DISUSUN OLEH:
Tiva Novianti Lubis (0206192005)
Yan Fahrezi (0206192007)
Siti Jarwa Pulungan (0206191060)
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat allah swt atas berkat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu Mei Triana, S.H., M.H. selaku
dosen Mata Kuliah Praktek Pengadilan Perdata. Kami juga ingin mengucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu kami dalam pembuatan
penulisan makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati & penyusun menyadari bahwa masih banyak
Kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini & oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam
kesempurnaan makalah ini & sehingga dapat diperbaiki demi kesempurnaan isi
makalah ini dan kamu ingin mengucapkan terima kasih.
Penulis
Kelompok 1
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang
Dalam hukum, kita mengenal akan adanya tata cara beracara di peradilan perdata.
Tata cara beracara sendiri menjadi hal yang penting di dunia Hukum, hal ini
dikarenakan sangat penting untuk menyelesaikan suatu perkara yang berada di
pengadilan. Rangkaian proses pemeriksaan persidangan harus berjalan menurut tata
cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pemanggilan para pihak
untuk menghadiri persidangan merupakan awal dari rangkaian proses beracara di
Pengadilan. Berlandaskan pemanggilan, Hakim memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang ditangani.
Dalam Hukum Acara Perdata kita dapat mengetahui bagaimana melakukan tata cara
beracara di pengadilan, khususnya dalam hal pemanggilan. Pemanggilan sendiri
dalam hal perdata adalah hal yang paling utama dalam proses beracara, apabila dalam
hal pemanggilan saja telah terjadi masalah maka proses beracara di pengadilan pun
tidak akan berjalan. Menurut hukum acara perdata, panggilan adalah menyampaikan
secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam 2
suatu perkara di pengadilan agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta
dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.
Resmi adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sedangkan patut adalah dalam
menetapkan tanggal dan hari persidangan hendaklah memerhatikan letak jauh
dekatnya tempat tinggal pihak-pihak yang berperkara, patut yaitu tenggang waktu
yang ditetapkan tidak boleh kurang dari tiga hari sebelum acara persidangan dimulai
dan di dalamnya tidak termasuk hari besar atau hari libur.1
Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan
pemanggilan adalah juru sita. Panggilan yang dilakukan juru sita yang dianggap resmi
dan sah. Kewenangan juru sita ini berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya
melalui perintah ketua (majelis hakim) yang dituangkan pada penetapan hari sidang
atau penetapan pemberitahuan.2 Setelah melakukan panggilan, juru sita harus
menyerahkan risalah (relaas) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara
tersebut yang merupakan bukti bahwa tergugat telah dipanggil. Oleh karena itu sah
tidaknya pemanggilan dan pemberitahuan yang dilakukan oleh pihak pengadilan
1
A.Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al
Hikmah, 2000, hlm. 84.
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 213.
4
sangat menentukan baik atau buruknya proses pemeriksaan persidangan di
pengadilan.3 Surat panggilan (relaas) merupakan salah satu instrumen yang sangat
penting dalam proses beracara di pengadilan. Tanpa surat panggilan kehadiran para
pihak di persidangan tidak mempunyai dasar hukum. Surat panggilan dalam hukum
acara perdata dikategorikan sebagai akta autentik. Pasal 165 HIR dan 285 R.Bg serta
Pasal 1865 BW menyebutkan akta autentik adalah akta yang dibuat dihadapan
pegawai umum dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.
Dengan demikian, segala sesuatu yang dimuat dalam relaas harus dianggap benar,
kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. 4 Jadi dalam hal ini surat panggilan (relaas)
merupakan instrumen penting dalam kelancaran pemanggilan serta jalannya
persidangan, dikarenakan sifatnya yang otentik sehingga perlu adanya perhatian
secara khusus terkait hal ini, dalam bukunya Yahya Harahap, menurut beliau
otentiknya suatu surat panggilan harus memenuhi beberapa syarat yakni :
a. Ditandatangani oleh jurusita;
b. Berisi keterangan yang ditulis tangan jurusita yang menjelaskan panggilan telah
disampaikan di tempat tinggal yang bersangkutan secara in person atau kepada
keluarga atau kepala desa.5
Setelah kita mengetahui bahwasanya surat panggilan itu penting dan wajib
disampaikan kepada para pihak, maka dari itu pihak yang berkewajiban untuk
menyampaikan harus bertanggung jawab apabila surat panggilan (relaas) tersebut tak
kunjung sampai di tangan para pihak, dalam aturan HIR Pasal 390 ayat (1) disebutkan
: “Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan
pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya dan
jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah yang diwajibkan dengan
segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini
tidak perlu pernyataan menurut hukum.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa beracara di Pengadilan Negeri?
2. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa beracara di Pengadilan Agama?
3
Dwimas Andila, Pemanggilan Pihak-Tinjauan Umum, Jakarta: FHUI: Adobe Reader, 2009, hlm. 9
4
Neng Yani Nurhayani, Hukum Acara Perdata, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015, hlm. 46.
5
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 227-228.
5
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa beracara di Pengadilan
Negeri
2. Mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa beracara di Pengadilan
Agama
BAB II
PEMBAHASAN
6
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia mengharapkan adanya suatu ketertiban di
dalam masyarakat tersebut, yang disebut dengan istilah tertib masyarakat. Agar
tercapai adanya suatu ketertiban masyarakat tersebut, maka dibuat macam-macam
norma yang ada di dalam masyarakat. Norma-norma tersebut, yaitu:
1) Norma kesusilaan,
2) Norma kesopanan,
3) Norma agama,
4) Norma hukum,
5) Dan norma-norma yang lainnya.
Norma hukum dibandingkan norma-norma yang lainnya, dapat dikatakan
sanksinya lebih keras dan bagi yang melanggar norma hukum tersebut langsung
dikenai sanksi yang memaksa. Dikatakan adanya sanksi yang memaksa karena adanya
penegakkan hukum oleh kekuatan yang memaksa, yakni adanya penegakkan hukum
oleh aparat/pejabat penegak hukum. Lain halnya dengan norma-norma yang lainnya
dimana sanksi bagi yang melanggar norma tersebut tidak sekeras sanksi pada norma
hukum. Hal ini karena dalam norma hukum sanksinya dapat dipaksakan oleh
aparat/pejabat penegak hukum pada pelanggar norma hukum tersebut, sedang untuk
norma-norma yang lainnya sanksinya tidak dapat dipaksakan oleh aparat/pejabat
penegak hukum yang ada pada pelanggar norma lainnya tersebut.
Disamping itu sanksi pada norma hukum bersifat nyata/riil dan langsung dapat
dirasakan sekarang juga. Adanya pelanggaran terhadap norma hukum, maka
menimbulkan terjadinya suatu sengketa hukum. Adapun yang dimaksud sengketa
hukum adalah suatu peristiwa atau kejadian yang menimbulkan perselisihan diantara
para pihak mengenai hal yang diatur oleh hukum atau diatur di dalam hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa adanya norma hukum atau hukum tersebut bukanlah
semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja,
melainkan untuk dilaksanakan atau ditaat6. Dengan demikian apabila ada pelanggaran
atas norma hukum, maka bagi pelanggarnya dikenakan sanksi yang ada dalam norma
hukum tersebut. Demikian juga dalam bidang hukum perdata, maka bila ada suatu
pelanggaran terhadap ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata tersebut akan menimbulkan terjadinya sengketa hukum perdata. Adapun yang
dimaksud sengketa hukum perdata adalah suatu peristiwa atau kejadian yang
menimbulkan perselisihan diantara para pihak mengenai hal yang diatur di dalam
6
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 1
7
hukum perdata. Dengan adanya pelanggaran terhadap suatu ketentuan hukum perdata
ini maka akan mengakibatkan adanya pihak-pihak atau subyek hukum tertentu yang
merasa dirugikannya. Oleh karena itu maka pihak-pihak atau subyek hukum yang
merasa dirinya dirugikan oleh adanya sengketa hukum perdata yang terjadi tersebut,
maka akan mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam hukum
perdata. Sengketa hukum perdata dapat timbul oleh karena berbagai ketentuan
sebagaimana diatur dalam hukum perdata materiil dilanggar, diabaikan atau tidak
dipenuhi. Pada pokoknya yang dimaksud dengan hukum perdata materiil, isinya dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Ketentuan hukum yang memberikan adanya hak.
2. Ketentuan hukum yang membebani dengan kewajiban-kewajiban.
Suatu ketentuan hukum perdata materiil dikatakan telah dilanggar, diabaikan atau
tidak dipenuhi yaitu:
1) Apabila ada orang atau subyek hukum tertentu yang tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan. Dalam hal ini maka
dikatakan timbulah wanpresentasi atau ingkar janji terhadap perjanjian yang ada.
2) Apabila ada orang atau subyek hukum tertentu yang melanggar hak orang lain
atau ada orang atau subyek hukum tertentu yang memperkosa kepentingan orang
lain.
