Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

GUGATAN CERAI DAN PERMOHONAN PENGAJUAN CERAI TALAK DI


PERADILAN AGAMA

(diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum acara perdata & peradilanagama)

DOSEN PENGAMPU RISMA ANASTASIYA, S.H, M.H

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6

Rizki Candra: (1921020437)

Rosalia Putr: (1921020438)

Rullika Novia: (1921020439)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN

1
KATAPENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul:GUGATAN CERAI DAN PERMOHONAN
PENGAJUAN CERAI TALAK DI PERADILAN AGAMA . Kami menyadari
bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang
Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini
penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan karya tulis ini.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan karya tulis ini masih dari jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, Kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan
tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan karya tulis
ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi seluruh pembaca.

Bandar Lampung, 17 Oktober 2021

Kelompok 8

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR..............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah.........................................................................4


B. Rumusan Masalah..................................................................................5
C. Tujuan Masalah......................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Gugatan Dan Gugatan cerai.................................................6


B. Bentuk Gugatan Atau macam-macam gugatan.....................................8
C. Perbedaan Gugatan Cerai dan Cerai Talak............................................12
D. pengertian Permohonan dalam pengadilan agama................................14

BABIII PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................21
B. Saran........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gugatan adalah suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok)
atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan
perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan
kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam pembahasan ini adalah pengadilan
agama. Oleh karena itu, sebagai syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan
haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa.

Adapun maksud “para pihak ” itu bisa terdiri seseorang, beberapa orang, atau
sekelompok orang, baik atas nama suatu badan hukum maupun yang bukan badan
hukum. Adapun pihak yang mengajukan tuntutan disebut dengan “penggugat” atau
kalau lebih dari satu disebut “para penggugat”. Adapun pihak yang dituntut di
Pengadilan disebut “tergugat” atau kalau lebih dari satu disebut “para tergugat” dan
atau apabila ada yang terkait hubungan hukum” disebut turut tergugat”. Dengan kata
lain yanglebih ringkas, “Gugatan” adalah tuntutan hak yang diajukan oleh pihak
penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan. Gugatan perdata yang ada
lawan disebut juga gugatan contentiosa artinya perkara bersifat perlawanan atau yang
mengandung perselisihan di antara para pihak yakni antara penggugat dengan
tergugat.

Surat gugatan bentuknya tidak selalu tertulis, dapat juga diajukan secara lisan,
misalnya apabila pihak penggugatnya buta huruf atau cacat secara fisik/jasmani,
seperti buta. Namun demikian, apabila gugatan diajukan secara lisan, hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau
di-Indonesiakan menjadi RIB (Reglemen Indonesia yang Baru), gugatan lisan itu
akan dicatat oleh ketua Pengadilan Agama menjadi sebuah catatan tertulis tentang
tuntutan hak atau akan menjadi gugatan tertulis pula. Akan tetapi, dapat dipastikan di
era sekarang ini, semua gugatan yang masuk ke pengadilan bentuknya adalah tertulis
yang disusun oleh pihak penggugat sendiri maupun disusun oleh kuasanya.

B. Rumusan Masalah

4
1. Apakah yang dimaksud dengan Pengertian Gugatan dan Gugatan Cerai?
2. Apakah yang dimaksud dengan Bentuk dari Gugatan?
3. Apa Perbedaan Gugatan Cerai dan Cerai Talak?
4. Apakah yang dimaksud dengan Permohonan dalam pengadilan agama?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Gugatan dan Gugatan Cerai
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Bentuk Gugatan
3. Untuk mengetahui Perbedaan dari Gugatan Cerai dan Cerai Talak
4. Untuk Mengetahui apa yang dimaksud dengan Permohonan dalam
pengadilan agama.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gugatan dan Gugatan Cerai


Gugatan adalah suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau
badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan
perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan
kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam pembahasan ini adalah pengadilan
agama. Oleh karena itu, sebagai syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan
haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa.

