11200490000017)


M. Aldin Hanafi Asy'arie Goevara (11200490000045)
Poppy Surya Adhi Putri (11200490000074)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad Saw. yang selalu kita nantikan syafa’atnya di akhirat
nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt. atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kelompok 7
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Pembuktian”
sebagai tugas kelompok dari mata kuliah Hukum Acara Perdata dan Peradilan
Agama.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
kelompok kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Tangerang Selatan, 4 Oktober 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................1

C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2

A. Pengertian Pembuktian .........................................................................2

B. Asas-asas dalam Pembuktian ...............................................................3

C. Sistem Pembuktian ................................................................................5


D. Beban Pembuktian ................................................................................7

BAB III PENUTUP ..............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam pasal 163 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau 283 RBG
(Rechtreglement voor de Buitengewesten) dijelaskan, bahwa barang siapa yang
mengaku mempunyai hak atau suatu peristiwa, maka dia harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut. Kedua belah pihak, baik penggugat maupun
tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara perdata,
penggugat wajib mebuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat
berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Pembagian beban pembuktian
sangat menentukan jalannya peradilan. Jadi apabila salah satu pihak dibebani
dengan pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan.
Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam melakukan pembagian pembuktian.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Pembuktian?
2. Apa saja asas-asas dalam Pembuktian?
3. Apa yang dimaksud Sistem Pembuktian?
4. Apa yang dimaksud Beban Pembuktian?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami Pembuktian
2. Untuk mengetahui asas-asas dalam Pembuktian
3. Untuk memahami Sistem Pembuktian
4. Untuk memahami Beban Pembuktian

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan dalam arti yuridis yakni
memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan agar memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Adapun Subekti menyatakan, bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim
mengenai kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Dengan demikian, membuktikan merupakan suatu proses
menjelaskankedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dengan berdasarakan
pada dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dengan tujuan tercapainya
kesimpulan yang diambil oleh hakim untuk menentukan siapa yang benar dan siapa
yang salah.
Pembuktian yaitu upaya penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum,
kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran
suatu peristiwa yang dikemukakan.1 Sementara Subekti berpendapat bahwa
pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan
ataupun dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.2 Dengan demikian,
pembuktian merupakan usaha para pihak yang berkepentingan untuk dalam
menunjukkan hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara kepada hakim.
Pembuktian ini bertujuan agar hal-hal yang ditunjukkan dan dikemukakan kepada
hakim tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memberi keputusan
mengenai perkara tersebut. Adapun bukti-bukti dan alat-alat bukti yang diajukan
dalam persidangan kepada hakim menjadi hal-hal yang berkenaan dengan suatu
perkara yang disengketakan.
Dalam melakukan pembuktian oleh para pihak yang berperkara dan hakim
yang memimpin pemeriksaan perkara perdata di persidangan, harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan hukum pembuktian yang termuat dalam Pasal 162-177 HIR

1 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 2008,
hlm. 55.
2 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, hlm.7. Mohon dilihat juga: Soepomo, Hukum Acara

Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hlm.62.

2
dan Pasal 282-314 RBg, Stb. 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian akta di
bawah tangan dan Pasal 1865 – 1945 KUHPerdata.yang mengatur hal-hal berikut.
a. Cara Pembuktian
b. Beban Pembuktian
c. Macam-macam alat bukti
d. Kekuatan alat-alat bukti

B. Asas-asas dalam Pembuktian

1. Asas Audi Et Ateram Partem


Asas Audi Et Ateram Partem yaitu asas kesamaan kedua pihak yang
berperkara di muka pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwasanya hakim
tidak boleh memberi putusan dengan tidak memberi kesempatan untuk
mendengar kedua belah pihak. Dengan asas ini, hakim harus berperilaku adil
dalam memberikan beban pembuktian kepada pihak yang berperkara,
sehingga kesempatan menang ataupun kalah bagi kedua pihak tetap. Akibat
dari berperkara secara adil ini, maka suatu perkara tidak dapat disidangkan
dua kali (Bisde eadem re ne sit actio), sehingga dalam hal ini pembuktian
tidak mengenal adanya “Beneficium” atau hak istimewa.
2. Asas Ius Curia Novit
Asas ini adalah asas yang memfiksikan bahwa setiap hakim itu harus
dianggap tau akan hukumnya perkara yang diperiksanya. Hakim dilarang
untuk tidak memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim itu tidak
mengatahui hukumnya. Berdasarkan asas ini, para pihak di dalam pembuktian
hanya wajib untuk membuktikan fakta yang dipersengketakan, sedangkan
pembuktian masalah hukumnya adalah menjadi kewajiban hakim. Asas ini
dianut dalam hukum positif di Indonesia antara lain pada Pasal 14 ayat 1
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14 Tahun 1970.
3. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa
Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa merupakan asas dimana tidak
seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri, baik dari
pihak penggugat maupun tergugat. Saksi sebagai alat bukti harus didatangkan