Dalam hal ini maka dikatakan timbulah perbuatan melawan hukum. Dengan adanya
sengketa hukum perdata sebagaimana disebutkan di atas maka seseorang atau subyek
hukum yang merasa dirugikan oleh akibat perbuatan orang atau subyek hukum yang
lain, oleh Hukum Acara Perdata orang atau subyek hukum tersebut diberi hak untuk
menggugat di pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hak atau kepentingannya dapat
terlindungi dari perbuatan hukum orang lain yang merugikannya. Secara keseluruhan
adanya sengketa hukum perdata yang timbul sebagaimana telah dijelaskan di atas,
maka penyelesaiannya tidak hanya melalui lembaga peradilan yang diajukannya
dengan mengajukan gugatan ke pengadilan saja. Atas sengketa hukum perdata yang
terjadi tersebut dapat juga dilakukan dengan bermacam-macam cara sebagaimana
yang di bolehkan dalam peraturan perundang-undangan.
A. Pengadilan Negeri
8
tahapan dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan negeri adalah tahap
pelaksanaan atau dikenal dengan tahap eksekusi. Tahap pelaksanaan atau tahap
eksekusi adalah pelaksanaan terhadap putusan hakim yang telah dijatuhkan oleh
pengadilan. Tahap pelaksanaan atau tahap eksekusi ini dilakukan yaitu setelah
putusan hakim pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap/pasti.
Dalam tahap penentuan inilah pemeriksaan atas gugatan yang diajukan tersebut
dilakukan. Dalam tahap penentuan ini kegiatan pemeriksaan gugatan mulai diperiksa
yaitu dengan disidangkannya perkara untuk pertama kali, kemudian dilakukan upaya
perdamaian oleh hakim yang memeriksa perkara kepada para pihak yang berperkara
yang dalam hal ini dilakukan dengan cara mediasi, kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan gugatan, jawab menjawab diatara para pihak, dilakukannya pembuktian,
diajukannya kesimpulan akhir dari para pihak yang berperkara, dilakukannnya
raadkamer atau sidang musyawarah, sampai dijatuhkannya putusan oleh hakim.
Dalam pemeriksaan gugatan di pengadilan negeri bahwa suatu perkara perdata yang
disengketakan diantara pihak dapat sampai ke pengadilan negeri yaitu sebagai berikut:
adanya suatu peristiwa hukum yang menimbulkan suatu sengketa hukum perdata,
pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan pada pengadilan negeri, yang
pengajuannya dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 118 HIR dan 120 HIR, dan
kemudian gugatan yang diterima di pengadilan negeri, selanjutnya didaftar dalam
buku register gugatan dan diberi nomor perkara serta dibuatkan akta permohonan
gugatan setelah pemohon gugatan membayar ongkos perkara atau panjer ongkos
perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 131 ayat (1) dan (4) HIR, kecuali perkara
yang diajukan secara prodeo atau dengan cuma – cuma sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 237 HIR. Selanjutnya atas perkara yang masuk ke pengadilan negeri,
maka selanjutnya akan dilakukan pemanggilan atau perintah pemanggilan kepada
para pihak yang berperkara. Syarat panggilan yang disampaikan kepada para pihak
yang berperkara adalah harus memenuhi syarat panggilan patut patut atau layak.
Adapun yang dimaksud dengan panggilan patut atau layak adalah panggilan itu harus
memenuhi ketentuan tentang:
a. Siapa yang memanggil. Mengenai siapa yang memanggil kepada para pihak yang
berperkara ini diatur dalam ketentuan Pasal 388 HIR yakni, bahwa yang
memanggil adalah juru sita dengan relaas panggilan.
b. Cara memanggil. Cara memanggil kepada para pihak yang berperkara adalah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 390 HIR yakni:
9
1) Harus ketemu sendiri kepada yang bersangkutan.
2) Bila tidak ketemu sendiri kepada yang bersangkutan maka disampaikan
kepada lurah atau kepala desa setempat dari yang bersangkutan.
3) Bila tidak diketahui tempat tinggalnya maka dilakukan panggilan umum.
c. Tenggang waktu pemanggilan. Tenggang waktu pemanggilan kepada para pihak
yang berperkara adalah haruslah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 122 HIR yakni:
1) Sekurang-kurangnya 3 hari kerja sebelum hari sidang.
2) Kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan boleh kurang dari 3 hari asal
pertimbangannya dicantumkan dalam surat perintah panggilan itu7 .
Bila surat panggilan kepada para pihak yang berperkara tidak memenuhi syarat
panggilan patut atau layak sebagaimana tersebut di atas, maka panggilan tersebut
adalah tidak sah, dan konsekuensi hukumnya maka panggilan tersebut harus diulang.
