Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

TATA CARA PERCERAIAN, RUJUK & MASA IDAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah H. Perdata Islam


Dosen Pengampu Sisca Novalia, S.H., M.H.

Disusun Oleh

Deny Adriansyah 2021030036


Nurul Pramesti 2021030439
Satria Ardana 2021030232

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat

tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari

pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi

pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam

kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah

ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini

Bandar Lampung, 15 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAAN ........................................................................................ 2
A. Tata Cara Perceraian ...................................................................................... 2
1. Cerai Talak ............................................................................................ 2
2. Cerai Gugat ........................................................................................... 5
B. Masa Iddah ..................................................................................................... 12
C. Rujuk .............................................................................................................. 17
1. Pengertian Rujuk ................................................................................... 17
2. Tata Cara Rujuk .................................................................................... 19
BAB 3 PENUTUP .................................................................................................... 22
A. Kesimpulaan .................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAAN

A. Latar Belakang
Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan tentang perceraian beserta
pengadilan tempat permohonan itu diajukan: "Seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada
pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu" Kutipan di atas menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan
permohonan adalah yang mewilayahi tempat tinggal pemohon. Sementara Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mengubah atau memperbaruinya, bahwa tempat
mengajukan permohonan adalah ke pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman termohon, atau
dalam bahasa kompilasi tempat tinggal istri.
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu (masa
'iddah), kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla al-dukhul),
baik karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan.
Rujuk dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang terpuji, karena setelah pasangan suami
istri itu mengalami masa-masa kritis konflik di antara mereka yang diakhiri dengan perceraian,
timbul kesadaran baru dan napas baru untuk merajut tali perkawinan yang pernah putus guna
merenda hari esok yang lebih baik lagi.

1
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Tata Cara Perceraiaan


Adapun tata cara dan prosedur perceraian dapat dibedakan ke dalam dua macam sebagai
berikut:
1. Cerai Talak (Permohonan)
Di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(UUPA) menyatakan:
i. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak
Dalam rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan tentang perceraian beserta
pengadilan tempat permohonan itu diajukan: "Seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada
pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu".
Kutipan di atas menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan permohonan adalah
yang mewilayahi tempat tinggal pemohon. Sementara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, mengubah atau memperbaruinya, bahwa tempat mengajukan
permohonan adalah ke pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman termohon, atau dalam
bahasa kompilasi tempat tinggal istri. Selengkapnya, tentang pengadilan tempat permohonan itu
diajukan, Pasal 66 ayat (2), (3), (4), dan (5) UUPA menjelaskan:
i. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
ii. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

2
iii. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
iv. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak
diucapkan.
Perubahan mengajukan permohonan tersebut sekaligus mengubah secara prinsip
pengaturan yang ada dalam Permenag RI Nomor 3 Tahun 1975. Ini dimaksudkan, seperti kata
Munawir Sjadzali, untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada si istri. Bobot
keringanan terhadap pihak perempuan akan lebih jelas lagi, dalam gugatan perceraian seperti akan
dikemukakan pada bagian dua tulisan ini.
Selain itu ayat (5) di atas memberi peluang diajukannya kumulasi objektif atau gabungan
tuntutan. Ini dimaksudkan agar dalam mencari keadilan melalui pengadilan dapat menghemat
waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua. 1 Mengenai muatan dari permohonan tersebut, Pasal 67
UUPA menyatakan:
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat:
i. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon,yaitu istri.
ii. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak
Terhadap permohonan ini, Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (Ps. 130
KHI).
Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UUPA menyebutkan:
i. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah herkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di
Kepaniteraan.
ii. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Dalam rumusan Pasal 15 PP Nomor 9/1975 dinyatakan: "Pengadilan yang bersangkutan
mempelajari isi surat yang dimaksud Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian".