3
dari orang lain yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan. Adapun
berdasarkan asas ini, maka ada ketentuan khusus yang melarang beberapa
golongan yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi (recusatio), antar lain:
a. Orang yang tidak mampu secara mutlak, antara lain:
1) Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan
yang lurus dari salah satu pihak yang berperkara.
2) Suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperakara,
meskipun sudah berstatus cerai.
b. Orang yang tidak mampu secara nisbi, antara lain:
1) Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.
2) Orang gila, walaupun terkadang ingatannya sehat.

4. Asas Ultra Ne Petita


Asas Ultra Ne Petita merupakan asas yang memberikan batasan kepada
hakim, sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut.
Hakim tidak boleh mengabulkan lebih daripada yang dituntut oleh penggugat.
Hal ini berbeda dengan pembuktian yang ada dalam pidana, di mana hakim
dapat melakukan penyelidikan perkara, lebih dari fakta yang terungkap oleh
jaksa. Asas Ne Ultra Petita ini membatasi hakim perdata untuk
“preponderance of evidence”, yakni hakim harus terikat pada alat bukti yang
sah.
5. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet
Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet adalah asas di
mana tidak ada orang yang dapat mengalihkan banyak hak daripada yang ia
miliki.
6. Asas Negativa Non Sunt Probanda
Asas Negativa Non Sunt Probanda adalah asas di mana yang bersifat negatif
itu tidak dapat dibuktikan, yaitu ketika ada yang menggunakan perkataan
“Tidak”, misalnya pernyataan tidak berada di Bogor, tidak berutang kepada
si A, dan lain-lain. Namun, pernyataan negatif ini dapat dibuktikan secara
tidak langsung.

4
7. Asas Actori Incumbit Probatio
Asas Actori Incumbit Probatio adalah asas terkait dengan beban pembuktian,
bahwa barangsiapa yang mempunyai suatu hak atau menyangkali adanya hak
orang lain, maka harus dibuktikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal
pembuktian yang diajukan oleh para pihak sama-sama kuat, maka baik
penggugat maupun tergugat ada kemungkinan dibebani dengan pembuktian
oleh hakim.
8. Asas Yang Tidak Biasa
Asas Yang Tidak Biasa harus membuktikan bahwa barangsiapa yang
menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan sesuatu yang tidak
biasa itu.

C. Sistem Pembuktian

Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih


menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865 s/d Pasal 1945, sedangkan dalam
Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk
daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 s/d Pasal 165, Pasal 167, Pasal
169 s/d Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg)
berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur
dalam Pasal 282 s/d Pasal 314.
Menurut hukum positif di Indonesia, hukum acara perdata dinyatakan
secara resmi berlaku adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk
Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diberlakukan
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg).3 Ketentuan di atas mengenal beberapa
metode pembuktian antara lain yaitu: Para pihak tidak bebas mengajukan jenis
atau alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah
menentukan secara enumeratif apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti.

3Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., 2021, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, Bumi Aksara, Jakarta,
hlm. 6.