Setelah panggilan kepada para pihak yang berperkara dilakukan dan memenuhi syarat
panggilan patut/layak maka dalam persidangan di pengadilan negeri ada beberapa
kemungkinan yang terjadi yaitu:
1) Pihak penggugat tidak datang dalam persidangan, sedang pihak tergugat hadir
dalam sidang. Dalam hal ini maka hakim dapat menjatuhkan tindakan bahwa
gugatan diputus gugur. Ketentuan tentang gugatan diputus gugur ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 124 HIR
2) Sebaliknya bila ternyata tergugatnya yang tidak datang, sedangkan penggugatnya
hadir, maka dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan putusan verstek berdasarkan
Pasal 125 HIR.
3) Bila ternyata pihak penggugat atau tergugatnya tidak hadir dalam persidangan,
maka hakim dapat menentukan bahwa sidang ditunda sebagaimana diatur dalam
Pasal 126 HIR. Pasal ini sebagai alernatif yang diambil hakim bila tidak
menggunakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 124 dan Pasal 125 HIR di atas.
4) Dalam hal banyak tergugat, ternyata ada tergugat yang tidak datang maka hakim
dapat menentukan sidang ditunda sampai hari yang ditentukan. Dalam hal ini
tidak dapat dijatuhkan putusan verstek karena ada tergugat lainnya yang hadir
dan putusannya adalah putusan biasa (contradiktoir) bukan verstek ( Pasal 127
HIR).
7
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Op. Cit, hal. 28 -29.
10
5) Pihak penggugat maupun tergugatnya semuanya datang dalam persidangan di
pengadilan, maka hakim dalam hal ini berkewajiban atau harus mengusahakan
upaya perdamaian kepada para pihak yang berperkara sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 130 HIR.
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa sebelum pemeriksaaan perkara
dilakukan maka ketua hakim majelis/hakim wajib untuk mengusahakan 26
perdamaian diantara para pihak yang berperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 130
HIR. Usaha perdamaian tersebut sekarang ini pelaksanaannya dilakukan dengan cara
mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Atas usaha perdamaian dengan mediasi
tersebut di atas ada kemungkinan berhasil dan dapat pula tidak berhasil. Bila usaha
perdamaian dengan mediasi tersebut berhasil maka oleh hakim akan dibuatkan akta
perdamaian berdasarkan Pasal 130 ayat (2) HIR. Akan tetapi bila usaha perdamaian
dengan mediasi tersebut tidak berhasil, maka menurut ketentuan Pasal 131 ayat (1)
HIR adalah akan dilanjutkan pada pemeriksaan perkara berikutnya.
11
pasal di atas adalah ketua majelis hakim yang memeriksa perkara perdata di
pengadilan negeri. Usaha perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal
130 ayat (1) HIR adalah mutlak harus dilakukan dan dicantumkan dalam berita acara
(Procesverbaal).8
Dengan demikian bahwa usaha perdamaian sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR di atas adalah sifatnya wajib, sehingga hakim
majelis pengadilan yang memeriksa perkara tersebut haruslah melakukan upaya
perdamaian diantara para pihak yang berperkara. Bilamana dalam pemeriksaan
perkara perdata di pengadilan negeri ternyata hakim tidak mengupayakan perdamaian,
maka akan berakibat hukum bahwa pemeriksaan berikutnya yang dilakukan oleh
hakim di pengadilan menjadi batal demi hukum, sehingga harus di ulang. Usaha
perdamaian ini dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan merupakan suatu
tahapan yang mutlak harus dilaksanakan sebelum dilakukannya pemeriksaan terhadap
gugatan.
Dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri usaha perdamaian ini
sekarang dilakukan cara mediasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan,
yang mulai perlaku tanggal 3 Februari 2016. Dengan berlakunya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, maka ketentuan tentang prosedur mediasi
yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 01 Tahun 2008 sudah
tidak berlaku lagi. Penyelesaian perkara perdata dengan cara mediasi adalah
penyelesaian sengketa perdata di pengadilan yang dilakukan melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator guna mencapai penyelesaian
dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan.9
Mediator disini sifatnya netral, tidak memihak salah satu pihak yang berperkara
dan dapat diterima oleh para pihak. Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
menggantikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 01 Tahun 2008 yaitu oleh
karena bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian secara damai yang tepat, efektif,
dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh
8
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Membaca Dan Mengerti HIR, (Semarang: Badan
Penerbit UNDIP, 2008), hal. 56.