1 Rolhan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994). hlm. 66.

3
Usaha mendamaikan kedua belah pihak selain ditempuh sebelum persidangan dimulai, setiap kali
persidangan tidak tertutup kemungkinannya untuk mendamaikan mereka. Karena biasanya
persidangan semacam ini, tidak bisa diselesaikan dalam sekali persidangan. Dalam Pasal 28 ayat
(3) dan (4) Peraturan Menteri Agama menjelaskan:
• Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasihat
Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat agar kepada suami istri dinasihati
untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, selanjutnya
• Pengadilan Agama setelah memerhatikan hasil usaha BP4 bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan, dan berpendapat adanya alasan untuk talak maka diadakan
sidang untuk menyaksikan talakdimaksud.2
Langkah berikutnya, diatur dalam Pasal 70 UUPA sebagaimana dirinci dalam Pasal PP 16 Nomor
9/1975:
i. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi
didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa
permohonan tersebut dikabulkan.
ii. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan
banding.
iii. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan
hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk
menghadiri sidang tersebut.
iv. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta autentik
untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau
kuasanya.
v. Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap
sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar
talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.
vi. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian
ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah

2Departemen Agama RI, Kompilasi Perundang-undangan Badan Peradilan Agama, (Jakarta: Binbapera,
1980/1981), hlm. 219.

4
mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan
perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.Dan ikatan perkawinan
mereka tetap utuh. ( Pasal 131 ayat (2). (3) dan (4).
Selanjutnya diatur dalam Pasal 17 PP Nomor 9/1975:
i. Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud
dalam Pasal 16, ketua pengadilan membuat Surat Keterangan tentang terjadinya perceraian
tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawal Pencatat di tempat perceraian itu
terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Mengenai teknik pengiriman menjadi tanggung jawab panitera atau pejabat pengadilan yang
ditunjuk. 3

2. Cerai Gugat

Pada Bab I tentang Ketentuan Umum huruf i diterangkan, khulu adalah perceraian yang
terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau 'iwadl kepada dan atas persetujuan
suaminya. Jadi, dengan demikian khulu' termasuk dalam kategori cerai gugat. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9/1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 1/1974 dalam hal
teknis, yang menyangkut kompetensi wilayah pengadilan, seperti dalam cerai talak, mengalami
perubahan. Hal ini tampak dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Pertama, dalam PP Nomor 9/1975 gugatan perceraian
bisa diajukan oleh suami atau istri, maka dalam UU No. 7/1989 dan Kompilasi, gugatan perceraian
diajukan oleh istri (atau kuasanya). Kedua, prinsipnya pengadilan tempat mengajukan gugatan
perceraian dalam PP diajukan di pengadilan yang mewilayahi tempat tergugat, maka dalam UU
No. 7/1989 dan Kompilasi, di Pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman penggugat. Untuk
penjelasan selengkapnya diuraikan berikut ini.

Pasal 73 UU No. 7/1989 menyatakan:


i. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apa bila penggugat dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

3
Ahmad rofiq, Hukum perdata islam di indonesia, (Depok: Rajawali Pers). hlm 233

5
ii. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan per ceraian diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat
iii. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berikutnya diatur mengenai alat-alat bukti yang menguatkan alasan alasan diajukannya
gugatan. Hanya Pasal 21 PP Nomor 9/1975 menambahkan masalah tempat mengajukan gugatan
kaitannya dengan alasan-alasannya.
Pasal 21
i. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, pelanggaran ta'lik talak,
pen, diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat.
ii. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung
sejak tergugat meninggalkan rumah.
iii. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau
lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
Pasal 22
i. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, suami istri terus-
menerus dalam perselisihan, diajukan kepada pengadilan ditempat kediaman tergugat.
ii. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan
mengenal sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak
keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu.
Adapun yang menyangkut alasan-alasan dan dukungan alat buktinya,dijelaskan dalam Pasal 74,
75, dan 76 UU No. 7/1989 dan Pasal 133, 134, dan135 Kompilasi:

Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak men dapat pidana
penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup
menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75

6
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat
memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.
Pasal 76
i. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqöq, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau
orang-orang yang dekat dengan suami istri.
ii. Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat perseng ketaan antara suami
istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun
orang lain untuk menjadi hakam.

Muatan Pasal 76 ini menguatkan pesan Al-Qur'an surat Al-Nisa [4]:35 yang dalam konteks
Indonesia diwujudkan dengan adanya lembaga BP4. Dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 1975 dijelaskan "Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dan dapat minta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan
dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat. Tentang tindakan hukum selama proses perkara di
Pengadilan berlangsung yang tujuannya untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif di
antara suami istri, Pasal 77 UUPA menjelaskan: "Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu
rumah".

Pasal 78 menambahkan:
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggug pengadilan dapat:
i. Menentukan nafkah yang ditanggung suami
ii. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan danpendidikan anak.
iii. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang
menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-
barang yang menjadi hak istri.

