Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

GUGATAN ATAU PERMOHONAN


DOSEN PENGAMPU : IMRON HADI, M.H

DISUSUN OLEH KELOMPOK VI:


1. GUNAWAN SAPUTRA
2. FAZRIYADI
3. HAIRUL ROFIQI

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1

DAFTAR ISI......................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3

A. LATAR BELAKANG.............................................................................................3

B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................4

C. TUJUAN..................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5

A. PENGERTIAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN..........................................5

B. GUGATAN ATAU PERMOHONAN SEBAGAI HAK PRIVATE......................6

C. PIHAK – PIHAK YANG BERPERKARA DI PA.................................................7

D. BENTUK DAN ISI GUGATAN ATAU PERMOHONAN...................................10

E. KELENGKAPAN GUGATAN ATAU PERMOHONAN.....................................11

BAB III KESIMPULAN...................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil ‘alamin puji syukur kita panjatkan kehadirat allah swt, yang telah
melimpahkan nikmat dan karunia nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
ini, yang berjudul “gugatan atau permohonan” Sholawat dan salam tak lupa pula kita
hadiahkan kepada baginda alam nabi kita nabi Muhammad saw, yang dengan jasa beliaulah
sehingga kita dapat mengenal yang namanya islam sampai nsekarang ini.

Penyusunan makalah ini di tujukan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah hukum acara
pradilan agama institute agama islam hamzanwadi NW Lombok timur. Dalam penulisan
makalah ini kami masih merasa banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat keterbatasan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu keritik dan saran dari semua
pihak sangat kami harapkan guna untuk menjadoi pelajaran bagi kami agar dapat lebih baik lagi
kedepannya.

Terakhir kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam peruses
penyusunan makalah ini, terutama kepada bapak imron hadi, SH.,MH selaku dosen pengampu
pada mata kuliah ini, kami ucapkan banyak terimaksih yang sebesar-besarnya. Harapan kami
semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai mana mestinya.

Anjani, 14 Desember 2023

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Peradilan Agama memiliki peranan penting dalam masalah hukum yang terkait di
Negara ini salah satunya dalam menangani masalah perdata. Jika tidak ada Peradilan
Agama entah apa yang terjadi dengan suatu negara tersebut, yang jelas pemerintahan
yang berjalan tidak akan seimbang. Akan banyak sekali kekacauan yang terjadi dan tidak
akan bisa dikondisikan dengan waktu yang singkat.
Dalam suatu perkara tentunya ada dua pihak yang saling menggugat dan di gugat
serta ada yang meminta haknya atau pemohon yang sering kita dengar dengan istillah
permohonan. Dalam menghadapi masalah perdata seseorang yang menghadapi masalah
bisa mengajukan surat gugatan perdata kepada pengadilan setempat (Pengadilan Agama).
Surat gugatan perdata dan surat permohonan dibuat oleh pengacara atau kantor
advokad yang di tunjuk oleh orang yang berpekara dan yang telah di beri kewenangan
oleh yang bersangkutan (orang yang berpekara tersebut). Surat ini merupakan
permohonan dari pihak penggugat kepada pengadilan untuk menyelenggarakan
persidangan antar pihak penggugat dan tergugat terkait kasus yang menimpa pihak
penggugat.
Untuk memulai menyelesaikan pemeriksaan persengkataan perkara perdata yang
terjadi di antara anggota masyarakat, salah satu pihak yang besengketa harus mengajukan
permintaan pemeriksaan kepada pengadilan. Apabila salah satu pihak sudah mengajuakan
permintaan pemeriksaan, persengketaan menjelma menjadi “perkara” di sidang
pengadilan. Selama sengketa tidak meminta campur tangan pengadilan untuk mengadili,
pengadilan tidak bisa berbuat apa apa. Pengadilan tidak boleh mencari perkara untuk
diadili. Hal ini di tegaskan pasal 55 UU No . 7 tahun 1989 Jo UU Nomor 3 tahun 2006 Jo
UU Nomor 50 tahun 2009. Menurut pasal tersebut tiap pemeriksaan perkara di
pengadilan di mulai sesudah diajukan suatu permohonan atau gugatan pihak pihak yang
berperkara di panggil untuk menghadiri pemeriksaan di sidang pengadilan.

