Anda di halaman 1dari 17

Dasar-dasar Hukum Acara Peradilan Agama

“Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia”

Dosen Pengampu:
Setiawan M.Sy

Disusun oleh:
Silvi Putri Yustisia NIM. 931200520
Nunik Wahyuni NIM. 931200620

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KELAS D)


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah Swt. Tuhan YME
yang telah melimpahkan rahmat, nikmat dan hidayah-Nya kepada kita semua,
sehingga kita tetap dalam keadaan baik dan dapat menyelesikan tugas makalah
yang berjudul “Dasar-dasar Hukum Acara Peradilan Agama”.
Shalawat serta salam kita limpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad Saw. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman
yang terang benderang.
Serta kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Setiawan M.Sy sebagai
dosen pengampu mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia yang telah memberi
bimbingan.
Kami sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan oleh karena itu kami meminta kritik dan saran agar
dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Demikian makalah ini kami buat ada apabila ada kurang lebihnya mohon
maaf dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kediri, 24 Mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Sampul .............................................................................................................
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
Bab I : Pendahuluan ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................... 2
Bab II : Pembahasan .................................................................................... 3
A. Definisi Hukum Acara Peradilan Agama ................................. 3
B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ................................. 3
C. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama .............................. 4
D. Proses Beracara di Peradilan Agama ....................................... 8
Bab III : Penutup........................................................................................... 12
A. Kesimpulan .............................................................................. 12
B. Saran ......................................................................................... 12
Daftar Pustaka .................................................................................................. 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu bentuk peradilan yang ada di Indonesia dan merupakan
peradilan khusus adalah Peradilan Agama. Dikatakan sebagai peradilan
khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu dan juga
golongan tertentu yaitu orang yang beragama Islam, perkara-perkara yang
diadili adalah perkara perdata dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, shodaqoh berdasarkan hukum Islam dan kekuasaan tersebut
meliputi unsur perdata Islam.
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 diatur tentang Kekuasaan Peradilan Agama. Undang-Undang No.
50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, tujuan penyelenggaraan Peradilan Agama di
Indonesia bermuara pada upaya konkrit negara dalam menegakkan hukum dan
keadilan. Penyelengaraan Peradilan Agama ini memiliki tujuan yaitu
memberikan kepastian hukum, ketenangan, ketertiban bagi para pencari
keadilan terutama dikalangan orang beragama Islam.1
Produk Peradilan Agama adalah putusan yang timbul karena adanya
dua atau lebih pihak yang berselisih dalam perkara yaitu penggugat dan
tergugat yang disebabkan oleh adanya sengketa.2 Putusan tersebut berisi
perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan atau
melepaskan sesuatu datu menghukum sesuatu.3 Putusan yang diberikan wajib
mengadili seluruh bagian tuntutan artinya hakim tidak diperbolehkan untuk
memberikan keputusan yang meluluskan tuntutan pertama, sedangkan
tuntutan kedua dan ketiga tidak disinggung karena persoalan ynag rumit
umpamanya.
Dengan demikian peradilan agama ada untuk membantuk para
masyarakat menyelesaikan perkara mereka dengan memberikan kepastian
hukum, keadilan, dan ketertiban bagi pencari keadilan hukum.

1
Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukkan Hukum, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015), h. 84
2
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013),
h.193
3
Ibid.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana tersebut di atas, rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari hukum acara peradilan agama?
2. Apa sumber hukum acara peradilan agama?
3. Apa asas-asas hukum acara peradilan agama?
4. Bagaimana proses beracara di peradilan agama?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum acara peradilan agama.
2. Untuk mengetahui sumber hukum acara peradilan agama.
3. Untuk mengetahui asas-asas hukum acara peradilan agama.
4. Untuk mengetahui bagaimana proses beracara di peradilan agama.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum Acara Peradilan Agama


Definisi hukum acara pengadilan agama dikemukakan oleh Mukti
Arto, hukum acara pengadilan agama ialah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara menaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim
atau cara bertindak di muka pengadilan agama dan bagaimana cara hakim
bertindak agar hukum berjalan dengan semestinya.4
Dalam menerapkan hukum acara dibutuhkan penguasaan hukum
perdata formil dan materiil serta dibutuhkan pemahaman asas-asas dari
Hukum Acara Peradilan Agama yakni “Peradilan Agama adalah Peradilan
Negara (Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Pasal 1 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), dan Asas
Manusiawi, pemeriksaan dilakukan secara manusiawi.
Sesuai dengan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU No. 3 Tahun 2006
dinyatakan bahwa “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum acara Peradilan Agama
adalah peraturan hukum yang mengatur cara menaatinya hukum perdata
materiil dengan perantara hakim atau cara bertindak di depan pengadilan
agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan
sebagaimana mestinya. Karena itu hakim harus menguasai hukum acara
(hukum formal) disamping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil
secara benar-benar tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.
B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum formil dan hukum materiil dijadikan sumber dasar hakim
dalam memutuskan perkara. Sumber hukum formil merupakan sumber hukum
yamg telah ditetapkan oleh negara.5 Menurut Bagir Manan “sumber hukum