5
Pembatasan kebebasan itu, berlaku juga kepada hakim. Hakim tidak bebas dan
tidak leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti.
Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti di luar yang ditentukan
secara enumeratif dalam undang-undang, hakim mesti menolak dan
mengesampingkannya dalam penyelesaian perkara.4
Namun belakangan berkembang lagi satu metode pembuktian yang tidak
lagi ditentukan jenis atau bentuk alat bukti secara enumeratif. Metode pembuktian
tersebut mendasarkan kepada pendapat bahwa kebenaran tidak hanya diperoleh
dari alat bukti tertentu, tetapi dari alat bukti mana saja pun harus diterima sebagai
suatu kebenaran sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti, tidak disebut satu
persatu. Ditinggalkannya sistem yang menyebut satu per satu alat bukti berdasar
alasan, bahwa metode pembuktian yang mengikuti alat bukti yang enumeratif oleh
UU dianggap tidak komplet. Metode itu tidak menyebut dan memasukkan alat
bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Misalnya, alat bukti elektronik (electronic evidence), meliputi data elektronik
(electronic data), berkas elektronik (electronic file), maupun segala bentuk sistem
komputer yang dapat dibaca (system computer readable form).5
Dalam menilai kekuatan pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau
terikat oleh undang-undang, untuk ini terdapat 3 teori, yaitu:
a. Teori Pembuktian Bebas
Menurut teori ini, penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya
kepada hakim, tidak menghendaki adanya ketentuan yang mengikat
hakim dalam menilai pembuktian.
b. Teori Pembuktian Negatif
Menurut teori ini harus ada ketentuan yang mengikat, yang bersifat
negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan
bagi hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan

4 M. Yahya Harahap, S.H., 2008. “Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, dan
Putusan Pengadilan”, Sinar Grafika, Jakarta hlm. 555.
5 M. Yahya Harahap, S.H., Op. Cit., hlm. 555.

6
pembuktian. Di sini hakim dilarang dengan pengecualian. Hal ini
diatur dalam Pasal 169 HIR (306 RBg), yang menyebutkan bahwa:
“Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tiada alat bukti lain,
tidak dapat dipercaya di dalam hukum.”
c. Teori Pembuktian Positif
Di samping adanya larangan, teori ini juga menghendaki adanya
perintah kepada hakim. Menurut teori ini hakim diwajibkan tetapi
dengan syarat. Hal ini termaktub dalam Pasal 165 HIR (285 RBg)
yang menyebutkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang mempunyai kekuatan bukti
yang mengikat bagi semua pihak (termasuk hakim).

D. Beban Pembuktian

Beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 Rbg, Pasal
1865 BW, yang berbunyi: “barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan hak itu atau untuk
menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.6
Tetapi ketentuan pasal ini kurang jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara
tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada penggugat atau tergugat. Untuk
menentukan beban pembuktian itu ada pada pihak mana, akan kita lihat bunyi
kalimat pasal tersebut di atas sebagai berikut:

1. Barang siapa yang mengatakan mempunyai hak, dia harus membuktikan


adanya hak itu. Biasanya penggugat yang mengatakan mempunyai hak,
maka penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu.
2. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan
haknya, dia harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila yang
menyebutkan peristiwa itu penggugat, maka dialah yang harus
membuktikan, beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila yang

6 Pasal 1865 BW

7
menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka dialah yang harus membuktikan
adanya peristiwa itu, beban pembuktian ada pada tergugat.
3. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah adanya
hak orang lain, dia harus membuktikan adanya peristiwa itu. Jika yang
menyebut peristiwa itu penggugat, beban pembuktian ada pada penggugat,
dan jika yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktian
ada pada tergugat. Ini berarti bahwa kedua belah pihak baik penggugat
maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat
wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat
berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan
membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian sebaliknya tergugat
tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan
oleh penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang
diajukannya ia harus dikalahkan. Sedang kalau tergugat tidak dapat
membuktikan bantahannya ia harus dikalahkan juga. Jadi kalau salah satu
pihak dibebani dengan pembuktian dan dia tidak dapat membuktikannya,
maka ia akan dikalahkan.

Kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan
pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara perdata, penggugat wajib mebuktikan
peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan
kebenaran bantahannya. Pembagian beban pembuktian sangat menentukan
jalannya peradilan. Jadi apabila salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan
ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan- dikalahkan. Oleh karena itu hakim
harus berhati-hati dalam melakukan pembagian pembuktian.7

Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah
adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang
menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut. Jika tergugat atau
penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat membuktikan maka ia harus

7 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 99.

8
dikalahkan. Dalam hubungan ini hukum materiil sering kali sudah menetapkan
suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:

a. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur di


dalam Pasal 1244 KUHPerdata.
b. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu
perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan
pihak yang dituntut dalam Pasal 1365 KUHPerdata
c. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah
membayar semua angsuran dalam Pasal 1394 KUH Perdata.
d. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai
pemiliknya di dalam Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata

Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah
adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang
menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut. Jika tergugat atau
penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat membuktikan maka ia harus
dikalahkan. Dalam hubungan ini hukum materiil sering kali sudah menetapkan
suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:

a. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur di


dalam Pasal 1244 KUHPerdata.
b. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu
perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan
pihak yang dituntut dalam Pasal 1365 KUHPerdata
c. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah
membayar semua angsuran dalam Pasal 1394 KUH Perdata.
d. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai
pemiliknya di dalam Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata.