3
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 55 dan dihubungkan dengan penjelasan pasal
60, dilingkungan peradilan agama dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan
pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang pertama disebut “permohonan”, Yang
kedua disebut “gugatan” dalam bahasa sehari hari lazim disebut gugatan, sehingga di
kenal “gugatan permohonan” dan “gugat biasa”.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertisn gugatan atau permohonan?
2. Bagaimana gugatan atau permohonan sebagai hak private?
3. Siapa saja pihak – pihak yang berperkara di pa?
4. Apa saja bentuk dan isi gugatan?
5. Apa saja kelengkapan gugatan/permohonan?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian gugatan atau permohonan.
2. Mengetahui bagaimana gugatan atau permohonan sebagai hak private.
3. Mengetahui siapa saja pihak – pihak yang berperkara di PA.
4. Memahami apa saja bentuk dan isi gugatan.
5. Mengetahui apa saja kelengkapan gugatan/permohonan.

D.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian gugatan atau permohonan


Gugatan merupakan suatu surat tuntutan hak (dalam permasalahan perdata) yang
didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan
perkara yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai
penggugat untuk menggugat pihak lainnya sebagai tergugat.
Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat
melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua)
pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat, yang mana terjadinya
gugatan umumnya pihak tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan
kewajiban yang merugikan pihak penggugat. Terjadinya gugatan umumnya setelah pihak
tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat
tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan kewajiban yang diminta oleh pihak
penggugat, sehingga akan timbul sengketa antara penggugat dan tergugat. Sengketa yang
dihadapi oleh pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai di luar persidangan
umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk
mendapatkan keadilan.
Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau
pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan
menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang
menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam objek pembahasan ini adalah
pengadilan negeri. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan
haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa.
Adapun yang dimaksud “pihak lain” itu bisa terdiri dari seseorang, beberapa
orang, atau sekelompok orang, baik atas nama suatu badan hukum maupun yang bukan
badan hukum. Adapun pihak yang mengajukan tuntutan disebut dengan “penggugat” atau
kalau lebih dari satu disebut “para penggugat”. Adapun pihak yang dituntut di pengadilan
disebut “tergugat” atau kalau lebih dari satu disebut “para tergugat”. Dengan kata lain

5
yang lebih ringkas, gugatan adalah tuntutan hak yang diajukan oleh pihak penggugat
kepada pihak tergugat melalui pengadilan
Permohonan adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, di mana hanya
terdapat satu pihak saja yang disebut sebagai pemohon. Tidak ada sengketa di sini
maksudnya tidak ada perselisihan, yang bersangkutan tidak minta peradilan atau
keputusan dari hakim, melainkan minta ketetapan dari hakim tentang status dari suatu
hal, sehingga mendapatkan kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui oleh semua
orang.
Terkait dengan permohonan ini, Retnowulan Sutantio dalam buku Hukum
Acara Perdata dalam Teori dan Praktek menjelaskan bahwa dalam perkara yang
disebut permohonan tidak ada sengketa, hakim mengeluarkan suatu penetapan atau
lazimnya yang disebut dengan putusan declaratoir yaitu putusan yang bersifat
menetapkan, menerangkan saja
Sedangkan permohonan, menurut Yahya Harahap Permohonan adalah suatu
surat permohonan permasalahan perdata yang ditandatangani oleh pemohon atau
kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang didalamnya berisi tuntutan hak oleh
suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung unsur
sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses
peradilan yang bukan sebenarnya.
Ciri khas dari permohonan adalah bersifat reflektif yaitu hanya demi kepentingan
pihaknya sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Contohnya: permohonan melakukan
adopsi, konsinyasi, ganti nama, menjadi wali, dan sebagainya.
Karena proses permohonan hanya berupa pemenuhan administratif saja, maka
tidak ada proses mengadili seperti sidang gugatan. Sehingga, sepanjang syarat-syarat
administratifnya terpenuhi, besar kemungkinan permohonan yang diajukan akan
dikabulkan.
B. Gugatan atau permohonan sebagai hak private
Gugatan sebagai hak private artinya setiap orang berhak mengajukan gugatan
yang di jamin oleh undang – undang untuk mendapatkan hak – hak individu. Artinya hak
untuk mengajukan gugatan ada bagi setiap orang yang mempunyai gugatan.

