Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PERSIAPAN SEBELUM PERSIDANGAN

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Hukum Acara Peradilan Agama
Dosen Pengampu: Mashuri, S.H.I.

Disusun oleh:
Ahmad ma’ruf zein

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH DARUSY SYAFAAH
LAMPUNG TENGAH
2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul
“Persiapan Sebelum Persidangan”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Hukum Acara Peradilan Agama. Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih
kepada dosen selaku pembimbing mata kuliah ini serta segala pihak dan sumber yang telah
membantu terwujudnya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat baik
bagi diri penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala
kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat saya harapkan dari para
pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.

Kotagajah,5 september 2023

penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI......................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 2
A. Penujukan Majelis Hakim........................................................................................................ 2
B. Penetapan Hari Sidang .......................................................................................................... 3
C. Pemanggilan Para Pihak ...................................................................................................... 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................... 7
A. Kesimpulan ................................................................................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum acara peradilan agama merupakan suatu cara untuk melaksanakan hukum islam
di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama.

Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54 sampai dengan pasal
105. Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 “hukum acara yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat
Hukum Acara Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan
Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama.
Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi cerai talak,
cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Oleh karena itu, disini penulis dalam makalah ini
akan membahas mengenai Persiapan Persidangan, yang terdiri dari penunjukan majelis
hakim, penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara penunjukan majelis hakim?
2. Bagaimana cara penetuan hari sidang?
3. Bagaimana cara penetuan hari sidang?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penujukan Majelis Hakim
Setelah perkara terdaftar di kepaniteraan, Penanitera wajib secepatnya menyampaikan
berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Agama, disertai "usul tindak" atau "saran
tindak", yang kira-kira berbunyi "sudah di teliti dan syarat formal cukup". Atas dasar itu
ketua pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan
mengadili masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut "penunjukan majelis hakim"
(PMH).

Penetapan PMH memakai nomor kode indeks surat keluar biasa dan isinya menunjuk
siapa-siapa hakim yang akan menangani perkara yang dimaksudkan, siapa hakim ketua dan
anggota, mungkin pula sekaligus menunjuk panitera sidangnya. Jika dalam PMH belum
ditunjuk Panitera sidang, maka dapat ditunjuk oleh ketua majelis. Ganti atau tukar Panitera
Sidang karena suatu hal, itu boleh saja dan tidak mesti dengan surat penetapan, sebab
panitera sidang hanyalah pembantu untuk kelancaran sidang.

Persidangan dalam peradilan islam dilakukan oleh hakim tunggal. Hukum Islam tidak
mengenal adanya hakim majelis dalam sebuah persidangan. Penguasa wajib mengangkat
qadhi (hakim) di setiap wilayah sebagai pengganti dirinya yang menjelaskan dan
menjalankan hukum-hukum syariat. Hakim tunggal yang ada di dalam hukum acara Islam
mengandung maksud bahwa disamping hal itu memenuhi perintah Allah, hakim tunggal
juga lebih bebas dalam memutuskan perkara. Berbeda dengan hakim kolektif yang
digunakan oleh peradilan diluar sistem hukum islam, dimana persidangan dengan hakim
lebih dari satu dapat memunculkan kesimpulan yang berbeda pada masing-masing hakim.

Syarat-syarat qadhi yang memimpin persidangan: tidak semua qadhi bebas atau
diperankan memimpin jalnnya persidangan harus memiliki kualifikasi sebagai berikut:

1. Qadhi tidak boleh memeriksa dan memutus perkara untuk orang yang tidak boleh
menjadi saksi bagi orang itu, seperti ayah, anak, dan istrinya.
2. Qadhi tidak boleh memeriksa dan memutus perkara yang melibatkan dirinya.
Pelanggaran terhadap hal tersebut membuat hukum yang dikeluarkan oleh qadhi dapat
dibatalkan.

2
B. Penetapan Hari Sidang

Prosedur Penetapan1
a. Perkara yang sudah ditetapkan Majelis Hakimnya segera diserahkan kepada Ketua
Majelis Hakim yang ditunjuk.
b. Ketua Majelis setelah mempelajari berkas dalam waktu selambat- lambatnya 7
(tujuh) hari kerja harus sudah menetapkan hari sidang. Pemeriksaan perkara cerai
dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat gugatan
didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah.
c. Dalam menetapkan hari sidang, Ketua Majelis harus memperhatikan jauh atau
dekatnya tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat persidangan.
d. Jika tergugat atau termohon berada di luar negeri, persidangan ditetapkan sekurang-
kurangnya 6 (enam) bulan sejak perkara tersebut didaftarkan di kepaniteraan
pengadilan.
e. Dalam menetapkan hari sidang, harus dimusyawarahkan dengan para anggota
Majelis Hakim.
f. Setiap Hakim harus mempunyai jadwal persidangan yang lengkap dan dicatat
dalam buku agenda perkara masing- masing.
g. Daftar perkara yang akan disidangkan harus sudah ditulis oleh Panitera Pengganti
pada papan pengumuman Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah sebelum
persidangan dimulai sesuai nomor urut perkara.
h. Atas perintah Ketua Majelis, Panitera Pengganti melaporkan hari sidang pertama
kepada petugas Meja II dengan menggunakan lembar instrumen.
i. Petugas Meja II mencatat laporan Panitera Pengganti tersebut dalamBuku Register
Perkara.