Adapun maksud “para pihak ” itu bisa terdiri seseorang, beberapa orang, atau
sekelompok orang, baik atas nama suatu badan hukum maupun yang bukan badan
hukum. Adapun pihak yang mengajukan tuntutan disebut dengan “penggugat” atau
kalau lebih dari satu disebut “para penggugat”. Adapun pihak yang dituntut di
Pengadilan disebut “tergugat” atau kalau lebih dari satu disebut “para tergugat” dan
atau apabila ada yang terkait hubungan hukum” disebut turut tergugat”. Dengan kata
lain yanglebih ringkas, “Gugatan” adalah tuntutan hak yang diajukan oleh pihak
penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan. Gugatan perdata yang ada
lawan disebut juga gugatan contentiosa artinya perkara bersifat perlawanan atau yang
mengandung perselisihan di antara para pihak yakni antara penggugat dengan
tergugat.

Surat gugatan bentuknya tidak selalu tertulis, dapat juga diajukan secara lisan,
misalnya apabila pihak penggugatnya buta huruf atau cacat secara fisik/jasmani,
seperti buta. Namun demikian, apabila gugatan diajukan secara lisan, hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau
di-Indonesiakan menjadi RIB (Reglemen Indonesia yang Baru), gugatan lisan itu
akan dicatat oleh ketua Pengadilan Agama menjadi sebuah catatan tertulis tentang
tuntutan hak atau akan menjadi gugatan tertulis pula. Akan tetapi, dapat dipastikan di
era sekarang ini, semua gugatan yang masuk ke pengadilan bentuknya adalah tertulis
yang disusun oleh pihak penggugat sendiri maupun disusun oleh kuasanya.

(Buku ecep nurjamal praktik beracara, hal 31-32)

6
Gugat Cerai menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 Perceraian merupakan
bagian dari perkawinan. Oleh karena itu perceraian diartikan, berakhirnya ikatan atau
status sebagai suami istri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah
melakukan ijab qabul (perkawinan) berdasarkan putusan pengadilan.

Pengertian perceraian ditegaskan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974


tentang Perkawinan:a. Perceraian menurut Pasal 38 UU No. l tahun 1974 adalah
putusnya perkawinan. Dapat disimpulkan perceraian adalah putusnya ikatan lahir
batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhimya hubungan keluarga
(rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.

b. Pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa perceraian


hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha mendamaikan kedua belah pihak, sehubungan dengan pasal ini.

Perceraian menurut hukum Islam yang telah dijabarkan dalam pasal 38 dan pasal
39 UU No. 1 tahun 1974 serta yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 tahun 1975,
mencakup antara lain sebagai berikut:

perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan gugatan
cerainya oleh dan inisiatif suami kepada Pengadilan Agama, dan dianggap terjadi dan
berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan
(diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama (pasal 14 sampai dengan pasal 18 PP
No. Tahun 1975).

Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatan
cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi
dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (pasal 20 sampai pasal
36). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam UU No. 1 tahun
1974, khusunya pasal 39 sampai Pasal 41 dan UU tentang tata cara perceraian dalam
peraturan pelaksanaan No. 9 tahun 1975 (pasal 14 sampai dengan Pasal 36) dapat
disimpulkan bahwa Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu
gugatan lebih dahulu oleh pihak istri kepada pengadilan dan dengan suatu putusan
pengadilan.

KHI berlaku sah dan dijadikan pedoman bagi seluruh Peradilan Agama di
Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991,
dan keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tertanggal 22 Juli 1991. Pada

7
Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam (KHI), merumuskan
garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara
dan akibat hukumnya.

Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam sama dengan Pasal 38 Undang-Undang


Perkawinan, Pasal 114 mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh
perceraian, maka dapat terjadi karena talak berdasarkan atas gugatan cerai. Pasal 115
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bunyi Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan
yang sesuai dengan konsep Kompilasi Hukum Islam, yaitu orang Islam:perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Istilah cerai
gugat sendiri mengalami perubahan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan
istilah gugatan perceraian sebagaimana termaktub dalam Pasal 114 Putusnya
perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau gugatan
perceraian.

(DISHARMONI WANITA KARIR TERHADAP GUGAT CERAI PERSPEKTIF


HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA (STUDI KASUS DI
PENGADILAN AGAMA CIREBON TAHUN 2018-2019)

B. Bentuk Gugatan Atau Macam-Macam Gugatan

1. Gugat Lisan

Dasar Hukumnya termuat pada Pasal 120 HIR/Pasal 144 \ (1) RBg, Pasal 123
(1) HIR/Pasal 147 (1) RBg. Pada dasarnya gugatan harus diajukan secara tertulis
(pasal 118 HIR/pasal 142 (1) RBg, namun sebagai pengecualiannya dalam pasal 120
HIR/pasal 144 (1) RBg, jika orang menggugat tidak pandai menulis, maka tuntutan
boleh diadukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Agama (dalam hal ini dibaca
Pengadilan Agama), dan selanjutnya Ketua Pengadilan Agama tersebut mencatat
tuntutan atau menyuruh mencatatnya. Syarat dalam pembuatan surat gugatan secara
lisan, pada prinsipnya sama dengan surat gugatan biasa.