Beban pembuktian adalah sebagai berikut:

9
a. Pihak yang mendalilkan, bahwa cap dagang yang telah didaftarkan oleh
pihak lawan telah tiga tahun lamanya tidak dipakai, harus membuktikan
adanya non-usus selama 3 (tiga) tahun itu; dan tidaklah tepat bila di
dalam hal ini, beban pembuktian diserahkan kepada pihak lawan, ialah
untuk membuktikan, bahwa selam tigas tahun itu secara terus menerus
menggunakan cap dagang dimaksud (Putusan MARI, Tanggal 10
Januari1957 No. 108K/Sip/1954).
b. Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, yakni menguntungkan dan
merugikan bagi penandatangan surat, penandatangan patut dibebani
untuk membuktikan positumnya (Putusan MARI, Tanggal 11
September 1957 No. 74K/Sip/1955)
c. Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan
hal yang tidak biasa itu. Orang yang diberi hak untuk memungut uang
sewa, pintu pintu toko, mengajukan bahwa pintu pintu toko tersebut
tidak selalu menghasilkan sewa (Putusan MARI Tangggal 21 November
1959 No. 162 K/Sip/1955).
d. Dalam sengketa jual beli, dimana pihak pembeli mendalilkan bahwa, ia
belum menerima seluruh barang yang dibelinya menurut kontrak,
sedang pihak penjual membantah dengan mengemukakan, bahwa ia
telah menyerahkan seluruh barang yang dujualbelikan, pihak pembeli
harus dibebani pembuktian, mengenai adanya kontrak dan pembayaran
yang telah dilakukan, sedang pihak penjual mengenai barang barang
yang telah diserahkannya (Putusan MARI Tanggal 30 Desember 1957
No.197/K/Sip/1956).
e. Dalam hal penggugat mendalilkan, bahwa ia menuntut penyerahan
kembali tanah pekarangan tersengketa, yang kini diduduki oleh
tergugat, oleh karena pekarangan tersebut, dulu hanya dipinjamkan saja
oleh penggugat kepada tergugat, sedang tergugat membantah dengan
dalil, bahwa pekarangan tersebut dulu benar milik penggugat, tetapi
pekarangan itu telah dibelinya lepas dari penggugat; pembenanan
pembuktian haruslah sebagai berikut; a. Pengguat diberi kesempatan

10
untuk membuktikan hal peminjaman tanah tersebut kepada tergugat
dan; b. Kepada tergygat diberi kesempatan untuk membuktikan tentang
pembelian lepas tanah tersebut (Putusan MA, Tanggal 10 Januari
1957.No.94K/Sip/1957).
f. Dalam hal jawaban tergugat yang menyangkal atau keterangan yang
berlainan dari surat gugatan. Maka penggugat harus menbuktikannya
(Putusan MA, Tanggal 4 Februari 1970.No. 499K/Sip/1970)
g. Beban pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus
membuktikan sesuatu yang negatif, adalah lebih berat daripada beban
pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang
tersebut terakhir, ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk
membuktikan (Putusan MA, Tanggal 15 Maret 1972.No.
547K/Sip/1971)
h. Berdasarkan yurisprundensi Hakim bebas untuk memberikan beban
pembuktian, lebih tepat jika pembuktian dibebankan kepada yang lebih
mampu untuk membuktikannya (Putusan MA. Tanggal 15 Maret
1972.No. 549Ksip/1971)
i. Pihak yang mengajukan sesuatu dalil, harus dapat membuktikan
dalilnya, untuk memnggugrkan dalil pihak lawan (Putusan MA, Tanggal
12 April 1972.No. 988K/Sip/1971)
j. Siapa yang mendalilkan sesuatu, haruslah membuktikan dalilnya
(Putusan MA.tgl 15 April 1972, No. 1121K/Sip/1971)
k. Jika tergugat asal menyangkal, penggugat asal harus membuktikan
dalilnya; alasan pengadilan tinggi untuk membenankan pembuktian
pada penggugat asal, karena tergugat asal menguasai sawah sengketa
bukan karena perbuatan melawan hukum, adalah tidak berdasarkan
hukum (Putusan MA, Tanggal 11 September 1975 K/Sip/1972).
l. Persoalan ada tidaknya onhellbare tweespalt, adalah mengenai penilaian
hasil pembuktian yang merupakan penghargaan dari suatu kenyataan.
Hal mana menjadi wewenang sepenuhnya dari juddex facttie, karena itu
tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi (Putusan MA.No.

