PEMBUKTIAN
Segala puji beserta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum Administrasi Negara ini
tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun pembacanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
C. Tujuan ........................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 2
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 9
B. Saran .......................................................................................................................... 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuktian dimuka pengadilan adalah merupakan hal yangg terpenting dalam Hukum
acara karena pengadilan dlm menegakkan hukum dan keadilan tdk lain berdasarkan
pembuktian. Hukum pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan peradilan
agama mempergunakan hukum acara yg berlaku bagi Peradilan Umum.
Tujuan dari pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah
pihak yang berperkara dipengadilan untuk dapat memberi kepastian dan keyakinan kepada
hakim atas dalil yang disertai alat bukti yang diajukan di pengadilan, pada tahap ini hakim
dapat mempertimbangkan putusan perkara yang dapat memberikan suatu kebenaran yang
memiliki nilai kepastian hukum dan keadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Dasar hukum Pembuktian?
2. Bagaimana urgensi dari Pembuktian?
3. Apa dan bagaimana Beban Pembuktian?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami Pengertian dan Dasar hukum Pembuktian.
2. Memahami urgensi dari Pembuktian.
3. Mengetahui dan memahami Beban Pembuktian.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Roihon A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
2
Inti pokok dari pernyataan diatas dapat dirinci sebagai berikut2:
1. Pihak yg mengatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya tersebut.
2. Pihak yg menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya harus
membuktikan adanya peristiwa tersebut.
3. Pihak yg menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak org lain harus
membuktikan adanya peristiwa tersebut.
Praktik subtansi asas pembuktian ini diterapkan secara selektif dlm proses Peradilan.
Adapun fakta fakta umum yg harus dibuktikan di persidangan menyangkup mengenai hal
hal:
1. Apabila pihak tergugat/para tergugat mengakui kebenaran surat gugatan penggugat
atau para penggugat.
2. Apabila pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat gugatan penggugat
atau para penggugat karena dianggap mengakui kebenaran surat tersebut.
3. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah pemutus.
4. Apabila majelis hakim/hakim karena jabatannya dianggap telah mengetahui fakta
fakta nya. Maksudnya, majelis hakim/hakim karena jabatannya dianggap telah
mengetahui fakta fakta tertentu dan kebenaran fakta fakta ini dianggap telah
diketahui oleh majelis hakim sehingga pembuktian tidak diperlukan lagi. Hal ini
dapat dilihat dari fakta fakta prosesuil, yaitu fakta fakta yg terjadi selama proses
persidangan berjalan dan dilihat sendiri oleh hakim, seperti dlm persidangan para
pihak tidak hadir, pengakuan salah satu pihak dipersidangan dan lain sebagainya.
B. Urgensi Pembuktian
2
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet ke-5, (Jakarta: Kencana,
2008), 227.
3
transportasi. Oleh karena itu, ada sebagian saksi ahli yang menolak bersaksi. Permasalahan
bertambah ketika masyarakat miskin memerlukan saksi ahli dalam berperkara perdata di
pengadilan. Kondisi ekonomi yang sulit tidak memungkinkan masyarakat miskin untuk
membayar saksi ahli. Oleh karena itu perlu adanya layanan hukum saksi ahli bagi
masyarakat tidak mampu di pengadilan agama.
Layanan hukum saksi ahli bagi masyarakat tidak mampu perlu untuk diadakan
dengan cara remunerasi proporsional atas saksi ahli. Fungsi dari remunerasi ini adalah
apresiasi atas jasa saksi ahli, mencegah intervensi atas saksi ahli dalam memberikan
keterangan, dan mempermudah akses keadilan bagi masyarakat tidak mampu. Usaha
remunerasi ini dapat dilakukan dengan cara: 1) reformulasi biaya saksi ahli, dan 2)
ekstensifikasi ruang lingkup layanan hukum.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan akses keadilan yang mudah,
pemerintah perlu mewujudkan layanan hukum dalam bidang pembuktian. Layanan hukum
ini didasari atas persamaan hak dan kedudukan dalam praktek pengadilan, serta adanya
asas yang mewajibkan hakim berusahan dengan sekeras- kerasnya menghilangkan
hambatan dalam proses persidangan.
C. Beban Pembuktian
4
Pengaturan pembagian beban pembuktian dalam penyelesaian sengketa harta
bersama di Peradilan Agama selama ini, mengacu pada ketentuan hukum acara perdata
yang berlaku pada Peradilan Umum, adalah tidak sesuai dengan rasa keadilan, karena harta
bersama yang merupakan bagian dari sengketa perkawinan yang berdasarkan syariat Islam
memiliki spesifikasi yang berbeda dengan sengketa perdata bidang ekonomi yang diatur
dalam Hukum Perdata. · Urgensi pembagian beban pembuktian bila ditinjau dari perspektif
kepastian hukum, menjadi kunci menang atau kalahnya seseorang dalam suatu sengketa di
lembaga peradilan, karena itu harus diatur secara tegas serta sesuai spesifikasi
sengketa/perkaranya. Dan bila ditinjau dari perspektif keadilan, semakin jelas betapa
urgensi pembagian beban pembuktian menjadi kunci tegak atau tidaknya keadilan, karena
di pundak siapa beban bukti diletakkan akan sangat berpengaruh terhadap terbuka atau
tidaknya suatu kebenaran.
D. Teori-teori Pembuktian
1. Teori vrijbewijs.
Teori ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai alat bukti.
2. Teori verplichtbewijs.
Teori ini menyatakan bahwa hakim terikat oleh alat alat bukti.