Proses pengajuan gugat lisan ini tuntutan disampaikan secara lisan kepada
Ketua Pengadilan Agama/ Hakim yang ditunjuk kemudian Ketua Pengadilan Agama
mencatat atau menyuruh mencatat tuntutan Penggugat kepada Hakim yang ditunjuk
dan Gugatan yang telah dibuat, dibacakan kepada Penggugat, apakah telah selesai

8
dengan tuntutannya. Surat gugatan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama/
Hakim yang membuatkan surat gugatan.

Gugatan yang diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama seperti
contohnya hari, tanggal, tahun disebutkan kemudian telah menghadap kepada saya,
Ketua/Hakim Pengadilan Agama di satu pengadilan yang bernama A alamat dan
seterusnya selanjutnya ia memberitahukan bahwa ia tidak dapat menulis dan
membaca, serta menerangkan kepada saya bahwa ia hendak mengajukan gugatan
terhadap lawanya dengan disertai nama dan identitas yang jelas.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas ia meminta kepada Pengadilan


Agama dimaksud agar supaya menghukum si lawanya dalam segala tuntutannya dan
tuntutan tersebet harus diuraikan dengan jelas pula.

2. Gugatan Cuma-Cuma

Dasar hukum ini diatur pada Pasal 237 – 241 HIR/Pasal 273 – 277 RBg dan
Undang -Undang No. 20 Tahun 1947. Pada azasnya berperkara dikenakan biaya (ps.
4 (2), 5 (2) UU No. 14 Tahun 1970, 121 (4), 182, 183 HIR, 145 (4), 192-194 RBg.
Namun bagi mereka yang tidak mampu membayar perkara dapat mengajukan
permohonan untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara/berperkara secara
Cuma-cuma prodeo).

Subyek berperkara secara Cuma-cuma ini yaitu:

1. Penggugat, sebagaimana diatur pada Ps. 237 jo. 238 (1) HIR/Ps. 273 jo.
274 (2) RBg;

2. Tergugat (Ps. 273 jo. 239 (2) HIR/Ps. 273 jo. 274 (2) RBg)

3. Balai Harta Peninggalan(Ps. 240 HIR/Ps 276 RBg).

Mengenai syarat berperkara secara cuma-Cuma pemohon mengajukan


permohonan berperkara secara cuma-cuma kepada Ketua Pengadilan dan
Permohonan tersebut dilampiri surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/
Lurah yang diketahui oleh Camat serta membuktikan Surat Keterangan tersebut
berdasarkan hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa benar pemohon tidak mampu
membayar perkara.

9
Permohonan untuk mendapatkan ijin berperkara cuma-cuma yang dilakukan oleh :

a). Penggugat, dapat ia lakukan pada saat mengajukan gugatan lisan;

b). Tergugat, dapat ia lakukan pada saat memasukan jawaban gugatan


penggugat;

c). Balai Harta Peninggalan, dapat ia lakukan sama dengan kedudukannya bila
ia sebagai penggugat atau tergugat.

Menurut pasal 240 HIR/pasal 276 RBg, Balai Harta Peninggalan dapat mengajukan
permohonan berperkara secara Cuma-cuma, yaitu dengan syarat sebagai berikut :

1. Harta (boedel) ang dibelanya atau orang yang diwakilinya pada waktu
diadakan tuntutan itu tidak dapat/tidak mampu untuk membayar biaya perkara
yang sekiranya harus dibayar.

2. Harus menyerahkan kepada hakim, untuk diperiksa suatu daftar ringkas


tentang harta benda orang yang dibela/orang yang diwakilinya.

