(diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum acara perdata & peradilanagama)
FAKULTAS SYARIAH
1
KATAPENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul:GUGATAN CERAI DAN PERMOHONAN
PENGAJUAN CERAI TALAK DI PERADILAN AGAMA . Kami menyadari
bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang
Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini
penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan karya tulis ini.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan karya tulis ini masih dari jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, Kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan
tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan karya tulis
ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi seluruh pembaca.
Kelompok 8
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BABIII PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................21
B. Saran........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................22
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gugatan adalah suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok)
atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan
perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan
kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam pembahasan ini adalah pengadilan
agama. Oleh karena itu, sebagai syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan
haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa.
Adapun maksud “para pihak ” itu bisa terdiri seseorang, beberapa orang, atau
sekelompok orang, baik atas nama suatu badan hukum maupun yang bukan badan
hukum. Adapun pihak yang mengajukan tuntutan disebut dengan “penggugat” atau
kalau lebih dari satu disebut “para penggugat”. Adapun pihak yang dituntut di
Pengadilan disebut “tergugat” atau kalau lebih dari satu disebut “para tergugat” dan
atau apabila ada yang terkait hubungan hukum” disebut turut tergugat”. Dengan kata
lain yanglebih ringkas, “Gugatan” adalah tuntutan hak yang diajukan oleh pihak
penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan. Gugatan perdata yang ada
lawan disebut juga gugatan contentiosa artinya perkara bersifat perlawanan atau yang
mengandung perselisihan di antara para pihak yakni antara penggugat dengan
tergugat.
Surat gugatan bentuknya tidak selalu tertulis, dapat juga diajukan secara lisan,
misalnya apabila pihak penggugatnya buta huruf atau cacat secara fisik/jasmani,
seperti buta. Namun demikian, apabila gugatan diajukan secara lisan, hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau
di-Indonesiakan menjadi RIB (Reglemen Indonesia yang Baru), gugatan lisan itu
akan dicatat oleh ketua Pengadilan Agama menjadi sebuah catatan tertulis tentang
tuntutan hak atau akan menjadi gugatan tertulis pula. Akan tetapi, dapat dipastikan di
era sekarang ini, semua gugatan yang masuk ke pengadilan bentuknya adalah tertulis
yang disusun oleh pihak penggugat sendiri maupun disusun oleh kuasanya.
B. Rumusan Masalah
4
1. Apakah yang dimaksud dengan Pengertian Gugatan dan Gugatan Cerai?
2. Apakah yang dimaksud dengan Bentuk dari Gugatan?
3. Apa Perbedaan Gugatan Cerai dan Cerai Talak?
4. Apakah yang dimaksud dengan Permohonan dalam pengadilan agama?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Gugatan dan Gugatan Cerai
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Bentuk Gugatan
3. Untuk mengetahui Perbedaan dari Gugatan Cerai dan Cerai Talak
4. Untuk Mengetahui apa yang dimaksud dengan Permohonan dalam
pengadilan agama.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun maksud “para pihak ” itu bisa terdiri seseorang, beberapa orang, atau
sekelompok orang, baik atas nama suatu badan hukum maupun yang bukan badan
hukum. Adapun pihak yang mengajukan tuntutan disebut dengan “penggugat” atau
kalau lebih dari satu disebut “para penggugat”. Adapun pihak yang dituntut di
Pengadilan disebut “tergugat” atau kalau lebih dari satu disebut “para tergugat” dan
atau apabila ada yang terkait hubungan hukum” disebut turut tergugat”. Dengan kata
lain yanglebih ringkas, “Gugatan” adalah tuntutan hak yang diajukan oleh pihak
penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan. Gugatan perdata yang ada
lawan disebut juga gugatan contentiosa artinya perkara bersifat perlawanan atau yang
mengandung perselisihan di antara para pihak yakni antara penggugat dengan
tergugat.
Surat gugatan bentuknya tidak selalu tertulis, dapat juga diajukan secara lisan,
misalnya apabila pihak penggugatnya buta huruf atau cacat secara fisik/jasmani,
seperti buta. Namun demikian, apabila gugatan diajukan secara lisan, hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau
di-Indonesiakan menjadi RIB (Reglemen Indonesia yang Baru), gugatan lisan itu
akan dicatat oleh ketua Pengadilan Agama menjadi sebuah catatan tertulis tentang
tuntutan hak atau akan menjadi gugatan tertulis pula. Akan tetapi, dapat dipastikan di
era sekarang ini, semua gugatan yang masuk ke pengadilan bentuknya adalah tertulis
yang disusun oleh pihak penggugat sendiri maupun disusun oleh kuasanya.