7
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan
pengadilan mengenai gugatan perceraian itu Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat
sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian ini dimungkinkan terjadi, mengingat ia tidak
dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang.
Namun apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan per ceraian dilakukan
dalam sidang. Mengapa sidang perkara perceraian dilaksanakan secara tertutup, karena perkara
rumah tangga adalah persoalan yang seharusnya memang dirahasikan kepada masyarakat.
Tentang kapan persidangan dimulai, Pasal 80 ayat (1) UUPA menjelaskan sebagai berikut:
i. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
ii. Ayat (2) dan (3) menjelaskan soal teknis untuk menghindarkan ketidakhadiran pihak-pihak
yang berperkara baik penggugat maupun tergugat.Pasal ini lebih merupakan penegasan
Pasal 29 PP ayat (2) dan (3).
iii. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu
pemanggilan dan diterimanya panggilan, tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka.
iv. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti dalam Pasal 116 huruf b sidang
pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung
sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Meskipun sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan
pengadilan mengenal gugatan perceraian tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kehadiran pihah-pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting bagi
lancarnya pemeriksaan perkara di persidangan. Karena itu, Pasal 142 KHI menegaskan:
i. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan
kepada kuasanya.
ii. Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat
memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

8
Setelah perkara gugatan perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, salinan
putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Pasal 147 KHI menyatakan:
• Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka Panitera Pengadilan Agama salinan surat
putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan Kutipan Akta Nikah dari masing-
masing yang bersangkutan.
Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut, dijelaskan dalam Pasal 84 UUPA:
i. Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang wilayahnya meliputi tempat kediaman Penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan
putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.

ii. Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat
Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa
bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pengawal Pencatat Nikah tersebut pada bagian pinggir daftar
catatan perkawinan.
iii. Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat
Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
iv. Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
Pasal 85 menyatakan: "Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau Pejabat Pengadilan yang
ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagai bekas suami atau istri atau
keduanya" . Karena itu, bagaimanapun juga meskipun yang terakhir ini termasuk masalah teknis,
namun apabila tidak terpenuhi akan mendatangkan kerugian bagi para pihak, seyogianya ia
diperhatikan.

9
Kompilasi Hukum Islam tampaknya membedakan antara cerai gugat dan khulu' meskipun
keduanya memiliki kesamaan. Kesamaannya adalah bahwa dalam cerai gugat dan khulu',
keinginan mengajukan gugatan datang dari pihak istri. Perbedaannya, dalam gugat cerai tidak
otomatis menggunakan uang iwodl atau tehusan, dalam khulu' masalah uang 'iwad! (tebusan)
menjadi bagian pokok terselesaikannya khulu' tadi, dan apabila hal itu tidak merupakan
pelanggaran perjanjian talak) masalah besarnya uang 'iwod! dapat dibicarakan bersama untuk
mencari kesepakatan. Tentang khulu' ini dibahas dalam Pasal 148 Kompilasi berikut:
i. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu. menyampaikan
permohonannya kepada Pengadilan Agama yang me wilayahi tempat tinggalnya disertai
alasan atau alasan-alasannya.

ii. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk
didengar keterangannya masing-masing.
iii. Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberi penjelasan tentang akibat khulu'
dan nasihat-nasihatnya.
iv. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya '/wadi atau tebusan Pengadilan Agama
memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan
sidang Pengadilan Agama Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding
dan kasasi
v. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 131 ayat (5).
vi. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl,Pengadilan
Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tidak membedakan antara khulu' dan cerai gugat, dan karena itu pula keduanya tidak
membicarakannya. Namun demikian, UUPA Pasal 87 menjelaskan cerai dengan alasan zina:
i. Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan
zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan
termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa
permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan
alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari

10
termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau
penggugat untuk bersumpah.
ii. Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya
dengan cara yang sama. 4
Menurut Islam, seseorang yang menuduh perempuan lain baik-baik (al muhshandt) berbuat
zina dan dia tidak mendatangkan empat orang saksi. menurut Al-Qur'an ia diancam hukuman hadd
sebanyak delapan puluh kali jilid. Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Nur [24]:4:
َ‫ش َهادَة ً أَبَدًا ۚ َوأُو َٰلَئِك‬
َ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْتُوا ِبأ َ ْربَ َع ِة شُ َهدَا َء فَاجْ ِلدُوهُ ْم ثَ َمانِينَ َج ْلدَة ً َو ََل تَ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬ َ ْ‫َوالَّذِينَ يَ ْر ُمونَ ا ْل ُمح‬
ِ ‫صنَا‬
َ‫هُ ُم ا ْلفَا ِس ُقون‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (eng menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik” (QS Al-Nur [24]:4)
Apabila diperhatikan ayat tersebut, sanksi hukum hagi penuduh yang tidak mendatangkan
saksi, diancam sanksi delapan puluh jilid, sangat tipis perbedaannya dengan pelaku zina itu sendiri
apabila terbukti dengan empat orang saksi, yakni seratus kali jilid. Namun demikian, apabila
tuduhan itu dilakukan terhadap istrinya sendiri, meskipun istri juga tercakup dalam pengertian al-
muhshanat dalam ayat tersebut dan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka ancaman
hukumannya, tidak berupa hukuman dera (jilid) tetapi talak ba'in kubra yang antara keduanya tidak
boleh nikah lagi untuk selama-lamanya. Pembuktiannya dengan mengucapkan sumpah empat kali,
dan kelimanya ikrar kesediaan dirinya untuk menerima laknat Allah, apabila tuduhannya bohong.
Demikian juga pihak istri, diberi kesempatan untuk menyanggah tuduhan suaminya itu dengan
mengucapkan empat kali sumpah dan yang kelimanya, ikrar kesediaannya menerima laknat Allah
apabila tuduhan suaminya itu benar. Cara inilah yang disebut dengan li'an (mula'anah).
Sanksi hukuman lain, yang lebih bersifat moral kepribadian, yaitu persaksiannya tidak diterima
untuk selama-lamanya, karena ia termasuk orang yang fasik, apabila ia tidak dapat membuktikan
tuduhannya itu.

4 Ahmad rofiq, Hukum perdata islam di indonesia, (Depok: Rajawali Pers). hlm 237

11
B. Masa Iddah
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu
(masa 'iddah), kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla al-
dukhul), baik karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Dalam Undang-
Undang Nomor 1 1974 tentang Perkawinan dituangkan dalam Pasal 11:
1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, masalah ini dijelaskan dalam Bab VII
Pasal 39. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada Pasal 153, 154, dan 155. Pasal
153 ayat (1) Kompilasi menyatakan: "Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu
tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian
suami. (Lihat Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975). Dasarnya, Firman Allah dalam Surat Al-Ahzab
[33]:49:
‫مِن ِعدَّةٍ تَ ْعتَد ُّْونَ َه ۚا‬
ْ ‫علَ ْي ِه َّن‬ ْ ‫طلَّ ْقت ُ ُم ْوه َُّن‬
َ ‫مِن قَ ْب ِل اَ ْن تَ َمس ُّْوه َُّن فَ َما لَكُ ْم‬ ِ ‫َٰ ٰٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ َٰا َمنُ ْٰٓوا اِذَا نَ َكحْ ت ُ ُم ا ْل ُمؤْ مِ َٰن‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
‫س َرا ًحا َجمِ ي ًْل‬
َ ‫س ِر ُح ْوه َُّن‬
َ ‫فَ َمتِ ُع ْوه َُّن َو‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas
mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS Al-Ahzab [33]:49)
Adapun macam-macam waktu tunggu atau masa 'iddah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Putus perkawinan karena ditinggal mati suami.
Pasal 39 ayat (1) huruf a PP No. 9/1975 menjelaskan: "Apabila perkawinan putus karena kematian,
waktu tunggu ditetapkan 130 hari". Ketentuan ini dalam kompilasi diatur dalam Pasal 153 ayat (2)
huruf a. Bedanya dalam kompilasi merincinya, Ini didasarkan pada QS Al-Baqarah [2]:234:
َ ‫َوالَّ ِذيْنَ يُت ََوفَّ ْونَ مِ ْنكُ ْم َويَذَ ُر ْونَ اَ ْز َوا ًجا يَّت ََربَّصْنَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن اَ ْربَعَةَ اَ ْش ُه ٍر َّو‬
‫ع ْش ًرا‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (QS Al-Baqarah
[2]:234).
Ketentuan tersebut di atas berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak
hamil. Apabila istri tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai

12
ia melahirkan (Ps. 39 ayat (1) huruf c PP, dan Ps. 153 ayat (2) huruf d KHI). Al-Qur'an surat Al-
Thalaq [65]:4 menyatakan:
‫اَلحْ َما ِل اَ َجلُ ُه َّن اَ ْن‬ َٰ ُ ‫ارتَ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ثَ َٰلثَةُ اَ ْش ُه ٍۙ ٍر َّو ّٰۤالـِ ْي لَ ْم يَحِ ض َْۗنَ َوا‬
َ ْ ُ‫ولت‬ ْ ‫س ّٰۤا ِٕىكُ ْم ا ِِن‬ ْ ‫ْض‬
َ ِ‫مِن ن‬
ّٰۤ
ِ ‫َوالـِ ْي يَ ِٕىسْنَ مِنَ ا ْل َمحِ ي‬
‫ضعْنَ ا‬ َ َّ‫ي‬
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan
yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya, dan
barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya (QS Al-Thalaq [65]:4)
Persoalannya adalah apabila istri yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil, melahirkan
dalam waktu tidak sampai empat bulan sepuluh hari. Mayoritas (Jumhur) ulama, menurut Ibn
Rusyd5 berpendapat bahwa masa Iddah wanita tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun
selisih waktu kematian suami hingga la melahirkan hanya setengah bulan, atau kurang dari 130
hari. Mayoritas Ulama berpedoman kepada pertama, petunjuk umum (dalalah al-om) surat Al-
Thalaq [65]:4.
Berbeda dengan pendapat Mayoritas Ulama tersebut, Imam Malik dan Ibn Abbas. Menurut Malik,
masa iddah wanita tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis iddah tersebut, apakah 130
hari atau melahirkan. Ali Ibn Abi Thalib sependapat dengan pendapat Malik tersebut. Argumentasi
yang dikemukakan adalah mengompromikan kedua ayat tentang iddah hamil (Al-Thalaq [65]:4)
dan ayat tentang istri yang ditinggal mati suaminya (Al-Baqarah [2]:234).

2. Putus perkawinan karena perceraian


Istri yang dicerai suaminya ada beberapa kemungkinan waktu tunggu sebagai berikut:
a. Dalam keadaan hamil.
Apabila istri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka 'iddahnya sampai ia melahirkan
kandungannya.

5 Ibn Rusyd, Hidayah al-Mujtahid, juz 2, (Semarang Usaha Keluarga, tt), hlm. 72

13
b. Dalam keadaan tidak hamil.
i. Apabila istri dicerai sebelum terjadi hubungan badan, maka tidak berlaku masa 'iddah
baginya.
ii. Apabila la dicerai suaminya setelah terjadi hubungan badan (dukhul):
• Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari
‫طلَّ َٰقتُ يَت ََربَّصْنَ ِبا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ َٰلثَةَ قُ ُر ّٰۤ ْو َۗ ٍء َو ََل يَحِ ُّل لَ ُه َّن اَ ْن يَّ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَقَ ّٰللاُ فِ ْٰٓي اَ ْر َحامِ ِه َّن ا ِْن كُ َّن‬
َ ‫َوا ْل ُم‬
َٰ ْ ‫مِن ِباّٰللِ َوا ْليَ ْو ِم‬
‫اَلخِ ِر‬ َّ ْ‫يُؤ‬
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al-baqarah: 228)
• Bagi yang tidak atau belum berdatang bulan masa iddahnya tiga bulan atau 90
(sembilan puluh) hari.6 Tidak datang bulan di sini maksudnya adalah wanita
tersebutsudah memasuki masa bebas haid atau menopouse (ayisah).
• Bagi istri yang pernah haid sedangkan pada waktu menjalani iddah tidak haid karena
menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.7
• Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena menyusul, maka iddahnya selama
satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka
iddahnya menjadi tiga kali suci.

3. Putus perkawinan karena khulu', fasakh, dan li'an


Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu" (cerai gugat atas dasar
tebusan atau '/wadl dari istri), fasakh (putus perkawinan misalnya karena salah satu murtad atau