Proses Dalam Tingkat Pertama Permohonan yang diajukan sesuai dengan


syarat pengajuan berperkara cuma-cuma terlebih dahulu diperiksa oleh hakim pada
tingkat pertama, tentang ketidakmampuannya. Hasil pemeriksaan tersebut diputus
dengan “Putusan Sela”. (ps. 239 (1) HIR/ps. 275 (1) RBg) kemudian Lawan orang
yang memasukan permohonan berperkara Cuma Cuma dapat menyangkal/
membantah. Permohonan tersebut, baik dengan menyatakan bahwa tuntutan atau
pembelaan si pemohon itu tidak beralasan sama sekali, maupun dengan menyatakan
bahwa pemohon mampu membayar ongkos perkara. (ps. 239 (2) HIR/ps. 275 (2)
RBg) selanjutnya dengan salah satu alasan tersebut diatas hakim karena jabatannya
dapat menolak permohonan tersebut. (ps. 239 (3) HIR/ps. 275(3) RBg). apabila
permohonan tersebut dikabulkan maka proses perkara tersebut dilanjutkan dalam
pemeriksaan materi perkara. (ps. 239 (1) HIR/ ps. 275 (1) RBg) namun apabila
permohonan tersebut tidak dikabulkan maka penggugat/tergugat wajib membayar
biaya perkara sehingga perkara tersebut dapat dilanjutkan proses pemeriksaannya.
Untuk penggugat yang permohonannya ditolak, diwajibkan untuk membayar biaya
persekot/ panjar perkara, apabila tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar
maka pengadilan akan mengeluarkan gugatan penggugat dari daftar perkara.
Keputusan hakim pada tingkat pertama yang menolak permohonan berperkara Cuma-
cuma tidak dapat dimintakan banding. (ps. 241 HIR/ps. 277 RBg).

10
Proses dalam Tingkat Banding Permohonan berperkara cuma-cuma pada tingkat
banding dapat diajukan dengan lisan atau tertulis kepada Panitera Pengadilan di
tingkat pertama dimana “Berita Acara” hasil pemeriksaan dikirimkan pada
Pengadilan Tingkat Banding, bersama-sama dengan bundel A dan salinan putusan.
Putusan pengadilan Tingkat Banding atas permohonan tersebut berupa penetapan
dikirim kembali ke Pengadilan Tingkat Pertama untuk disampaikan kepada para
pihak. Pengadilan Tinggi karena jabatannya dapat menolak permohonan untuk
berperkara cuma-cuma. Apabila permohonan berperkara cuma-cuma ditolak, maka
pemohon dapat mengajukan banding dalam tenggang dengan membayar biaya
banding dalam waktu 14 hari setelah bunyi penetapan penolakan tersebut
diberitahukan pada pemohon. Apabila permohonan berperkara cuma- cuma diterima,
maka berkas perkara banding berupa bundel A dan bundel B dikirimkan ke
Pengadilan Tinggi untuk dilanjutkan ke proses pemeriksaan materi perkara.

3. Gugatan Rekonvensi

Dasar Hukumnya pada Pasal 132a-132b HIR/157-158RBg. Pengertian


“Gugatan Rekonvensi” adalah gugatan balasan yang diajukan oleh tergugat asli
(penggugat dalam rekonpensi) yang menggugat pengugat asli (tergugat dalam
rekonpensi) dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka. Gugatan ini dikenal
dengan sebutan Gugat Balik.

Tujuan Gugatan Rekonvensi yaitu menggabungkan dua tuntutan yang


berhubungan kemudian mempermudah prosedur menghindarkan putusan-putusan
yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisir tuntutan konvensi, acara
pembuktian dapat dipersingkat atau disederhanakan dan menghemat biaya.

Dalam Azas Gugatan Rekonvensi bahwa gugatan rekonpensi adalah gugatan


yang diajukan terhadap penggugat dalam sengketa antara mereka“ mengenai segala
hal“ (ps. 132 (a) ayat 1 HIR/ps. 157 ayat 1 RBg). Gugatan Rekonpensi tidak
diperkenankan diajukan terhadap Penggugat dalam kualitas yang berbeda, Pengadilan
yang memeriksa gugat konpensi tidak berwenang memeriksa gugat konpensi, dan
dalam perkara mengenai pelaksanaan putusan (ps. 132a (1) no. 1,2,3 HIR/ps. 157,158
RBg)