11
221K/Sip/1973, Tanggal 18 Juni 1973; Putusan PT Surabaya No.
177/1972/Pdt; Putusan PN. Surabaya No. 367/1971/Pdt).
m. Menurut Yurisprudensi MA. Ganti rugi harus dibuktikan dan tergugat
dalam Kasasi, ini tidak dapat membuktikan hal itu, tetapi oleh karena
penggugat untuk kasasi baik di muka pengadilan negeri maupun dalam
memorie kasasinya bersedia untuk membayar ganti rugi sebesar 2 %
setiap bulan, maka mengenai presentasi ganti rugi ini perlu diperbaiki
(Putusan MA.No. 78K/Sip/1973. Tanggal 22 Agustus 1974).
n. Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum acara oleh sebab
kesimpulan kesimpulan oleh pengadilan tinggi, tidak berdasarkan pada
pembuktian yang diajkan dalam persidangan sebagaimana tercantum
dalam berita acara. (Putusan MA. No. 820 K/Sip/1973, Tanggal 21
Februari 1980.)
o. Pengadilan tinggi telah salah menerapkan hukum acara, karena telah
memerintahkan agar sita jaminan (conservatoir beslag), diangkat tanpa
disertai pertimbangan.

12
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Proses Pembuktian merupakan upaya yang sangat penting dalam


penyelesaian sengketa dan sebagai bahan perimbangan hakim dalam memutus
perkara tersebut. Dalam membuktikan dalil-dalil para pihak tersebut, maka para
pihak perlu berusaha dalam menyiapkan dan mengemukakan bukti-bukti dan alat-
alat bukti yang dapat memperkuat dalil-dalil tersebut.

Dalam pembuktian, terdapat asas-asas tersendiri yang memiliki


karakteristik tersendiri. Yang mana asas-asas ini harus dipenuhi dalam proses
pembuktian. Karena, setiap para pihak memiliki hak yang sama di depan hakim
dalam membuktikan dalil-dalilnya. Oleh karena itu baik penggugat maupun
tergugat harus mematuhi asas-asas pembuktian dalam mengemukakan dalil-dalil
yang mereka pegang untuk meyakinkan hakim, sehingga dapat menjadi
pertimbangan hakim.

Sistem pembuktian di Indonesia pada hakikatnya diikat oleh ketentuan


undang-undang. Sebab, hakim tidak boleh berperilaku terlalu bebas. Apalagi dalam
negara yang masih berkembang seperti kita, di mana masih banyak terdapat faktor-
faktor budaya, maupun ekonomis yang dapat memengaruhi objektivitas hakim.

Beban pembuktian adalah adanya keseimbangan kepentingan baik dari


pihak penggugat maupun tergugat yang berperkara demi tercapainya ketentraman
masyarakat. Penggugat yang menuntut hak wajib membuktika adanya hak tersebut
atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan pihak tergugat yang
membantah adanya hak penggugat wajib membuktikan adanya peristiwa yang
menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut.

13
DAFTAR PUSTAKA

Effendie, Bachtiar, Masdari Tasmin, dan A. Chodari. 1991. Surat Gugat dan
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

H S, Salim. 2021. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Bumi Aksara.

Harahap, M Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Lilly, Graham C. 1996. An Introduction to the Law of Evidence.Virginia: West


Publishing CO

Rasyid, M Laila, dan Herinawati. 2015. Hukum Acara Perdata. Aceh Utara:
Unimal Press.

Retnowulan Sutantio. Iskandar Oeripkartawinata. 1989. Hukum Acara Perdata


Dalam Teori dan Praktek. Cet. VI. Bandung: Mandar Maju

Soepomo. 2006. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya


Paramita

Subekti. 1977. Hukum Acara Perdata. Jakarta: BPHN

Subekti. 2007. Hukum Pembuktian.Jakarta: Pradnya Paramita

Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty

Syahrani, Riduan. 2008. Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum.


Jakarta: Pustaka Kartini

14

Anda mungkin juga menyukai