9
Marjo, Tinjauan Terhadap Mediasi di Pengadilan Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan
Negeri, Semarang: Masalah-Masalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jilid 36 No. 4
Desember 2007, hal. 275.
12
penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan. Disamping itu bahwa dalam rangka
reformasi birokrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berorentasi pada visi
terwujudnya badan peradilan indonesia yang agung, salah satu elemen pendukung
adalah mediasi sebagai instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
keadilan sekaligus implementasi dari asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan. Pertimbangan lainnya adalah juga bahwa ketentuan Hukum
Acara Perdata yang berlaku, Pasal 154 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar
Jawa dan Madura (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten
Buiten Java En Madura, Staatsblad 1927:227) dan Pasal 130 Reglemen Indonesi yang
diperbaharui (Het Herziene Inlandsch Reglement, Staatsblad 1941:44) mendorong
Para Pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat didayagunakan melalui
Mediasi dengan mengintegrasikannya ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan.
Disamping itu juga dengan pertimbangan bahwa Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna
dan mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan. Prosedur Mediasi di
Pengadilan negeri ini menjadi bagian Hukum Acara Perdata dimana diharapkan dapat
memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian
sengketa. Dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri dimana pada saat
para pihak baik pihak penggugat ataupun pihak tergugatnya, baik in persoon maupun
kuasa hukumnya hadir di persidangan, maka selanjutnya kewajiban bagi hakim yang
memeriksa perkara tersebut untuk mengupayakan perdamaian diantara para pihak.
Upaya perdamaian ini dilakukan oleh hakim dengan cara mediasi sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Usaha perdamaian dengan mediasi ini adalah mutlak
harus dilakukan dan dicantumkan dalam berita acara pemeriksaan (procesverbaal).
Dalam hal ini bilamana suatu pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri tidak
didahului dengan usaha perdamaian dengan cara mediasi terlebih dahulu maka akibat
hukum yang timbul adalah bahwa sidang-sidang pemeriksaan perkara berikutnya
menjadi batal. Dalam usaha perdamaian dengan mediasi ini bilamana perlu adalah
dilakukan dengan menunda persidangan, guna memberikan waktu yang cukup
terhadap para pihak yang berperkara untuk mempertimbangkannya. Dalam rangka
untuk pelaksanaan Mediasi yang lebih optimal serta lebih berdayaguna dan mampu
meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan, maka dalam ketentuan Pasal 7
13
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan diatur tentang iktikad baik dalam menempuh mediasi. Dalam ketentuan
pasal ini ditentukan bahwa para pihak dan/atau kuasa hukiumnya wajib menempuh
mediasi dengan iktikad baik. Bilamana masing-masing pihak yang berperkara dalam
melakukan mediasi ada yang tidak beriktikad baik, maka diberikan saksi hukumnya
oleh hakim majelis yang memeriksa perkara di pengadilan.
Dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri, upaya Mediasi ini secara
keseluruhan dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan yaitu tahapan pramediasi dan
tahapan proses mediasi. Tahapan pramediasi adalah merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan sebelum dilakukannya kegiatan proses mediasi. Adapun tahapan proses
mediasi adalah suatu kegiatan dimana dilakukannya mediasi itu sendiri diantara para
pihak yang berperkara dengan mediator.
14
11) Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan
intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12) Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil,
putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi);
13) Pembuktian
14) Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15) Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16) Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
17) Kesimpulan
18) Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia);
19) Pembacaan Putusan;
20) Isi putusan:
a. Gugatan dikabulkan,
b. Gugatan ditolak,
21) Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-
pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari;
22) Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam
waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila
waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.
1) Surat Permohonan/Gugatan
2) Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)
15
Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir
Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip
Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan
Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri yang disampaikan
oleh Juru Sita Pengganti
Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan
16
2) Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat)
3) Memori Kasasi
A. Pengadilan Agama
Untuk tingkat banding pada saat ini terdapat satker PTA sejumlah 29 PTA dan
tingkat pertama sebanyak 359 satker (55kelas 1A, 101 kelas 1B dan 203 kelas II).
Untuk jumlah hakim pengadilan agamasaat ini sebanyak 3078 hakim. Dari 359 satker
yang ada idealnya jumlah hakim pengadilan agama saat ini sebanyak 5539, ini berarti
masih kekurangan tenaga hakimsekitar 2461 hakim. Kekurangan ini masih terus
berlanjut terkait banyaknya hakim yang memasuki usia pensiun ditambah lagi sudah
berlangsung 6 tahun terjadi moratorium (penghentian sementara) pengangkatan calon
17
hakim. Sejatinya sejakadanya keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai
kewenangan mutlak Mahkamah Agung untuk mengangkat calon hakim yang tidak
dicampuri oleh Komisi Yudisial, pada tahun 2016 ini sudah dimulai penerimaan calon
hakim kembali, namun kerana hal tersebut oleh Kementrian yang belum dibuka
sehingga masih menjadi harapan para sarjana hukum, para alumni fakultas syariah
dan fakultas hukum perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang terus berkepanjangan,
termasukd i dalamnya adalah para calon advokat atau advokat itu sendiri.
