Kelompok : 7
M. Zamzami. AF ( 2130101131 )
Dosen Pembimbing :
Mata Kuliah :
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat tuhan yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah yang berjudul “Pembuktian “ ini bisa selesai tepat pada
waktunya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
1. Pengertian Pembuktian................................................................................. 3
A. Kesimpulan ................................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................................. 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembagian Hukum Menurut fungsinya ada dua, yaitu hukum materiil dan
hukum formil. Hukum materiil adalah peraturan yang berisikan tentang hak dan
kewajiban manusia dalam pergaulan di masyarakat. Hukum materiil ini seperti:
hukum pidana, huku perdata, hukum adat, hukum administrasi negara dan hukum
tata negara. Sedangkan hukum formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana
cara mempertahankan atau menegakkan hukum materiil, seperti hukum acara
perdata, hukum acara pidana dan hukum acara peradilan tata usaha negara.
1
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pembuktian
3
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun
kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang
absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukup
bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang
demikian pun tetap menghadapi kesulitan. Sampai saat ini sistem pembuktian
hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865 -
Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi
golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 –
Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 – Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de
Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa
dan Madura diatur dalam Pasal 282 – Pasal 314.
4
an. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan setelah tergugat diberi
kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau menggunakan kesempatan yang
diberikan oleh hukum itu. Lembaga verstek itu diadakan sebagai perwujudan dari
asas Audi Et Alteram Partem. Di mana adanya lembaga verstek, dengan adanya
ancaman untuk menjatuhkan putusan verstek, putusan kerana tergugat tidak hadir,
merupakan dorongan bagi tergugat untuk hadir menggunakan haknya berdasarkan
asas Audi Et Alteram Partem. Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim
harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara, agar
kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak tetap sama, tidak
pincang atau berat sebelah. Di sini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban
pembuktian. Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama bagi kedua
pihak yang berperkara secara adil, maka suatu perkara tidak dapat disidangkan
dua kali (Bisde eadem re ne sit actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal
adanya “Be neicium” atau hak istimewanya. Aturan hukum pembuktian berlaku
sama, baik bagi penggugat maupun tergugat. Dan baik penggugat maupun
tergugat dapat membuktikan semua alat bukti, kecuali dalam hal-hal khusus,
misalnya antara penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pembuktian.
Asas “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memiksikan bahwa setiap
hakim itu harus di anggap tahu akan hukum nya perkara yang di periksanya.
Hakim sama sekali tidak boleh untuk memutus perkara, dengan alasan bahwa
hakim itu tidak mengetahui hukumnya. Demikian juga hakim harus menciptakan
hukumnya jika memang harus di hadapinya belum diatur oleh undang-undang
atau yurisprudensi. Penciptaan hukum oleh hakim ini biasanya dengan
menggunakan metode analogi atau argumentum a contrario.
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, sehingga para pihak di dalam
pembuktian, hanya wajib untuk membuktikan fakta yang dipersengketakan,
sedangkan pembuktian masalah hukum nya adalah menjadi kewajiban hakim.
5
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, maka pada sistem hukum Anglo
Saks (common law) dibedakan pemeriksaan perdata ataupun pidana atas:
Asas Ius Curia Novit ini dianut juga oleh hukum positif kita di Indonesia,
antara lain lihat ketentuan Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman UU No. 14 Tahun 1970.
Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak
seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri. Jadi sudah
jelas, bahwa baik penggugat maupun tergugat sama sekali tidak dibolehkan
sekaligus manjadi saksi di dalam pembuktian, untuk perkara mereka sendiri.
Saksi sebagai alat bukti, harus didatangkan orang lain yang bukan pihak dalam
perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan
yang melarang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak mampu”
manjadi saksi (recusatio) adalah:
6
2. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.
D. Asas Ultra Ne Petita
Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim
hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan
lebih daripada yang dituntut oleh penggugat.
Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya suatu asas yag
aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera
tidak dapat dipersengketakan.
7
Dalam hal si B di atas, oleh hukum dianggap si B sama saja
menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah Rp 10.000,- kepada si A. Dan
siapapun tidak bisa melarang seseorang untuk menyumbangkan hartanya sendiri.
Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan
banyak hak daripada yang ia miliki.
Lain halnya jika rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu adalah benar
milik si B, maka pengakuannya itu oleh hukum pembuktian diartikan sebagai
sumbangan si B kepada si A.
8
Berdasarkan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Th 2006
tentang Peradilan Agama, menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur khusus dalam undang-undang ini.
1. Bukti Tulisan
2. Bukti dengan Saksi-saksi
3. Persangkaan-persangkaan
4. Pengakuan dan
5. Sumpah
6. Pemeriksaan ditempat (pasal 153)
7. Saksi ahli (pasal 154 HIR)
8. Pembukuan (pasal 167 HIR)
9. Pengetahuan hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)
9
memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah fikiran, bukanlah
termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat. Surat sebagai alat bukti
tertulis dibagi menjadi 2 (dua) :
1. Surat yang merupakan akta
Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Akta dibagi lebih
lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
a) Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akata
otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat. Artinya, Hakim
harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain kecuali
memang dapat dibuktikan tentang ketidakbenarannya. Kata-kata „harus
menganggap benar‟ disini meliputi dua hal, yaitu benar apa yang ditulis didalam
kata; dan benar peristiwa yang ditentukan didalam akta sudah terjadi.
