Anda di halaman 1dari 13

HUKUM ACARA PERDATA DAN PRAKTIK PERADILAN PERDATA (E)

SUMPAH SEBAGAI ALAT BUKTI

Disusun oleh :

1. Ashar Ramadhan M (B011181470)


2. Yusril Firdaus (B011171045)
3. Andi Siti Nur Alifya (B011181537)
4. Arya Perdana (B011181321)
5. Dhimas Hariyono (B011181541)
6. Hodia Jesse H (B011171421)
7. Hikmah Nurazizah Hasmar (B011181525)
8. Faruq Nursyamsu (B011181445)

POGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sumpah
Sebagai Alat Bukti” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk
memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Hukum Acara Perdata Dan Praktik Peradilan Perdata.
Selain itu, Makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Sumpah sebagai alat
bukti bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi Sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, Makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempuna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 21 Oktober 2020

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………………. 2
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………….. 2
BAB 2 PEMBAHASAN ……………………………………………………………………. 3
2.1 Pengertian Pembuktian ………………………………………………………………….. 3
2.2 Tujuan Pembuktian ……………………………………………………………………... 4
2.3 Macam-Macam Alat Bukti ……………………………………………………………… 4
2.4 Sumpah Sebagai Alat Bukti …………………………………………………………….. 4
2.5 Kekuatan Hukum Alat Bukti Sumpah ………………………………………………….. 8

BAB 3 KESIMPULAN …………………………………………………………………….. 9


DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………… 10

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persidangan merupakan forum formal suatu organisasi guna membahas masalah


tertentu dalam upaya menghasilkan keputusan, Dalam proses beracara perdata, harus melewati
tahap-tahap sebagaimana yang telah di tentukan dalam HIR/RBg. Dari rangkaian proses
tersebut tahapan yang paling penting dalam sebuah persidangan yang dapat menentukan kalah
atau menangnya para pihak, yaitu melalui tahap pembuktian. Pembuktian memberikan
keterangan kepad hakim akan kebenaran peristiwa yang menjadi dasar gugatan/bantahan
dengan alat-alat bukti yang tersedia.

Dalam hukum, acara membuktikan mempunyai arti yuridis, yaitu memberi dasar-dasar
yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara bersangkutan guna memberi kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Suyling membuktikan tidak hanya
memberikan kepastian pada hakim tapi juga berarti membuktikan terjadinya suatu peristiwa,
yang tidak tergantung pada tindakan para pihak (seperti pada persangkaan) dan tidak
tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada pengakuan dan sumpah). Jadi pada dasarnya
membuktikan adalah suatu proses untuk menetapkan kebenaran peristiwa secara pasti dalam
persidangan, dengan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum, hakim mempertimbangkan
atau memberi alasan-alasan logis mengapa suatu peristiwa dinyatakan sebagai benar.

Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam alat bukti. Sedangkan menurut acara
perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh
mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.
Alat-alat bukti dalam hukum acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang sebagaimana
diatur dalam pasa 164 HIR5 dan Pasal 1866 KUH Perdata, 6 yaitu: (a) Bukti tulisan/Bukti
dengan surat, (b) Bukti saksi, (c) Persangkaan, (d) Pengakuan, (e) Sumpah.

Proses pembuktian sebagai salah satu proses acara dalam hukum perdata formil menjadi
salah satu proses yang paling penting. Suatu perkara di pengadilan tidak dapat putus oleh hakim
tanpa didahului dengan pembuktian. Pembuktian dalam arti yuridis sendiri tidak dimaksudkan
untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa
pengakuan, kesaksian atau suratsurat yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa
kemungkinan tidak benar palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap

1
perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak.

1.2 Rumusan Masalah :

1. Apa saja jenis-jenis pembuktian ?


2. Bagaimana kekuatan hukum pembuktian dengan sumpah ?

1.3 Tujuan Penulisan :

1. Untuk Mengetahui Apa saja jenis-jenis pembuktian


2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum pembuktian dengan sumpah sebagai salah
satu pendukung alat bukti dalam perkara perdata

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembuktian

Pembuktian menurut istilah Bahasa arab berasal dari Bahasa arab berasal dari kata
“Albayyinah”, yang artinya sesuatu yang menjelaskan.1 Sedangkan secara termminologis,
pembuktian berarti memberi keterangan dengan dalil yang meyakinkan. Pembuktian adalah
kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan
membenarkan hubungan hukum dan peristiwaperistiwa yang didalilkan atau dibantah dalam
hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya
diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau
hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak yang berperkara.

Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-
dalil gugatan/bantahan dalil gugatan yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di
persidangan2. Pembuktian dalam hukum acara perdata dikenal dua macam, yakni : hukum
pembuktian materiil dan hukum pembuktian formil. Hukum pembuktian materiil mengatur
tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta mengatur
tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur
tentang cara menerapkan alat bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara
adalah peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan hukumnya,
sebab yang menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran
formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil. Upaya mencari
kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang
mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-pasal 178 HIR/189 ayat (3)
RBG). Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus berdasarkan bukti yang cukup.
Dalam memeriksa suatu perkara perdata hakim setidaknya harus melakukan tiga tindakan

1
Sulaikhan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), hlm 135
2Royke Y. J. Kaligis, PENGGUNAAN ALAT BUKTI SUMPAH PEMUTUS (DECISOIR) DALAM PROSES
PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENURUT TEORI DAN PRAKTEK. Hlm 2

3
secara bertahap yakni : mengkonstantir yakni melihat benar tidaknya peristiwa yang diajukan
sebagai dasar gugatan, mengkualifisir peristiwa, mengkonstituir yakni memberi hukumnya.

2.2 Tujuan Pembuktian

Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang
diajukan kepada Hakim. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah
kebenaran formal, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah
kebenaran materiil. Dalam praktik peradilan, sebenarnya seorang Hakim dituntut mencari
kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu
adalah untuk meyakinkan hakim atau memberi kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan kepada
pembuktian tersebut.3

2.3 Macam-macam Alat Bukti

Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diatur dalam
pasal 164 HIR, pasal 284 R.Bg, dan pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti surat, alat bukti
saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.4 Harus dibedakan antara alat bukti pada umumnya
dengan alat bukti menurut hukum. Maksudnya meskipun alat bukti yang diajukan salah satu
bentuk alat bukti yang ditentukan sebagaimana tersebut diatas, tidak otomatis alat bukti
tersebut sah sebagai alat bukti. Supaya alat bukti itu sah sebagai alat bukti menurut hukum,
maka alat bukti yang diajukan itu harus memenuhi syarat formal dan syarat materiil. Di
samping itu, tidak pula setiap alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan
pembuktian untuk mendukung terbuktinya suatu peristiwa. Meskipun alat bukti yang diajukan
telah memenuhi syarat formal atau materiil, belum tentu mempunyai nilai kekuatan
pembuktian. Supaya alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pemuktian, alat bukti yang
bersangkutan harus mencapai batas minimal pembuktian. . Alat-alat bukti dalam acara perdata
yang disebutkan oleh undang-undang (pasal 164 HIR. 289 RBg. 1866 BW) ialah: alat bukti
tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah

2.4 Sumpah Sebagai Alat Bukti

3 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2005), 228.
4 Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hlm 151.

4
Alat bukti sumpah sebagai alat bukti yang terakhir sesuai dengan apa yang tercantum
dalam pasal 1866 BW yang menyatakan bahwa macam-macam alat bukti dalam perkata
perdata meliputi : alat bukti surat, persangkaan, saksi, pengakuan, dan alat bukti sumpah.
Sumpah sendiri dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1929 sampai dengan pasal 1945
KUHPerdata. Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam KUHPerdata ialah suatu
peryataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah.

1. Sumpah sebagai janji, artinya bersumpah untuk berjanji melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, yang disebtu sumpah Promissoir, misalnya sumpah seorang
saksi, dimana saksi bersumpah untuk berjanji memberikan keterangan atau
kesaksian, Jadi.kesaksiannya yang alat bukti, bukan sumpah itu sendiri, kareana
sumpahyang hanya merupakan janji.
2. Sumpah sebagai alat bukti atau sumpah assertoir atau Confirmatoir, yaitu sumpah
untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian
atau tidak.

Dalam Pasal 1929 KUH Perdata diatur mengenai jenis-jenis sumpah yang terdiri dari :

1. Decisoir/ Sumpah Pemutus


Sumpah pemutus atau sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan kepada
salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak lawannya. Misalnya permintaan pihak
penggugat kepada pihak tergugat. Berbeda dengan sumpah pelengkap atau sumpah
suppletoir, maka sumpah pemutus atau sumpah decisoir dapat dibebankan atau
diperintahkan, pada saat tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan
sumpah ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
a) Merupakan sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah
atau permintaan pihak lawan
b) Pihak yang memerintahkan atau meminta mengucapkan sumpah disebut
deferent, yaitu orang atau pihak yang memerintahkan sumpah pemutus,
sedangkan pihak yang diperintahkan bersumpah disebut delaat atau
gedefereerde.