Eksistensi Pengadilan Agama mengalami kemajuan yang sangat pesat kurun waktu
lebih dari 130 tahun. Lembaga peradilan agama di Jawa dan Madura telah dibentuk
oleh pemerintah Hindia Belanda dengan Stb. 1882 Nomor 152 jo. Stb. 1937 Nomor
116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stb 1937 Nomor 638 dan639, kemudian
setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah RI membentuk Pengadilan
Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1957. Perkembangan berikutnya, Pengadilan Agama makin terasa
peran dan fungsinya setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
jo.5 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya.
Pada tahun 1989 lahirlah Undang-Undang Organik yang mengatur khusus keberadaan
lembaga peradilan agama ini dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan terus disempurnakan dengan lahirnya perubahan undang-
undang tersebut pada tahun 2006 dengan lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua pada tahun 2009 dengan lahirnya UU Nomor 50 Tahun 2009.
Hukum Acara di peradilan agama baru ada sejak lahirnya UU Nomor 1tahun1974
dan aturan pelaksanaannya PP Nomor 9 tahun 1975, tentang perkawinan. Inipunbaru
sebagian kecil yang diatur dalam kedua peraturan ini. Ketentuan mengenai hukum
acara pengadilan agama baru secara tegas disebutkan sejak dikeluarkannya UU
Nomor 7 tahun 1989. Hukum Acara yang dimaksud diletakkan pada ketentuan Bab
IV yang terdiri dari 37 Pasal. Tidak semua ketentuan tentang hukum acara peradilan
agama dimuat secara lengkap dalam undang-undang ini. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 54, di mana dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
18
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini. Adapun yang menjadi sumber hukum acara
peradilan agama antara lain :
19
Islam, maka apa yang menjadi sumber hukum Islam, yaituAl-Qur’an, Hadits, Ijma,
Qias dan lain sebagainya yang termuat di dalam kitab-kitab fiqh, tafsir dan hadits
dapat dijadikan sumber hukum materil oleh pengadilan agama di dalam memutus
suatu perkara.
Adapun wewenang pengadilan agama secara absolute adalah sebagai mana termuat
di dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor
3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama, yaitu
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
wakaf, zakat, infak, shadaqah dan ekonomi Islam.
Sebagai mana dalam penjelasan Pasal 49 tersebut di atas, yang dimaksud dengan
bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan antara lain ada 22 item jenis perkara yaitu :
20
q) Penetapan orang ;lain sebagai wali
r) Penunjukkan seorang wali anak yang belum berumur 18 tahun
s) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali atas kerugian
anakyangada di bawah kekuasaannya
t) Penetapan asal usul anak/Pengangkatan anak berdasarkan hukumIslam
u) Penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
v) Penetapan tentang syahnya perkawinan.
Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdataa dalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orangharus bertindak di
muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. R. Suparmono SH.
memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan
menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara).
Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur
tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya
dan pelaksanaan dari putusannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimanaorang harus bertindak di
muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukantuntutan dan mempertahankan
hak, cara bagaimana pengadilanharusbertindak untuk memeriksa serta memutus
perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan
Agama. Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-
asas Hukum Acara Peradilan Agama sebagai berikut :
21
c) Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukumberdasarkankeadilan
berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-undangNomor 4 tahun
2004).
d) Peradilan Agama memeriksa, memutus dan
menyelesaikanperkaraberdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan
UmumUndang-undang Nomor 3 tahun 2006).
e) Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke TuhananYangMaha Esa
(pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57ayat (1) Undang-
undang Nomor 3 tahun 2006).
f) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan(pasal 2ayat
(2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3)Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989).
g) Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakanorang
(pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58ayat (3)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
h) Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar(pasal 4
ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
i) Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya
tiga orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai
anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17ayat (1), (2) dan (3) Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004).
j) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakimyangmengadili
(pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
k) Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145ayat (4)RBg.).
l) Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3tahun2006).
m) Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
n) Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004).
o) Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145RBg., pasal 5
ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58ayat (3)Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989).
p) Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).
q) Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
22
r) Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4
tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun1989).
s) Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya(pasal 16
ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
t) Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undangNomor4
tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun1989, pasal
184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
u) Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim”diikuti
dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan YangMahaEsa” (pasal 57
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
v) Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatanhukumapabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum(pasal
20Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
w) Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalampenyelesaianperkara harus
dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989).
x) Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukumberupa banding, kasasi
dan peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undangNomor 4 tahun
2004). 1125.