Adapun ketentuan yang terdapat HIR (Herzein Inlandsch Reglement) menganut
gabungan dari teori teori tersebut, artinya ada ketentuan bahwa hakim terikat dan ada pula
yg mengatakan bahwa hakim bebas menilai alat alat bukti tersebut. Misalnya dlm hal
5
sumpah decisioir hakim terikat oleh sumpah tersebut dan harus dianggap benar oleh hakim,
sedangkan contoh hakim bebas menilai alat bukti yaitu dlm menilai alat bukti saksi. 3
Sudikno Mertokusumo dalam Rasyid tentang soal penilaian pembuktian
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “pada umumnya, sepanjang UU tdk
mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian “.Berhubung hakim dlm
menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh UU maka tentang hal tersebut
timbul 3 teori yaitu:
1. Teori pembuktian bebas. Teori ini menghendaki seorang hakim bebas dlm menilai alat
bukti yg diajukan. Misalnya untuk menilai keterangan saksi, hakim bebas untuk
menilainya sebagaimana yg terdapat dlm pasal 172 HIR atau pasal 308 RBg dan 1908
KUH Perdata.
2. Teori pembuktian negatif, dlm menilai pembuktian harus ada ketentuan ketentuan yang
bersifat negatif yg mengikat dan membatasi hakim dan melarang hakim untuk
melakukan sesuatu yg berhubungan dgn pembuktian. Misalnya ketentuan Pasal 169
HIR atau pasal 306 RBg atau 1906 KUH perdata bahwa keterangan seorang saksi saja
tdk boleh dipercaya oleh hakim (unus testis nullus testis)
3. Teori pembuktian positif, disamping adanya larangan bagi hakim, juga mengharuskan
adanya perintah kepada seorang hakim untuk tidak menilai lain selain apa yg
dikemukakan pihak. Misalnya ketentuan pasal 165 HIR atau pasal 285 RBg dan pasal
1870 KUH perdata, bahwa pembuktian dgn surat akta otentik dianggap bukti yg
sempurna dan harus diterima.
2) Hakim Ketua menanyakan kepada saksi identitas lengkap dan hubungan kerja
dengan pemohon Banding/Penggugat atau dengan terbanding/tergugat.
3
Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), 86.
6
4) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan
melalui Hakim Ketua.
Lalu Dalam hal Seorang Ahli atau Saksi memberikan alat bukti berupa
keterangan tertulis maupun lisan, ia harus meng¬ucapkan sumpah atau janji dihadapan
Majelis/Hakim Tunggal.
Syarat formil alat bukti saksi antara lain : saksi tersebut tidak dilarang sebagai
saksi menurut pasal 145 HIR/172 RBG, saksi menerangkan sesuai ketentuan pasal 144
ayat (2) HIR/171 ayat (2) RBG, saksi mengucapkan sumpah sesuai ketentuan pasal 147
HIR/175 RBG, saksi diperiksa satu demi satu sesuai ketentuan pasal 144 ayat (1)
HIR/171 ayat (1) RBG. Sedangkan syarat materiil alat bukti saksi adalah : keterangan
yang diberikan saksi bersumber dari penglihatan dan pendengaran sendiri, serta apa
yang dialami saksi, pendapat kesimpulan saksi bukan merupakan kesaksian (vide pasal
171 HIR/308 RBG), keterangan antara satu saksi dengan saksi yang lainnya saling
berkesesuaian (vide pasal 170 HIR/309 RBG). Batas minimal alat bukti saksi sekurang-
kurangnya dua orang saksi karena kalau satu orang saksi bukan merupakan saksi. Hal
ini sesuai dengan asas unnus testis nullus testis (vide pasal 169 HIR/306 RBG).
Kualifikasi seseorang yang tidak boleh diajukan menjadi saksi antara lain
sebagai berikut : orang yang memiliki hubungan keluarga sedarah, keluarga semenda
menurut keturunan lurus dari salah satu pihak, suami atau istri walaupun sudah bercerai,
anak yang belum berumur 15 tahun, orang gila walau bersifat temporer (vide pasal 145
ayat (1) HIR/172 RBG). Pada prinsipnya yang menghadirkan saksi ke persidangan
adalah para pihak yang berkepentingan dalam sebuah perkara baik itu Penggugat atau
Tergugat.4
4
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, (Malang: UIN Malang Press, 2009), 262.
7
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, berdasarkan Pasal 1908 KUH
Perdata dan Pasal 172 HIR bersifat bebas. Menurut pasal tersebut, hakim bebas
mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasar kesamaan atau saling
berhubugannya antara saksi yang satu dengan yang lain. Maksud pengertian nilai
kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah kebenaran yang
terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan dianggap tidak
sempurna dan tidak mengikat dan hakim tidak terikat untuk menerima atau menolak
kebenarannya.
Bertitik tolak dari nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, maka batas
minimal pembuktian dengan alat bukti saksi yaitu saksi paling sedikit 2 (dua) orang
yang telah memenuhi syarat formil dan materiil. Dengan demikian, satu orang saksi
saja belum mencapai batas minimal pembuktian karena seorang saksi tidak merupakan
kesaksian (unus testis nullus testis). Akan tetapi, apabila alat bukti seorang saksi
dikuatkan dengan satu alat bukti lain serta keterangan saksi sesuai dengan alat bukti
lain, maka hakim dapat memberikan putusan berdasarkan kedua alat bukti tersebut. 5
5
Wahju Muljono, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), 114
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan akses keadilan yang mudah,
pemerintah perlu mewujudkan layanan hukum dalam bidang pembuktian. Layanan hukum
ini didasari atas persamaan hak dan kedudukan dalam praktek pengadilan, serta adanya
asas yang mewajibkan hakim berusahan dengan sekeras- kerasnya menghilangkan
hambatan dalam proses persidangan.
B. Saran
Kelompok kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan. Tentunya, kami akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
9
DAFTAR PUSTAKA
10