Disusun oleh :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sumpah
Sebagai Alat Bukti” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk
memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Hukum Acara Perdata Dan Praktik Peradilan Perdata.
Selain itu, Makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Sumpah sebagai alat
bukti bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi Sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, Makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempuna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam hukum, acara membuktikan mempunyai arti yuridis, yaitu memberi dasar-dasar
yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara bersangkutan guna memberi kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Suyling membuktikan tidak hanya
memberikan kepastian pada hakim tapi juga berarti membuktikan terjadinya suatu peristiwa,
yang tidak tergantung pada tindakan para pihak (seperti pada persangkaan) dan tidak
tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada pengakuan dan sumpah). Jadi pada dasarnya
membuktikan adalah suatu proses untuk menetapkan kebenaran peristiwa secara pasti dalam
persidangan, dengan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum, hakim mempertimbangkan
atau memberi alasan-alasan logis mengapa suatu peristiwa dinyatakan sebagai benar.
Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam alat bukti. Sedangkan menurut acara
perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh
mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.
Alat-alat bukti dalam hukum acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang sebagaimana
diatur dalam pasa 164 HIR5 dan Pasal 1866 KUH Perdata, 6 yaitu: (a) Bukti tulisan/Bukti
dengan surat, (b) Bukti saksi, (c) Persangkaan, (d) Pengakuan, (e) Sumpah.
Proses pembuktian sebagai salah satu proses acara dalam hukum perdata formil menjadi
salah satu proses yang paling penting. Suatu perkara di pengadilan tidak dapat putus oleh hakim
tanpa didahului dengan pembuktian. Pembuktian dalam arti yuridis sendiri tidak dimaksudkan
untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa
pengakuan, kesaksian atau suratsurat yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa
kemungkinan tidak benar palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap
1
perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Pembuktian menurut istilah Bahasa arab berasal dari Bahasa arab berasal dari kata
“Albayyinah”, yang artinya sesuatu yang menjelaskan.1 Sedangkan secara termminologis,
pembuktian berarti memberi keterangan dengan dalil yang meyakinkan. Pembuktian adalah
kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan
membenarkan hubungan hukum dan peristiwaperistiwa yang didalilkan atau dibantah dalam
hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya
diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau
hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak yang berperkara.
Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-
dalil gugatan/bantahan dalil gugatan yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di
persidangan2. Pembuktian dalam hukum acara perdata dikenal dua macam, yakni : hukum
pembuktian materiil dan hukum pembuktian formil. Hukum pembuktian materiil mengatur
tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta mengatur
tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur
tentang cara menerapkan alat bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara
adalah peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan hukumnya,
sebab yang menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran
formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil. Upaya mencari
kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang
mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-pasal 178 HIR/189 ayat (3)
RBG). Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus berdasarkan bukti yang cukup.
Dalam memeriksa suatu perkara perdata hakim setidaknya harus melakukan tiga tindakan
1
Sulaikhan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), hlm 135
2Royke Y. J. Kaligis, PENGGUNAAN ALAT BUKTI SUMPAH PEMUTUS (DECISOIR) DALAM PROSES
PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENURUT TEORI DAN PRAKTEK. Hlm 2
3
secara bertahap yakni : mengkonstantir yakni melihat benar tidaknya peristiwa yang diajukan
sebagai dasar gugatan, mengkualifisir peristiwa, mengkonstituir yakni memberi hukumnya.
Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang
diajukan kepada Hakim. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah
kebenaran formal, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah
kebenaran materiil. Dalam praktik peradilan, sebenarnya seorang Hakim dituntut mencari
kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu
adalah untuk meyakinkan hakim atau memberi kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan kepada
pembuktian tersebut.3
Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diatur dalam
pasal 164 HIR, pasal 284 R.Bg, dan pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti surat, alat bukti
saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.4 Harus dibedakan antara alat bukti pada umumnya
dengan alat bukti menurut hukum. Maksudnya meskipun alat bukti yang diajukan salah satu
bentuk alat bukti yang ditentukan sebagaimana tersebut diatas, tidak otomatis alat bukti
tersebut sah sebagai alat bukti. Supaya alat bukti itu sah sebagai alat bukti menurut hukum,
maka alat bukti yang diajukan itu harus memenuhi syarat formal dan syarat materiil. Di
samping itu, tidak pula setiap alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan
pembuktian untuk mendukung terbuktinya suatu peristiwa. Meskipun alat bukti yang diajukan
telah memenuhi syarat formal atau materiil, belum tentu mempunyai nilai kekuatan
pembuktian. Supaya alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pemuktian, alat bukti yang
bersangkutan harus mencapai batas minimal pembuktian. . Alat-alat bukti dalam acara perdata
yang disebutkan oleh undang-undang (pasal 164 HIR. 289 RBg. 1866 BW) ialah: alat bukti
tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah
3 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2005), 228.