Hakim dapat meneliti apakah permintaan salah satu pihak itu memenuhi syarat,
sehingga permintaan salah satu pihak agar lawannya mengucapkan sumpah dapat
ditolak atau dikabulkan oleh hakim. Kalau ditolak oleh Hakim, maka pemeriksaan

5
perkara berjalan terus, kalau hakim mengabulkan permintaan salah satu pihak dan
kemudian hakim membebankan sumpah kepada lawannya, maka pihak lawan ini
dapat menjalankan, menolak, atau mengembalikan sumpah itu kepada lawannya lagi.

Alat bukti sumpah decisoir, juga disebut sebagai alat bukti pamungkas, artinya
apabila dalam pemeriksaan suatu perkara tidak ada alat bukti lain yang dapat dijadikan
sebagai dasar untuk memutus perkara oleh hakim, maka satu-satu cara untuk dapat
mebuktikan peristiwa dalam perkara tersebut adalah dengan mengangkat
sumpah.Tidak demikian pada sumpah suppletoir dan sumpah aestimatoir, karena
kedua sumpah ini baru dapat dilakukan apabila sudah ada alat bukti permulaan, dan
alat bukti permulaan itu relevan dengan peristiwa yang dipersengketakan. Sekalipun,
terdapat bukti permulaan, tetapi tidak relevan, maka kedua sumpah tersebut tidak
boleh diperintahkan untuk dilaksanakan.

2. Supletoir / Sumpah tambahan atau pelengkap


Sumpah suppletoir atau sumpah pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan
oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak, untuk melengkapi peristiwa
yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Untuk dapat diperintahkan
bersumpah kepada salah satu pihak, harus ada pembuktian permulaan lebih dahulu,
tetapi belum mencukupi, dan tidak ada alat bukti lainnya, sehingga apabila ditambah
dengan sumpah suppletoir, maka pemeriksaan perkaranya menjadi selesai, hakim dapat
menjatuhkan putusannya. Misalnya, apabila hanya ada seorang saksi saja, maka untuk
melengkapi alat bukti kesaksian, karena satu saksi bukan saksi, sehingga tidak dapat
diterima sebagai alat bukti, maka untuk melengkapinya adalah dengan mengangkat
sumpah, yaitu sumpah suppletoir atau sumpah pelengkap.

Karena sumpah suppletoir ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, maka


mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang masih memungkinkan adanya
pembuktian lawan. Pihak lawan boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, apabila
putusannya didasarkan atas sumpah itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti,
maka bagi pihak yang dikalahkan terbuka kesempatan mengajukan peninjauan kembali,
setelah ada putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah itu palsu.

Dalam hal sumpah suppletoir ini, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:

6
1) Sumpah suppletoir hanya dapat dilakukan kalau ada alat bukti permulaan, tetapi
dianggap belum cukup,
2) Sumpah suppletoir dapat dibebankan kepada para pihak, tetapi hakim harus
melihat pihak mana yang lebih dapat menyelesaikan masalah kalau disuruh
bersumpah.
3) Sumpah suppletoir tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan. Pihak yang
dibebani bersumpah hanya dapat menolak atau menjalankannya. Jadi, berbeda
dengan sumpah decisoir.
4) Sumpah suppletoir mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang masih
memungkinkan adanya pembuktian lawan.