6
Hak individu atau perseorangan (private rights) merupakan bagian dari jenis-jenis
hak seperti hak untuk memiliki suatu benda tertentu. Akan tetapi sesuatu disebut hak
harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur perlindungan, unsur ini terlihat dalam contoh: seorang wanita tidak boleh
disetubuhi secara paksa (diperkosa). Dengan demikian, wanita itu mempunyai hak
untuk dilindungi dari perkosaan laki-laki manapun.
2. Unsur pengakuan, terlihat contoh diatas bahwa dengan kewajiban untuk
melindungi wanita itu dari perkosaan, berarti mengakui adanya hak si wanita tadi
untuk tidak diperkosa, jadi adanya pengakuan untuk melindungi wanita tadi dari
perkosaan.
3. Unsur kehendak, dari contoh diatas, wanita itu memiliki kehormatan (kesusilaan).
Berarti, hukum memberikan hak kepada wanita itu untuk mendapat perlindungan
atas kehormatannya. Namun, perlindungan itu tidak hanya tertuju pada
kepentingan wanita itu saja, melainkan juga terhadap kehendak si wanita itu.
Artinya, si wanita itu dapat memberikan atau secara sukarela disetubuhi oleh pria
yang dikehendakinya dan itu termasuk hak dari wanita itu. Tentu saja, menurut
hukum dan moral bangsa Indonesia, hak wanita tadi untuk menentukan sendiri
kehendaknya masih dibatasi oleh kaidah agama.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hak individu tidak bisa dilepaskan dari
bagian hak asasi manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan hak asasi manusia
berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
C. Pihak – pihak yang berperkara di PA
Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam berpekara
di Pengadilan. Pihak-pihak yang berpekara dapat diperinci sebagai berikut:
1. Pihak yang secara langsung mempunyai kepentingan terhadap perkara yang
diajukan ke pengadilan.

7
2. Pihak yang secara tidal langsung mempunyain kepentingan sendiri tetapi
dianggap sebagai pihak yang berkepentingan.
3. Pihak yang merupakan utusan atau wakil dari pihak yang berkepentingan.
Dalam menentukan para pihak yang berpekara harus hati-hati. Pihak kedua
sebagai tergugat harus benar-benar mempunyai hubungan hukum dengan perkara yang
disenketakan. Gugatan yang diajukan terhadap tergugat yang tidal mempunyai hubungan
hukum dengan penggugat akan mengakibatkan gugatan cacat formil karenaerror in
personal atau gugatan salah alamat atau orang yang digugat keliru sehingga
mengakibatkan gugatan tidal diterima dan berakibat pula hilangnya biaya, waktu, dan
tenaga.
Pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Agama terbagi dalam beberapa bagian
sebagai berikut:
1. Para Pihak dalam Perkara Voluntair
Perkara voluntair merupakan perkara yang sifatnya permohonan dan tidak
terdapat lawan di dalamnya. Perkara voluntair yang dapat diajukan ke Pengadilan
Agama ada beberapa macam seperti: Penetapan wali pengampu bagi ahli waris
yang tidak mampu untuk melakukan tindakan hukum; Penetapan pengangkatan
wali; Penetapan pengangkatan anak; Penetapan pengesahan nikah (itsbat nikah);
Penetapan wali ‘adhol, dan sebagainya.
Pihak dalam perkara voluntair ini hanya ada pemohon saja, mungkin ada
pemohon I, pemohon II, dan seterusnya. Akan tetapi dalam perkara permohonan
ikrar talak dan permohonan izin beristri lebih dari seorang (poligami), di
dalamnya ada termohon yaitu istri, sedangkan pihak pemohonnya adalah suami.
2. Para Pihak dalam Perkara Contensius
Perkara contensius merupakan perkara yang mengandung sengketa antara pihak-
pihak. Di dalamnya ada Penggugat yang yang mengajukan gugatan, dan ada
Tergugat atau orang yang digugat. Jika Penggugat dan Tergugat lebih dari satu,
maka disebut Penggugat I, Penggugat II dan seterusnya. Begitu juga Tergugat,
ada Tergugat I, Tergugat II dan seterusnya.
Terkadang ada juga pihak-pihak yang menjadi Turut Tergugat, yaitu pihak yang
tidak digugat secara langsung namun ada kemungkinan mempunyai hak dalam