4 Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hlm 151.
4
Alat bukti sumpah sebagai alat bukti yang terakhir sesuai dengan apa yang tercantum
dalam pasal 1866 BW yang menyatakan bahwa macam-macam alat bukti dalam perkata
perdata meliputi : alat bukti surat, persangkaan, saksi, pengakuan, dan alat bukti sumpah.
Sumpah sendiri dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1929 sampai dengan pasal 1945
KUHPerdata. Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam KUHPerdata ialah suatu
peryataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah.
1. Sumpah sebagai janji, artinya bersumpah untuk berjanji melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, yang disebtu sumpah Promissoir, misalnya sumpah seorang
saksi, dimana saksi bersumpah untuk berjanji memberikan keterangan atau
kesaksian, Jadi.kesaksiannya yang alat bukti, bukan sumpah itu sendiri, kareana
sumpahyang hanya merupakan janji.
2. Sumpah sebagai alat bukti atau sumpah assertoir atau Confirmatoir, yaitu sumpah
untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian
atau tidak.
Dalam Pasal 1929 KUH Perdata diatur mengenai jenis-jenis sumpah yang terdiri dari :
Hakim dapat meneliti apakah permintaan salah satu pihak itu memenuhi syarat,
sehingga permintaan salah satu pihak agar lawannya mengucapkan sumpah dapat
ditolak atau dikabulkan oleh hakim. Kalau ditolak oleh Hakim, maka pemeriksaan
5
perkara berjalan terus, kalau hakim mengabulkan permintaan salah satu pihak dan
kemudian hakim membebankan sumpah kepada lawannya, maka pihak lawan ini
dapat menjalankan, menolak, atau mengembalikan sumpah itu kepada lawannya lagi.
Alat bukti sumpah decisoir, juga disebut sebagai alat bukti pamungkas, artinya
apabila dalam pemeriksaan suatu perkara tidak ada alat bukti lain yang dapat dijadikan
sebagai dasar untuk memutus perkara oleh hakim, maka satu-satu cara untuk dapat
mebuktikan peristiwa dalam perkara tersebut adalah dengan mengangkat
sumpah.Tidak demikian pada sumpah suppletoir dan sumpah aestimatoir, karena
kedua sumpah ini baru dapat dilakukan apabila sudah ada alat bukti permulaan, dan
alat bukti permulaan itu relevan dengan peristiwa yang dipersengketakan. Sekalipun,
terdapat bukti permulaan, tetapi tidak relevan, maka kedua sumpah tersebut tidak
boleh diperintahkan untuk dilaksanakan.
Dalam hal sumpah suppletoir ini, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
6
1) Sumpah suppletoir hanya dapat dilakukan kalau ada alat bukti permulaan, tetapi
dianggap belum cukup,
2) Sumpah suppletoir dapat dibebankan kepada para pihak, tetapi hakim harus
melihat pihak mana yang lebih dapat menyelesaikan masalah kalau disuruh
bersumpah.
3) Sumpah suppletoir tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan. Pihak yang
dibebani bersumpah hanya dapat menolak atau menjalankannya. Jadi, berbeda
dengan sumpah decisoir.
4) Sumpah suppletoir mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang masih
memungkinkan adanya pembuktian lawan.
7
memungkinkan pembuktian lawan. Sumpah penaksiran ini juga dapat dilakukan di
masjid.
5Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
8
BAB 3
KESIMPULAN
Pembuktian adalah rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam
melangsungkan perkara di muka hakim. Dalam proses mencari keadilan di pengadilan, maka
para pihak berupaya untuk memenangkan perkaranya dengan cara mereka masing-masing.
Hakim bertindak sebagai penilai.
Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-
undang (pasal 164 HIR. 289 RBg. 1866 BW) ialah: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam KUHPerdata ialah suatu
peryataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah. Menurut Pasal
1929 KUH Perdata diatur mengenai klasifikasi sumpah yang terdiri dari Decisoir/sumpah
pemutus, Suppletoir/sumpah tambahan atau pelengkap dan Aestimatoire/sumpah penaksir.
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2005), hlm 228.
Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Sulaikhan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), hlm 135
10