Gugatan rekonpensi hendaknya berkaitan dengan hukum kebendaan dan tidak


dapat yang berkaitan dengan hukum perorangan atau yang berkaitan dengan status

11
seseorang. Dalam sistem hukum perkawinan kita maka dalam hal menurut ketentuan
dalam agamanya menentukan suatu kewajiban yang melekat dalam diri dari pada
suami. Sebagai akibat suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya pembayaran nafkah
wajib bagi istri atau untuk anak, mut’ah yang melekat pada suami sebagai akibat
permohonan ikrar Talak dari suami, maka Hakim secara ex officio, tanpa ada gugatan
rekonpensi dari istri dapat menjatuhkan hukuman bagi suami sebagai pemohon untuk
membayar nafkah atau uang mut’ah. Syarat Gugatan Rekonvensi yaitu Gugatan
rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama yang diajukan
oleh tergugat baik tertulis maupun secara lisan (ps.132b (1) HIR/ps. 158 (1) RBg).
Dalam hal gugatan ini menurut Wirjono Prodjodikoro gugatan rerekonpensi masih
dapat diajukan dalam acara jawab menjawab dan sebelum acara pembuktian dan
Tidak dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat pertama tidak
diajukan (ps. 132a (2) HIR/ps. 157 (2) RBg). dan selain itu penyusunan gugatan
rekonpensi sama dengan gugatan konpensi.

4. Gugatan Kompetensi Relatif

Dasar hukum Kompetensi relatif tercantum pada pasal 54 UU No. 9 /1989


tentang Hukum Acara Perdata memuat tentang Surat Gugatan dimana suatu surat
yang diajukan oleh Penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berkompetensi yang
memuat tuntutan Hak dan sekaligus merupakan landasan pemeriksaan perkara dan
pembuktian kebenaran suatu hak. Dan mengenai Kompetensi Relatif itu sendiri
merujuk kepada pasal-pasal yang termuat dalam HIR dan RBG (pasal 118/pasal 142
RBG jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7/1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 Jo. UU No.
50 Tahun 2009, hal ini berbeda dengan gugatan Voluntair jurisdictie yaitu Gugatan
bersifat Permohonan dan bentuk putusanya bersifat penetapan jadi dalam formulasi
gugatan harus memuat Gugatan Contentiosa (Gugatan bersifat persengketaan) dan
putusannya bersifat putusan.

(Buku ecep nurjamal praktik hk beracara hal 45-53)

C. Perbedaan Gugatan Cerai dan Cerai Talak

Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah
gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat

12
[1] PP 9/1975). Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian
tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991.

Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat
berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan
PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri,
mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: “Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang
daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan
tempat kediaman tanpa izin suami.”

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau


menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132
ayat [2] KHI)

Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114
KHI yang berbunyi:“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”

Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar
suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:“Seorang suami yang
akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun
tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan
oleh suami di Pengadilan Agama. Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang
diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurut Nasrulloh Nasution, S.H. dalam
artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama
saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak
dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrulloh, akibat dari talak yang dilakukan
di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus
secara hukum.

13
D. Pengertian Permohonan dalam Pengadilan Agama

Pengertian Permohonan (Voluntair) ialah suatu permohonan yang didalamnya


berisi suatu tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu
hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam
mengadili suatu perkara permohonan (Voluntair) bisa dianggap sebagai suatu proses
peradilan yang bukan bersifat mengadili akan tetapi penetapan.

Hal ini tercermin dari hanya satu pihak saja dalam perkara permohonan tersebut
(Oneigenlijke rechtspraak). Adapun ciri-ciri Permohonan yaitu:

a. Acara permohonan bersifat voluntair;

b. Terdapat satu pihak yang berkepentingan;

c. Tidak mengandung sengketa;

d. Dikehendak oleh peraturan perUndang -Undang an;

e. Putusan hakim berupa Penetapan;

f. Upaya hukumnya adalah kasasi;

Dalam Lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam SEMA


No. 2 Tahun 1990tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang -Undang No. 7 Tahun 1989
Jo. UU No.3 Tahun 2006 Jo. UU No. 50 tahun 2009 misalnya yang menjelaskan
bahwa pada azasnya “Cerai talak” adalah merupakan sengketa perkawinan antara dua
belah pihak sehingga karenanya permohonan Cerai Talak adalah merupakan perkara
Contesius dan bukan voluntair, untuk itu produk hakim yang mengadili sengketa
tersebut dibuat dalam bentuk kata Putusan dengan amar-nya dalam bentuk Penetapan.