1
ibrahim ahmad harun, pedoman pelaksanaan tugas administrasi peradilan agama, mahkamah agung
RI,2013.hal.55

3
C. Pemanggilan Para Pihak

1. Prosedur Pemanggilan
a. Atas perintah Ketua Majelis, Jurusita atau Jurusita Pengganti
melakukan pemanggilan terhadap para pihak atau kuasanya secara resmi dan patut.
b. Apabila para pihak tidak dapat ditemui di tempat tinggalnya, maka surat panggilan
diserahkan kepada Lurah atau Kepala Desa dengan mencatat nama penerima dan
ditandatangani oleh penerima, untuk diteruskan kepada yang bersangkutan.
c. Tenggang waktu antara panggilan para pihak dengan hari sidang minimal 3
(tiga) hari kerja.
d. Pemanggilan terhadap para pihak yang berada di luar yurisdiksi dilaksanakan
dengan meminta bantuan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dimana
para pihak berada dan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah yang diminta
bantuan tersebut harus segera mengirim relaas kepada Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar'iyah yang meminta bantuan.
e. Surat panggilan kepada Tergugat untuk sidang pertama harus dilampiri salinan surat
gugatan. Jurusita atau Jurusita Pengganti harus memberitahukan kepada pihak
Tergugat bahwa ia boleh mengajukan jawaban secara lisan atau tertulis yang
diajukan dalam sidang.
f. Penyampaian salinan gugatan dan pemberitahuan bahwa Tergugat dapat
mengajukan jawaban lisan atau tertulis tersebut harus ditulis dalam relaas
panggilan.
g. Apabila tempat kediaman pihak yang dipanggil tidak diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilannya
dilaksanakan melalui Bupati atau Walikota setempat dengan cara menempelkan
surat panggilan pada papan pengumuman Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar'iyah. (Pasal 390 ayat (3) HIR/Pasal 718 ayat (3) RBg).

h. Dalam hal yang dipanggil meninggal dunia, maka panggilan


disampaikan kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak dikenalatau
tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan dilaksanakan melalui
Kepala Desa atau Lurah. (Pasal 390 ayat (2) HIR / Pasal 718 ayat(2) RBg).

4
i. Pemanggilan dalam perkara perkawinan dan Tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya (ghaib), pemanggilan dilaksanakan :
• Melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya yang
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah.
• Pengumuman melalui surat kabar atau media massa sebagaimana tersebut di
atas harus dilaksanakan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu antara
pengumuman pertama dan kedua selama satu bulan. Tenggang waktu antara
panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga
bulan.
• Pemberitahuan (PBT) isi putusan ditempel pada papan pengumuman
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah selama 14 (empat belas) hari.
j. Pemanggilan terhadap Tergugat atau Termohon yang berada di luar negeri harus
dikirim melalui Departemen Luar Negeri cq. Dirjen Protokol dan Konsuler
Departemen Luar Negeri dengan tembusan disampaikan kepada Kedutaan Besar
Indonesia di negara yang bersangkutan.
k. Permohonan pemanggilan sebagaimana tersebut pada angka (10) tidak perlu
dilampiri surang panggilan, tetapi permohonan tersebut dibuat tersendiri yang
sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan (relaas). Meskipun surat panggilan
(relaas) itu tidak kembali atau tidak dikembalikan oleh Direktorat Jenderal Protokol
dan Konsuler Departemen Luar Negeri, panggilan tersebut sudah dianggap sah,
resmi dan patut (Surat Edaran Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Agama
Batam Nomor :055/75/91/I/UMTU/Pdt./1991 tanggal 11 Mei 1991).
l. Tenggang waktu antara pemanggilan dengan persidangan sebagaimana tersebut
dalam angka (10) dan (11) sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sejak surat
permohonan pemanggilan dikirimkan.2

2
Ibrahim Ahmad Harun,... op.cit.,Hal. 36

5
2. Permasalahan Seputar Pemanggilan
• Sering terjadi verzet karena pemanggilan tidak patut.
• Berita acara pemanggilan (relaas) tidak jelas dan tidak lengkap sehingga
hakim ragu dalam menilai sah tidaknya panggilan.
• Panggilan tidak disampaikan ditempat tinggal/diamnya pihak yang dipanggil.
• Pemanggilan dilakukan bukan pada hari dan jam kerja.
• Stempel/cap dinas Desa/Kelurahan masih terjadi perbedaan pendapat.3

3
muhtadin di akses dari : http://www.pta-bandung.go.id/upload/arsip/

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
persiapan persidangan di Pengadilan Agama ialah terkait penetapan hari sidang yang
menjadi tugas Ketua Majelis hakim, dan pemanggilan para pihak yang merupakan tugas
Jurusita atau Jurusita Pengganti. Dalam menyampaikan relaas pemanggilan terkadang Jurusita
atau Jurusita Pengganti tidak melakukannya sesuai ketetuan yang telah ditetapkan. Sehingga
timbul permasalahan yang cukup besar dampaknya, seperti terjadinya putusan verset. Putusan
verset tersebut terjadi bukan karena pihak tergugat tidak mengindahkan panggilan sidang,
tetapi boleh jadi tidak menerima surat pemanggilan tersebut karena tidak disampaikan oleh
pihak yang dititipkan oleh Jurusita atau Jurusita Pengganti.

7
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruq. Asadulloh, 2009, Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: penerbit pustaka
yustisia.

ar Rasyid. Roiha, 1998, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Djalil. Basiq, 2006, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Putra Grafika,

Fauzan. M, 2007, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta:Kencana.

Harun, Ibrahim Ahmad, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI, 2013

Anda mungkin juga menyukai