3. Aestimatoire /Sumpah Penaksir.


Sumpah penaksir merupakan salah satu alat bukti sumpah yang secara khusus
diterapkan untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang
digugat oleh penggugat. Apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu
membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa nilai harga barang
yang dituntutnya. Begitu juga tergugat tidak mampu membuktikan bantahannya berapa
ganti rugi atau harga barang yang sebenarnya, taksiran atas ganti rugi atau harga barang
itu dapat ditentukan melalui pembebanan sumpah penaksir. Jadi, penerapan sumpah ini
baru dapat dilakukan apabila sama sekali tidak ada bukti dari kedua belah pihak yang
dapat membuktikan jumlah yang sebenarnya.
Syarat formil utama agar sumpah penaksir dapat diterapkan yaitu apabila
penggugat telah mampu membuktikan haknya atas dalil pokok gugatan dan karena
sumpah penaksir tersebut asesor kepada hak yang menimbulkan adanya tuntutan atas
sejumlah ganti rugi atau sejumlah harga barang, maka selama belum dapat
dibuktikannya hak, tidaklah mungkin menuntut ganti rugi atau harga barang.
Hakim tidaklah wajib untuk membebani sumpah penaksiran ini kepada penggugat.
Sumpah penaksiran ini barulah dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat,
apabila penggugat telah membuktikan haknya atas ganti kerugian itu, dan jumlahnya
masih belum pasti, serta tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian
tersebut, kecuali dengan taksiran. Kekuatan pembuktian sumpah penaksiran ini sama
dengan sumpah pelengkap yaitu bersifat sempurna dan masih membutuhkan atau

7
memungkinkan pembuktian lawan. Sumpah penaksiran ini juga dapat dilakukan di
masjid.

2.5 Kekuatan Hukum Alat Bukti Sumpah


Sumpah sebagai alat bukti dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk sebagai
berikut: Sumpah Decisoir (Pemutus), Sumpah Suppletoir (Pelengkap) dan Sumpah
Aestimatoir (Penaksir)
1) Makna sumpah Decisoir (Pemutus) memiliki daya kekuatan memutuskan perkara
atau mengakhiri perselisihan. Jadi sumpah pemutus mempunyai sifat dan daya litis
decissoir, yang berarti dengan pengucapan sumpah pemutus:5
a. Dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara.
b. Diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah
yang diucapkan.
c. Dan undang-undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai kekuatan
pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan.
2) Sumpah Suppletoir atau Sumpah Tambahan pihak yang diperintahkan oleh hakim untuk
bersumpah suppletoir tidak boleh mengembalikan sumpah suppletoir tersebut kepada
lawannya (ps. 1943 BW) ia hanya dapat menolak atau menjalankannya. Dalam hal ini
hakim secara ex officio dapat memerintahkan Sumpah Suppletoir. Fungsi sumpah ini
adalah menyelesaikan perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang
masih memungkinkan adanya bukti lawan.
3) Pasal 155 HIR (ps. 182 Rbg, 1940 BW) mengatur tentang Sumpah Penaksiran, yaitu
sumpah yang diperintahkan oleh hakim kerena jabatannya kepada penggugat untuk
menentukan jumlah uang ganti kerugian. Kekuatan pembuktian Sumpah Aestimatoir
sama dengan Sumpah Suppletoir yaitu bersifat sempurna dan masih memungkinkan
pembuktian lawan. Sumpah ini dapat juga dilakukan di masjid.

5Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

8
BAB 3

KESIMPULAN

Pembuktian adalah rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam
melangsungkan perkara di muka hakim. Dalam proses mencari keadilan di pengadilan, maka
para pihak berupaya untuk memenangkan perkaranya dengan cara mereka masing-masing.
Hakim bertindak sebagai penilai.

Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-
undang (pasal 164 HIR. 289 RBg. 1866 BW) ialah: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

Pengertian sumpah seperti apa yang tercantum dalam KUHPerdata ialah suatu
peryataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah. Menurut Pasal
1929 KUH Perdata diatur mengenai klasifikasi sumpah yang terdiri dari Decisoir/sumpah
pemutus, Suppletoir/sumpah tambahan atau pelengkap dan Aestimatoire/sumpah penaksir.

Makna sumpah Decisoir (Pemutus) memiliki daya kekuatan memutuskan perkara


atau mengakhiri perselisihan. Sumpah Suppletoir/sumpah tambahan dimaknai adalah apabila
alat bukti masih kurang, namun sudah dilandasi pembuktian, maka hakim memerintahkan
pihak untuk bersumpah. Sumpah penaksir diterapkan untuk menentukan berapa jumlah nilai
ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat. Apabila penggugat tidak mampu
membuktikan berapa jumlah ganti rugi dan tergugat tidak mampu membantah ganti rugi.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2005), hlm 228.

Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hlm 151

Royke Y. J. Kaligis, PENGGUNAAN ALAT BUKTI SUMPAH PEMUTUS (DECISOIR)


DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENURUT
TEORI DAN PRAKTEK. Hlm 2

Sulaikhan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), hlm 135

10

Anda mungkin juga menyukai