Terhadap putusan peradilan yang bersifat penetapan voluntair yang telah


berkekuatan hukum tetap terhadap putusan tersebut diatas dapat dimintakan
pembatalan oleh pihak yang berkepentingan dengan mengajukan keberatannya
kepada Mahkamah Agung. Menurut pasal 2 (1) Undang -Undang 14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya badan-badan peradilan
hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang bersifat sengketa, sedangkan perkara Permohonan (Voluntair) bukan
menjadi wewenang badan badan peradilan kecuali ditentukan Undang -undang
menjadi wewenang badan peradilan (Pasal 2 (2) UU No. 14 Tahun 1970). Misalnya :

14
1. Dispensasi Nikah (Pasal 7 (2) UU No. 1 th. 1974 ;

2. Ijin Nikah (Pasal 6 (5) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 15 2) Kompilasi
Hukum Islam);

3. Wali Adhol (Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987); 4. Ijin Poligami
(Pasal 40 PP.9 Tahun 1975).

Dalam permohonan Wali Adhol Pasal 2 (3) Peraturan Menteri Agama Nomor
2 Tahun 1987 menyatakan bahwa Pengadilan Agama memeriksa dengan menetapkan
“Adholnya wali” dengan acara singkat. Peradilan secara singkat (Kortgeding)
sebagaimana diatur dalam pasal 283 Rv (Reglement Hukum Acara Perdata) adalah
pemeriksaan perkara secara singkat dimuka Hakim mengenai perkara yang karena
memerlukan penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki pemutusan yang
segera. Terhadap hal ini perlu diketahui bahwa pada saat ini dalam hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia tidak dikenal adanya acara singkat. Tiap-tiap
proses perdata dimuka Pengadilan dimulai dengan diajukannya surat gugat oleh
penggugat atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukumnya Tergugat
bertempat tinggal (Pasal 118 HIR/ 142 RBg).

Mahkamah Agung sendiri dalam putusannya MA tanggal 13 Oktober 1954,


menyatakan tidak nampak suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan
peraturan pemeriksaan kilat (Kortgeding), sebagai peraturan yang berlaku atau
sebagai pedoman bagi peradilan, sehingga yang dimaksud dengan acara singkat
dalam pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No. 2/1987 adalah bahwa terhadap
permohonan Wali Adhol diharapkan prosedur pemeriksaan di persidangan dapat
dilaksanakan jauh lebih cepat. Kemudian mengenai hal ijin tentang Poligami
meskipun nampaknya ijin Poligami itu menurut ketentuan perundang undangan
adalah merupakan perkara voluntair tetapi dalam praktik kenyataannya selalu
melibatkan kepentingan pihak lain, yaitu berkenaan dengan kepentingan istri atau
calon istri.

Perundang-undangan sendiri dalam hal ini mengkaitkan masalah ijin poligami


dengan persetujuan dari istri, sehingga karenanya Mahkamah Agung memberi
petunjuk dalam hal permohonan ijin poligami tidak dapat dilakukan secara voluntair,
akan tetapi harus dalam bentuk gugatan yang bersifat contentius. Kadang kala
nampak usaha penyeludupan hukum oleh pihak-pihak yang berperkara melalui
perkara voluntair dengan melaksanakan ”Itsbat Nikah” terhadap perkawinan kedua

15
yang pada dasarnya merupakan perkara poligami. Keadaan seperti ini hendaknya
dapat menjadi perhatian para hakim agama agar tetap berpegang pada Peraturan yang
mengatur tentang itsbat nikah.

Kemudian dalam perkara permohonan di atas diajukan permohonan dengan


cara lain yakni melalui permohonan itsbat nikah atas perkawinan yang kedua, yang
pada hakekatnya sama dengan ijin poligami, yang oleh Pengadilan Agama
dikabulkan, sedang Pengadilan Tingkat Banding membatalkan putusan tersebut
dengan menolak gugatan Penggugat. Untuk lebih jelasnya tentang Ijin Poligami ini
dilampirkan penetapan PA Istimewa Jakarta Raya No. 631/1981 Tanggal 16 Pebuari
1985 dan kemudian dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung dengan
Putusan No. 74K/Ag/1986.