6
Gugat Cerai menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 Perceraian merupakan
bagian dari perkawinan. Oleh karena itu perceraian diartikan, berakhirnya ikatan atau
status sebagai suami istri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah
melakukan ijab qabul (perkawinan) berdasarkan putusan pengadilan.
Perceraian menurut hukum Islam yang telah dijabarkan dalam pasal 38 dan pasal
39 UU No. 1 tahun 1974 serta yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 tahun 1975,
mencakup antara lain sebagai berikut:
perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan gugatan
cerainya oleh dan inisiatif suami kepada Pengadilan Agama, dan dianggap terjadi dan
berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan
(diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama (pasal 14 sampai dengan pasal 18 PP
No. Tahun 1975).
Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatan
cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi
dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (pasal 20 sampai pasal
36). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam UU No. 1 tahun
1974, khusunya pasal 39 sampai Pasal 41 dan UU tentang tata cara perceraian dalam
peraturan pelaksanaan No. 9 tahun 1975 (pasal 14 sampai dengan Pasal 36) dapat
disimpulkan bahwa Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu
gugatan lebih dahulu oleh pihak istri kepada pengadilan dan dengan suatu putusan
pengadilan.
KHI berlaku sah dan dijadikan pedoman bagi seluruh Peradilan Agama di
Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991,
dan keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tertanggal 22 Juli 1991. Pada
7
Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam (KHI), merumuskan
garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara
dan akibat hukumnya.
1. Gugat Lisan
Dasar Hukumnya termuat pada Pasal 120 HIR/Pasal 144 \ (1) RBg, Pasal 123
(1) HIR/Pasal 147 (1) RBg. Pada dasarnya gugatan harus diajukan secara tertulis
(pasal 118 HIR/pasal 142 (1) RBg, namun sebagai pengecualiannya dalam pasal 120
HIR/pasal 144 (1) RBg, jika orang menggugat tidak pandai menulis, maka tuntutan
boleh diadukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Agama (dalam hal ini dibaca
Pengadilan Agama), dan selanjutnya Ketua Pengadilan Agama tersebut mencatat
tuntutan atau menyuruh mencatatnya. Syarat dalam pembuatan surat gugatan secara
lisan, pada prinsipnya sama dengan surat gugatan biasa.
Proses pengajuan gugat lisan ini tuntutan disampaikan secara lisan kepada
Ketua Pengadilan Agama/ Hakim yang ditunjuk kemudian Ketua Pengadilan Agama
mencatat atau menyuruh mencatat tuntutan Penggugat kepada Hakim yang ditunjuk
dan Gugatan yang telah dibuat, dibacakan kepada Penggugat, apakah telah selesai
8
dengan tuntutannya. Surat gugatan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama/
Hakim yang membuatkan surat gugatan.
Gugatan yang diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama seperti
contohnya hari, tanggal, tahun disebutkan kemudian telah menghadap kepada saya,
Ketua/Hakim Pengadilan Agama di satu pengadilan yang bernama A alamat dan
seterusnya selanjutnya ia memberitahukan bahwa ia tidak dapat menulis dan
membaca, serta menerangkan kepada saya bahwa ia hendak mengajukan gugatan
terhadap lawanya dengan disertai nama dan identitas yang jelas.
2. Gugatan Cuma-Cuma
Dasar hukum ini diatur pada Pasal 237 – 241 HIR/Pasal 273 – 277 RBg dan
Undang -Undang No. 20 Tahun 1947. Pada azasnya berperkara dikenakan biaya (ps.
4 (2), 5 (2) UU No. 14 Tahun 1970, 121 (4), 182, 183 HIR, 145 (4), 192-194 RBg.
Namun bagi mereka yang tidak mampu membayar perkara dapat mengajukan
permohonan untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara/berperkara secara
Cuma-cuma prodeo).
1. Penggugat, sebagaimana diatur pada Ps. 237 jo. 238 (1) HIR/Ps. 273 jo.
274 (2) RBg;
2. Tergugat (Ps. 273 jo. 239 (2) HIR/Ps. 273 jo. 274 (2) RBg)
9
Permohonan untuk mendapatkan ijin berperkara cuma-cuma yang dilakukan oleh :
c). Balai Harta Peninggalan, dapat ia lakukan sama dengan kedudukannya bila
ia sebagai penggugat atau tergugat.