6 Ps. 39 ayat (1) b. PP. jo, Ps, 153 ayat (2) huruf b KHI.
7 Ps 153 ayat (5) KHI

14
sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau li'an, maka waktu tunggu berlaku
seperti iddah karena talak.
4. istri tertalak raj'l kemudian dalam waktu iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) Pasal 153 KHI
ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130
(seratus tiga puluh) hari, terhitung saat matinya bekas suaminya.
Jadi dalam hal ini, masa iddah yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung,
akan tetapi dihitung dari saat kematian. Sebab keberadaan istri yang diceral selama menjalani masa
'iddah, dianggap masih terikat dalam perkawinan, karena memang bekas suaminya itulah yang
paling berhak untuk merujuknya, selama masih dalam masa iddah
5. Tenggang waktu hitungan masa iddah
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa salah satu prinsip atau asas yang
ditekankan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia adalah mempersulit terjadinya perceraian,
maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan
Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Ps. 115 KHI). Oleh
karena itu, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. 8
Langkah berikutnya adalah penetapan atau penyaksian talak ke pengadilan, yang disebut
dengan itsbat al-Thaloq. Sebenarnya apabila dikaji lebih jauh, keterlibatan pengadilan dalam
perceraian antara suami dan istri, maksud dan tujuannya sangat positif. Selain untuk kepentingan
yuridis formal tersebut, proses persidangan yang hampir tidak dapat terselesaikan dalam sekali
atau dua kali sidang adalah memberi kesempatan kedua belah pihak untuk selalu memikirkan
langkah mereka untuk melakukan perceraian. Terlebih lagi, menjadi suatu keharusan bagi
pengadilan untuk mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak dalam setiap kesempatan.
Memang kadang-kadang, proses peradilan menambah beban bagi kedua belah pihak, apabila
proses perceraian di pengadilan, disertai upaya-upaya hukum banding/kasasi, yang memakan
waktu bertahun-tahun. Karena itu pula dituntut bagi semua pihak baik aparat hukum, subjek, atau

8 Ps. 39 ayat (3) PP. jo. Ps. 153 ayat (4) KHI

15
pelaku hukum untuk dapat bersama-sama mewujudkan keadilan dengan cara tidak mempersulit
kepada pihak lain.9
Di antara hikmah terpenting diaturnya masalah 'iddah ini, selain untuk mengetahui keadaan rahim,
demi menentukan hubungan nasab anak dengan orang tuanya, juga memberi alokasi waktu yang
cukup untuk merenungkan tindakan perceraian, bagi istri yang ditinggal mati suaminya adalah
untuk turut berduka cita, atau berkabung dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah Kompilasi Pasal
170 menegaskan: "Istri yang ditinggal mati suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama
masa 'iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah". Anjuran
berkabung demikian meskipun hukum Islam tidak secara khusus mengaturnya bagi laki-laki yang
ditinggal mati istrinya tentu tidak dapat dipahami hanya untuk pihak istri yang ditinggal mati
suaminya. Karena itu, kompilasi menegaskannya dalam Pasal 170 ayat (2): "Suami yang ditinggal
mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. Jadi dalam masalah ini, tidak
semata-mata persoalan yuridis formal, namun lebih mene kankan kepada aspek rasa, toleransi, dan
kepantasan. Dan ini pun wajar dan perlu mendapat perhatian..

C. Rujuk

9 Ahmad rofiq, Hukum perdata islam di indonesia, (Depok: Rajawali Pers). Hlm 251

16
1. Pengertian Rujuk
Rujuk berasal dari bahasa Arab raja'a-yarji'u - ruju, bentuk mashdar, artinya kembali.
Istilah ini kemudian dibakukan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Secara terminologis, rujuk
adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raji, dan
dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
Rujuk dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang terpuji, karena setelah pasangan suami
istri itu mengalami masa-masa kritis konflik di antara mereka yang diakhiri dengan perceraian,
timbul kesadaran baru dan napas baru untuk merajut tali perkawinan yang pernah putus guna
merenda hari esok yang lebih baik lagi. Mereka kembali pada keutuhan ikatan perkawinan, yang
disemangati oleh hasil koreksi terhadap kekurangan diri masing-masing, dan bertekad untuk
memperbaikinya. Dari sisi ini, perceraian merupakan media evaluasi bagi diri masing-masing
suami istri untuk menatap secara jernih. komunikasi, saling pengertian, dan romantika perkawinan
yang mereka jalani.10
Hak rujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj'i di nyatakan dalam firman
Allah:
ْ ِ‫َو ُب ُع ْولَت ُ ُه َّن اَ َح ُّق ِب َر ِده َِّن ِف ْي َٰذلِكَ ا ِْن اَ َراد ُْٰٓوا ا‬
‫ص َل ًحا‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah (damai)” (Al-Baqarah [2]:228)
Masalah rujuk ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
maupun dalam PP Nomor 9 Tahun 1975. Sementara dalam Kompilasi dijelaskan pada Bab XVIII
Pasal 163, 164, 165, dan 166
Pasal 163
i. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
ii. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
• Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tigakali atau talak
yang dijatuhkan qabla al-dukhul.
• Putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan
selain zina dan khulu'.