Sedangkan untuk masalah permohonan itsbat nikah dapat diketahui pada


penetapan P Istimewa Jakarta Raya No. 6951989 tanggal 16 Desember 1988 yang
dibatalkan oleh putusan PTAJakarta, No. 04/1989/PTA JK. Tanggal 7 Maret 1989.
Sehingga dengan kata lain badan-badan peradilan berwenang mengadili permohonan-
permohonan (voluntair) apabila ada ketentuan perundang -undangan yang
menyatakan bahwa diperlukan penetapan dari Pengadilan. Dalam kaitannya dengan
pembahasan Permohonan Voluntair para hakim Peradilan Agama tetap diharapkan
dapat lebih meningkatkan perhatiannya terhadap perkara yang bersifat permohonan
voluntair, mengingat hingga saat ini masih dijumpai kesalahan hakim dalam
memeriksa suatu permohonan voluntair.

Sebagai contoh lain kasus yang penulis pernah tangani yaitu perkara
permohonan penetapan ahli waris yang terjadi di Tasikmalaya – Jawa Barat.
Permohonan penetapan ahli waris yang juga disertai pembagian harta warisan tanpa
ada pihak lawan, diajukan oleh orang bernama Hj. NUNUNG JAENAH dkk kepada
Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya. Permohonan tersebut oleh Pengadilan Agama
Tasikmalaya telah dikabulkan dengan putusannya register perkara Nomor:
321/Pdt.P/2018/PA.Tmk dan putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.

Yang menarik dalam kasus di atas ialah para pemohon yang salah satunya
beragama non muslim dan objek letaknya berbeda wilayah Kota sehingga Hakim
tingkat pertama telah memutus perkara tanpa dimasukan salah satu anggota waris
disebabkan karena berpindah agama dan majelis berpendapat hal itu jika salah satu
ahli waris berpindah agama maka secara hukum Islam bukan merupakan ahli waris.
penetapan semacam ini ialah permohonan yang bersifat (voluntair) dan mengenai

16
objek harta itu berada di dua wilayah Pengadilan yaitu Pengadilan Agama
Tasikmalaya Kota dan Wilayah Pengadilan Agama Kota Banjar.

(Ecep nurjamal praktik beracara hal 57-63)

CONTOH FORMAT SURAT GUGATAN CERAI

Diketik ulang rangkap 8 (delapan), diketik dengan KOMPUTER.

Tidak boleh ada . . . . . . . (titik-titik), dan tidak diisi dengan tulisan tangan.

…......................, ........................

Kepada

Yth. Ketua Pengadilan agama.

…………………………………..
Di.

……………………………………………….

Dengan Hormat,

Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :............................................. Bin..................................................................

Umur : .....................................................................................................................

Agama: ....................................................................................................................

Pendidikan terakhir:.................................................................................................

Pekerjaan : ...............................................................................................................

Tempat kediaman di : .............................................................................................

Selanjutnya disebut sebagai Penggugat

Dengan hormat, Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap suami saya:

17
Nama : ........................................Bin.......................................................................

Umur : .....................................................................................................................

Agama: ....................................................................................................................

Pendidikan terakhir: ................................................................................................

Pekerjaan : ...............................................................................................................

Tempat kediaman di :

(Bila Suami anda tidak diketahahui tempat tinggalnya lagi atau GHOIB, maka
tuliskan alamat terakhir suami anda ditambah dengan “sekarang tidak diketahui
tempat tinggalnya yang jelas dan pasti diseluruh wilayah Republik Indonesia”)

Selanjutnya disebut sebagai Tergugat.

Adapun alasan/dalil - dalil gugatan Penggugat sebagai berikut :

1. Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang melangsungkan


pernikahan pada tanggal ......................................, dan dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan ................................... sesuai Kutipan Akta
NikahNomor:............................................tanggal....................................................
(isikan data Nomor dan Tanggal duplikat buku nikah, jika anda menggunakan
duplikat akta nikah)

2. Bahwa, sesaat setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sighat taklik talak (talak
bersyarat) terhadap Penggugat yang bunyinya sebagaimana tercantum di dalam Buku
Kutipan Akta Nikah tersebut ;

3. Bahwa setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal


di…………………………………………………
kemudianpindahdi…………………………………………………………………..
selama ….tahun … bulan dan selama 2 pernikahan tersebut Penggugat dengan
Tergugat telah rukun baik sebagaimana layaknya suami istri dan telah di karena .......
anak masing masing bernama :

a) ............................................................... lahir tanggal ........................................

b) ............................................................... lahir tanggal ........................................