23
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004), kecuali undang-undang menyatakan lain,
seperti perkara perceraian diperiksa dalam persidangan yang dinyatakan tertutup
untuk umum. Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkan melalui
beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :
1. Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg dan Perma Nomor 1Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Pada permulaan persidangan,
sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara para pihak
berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta Perdamaian yang
mempunyai kekuatan sebagai putusan. Dalam perkara perceraian apabila mediasi
berhasil maka gugatan perceraian tersebut dicabut. Jika tidak berhasil dilanjutkan
pada tahap berikutnya.
2. Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg). Sebelumpembacaan
gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat yaitu Mencabut
gugatan, Merubah gugatan atau Mempertahankan gugatan. 12Jika gugatan
dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskanpada tahap
berikutnya
3. Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :
24
d) Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak mempunyai
hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salahmenentukan pihak
Tergugat.
25
5) Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat
terhadapPenggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan
pasal 132bHIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg). Tujuannya :
6) Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di
hadapan sidang Pengadilan. Adapun yang harus dibuktikan adalah peristiwa
atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum jelas
atau yang menjadi sengketa. Kemudian yang dibebani wajib pembuktian
adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan seseorang yang
membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau peristiwa
26
yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865KUH Perdata).
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu
peristiwa/kejadian yang diajukan itu merupakan fakta yang benar terjadi,
atau dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan
hukumantarapara pihak. Dalam acara perdata yang dicari adalah
kebenaranformil, sehingga tidak secara tegas mensyaratkan adanya
keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan
oleh pihak yang berperkara.
7) Alat-alat bukti. Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama,
sesuai dengan pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata.
Akta otentik, akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang
membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan
maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan
untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan. Kekuatan pembuktian akta
otentik ada 3 macam :
27
Akta di bawah tangan, suatu akta yang ditandatangani dan dibuat denganmaksud
dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.
Adapun kekuatan pembuktian akta dibawah tangan :
a. Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tanda tngan akta diakui
oehyang mebuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan
pembuktianseperti akta otentik.
b. Apabila tanda tangan dalam akta disangkal oleh pihak yang
menandatangani, maka pihak yang mengajukan akta harus berusaha
membuktikan kebenaran tanda tangan itu. Surat bukan akta, surat yang dibuat
tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani.
Kekuatan pembuktiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Misalnya
buku register, surat-surat rumah tangga, letter C tanah dsb.
3. Alat bukti saksi. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakimdi
persidangantentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisandanpribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara,
yang dipanggil dalampersidangan. Syarat-syarat saksi : 17Syarat formil saksi :
28
c. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian
satudenganyang lain dan alat bukti yang sah (pasal 172 HIR, pasal 309
Rbg).
d. Keterangan seorang saksi tanpa dikuatkan alat bukti lain
bukanbukankesaksian (unus testis nullus testis) (pasal 169 HIR, pasal
306 Rbg). Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR,pasal 172
RBg) :
5. Bukti persangkaan. Diatur pada pasal 173 HIR, pasal 310 RBg. Persangkaan
adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau
dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum
terbukti. Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tak bisa berdiri
sendiri, tetapi diambil dari alat bukti lain. Persangkaan ada 2 macam :
29
6. Bukti pengakuan. Diatur pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312 dan 313
RBg.
7. Bukti sumpah.
Diatur pasal 155 – 158 dan 177 HIR, pasal 182- 185 dan 314 RBg. 201.
Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada
waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan
percaya bahwa jika janji atau keterangan itutidakbenar, yang memberikan
keterangan akan dihukum oleh-Nya. Ada dua macam sumpah dari sisi
pelaksanaannya :
Sumpah sebagai alat bukti ( pasal 155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam:
30
1) Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas
perintahHakim setelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi
(bukti permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan sumpah
tersebut.
2) Sumpah aestimatoir (penaksiran) yaitu sumpah atas perintah
Hakimhanyakepada Penggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti
rugi atausejumlah uang tertentu dengan rincian yang dituntutnya.
3) Sumpah decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan
salah satu pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan
dapat dilakukan setiap saat selama proses pemeriksaan di persidangan.
Dengan sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi
pasti. Oleh karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang
pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa.
Menolak untuk mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.