10 Ahmad rofiq, Hukum perdata islam di indonesia, (Depok: Rajawali Pers). Hlm 253

17
Melakukan rujuk tidak berbeda dengan akad nikah artinya, istri yang akan dirujuknya
menyetujuinya dan disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 164, Kompilasi menegaskan: "Seorang
wanita dalam iddah talak raj'i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas
suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi. Oleh karena itu, rujuk
yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan
Pengadilan Agama (Ps. 165 KHI).
Masalah pentingnya saksi dalam rujuk didasarkan kepada petunjuk umum dalam firman
Allah:
‫عدْ ٍل ِم ْنكُ ْم‬ ْ ‫ارقُ ْوه َُّن ِب َم ْع ُر ْوفٍ َّواَ ْش ِهد ُْوا ذَ َو‬
َ ‫ي‬ ِ َ‫فَ ِاذَا َب َل ْغنَ اَ َجلَ ُه َّن فَا َ ْم ِسكُ ْوه َُّن ِب َم ْع ُر ْوفٍ اَ ْو ف‬
“Apabila mereka sudah mendekati akhir masa iddahnya maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu.” (QS Al-Thalaq [65]:2)

Imam Syafi'i menegaskan bahwa kehadiran saksi dalam rujuk adalah wajib. Alasannya
adalah bahwa tujuan rujuk sama dengan tujuan nikah, yaitu menghalalkan hubungan seksual, maka
seperti halnya nikah, wajib meng hadirkan saksi. Sementara Imam Malik menganggap mustahab
atau bersifat anjuran. Argumentasinya, karena rujuk tidak perlu wall, maka kehadiran saksi tidak
diwajibkan, namun dianjurkan. Meskipun demikian, pendapat Imam Syafi'i cukup realistis, apalagi
dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, di mana norma-norma etika kian longgar. Agar
kehidupan rumah tangganya tenang, maka rujuknya sebaiknya disaksikan, sebagal bagian upaya
me ngumumkan bahwa di antara mereka yang bercerai telah rujuk atau kembali.
Untuk itu pula, rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dibuat
olehi Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu pegawai Pencatat Nikah, yang prosedur dan tata
caranya dijelaskan pada sub bab setelah ini. Apabila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya
semula (Ps. 166 KHI).

Satu hal yang perlu diketahui bahwa rujuk yang dilakukan dalam masa iddah itu, statusnya
sama dengan nikah baru, setelah habis masa 'iddah. Artinya talak raj'i itu sudah mengurangi jumlah
talak yang menjadi hak suami. Apakah suami merujuknya selama dalam masa 'iddah atau
membiarkan masa 'iddah istrinya habis kemudian suami menikahinya dengan akad yang baru.

18
Malahan, sekiranya iddah raj't Itu dibiarkan habis dan dibiarkan juga menikah dengan laki-laki
lain, kemudian mereka bercerai, dan nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama, maka
jumlah talak yang menjadi hak suami, tinggal sisanya. Jadi, misalnya suami telah menalak raj'i
satu kali, maka ia tinggal memiliki hak dua kali.
Adapun hikmah atau tujuan disyariatkannya rujuk antara lain adalah sebagai berikut:
i. Menghindari murka dan kebencian Allah, seperti dinyatakan:
"Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian)" (Riwayat
Abu Dawud dan Ibn Majah)
ii. Bertobat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaikinya.
iii. Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan menghindari perpecahan ke luarga. Terlebih lagi
adalah untuk menyelamatkan masa depan anak bagi pasangan yang telah mempunyai
keturunan. Kiranya tidak perlu dibuktikan, bahwa pecahnya hubungan perkawinan orang
tua akan mem bawa pengaruh negatif bagi pertumbuhan jiwa dan perkembangan si anak.
iv. Mewujudkan ishlah atau perdamaian. Meski hakikatnya hubungan per kawinan suami-istri
bersifat antarpribadi, namun hal ini sering melibatkan keluarga besar masing-masing.
Karena itu ishlah perlu mendapat penekanan. Firman Allah:
ْ َ ‫اِنَّ َما ا ْل ُمؤْ مِ نُ ْونَ ا ِْخ َوة ٌ فَا‬
‫ص ِل ُح ْوا بَيْنَ اَخ ََو ْيكُ ْم‬
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikan lah antara
kedua saudaramu” (QS Al-Hujurat [49]:10)

2. Tata Cara Rujuk


Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3
Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam
melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam, kemudian
dikuatkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 167, 168, dan 169. Dalam Permenag RI tersebut,
rujuk diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38.