8
objek yang disengketakan, tetapi ia tidak mau turut menggugat seperti dalam
perkara gugatan harta waris atau hibah, pihak yang menguasai objek sengketa
disebut Tergugat, sedangkan pihak yang tidak menguasai objek sengketa tetapi
mempunyai hak dalam sengketa dan tidak mau menjadi penggugat, maka ia dapat
menjadi pihak “Turut Tergugat” karena semua orang yang diperkirakan
mempunyai hak pada objek sengketa harus menjadi pihak dalam perkara.
3. Para Pihak dalam Perkara Verstek
Verstek adalah perkara yang tidak dihadiri oleh Tergugat, dan putusan verstek
adalah putusan dari perkara yang tidak dihadiri oleh Tergugat. Maka dalam
perkara verstek hanya ada satu pihak yaitu penggugat. Selanjutnya apabila pihak
tergugat yang diputuskan verstek itu mengajukan upaya hukum melalui verzet,
maka ia disebut dengan “Pelawan” (Semula Tergugat), sedang pihak Penggugat
disebut “Terlawan” (Semula Penggugat).
Perkara verstek ini terkesan tidak mengikuti aturan undangundang, yaitu dalam
perkara gugatan perceraian yang tidak dihadiri oleh Tergugat. Dikatakan tidak
mengikuti aturan undang-undang, karena menurut Pasal 125 HIR ditentukan
bahwa jika pihak Tergugat tidak datang pada sidang pertama dengan tanpa alasan
dan sudah dipanggil secara patut, maka Hakim boleh memutuskan tanpa
kehadiran Tergugat (verstek) tanpa harus membuktikan kebenaran gugatannya.
Hal itu karena kalau Tergugat tidak hadir tanpa alasan dan sudah dipanggil secara
patut, maka ia dianggap mengakui gugatan Penggugat, dan kalau Tergugat
mengakui, maka Penggugat tidak harus membuktikan.
Dalam praktiknya di Pengadilan Agama ternyata ditemui bahwa apabila pada
persidangan pertama Tergugat tidak hadir meskipun sudah dipanggil secara patut,
pengadilan menunda persidangan dan memerintahkan agar Tergugat dipanggil
sekali lagi. Dalam penundaan persidangan itu, pengadilan memerintahkan kepada
Penggugat agar menyiapkan alat-alat bukti untuk membuktikan dalil-dalil
gugatannya, dan pada persidangan berikutnya, tergugat juga tidak hadir, gugatan
akan diperiksa dengan memeriksa dalil-dalil gugatan dari Penggugat, lalu
diputuskan secara vertsek.

9
Padahal menurut penjelasan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Perdata,
tertulis pada tanggal 18 Januari 1992 telah dinyatakan bahwa putusan verstek
dalam perkara perceraian, sama saja dengan putusan verstek dalam perkara
lainnya yang tidak memerlukan pembuktian, dan alasan mengabulkan gugatan
verstek, bukan karena gugatan terbukti, tetapi karena gugatan telah berdasarkan
hukum dan gugatan telah beralasan.
4. Pihak-Pihak dalam Perkara Derden Verzet
Perkara Derden verzet atau perlawanan pihak ketiga merupakan hak yang
diberikan berdasarkan Pasal 165 ayat (6) HIR atau Pasal 379 Rv bagi seseorang
yang tidak terlibat dalam suatu proses perkara, untuk menentang suatu tindakan
yang merugikan kepentingannya. Tindakan itu karena adanya suatu putusan yang
dilawannya. Derden verzet atas alasan hak milik adalah yang paling sering
dijumpai dalam suatu kasus. Dalih hak milik dalam suatu gugatan perlawanan
yang diajukan pihak ketiga, bisa ditujukan terhadap sita eksekusi yang dilakukan
pengadilan.
Kebolehan mengajukan gugatan derden verzet terhadap eksekusi putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap, terbuka selama eksekusi belum selesai
dilaksanakan. Apabila eksekusi sudah selesai dilaksanakan, upaya yang dapat
ditempuh pihak ketiga bukan lagi bentuk perlawanan tetapi harus berbentuk upaya
gugatan. Berdasarkan Pasal 378 dan 379 Rv, untuk dapat dikabulkannya
perlawanan pihak ketiga diperlukan terpenuhinya 2 unsur yaitu, adanya
kepentingan dari pihak ketiga dan secara nyata hak pihak ketiga dirugikan
Adapun para pihak dalam perkara derden verzet adalah pihak Pelawan yaitu pihak
ketiga yang merasa punya kepentingan terhadap putusan berkekuatan tetap yang
akan dieksekusi, sedangkan pihak Terlawan I adalah Penggugat semula dan
Terlawan II adalah Tergugat semula.
D. Bentuk dan isi gugatan/permohonan
Pada dasarnya gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis berdasarkan
pada Pasal 120 HIR atau Pasal 144 (1) RBg dan memuat unsur-unsur seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Namun kalau ada penggugat atau pemohon yang tidak bisa
menulis dan membaca seperti penggugat yang buta huruf, maka gugatan atau