Pejabat yang dimaksud yaitu notaris, hakim, panitera, jurusita, pegawai
pencatat sipil, pegawai pendapat nikah, pejabat pembuat akta tanah, pejabat
pembuat kata ikrar wakaf dan sebagainya. Syarat-syarat akta otentik ada 3 (tiga)
yaitu:
Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
Dibuat dalam bentuk dan sesuai ketentuan yang ditetapkan untuk itu
Dibuatkan ditempat pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.
b) Akta di Bawah Tangan/ Akta Bukan Otentik
Akta dibawah tangan atau akta bukan otentik adalah segala tulisan yang
memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat dihadapan atau
oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat
kepada bentuk tertentu. Hal ini diatur dalam stbl 1867 No.29 untuk jawa dan
Madura, dan luar jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan 305
R.Bg pasal 1874-1180 BW.
Kekuatan akta dibawah tangan, Hakim meilainya bebas, akan tetapi jika
akta yang bersifat dibuat oleh kedua belah pihak, seperti jual-beli tanah yang
10
bukan otentik, apabila tandatangan yang tercantum didalamnya diakui oleh pihak
yang menandatanganinya maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama dengan
akta otentik, tetapi tetap masih mempunyai perbedaan dengan akta otentik.
Dalam hukum Islam, alat bukti saksi disebut „syahid’ (saksi lelaki) atau
„syahidah‟ (saksi perempuan) yang terambil dari kata „musyahadah’ yang artinya
„menyaksikan dengan mata kepala sendiri‟. Saksi adalah yang memberikan
kepastian kepada hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan
dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan. Saksi ialah orang
yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami
sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.
11
muamalat khusus diperlukan 2 (dua) orang perempuan atau untuk perkara zina
dibutuhkan 4 (empat) orang saksi. Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-
152 dan pasal 168-172 HIR, pasal 165-179 Rbg, pasal 1895 dan 1902-1912 BW.
b) Syarat-syarat saksi
2. Sehat akalnya
5. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah
(pasal 144 ayat 2 HIR kecuali undang-undang menentukan lain.
9. Di panggil masuk ke ruang siding satu demi satu (pasal 144:1 HIR)
12
Syarat materil saksi ialah:
3. Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu pristiwa yang telah
atau idanggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum
terbukti, baik yang bersandarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik
oleh hakim.persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW. Ada dua macam
bentuk persangkaan persangkaan Undang-undang, dan Persangkaan hakim.
13
2. Persangkaan Berdasarkan Hakim
4. Pengakuan/ Ikrar
Lisan
Tertulis
Alat bukti pengakuan dalam Peradilan Islam disebut al iqrar yang artinya
ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat bahwa
bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar . Dasar pengakuan
sebagai alat bukti menurut Peradilan Islam adalah Q.S. An Nisa (4): 135.
5. Sumpah
14
Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji
yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (Ps. 155-158, 177), Rbg. (Ps. 182-
185, 314) dan BW (Ps. 1929-1945).
15
Pada asasnya, pemeriksaan pengadilan dilangsungkan di gedung
pengadilan (pasal26,90 Rv, pasal 35 RBg). Pemeriksaan setempat biasanya
diperlukan untuk memeriksa benda tetap (minsalnya, tanah, batas-batas-batas
tanah, gedung, rumah, benda yang melekat padannya atau lainnya yang tidak
mungkin diajukan ke depansidang pengadilan) atau seseorang yang karena
sesuatu hal tidak mungkin untuk menghadap dipersidangan.
16
3. Namun demikian, yang pasti adalah bahwa saksi ahlipun harus
memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.
4. Atas dasar hsl tersebut maka sudah seharusnya apabila syarat-syarat
sebagai saksi ahli sama denagn syarat-syarat sebagai saksi sekalipun
dengan perbedaan-perbedaan tertentu.
Pasal 167 HIR, pasal 296 RBg. Menyatakan bahwa hakim bebas
memberikan kekuatan pembuktian untuk keuntungan seseorrang kepada
pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut. Ketentuan ini
menyimpang dari prinsip bahwa tulisan seseorang tidak dapat memberikan
keuntungan bagi dirisendiri. Dalam pasal ini dikatakan bahwa hakim oleh (bebas)
untuk menerima dan memberi kekuatan bukti yang menguntungkan bagi si
pembuat suatu pembukuan.
Contoh: seorang penggugat menggugat kepada lawan (tergugat) untuk
melunasi hutangnya, kemudian tergugat menyatakan bahwa hutangnya sudah
lunas, lalu penggugat menunukkan pembukuan debit-kridit terhadap tergugat
dimana ada pengeluaran pinjaman. Dalam hal ini hakim dapat menerima
pembukuan itu sebagai bukti yang menguntungkan penggugat.
17
pristiwa dalam kasus yang dihadapinya merupakan dasar untuk menjatuhkan
putusan dengan menerapkan hukum ia ketahui itu. Pengetahuan hakim yang
diperoleh dalam persidangan, yakni apa yang dilihat, didengar, dan disaksikan
oleh hakim dalam persidangan merupakan ukti agi peristiwa yang disengketakan.
Minsalnya, sikap, perlakuan, emosional, dan tindakan para pihak serta
pernyataannya du dalam siding akan menjai bukti bagi hakim dalam memutus
perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh diluarr
persidangan tidak dapat dijadikan bukti di dalam memutuskan persidangan.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo
Persada.
20