19
Pasal 167 Kompilasi menyatakan:
i. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat
Nikah atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang me wilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan. (Dalam Pasal 32 ayat (1) Permenag RI No. 3/75 hanya menyebut PPN atau
P3NTR yang mewilayahi tempat tinggal istri).
ii. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
iii. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat memeriksa dan menyelidiki
apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam 'iddah talak raj'i, apakah
perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
iv. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang ber sangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk
v. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah menasihati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang
berhubungan dengan rujuk.11
Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa pada prinsipnya rujuk baru dapat dilaksanakan
setelah persyaratan normatif maupun teknis telah di penuhi. Yang normatif misalnya, apakah istri
yang akan dirujuk itu masih dalam masa 'iddahnya, atau apakah perempuan yang akan dirujuk itu
adalah benar-benar bekas istrinya. Begitu juga dengan kehadiran dua orang saksi. Yang bersifat
teknis, apakah petugas PPN atau P3N yang ditunjuk sesuai dengan kompetensi wilayahnya.
Selanjutnya, setelah rujuk dilaksanakan, lebih banyak bersifat teknis administratif yang menjadi
tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah atau PSNTR. Kompilasi Pasal 168 menyatakan:
i. Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk
dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya,
disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran
Rujuk dan yang lain disimpan.

11Ps. 32 ayat (2), (3), (4), dan (5) Permenag Nomor 3/1975).

20
ii. Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pen catat Nikah
dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
iii. Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu&Pegawai Pencatat
Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua dengan berita acara tentang sebab-
sebab hilangnya.12
Selanjutnya Pasal 169 Kompilasi menguraikan langkah administratif lainnya:
i. Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan
pengirimannya kepada Pengadilan Agama di tempat ber langsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami-istri masing masing diberikan Kutipan Bukti Pendaftaran
Rujuk menurut contoh yang oleh Menteri Agama.
ii. Suami istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut
datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan
mengambil Kutipan Akta Nikah masing masing yang bersangkutan setelah diberi catatan
oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut,
bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
iii. Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tang rujuk diikrarkan,
nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan panitera. 13
Seperti halnya perkawinan, yang hanya bisa dibuktikan dengan Akta Nikah, maka dalam
rujuk pun demikian. Ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan administrasi, yang
muaranya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Dalam terminologi Ushul Fikih,
inovasi hukum semacam ini, dibangun atas dasar metode mashlahat mursalah, yaitu mem bangun
suatu hukum untuk mewujudkan kemaslahatan, yang tidak ada diatar oleh nash, baik yang
mengatur atau melarangnya.

12 Pasal 33 Permenag RI Nomor 3/1975


13 Pasal 34 Permenag Nomor 1/1975

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulaan
Tata cara dan prosedur perceraian dapat dibedakan ke dalam dua macam sebagai berikut:
1. Cerai Talak (Permohonan)
Di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA)
menyatakan:
i. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2. Cerai Gugat
Pada Bab I tentang Ketentuan Umum huruf i diterangkan, khulu adalah perceraian yang terjadi
atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau 'iwadl kepada dan atas persetujuan
suaminya. Jadi, dengan demikian khulu' termasuk dalam kategori cerai gugat.
Didalam Masa iddah, kompilasi hukum islam menegaskannya dalam Pasal 170 ayat (2):
"Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. Jadi
dalam masalah ini, tidak semata-mata persoalan yuridis formal, namun lebih mene kankan kepada
aspek rasa, toleransi, dan kepantasan. Dan ini pun wajar dan perlu mendapat perhatian..
Rujuk dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum yang terpuji, karena setelah pasangan
suami istri itu mengalami masa-masa kritis konflik di antara mereka yang diakhiri dengan
perceraian, timbul kesadaran baru dan napas baru untuk merajut tali perkawinan yang pernah putus
guna merenda hari esok yang lebih baik lagi. Mereka kembali pada keutuhan ikatan perkawinan,
yang disemangati oleh hasil koreksi terhadap kekurangan diri masing-masing, dan bertekad untuk
memperbaikinya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Rolhan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994).
Pasal 33 Permenag RI Nomor 3/1975.
Ahmad rofiq, Hukum perdata islam di indonesia, (Depok: Rajawali Pers).
Ps. 39 ayat (3) PP. jo. Ps. 153 ayat (4) KHI

23

Anda mungkin juga menyukai