Menurut pasal 240 HIR/pasal 276 RBg, Balai Harta Peninggalan dapat mengajukan
permohonan berperkara secara Cuma-cuma, yaitu dengan syarat sebagai berikut :
1. Harta (boedel) ang dibelanya atau orang yang diwakilinya pada waktu
diadakan tuntutan itu tidak dapat/tidak mampu untuk membayar biaya perkara
yang sekiranya harus dibayar.
10
Proses dalam Tingkat Banding Permohonan berperkara cuma-cuma pada tingkat
banding dapat diajukan dengan lisan atau tertulis kepada Panitera Pengadilan di
tingkat pertama dimana “Berita Acara” hasil pemeriksaan dikirimkan pada
Pengadilan Tingkat Banding, bersama-sama dengan bundel A dan salinan putusan.
Putusan pengadilan Tingkat Banding atas permohonan tersebut berupa penetapan
dikirim kembali ke Pengadilan Tingkat Pertama untuk disampaikan kepada para
pihak. Pengadilan Tinggi karena jabatannya dapat menolak permohonan untuk
berperkara cuma-cuma. Apabila permohonan berperkara cuma-cuma ditolak, maka
pemohon dapat mengajukan banding dalam tenggang dengan membayar biaya
banding dalam waktu 14 hari setelah bunyi penetapan penolakan tersebut
diberitahukan pada pemohon. Apabila permohonan berperkara cuma- cuma diterima,
maka berkas perkara banding berupa bundel A dan bundel B dikirimkan ke
Pengadilan Tinggi untuk dilanjutkan ke proses pemeriksaan materi perkara.
3. Gugatan Rekonvensi
11
seseorang. Dalam sistem hukum perkawinan kita maka dalam hal menurut ketentuan
dalam agamanya menentukan suatu kewajiban yang melekat dalam diri dari pada
suami. Sebagai akibat suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya pembayaran nafkah
wajib bagi istri atau untuk anak, mut’ah yang melekat pada suami sebagai akibat
permohonan ikrar Talak dari suami, maka Hakim secara ex officio, tanpa ada gugatan
rekonpensi dari istri dapat menjatuhkan hukuman bagi suami sebagai pemohon untuk
membayar nafkah atau uang mut’ah. Syarat Gugatan Rekonvensi yaitu Gugatan
rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama yang diajukan
oleh tergugat baik tertulis maupun secara lisan (ps.132b (1) HIR/ps. 158 (1) RBg).
Dalam hal gugatan ini menurut Wirjono Prodjodikoro gugatan rerekonpensi masih
dapat diajukan dalam acara jawab menjawab dan sebelum acara pembuktian dan
Tidak dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat pertama tidak
diajukan (ps. 132a (2) HIR/ps. 157 (2) RBg). dan selain itu penyusunan gugatan
rekonpensi sama dengan gugatan konpensi.
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah
gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat
12
[1] PP 9/1975). Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian
tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991.
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat
berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan
PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri,
mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: “Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang
daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan
tempat kediaman tanpa izin suami.”
Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114
KHI yang berbunyi:“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”
Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar
suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:“Seorang suami yang
akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun
tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan
oleh suami di Pengadilan Agama. Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang
diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurut Nasrulloh Nasution, S.H. dalam
artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama
saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak
dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrulloh, akibat dari talak yang dilakukan
di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus
secara hukum.
13
D. Pengertian Permohonan dalam Pengadilan Agama
Hal ini tercermin dari hanya satu pihak saja dalam perkara permohonan tersebut
(Oneigenlijke rechtspraak). Adapun ciri-ciri Permohonan yaitu:
14
1. Dispensasi Nikah (Pasal 7 (2) UU No. 1 th. 1974 ;
2. Ijin Nikah (Pasal 6 (5) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 15 2) Kompilasi
Hukum Islam);
3. Wali Adhol (Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987); 4. Ijin Poligami
(Pasal 40 PP.9 Tahun 1975).