18
c) ............................................................... lahir tanggal.........................................

d) ............................................................... lahir tanggal ........................................

Ke ...... anak tersebut dalam asuhan.........................................................................

4. Bahwa pada mulanya rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam keadaan rukun
namun sejak bulan .................... tahun .................. ketentraman rumah tangga
Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, yaitu antara Penggugat dengan Tergugat
sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya antara lain :

(Lihat contoh alasan dibawah pilih salah satu )*

5. Bahwa Perselisihan dan pertengkaran itu berkelanjutan terus-menerus sehingga


akhirnya sejak tanggal ……… bulan …………. Tahun ………….. hingga sekarang
selama kurang lebih ………..tahun ……… bulan, Penggugat dan Tergugat telah
berpisah tempat tinggal/berpisah ranjangkarena Penggugat/Tergugat*) telah pergi
meninggalkan tempat kediaman bersama, yang manadalam pisah rumah tersebut saat
ini Penggugat bertempat tinggal di ………………………………….dan Tergugat
bertempat tinggal di ………………………………….. dan selama itu sudah tidak
adahubungan lagi;

6. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tersebut


mengakibatkan rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak ada kebahagiaan lahir
dan batin dan tidak ada harapan untuk kembali membina rumah tangga;

7. Bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat


namun tidak berhasil.

8. Bahwa atas dasar uraian diatas gugatan Penggugat telah memenuhi alasan
perceraian sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No.1 tahun 1974 Jo. Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19 Jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 116.

9. Bahwa Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.
Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan
Agama Kelas Sleman segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya
menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :

PRIMAIR

Mengabulkan gugatan Penggugat;

19
Menceraikan perkawinan Penggugat (…………………………….) dengan Tergugat
(……………………………………………);Membebankan biaya perkara menurut
Hukum;SUBSIDAIR Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya; Demikian
atas terkabulnya gugatan ini, Penggugat menyampaikan terima kasih.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Hormat Penggugat,

Tanda tangan tanpa materai

(…………………..….)

Jika anak dimintakan hak asuh maka tambahkan ini pada angka 8 selanjutnya
mengikuti nomor kelanjutannya

8. Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat selama ini tinggal bersama


Penggugat/Tergugat*, karena itu untuk kepentingan anak-anak itu sendiri dan rasa
kasih sayang Penggugat terhadap mereka, maka Penggugat mohon agar anak-anak
tersebut ditetapkan dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.

20
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Perceraian adalah jalan terakhir ketika ragam solusi untuk memperbaiki


rumah tangga tidak mungkin ditempuh lagi. Adapun pernikahan tersebut jika
dipertahankan justru mendatangkan atau melanggengkan mudharat baik bagi salah
satu pihak (suami atau isteri) atau keduanya. Karenanya, Hakim PA tidak ujug-ujug
mengabulkan gugatan perceraian sebelum mempertimbangkan bukti-bukti yang
dihadirkan dan fakta-fakta persidangan.

Dalam setiap persidangan, khususnya dalam perkara perceraian, Hakim


diperintahkan untuk memberikan nasihat kepada para pihak. Nasihat tersebut
dimaksudkan agar para pihak, khususnya Pemohon/Penggugat berpikir kembali
tentang perceraian yang diajukannya. Pernikahan yang sudah dibangun sebaiknya
dipertahankan. Kesalahpahaman yang terjadi dikomunikasikan dan diselesaikan
dengan baik di internal keluarga.

B. Saran

Dengan diterbitkannya makalah ini, kami harap dapat membantu teman-


teman dalam memahami apa yang dimaksud. Gugatan cerai dan permohonan
pengajuan cerai talak di peradilan agama.
Apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini, semuanya ialah
karena kekurangan kami dan kebenaran yang ada dalam makalahini, semata-
mata hanyalah karena bantuan Allah SWT semata.
Terima kasih telah membaca makalah ini, kritik dan saran amat diperlukan
untuk memperbaharui makalah ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

22

Anda mungkin juga menyukai