10
permohonan dapat diajukan secara lisan, dan diajukan kepada ketua pengadilan agama
yang berwenang, lalu memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat
gugatan/permohonan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang
disampaikan oleh penggugat/pemohon dan membacakannya, selanjutnya
gugatan/permohonan diberi tanda tangan oleh ketua/hakim yang membuatkannya dan
penggugat/pemohon sendiri sudah tidak perlu lagi menandatanganinya,
Isi dari surat gugatan antara lain :
1. Identitas para pihak (nama lengkap, gelar, alias, julukan, bin atau binti, umur,
agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai penggugat atau tergugat),
2. Posita atau position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara dua
belah pihak) dan
3. petita atau petitum (isi tuntutan).
Sedangkan untuk surat permohonan tidak jauh beda dengan isi dari surat gugatan
yaitu identitas, petita, dan posita. Hanya saja pada surat permohonan tidal dijumpai
kalimat “berlawanan dengan”, “duduk perkaranya”, dan “permintaan membayar biaya
perkara kepada pihak lain”.
E. Kelengkapan gugatan/permohonan
Kelengkapan dari surat gugatan atau surat permohonan diantaranya:
1. surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf yang
manamenyampaikan ke pada kuasanya atau pada pengadilan agama ke ketua
hakim seperti pada kasus gugatan cerai. Surat gugatan atu surat permohonan yang
di buat sendiri atau lewat kuasanya di tunjukan ke pengadilan yang berwenang.
2. Foto copy identitas seperti KTP.
3. Vorschot biaya perkara dan bagi yang miskin dapat mengajukan dispensasi biaya
dengan membawa surat keterangan miskin dari kelurahan atau kecamatan.
4. Surat keterangan kematian untuk perkara waris.
5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi PNS (untuk
perkara poligami).
6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara poligami).
7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami).

11
8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai, permohonan cerai,
gugatan nafkah,istri, dan lainlain).
9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan tentang
mut’ah).
10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan.

12
BAB III
KESIMPULAN

Gugatan merupakan suatu surat tuntutan hak (dalam permasalahan perdata) yang
didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan
perkara yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai
penggugat untuk menggugat pihak lainnya sebagai tergugat.
Gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat
melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua)
pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat, yang mana terjadinya
gugatan umumnya pihak tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan
kewajiban yang merugikan pihak penggugat. Terjadinya gugatan umumnya setelah pihak
tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat
tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan kewajiban yang diminta oleh pihak
penggugat, sehingga akan timbul sengketa antara penggugat dan tergugat. Sengketa yang
dihadapi oleh pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai di luar persidangan
umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk
mendapatkan keadilan.

13
DAFTAR PUSTAKA

M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika. Jakarta: 2005

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1995.

Herman,dkk. Hukum acara pradilan agam. Forum pemuda aswaja:praya.2021

Sudirman. Hukum acara pradilan agama. IAIN parepare press : parepare. 2021

14

Anda mungkin juga menyukai