Dalam permohonan Wali Adhol Pasal 2 (3) Peraturan Menteri Agama Nomor
2 Tahun 1987 menyatakan bahwa Pengadilan Agama memeriksa dengan menetapkan
“Adholnya wali” dengan acara singkat. Peradilan secara singkat (Kortgeding)
sebagaimana diatur dalam pasal 283 Rv (Reglement Hukum Acara Perdata) adalah
pemeriksaan perkara secara singkat dimuka Hakim mengenai perkara yang karena
memerlukan penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki pemutusan yang
segera. Terhadap hal ini perlu diketahui bahwa pada saat ini dalam hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia tidak dikenal adanya acara singkat. Tiap-tiap
proses perdata dimuka Pengadilan dimulai dengan diajukannya surat gugat oleh
penggugat atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukumnya Tergugat
bertempat tinggal (Pasal 118 HIR/ 142 RBg).
15
yang pada dasarnya merupakan perkara poligami. Keadaan seperti ini hendaknya
dapat menjadi perhatian para hakim agama agar tetap berpegang pada Peraturan yang
mengatur tentang itsbat nikah.
Sebagai contoh lain kasus yang penulis pernah tangani yaitu perkara
permohonan penetapan ahli waris yang terjadi di Tasikmalaya – Jawa Barat.
Permohonan penetapan ahli waris yang juga disertai pembagian harta warisan tanpa
ada pihak lawan, diajukan oleh orang bernama Hj. NUNUNG JAENAH dkk kepada
Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya. Permohonan tersebut oleh Pengadilan Agama
Tasikmalaya telah dikabulkan dengan putusannya register perkara Nomor:
321/Pdt.P/2018/PA.Tmk dan putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Yang menarik dalam kasus di atas ialah para pemohon yang salah satunya
beragama non muslim dan objek letaknya berbeda wilayah Kota sehingga Hakim
tingkat pertama telah memutus perkara tanpa dimasukan salah satu anggota waris
disebabkan karena berpindah agama dan majelis berpendapat hal itu jika salah satu
ahli waris berpindah agama maka secara hukum Islam bukan merupakan ahli waris.
penetapan semacam ini ialah permohonan yang bersifat (voluntair) dan mengenai
16
objek harta itu berada di dua wilayah Pengadilan yaitu Pengadilan Agama
Tasikmalaya Kota dan Wilayah Pengadilan Agama Kota Banjar.
Tidak boleh ada . . . . . . . (titik-titik), dan tidak diisi dengan tulisan tangan.
…......................, ........................
Kepada
…………………………………..
Di.
……………………………………………….
Dengan Hormat,
Umur : .....................................................................................................................
Agama: ....................................................................................................................
Pendidikan terakhir:.................................................................................................
Pekerjaan : ...............................................................................................................
17
Nama : ........................................Bin.......................................................................
Umur : .....................................................................................................................
Agama: ....................................................................................................................
Pekerjaan : ...............................................................................................................
Tempat kediaman di :
(Bila Suami anda tidak diketahahui tempat tinggalnya lagi atau GHOIB, maka
tuliskan alamat terakhir suami anda ditambah dengan “sekarang tidak diketahui
tempat tinggalnya yang jelas dan pasti diseluruh wilayah Republik Indonesia”)
2. Bahwa, sesaat setelah akad nikah Tergugat mengucapkan sighat taklik talak (talak
bersyarat) terhadap Penggugat yang bunyinya sebagaimana tercantum di dalam Buku
Kutipan Akta Nikah tersebut ;
18
c) ............................................................... lahir tanggal.........................................
4. Bahwa pada mulanya rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam keadaan rukun
namun sejak bulan .................... tahun .................. ketentraman rumah tangga
Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, yaitu antara Penggugat dengan Tergugat
sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya antara lain :
8. Bahwa atas dasar uraian diatas gugatan Penggugat telah memenuhi alasan
perceraian sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No.1 tahun 1974 Jo. Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19 Jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 116.
9. Bahwa Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.
Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan
Agama Kelas Sleman segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya
menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :
PRIMAIR
19
Menceraikan perkawinan Penggugat (…………………………….) dengan Tergugat
(……………………………………………);Membebankan biaya perkara menurut
Hukum;SUBSIDAIR Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya; Demikian
atas terkabulnya gugatan ini, Penggugat menyampaikan terima kasih.
Hormat Penggugat,
(…………………..….)
Jika anak dimintakan hak asuh maka tambahkan ini pada angka 8 selanjutnya
mengikuti nomor kelanjutannya
20
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
B. Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
22