8. Saksi ahli.
Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181RBg, pasal
215 Rv. Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ke tiga yang obyektif
21bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah
pengetahuan Hakim sendiri. Tujuannya agar Hakim memperoleh kebenaran dan
keadilan pada masalah yang bersangkutan. Syarat-syarat saksi ahli :
a. Orang yang tidak boleh didengan sebagai saksi juga tidak boleh
didengarsebagai saksi ahli.
b. Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif
sertatidakmemihak.
c. Sebelum memberikan keterangan harus bersumpah bahwa ia
akanmemberikan pendapat tentang soal-soal yang diperiksa menurut
pengetahuan/keahliannya dengan sebaik-baiknya.
9. Pemeriksaan Setempat.
Diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211 Rv. Yaitu
pemeriksaanmengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan di
luar gedun gatau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat
31
sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang
peristiwa yang menjadi sengketa.
Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak diberikan
kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim kemudian
bermusyawarah untuk merumuskan keputusan. Dari hasil pemeriksaan perkara di
persidangan ada dua macam produk keputusan Hakim/Pengadilan Agama yaitu
Putusan dan Penetapan
1) Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakimsebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidanganterbukauntuk umum,
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketaantarpara pihak, sebagi
hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentious).
2) Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk
umum, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Nilai suatu
putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya, apakah pertimbangan itu
baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan analisis kasus perkaranya dan
kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta hukum.
Macam-macam Putusan Hakim : Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, ada
dua macam yaitu:
32
decissoir, Sumpah penaksir, Pemeriksaangugatan provisionil dan Pemeriksaan
gugatan insidentil (intervensi). Ada beberapa jenis Putusan Sela :
1. Putusan gugur. Yaitu putusan yang menyatakan gugatan gugur karena penggugat
tidakhadir setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidangpertama
atau sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.
2. Putusan verstek. Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir
dantidakmewakilkan kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi danpatut.
Dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya setelahpembacaan gugatan
sebelum tahap jawaban tergugat.
3. Putusan contradictoir. Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalamsidang
tidakdihadiri salah satu pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir,
disyaratkan baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalamsidang. Dari segi
isinya terhadap gugatan ada empat macam :
33
dan ad ayang tidak terbukti, atau tidak memenuhi syarat syarat hukum formil
maupun materiil. Dalil gugatan yang terbukti tuntutannya dikabulkan. Dalil
gugatan yang tidak terbukti tuntutannya ditolak dan Dalil yangtidak
memenuhi syarat diputus dengan tidak diterima.
4) Mengabukan gugatan Penggugat seluruhnya. Yaitu putusan yang dijatuhkan
di mana syarat-syarat gugatan dipenuhi, dan seluruh dalil gugatan yang
mendukung petitumtelah terbukti. Dari segi sifatnya terhadap hukum yang
ditimbulkan, ada tiga macam, yaitu:
34
2) Kekuatan eksekutorial. Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannyaapayang telah
ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap
putusan Hakim harus memuat titel eksekutorial yaitu kalimat “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
3) Kekuatan hukum tetap. Suatu putusan mempunyai kekuatanhukumtetap
apabila terhadap putusan tersebut, sampai dengan habisnya masa upaya
hukum yang ditetapkan menurut undang-undang, tidak dimintakan upaya
hukum
BAB III
PENUTUP
35
BAB IV
Daftar Pustaka
1. Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum., Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah, Cetakan Pertama Jakarta, 2000.
2. Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek Perkara Perdata Pada PengadilanAgama,
Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 1996.
3. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Undang-undang Republik
IndonesiaNomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI., Jakarta, 2006.
4. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Himpunan PeraturanPerundang-
undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, DepartemenAgama, Jakarta, 2003.
5. Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab Undang-undang Peradilan Umum,
Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.
6. Simorangkir, JCT., SH., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987.
7. Soebekti, Prof., R., SH., Hukum Acara Perdata, BPHN, Bina Cipta, Bandung, 1977
8. Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Membaca Dan Mengerti HIR,
(Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2008), hal. 56.
9. Marjo, Tinjauan Terhadap Mediasi di Pengadilan Dalam Penyelesaian Perkara
Perdata Di Pengadilan Negeri, Semarang: Masalah-Masalah Hukum Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Jilid 36 No. 4 Desember 2007, hal. 275.
https://pnkaranganyar.go.id/main/index.php/tentangpengadilan/kepaniteraan/
kepaniteraan-perdata/813-tata-urutan-persidangan-perkara perdata
https://pt-palembang.go.id/index.php/berita/berita-pengadilan/berita-terkini/67-
others/170-prosedur-perkara-perdata
36
37