4
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
Cet IX September 2017), h. 7
5
Domiri, Analisis tentang Sistem Peradilan Agama di Indonesia, Jurnal Hukum &
Pembangunan, Vol. 47 No 3, 2016, 334

3
materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau
kaidah hukum yang mengikat setiap orang”.6
Menurut Mukti Arto sumber hukum acara peradilan agama adalah:7
a. HIR (Herzien Inlandsch Reglement) atau RBg (Rechtreglement voor de
Buitengewesten)
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan
Ulangan.
g. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
h. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
i. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia.
j. Peraturan Menteri Agama.
k. Keputusan Menteri Agama
l. Kitab-Kitab Fiqh Islam dan Sumber Hukum Tidak Tertulis Lainnya.
m. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Sesuai ketentuan Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-
Ketentuan Kekuasaan Kehakiman “hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat”.8 Begitu juga dengan hakim di Pengadilan Agana,
dalam mengisi kekosongan hukum putusan harus tetap bersumber dari syariat
Islam, tujuannya supaya putusan yang dihasilakn mendekati keadilan dan
kebenaran yang diinginkan oleh para pihak.9
C. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
Dalam menerapkan hukum acara dengan baik dan semestinya maka
terdapat asas-asas yang harus ditaati. Asas-asas hukum acara peradilan agama
antara lain:10

6
Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung:Alumni,
1997), h. 61
7
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
Cet IX September 2017), h. 12
8
Lihat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
Cet IX September 2017), h. 13
10
Suryadi, Hukum Acara Peradilan Agama, Makalah dalam Pelatihan Calon Advokat di Peradilan
Agama, Departemen Kehakiman, 4-10 Oktober 1999, h. 1

4
1. Asas Personalitas KeIslaman.
Asas Personalitas KeIslaman merupakan asas pertama yang tunduk
dan dapat ditundukan pada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama,
khususnya bagi mereka yang beragama Islam. Bagi kaum non Islam
mereka dibebaskan dan tidak tunduk kepada kekuasaan lingkungan
Peradilan Agama. Asas Personalitas ke Islaman diatur dalam pasal
2, penjelasan umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1. Dari
penggarisan yang dirumuskan dalam ketiga ketentuan tersebut, dapat
dilihat asas personalitas ke Islaman sekaligus dikaitkan berbarengan
dengan perkara perdata “bidang tertentu” sepanjang mengenai sengketa
perkara yang menjadi yurisdiksi lingkungan peradilan agama. Kalau
begitu ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan
Agama, bukan ketundukan yang bersifat umum meliputi semua bidang
hukum perdata.
Ketentuan dalam pasal 2 dan penjelasan umum angka 2 alinea ke
tiga serta pasal 49 ayat 1 diuraikan, dalam asas personalitas ke Islaman
yang melekat membarengi asas dimaksud:
 Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam,
 Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan shadaqah, dan
 Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam.
2. Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar kekuasaan
kehakiman.
Kebebasan dalam menjalankan wewenang yudisial menurut UU
No. 4 Tahun 2004 perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 sifatnya tidak
mutlak, karena pada dasarnya hakim bertugas untuk menegakkan hukum
dan keadilan berlandaskan Pancasila dengan menafsirkan hukum dan
mencari dasar hukum serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui
perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya
mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
3. Hakim bersifat menunggu.
Asas daripada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara
perdata, ialah bahwa pelaksanaannya yaitu bersifat inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan. Apabila sudah datang perkara kepadanya, maka hakim

5
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya sekalipun dengan
dalil bahwa hukum tidak ada atau hukum belum jelas.
Larangan bahwa seorang hakim tidak boleh menolaknya karena
hakim dianggap tahu akan hukumnya (Ius Curia Novit). Dan kalau
sekiranya seorang hakim tidak menemukan hukum secara tertulis ia wajib
menggali, memahami dan menghayati hukum yang sudah hidup dalam
masyarakat.11
4. Hakim bersifat pasif.
Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan. Hakim harus aktif dalam memimpin jalannya
pesidangan, membantu kedua pihak dalam menemukan kebenaran, tetapi
dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersifat tut wuri. Sesuai
dengan pasal 130 HIR, 154 R.Bg. Apakah yang bersangkutan akan
mengajukan banding ataupun tidak itupun bukan kepentingan daripada
hakim . Jadi pengertian pasif disinilah adalah hakim tidak memperluas
pokok sengketa. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim sama
sekali tidak aktif. Hakim berhak untuk memberi nasehat kepada kedua
belah pihak serta menunjukan upaya hukum dan memberi keterangan
kepada mereka. Karenanya dikatakan bahwa sitem HIR adalah
aktif, berbeda dengan sistim Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip
“hakim pasif”.
5. Sifatnya terbukanya persidangan.
Sidang pemeriksaan dipengadilan pada asasnya adalah terbuka
untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan persidangan. UU No. 4 tahun 2004.12 Di
dalam praktek meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka
untuk umum, tetapi kalau didalam berita acara dicatat bahwa persidangan
dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang dijatuhkan tetap sah.
6. Mendengar kedua belah pihak.
Didalam hukum acara perdata kedua belah pihak harus
diperlakukan sama, hakim tidak boleh memihak dan harus mendengar
kedua belah pihak. Dalam UU No. 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa
didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama

11
M Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2004), h. 6
12
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1989), h. 57

6
diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-
masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya, bahwa
kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et
elteran partem”. Hal itu berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan
dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak sesuai dengan pasal
132a, 121 ayat 2 HIR, pasal 145 ayat 2, 157 Rbg, 47 Rv.13
7. Putusan harus disertai alasan-alasan.
Semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan putusan
yang dijadikan dasar untuk megadili. Hal ini sesuai dengan pasal 25 UU
No. 4 tahun 2004, 184 ayat 1, 319 HIR, 618 Rbg. Alasan-alasan atau
argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim terhadap
masyarakat, sehingga mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-
alasan itu putusan mempunyai wibawa bukan karena hakim tertentu yang
menjatuhkannya. Pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat
dilihat dari beberapa putusan MA, yang menetapkan bahwa putusan yang
tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk
kasasi dan harus dibatalkan.
8. Beracara dikenakan biaya.
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 4 ayat 4,2,5
ayat 4 UU No. 4 tahun 2004, pasal 21 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4,
192-94 Rbg.)14 Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya
untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materei. Disamping
itu apabila diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula
dikeluarkan biaya. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya
perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara,
dengan mengajuka surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala
polisi.
9. Tidak harus mewakili.
HIR tidak mewajibkan para pihak mewakili kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan persidangan terjadi secara langsung terhadap para
pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu
atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian
hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya,
meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang
untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.

13
M Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2004), h. 12
14
Ibid, h. 7

7
Berperkara dipengadilan secara langsung tanpa perantara seorang
kuasa akan jauh lebih ringan biayanya daripada kalau menggunakan
seorang kuasa. Karena masih harus mengeluarkan hononarium untuknya.
Sebaliknya adanya seorang wakil mempunyai manfaat juga bagi orang
yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus berperkara
biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang pembantu atau wakil
sangat bermanfaat.
10. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah
dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-
formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara dimuka
pengadilan makin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami
atau peraturan-peraturan tidak jelas sehingga menimbulkan timbulnya
berbagai penafsiran.
D. Proses Beracara di Peradilan Agama
Pada dasarnya, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan agama
adalah hukum yang berlaku juga di pengadilan umum atau pengadilan negeri.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Tetapi jika terdapat peraturan khusus, maka aturan umum
dikesampingkan.15 Dikutip dari tulisan yang ditulis oleh Erfaniah Zuhriah
yang merujuk pada Bagir Manan menyebutkan terdapat 3 jenis acara
persidangan yang berlaku di pengadilan agama, yaitu acara biasa,
contradictoir, dan verstek.16 Berikut adalah prosedur beracara di Pengadilan
Agama: 17
1. Pemohon / Penggugat datang menghadap ke Pengadilan Agama dengan
membawa surat gugatan atau permohonan.
2. Pemohon / Penggugat menghadap petugas Meja I dan menyerahkan surat
gugatan atau permohonan, 5 (lima) rangkap.
3. Petugas Meja I (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu
berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya
perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal
182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor: 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

15
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Perkasa, 2012), h. 1
16
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h. 253
17
https://web.pa-sumber.go.id/prosedur-beracara/ (diakses pada tanggal 27 Mei 2021).

8
4. Petugas Meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan
kepada Pemohon / Penggugat disertai dengan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) rangkap 3 (tiga).
5. Pemohon / Penggugat menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat
gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).
6. Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),
membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan dalam surat gugatan atau
permohonan.
7. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
kepada Pemohon / Penggugat sebagai dasar penyetoran panjar biaya
perkara ke bank.
8. Pemohon / Penggugat datang ke loket layanan bank dan mengisi slip
penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut
sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut,
dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian Pemohon / Penggugat
menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar
yang tertera dalam slip bank tersebut kepada teller Bank.
9. Setelah Pemohon / Penggugat menerima slip bank yang telah divalidasi
dari petugas layanan bank, Pemohon / Penggugat menunjukkan slip bank
tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada
pemegang kas.
10. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali
kepada Pemohon / Penggugat. Pemegang kas kemudian memberi tanda
lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan
kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang
bersangkutan.
11. Pemohon / Penggugat menyerahkan kepada petugas Meja II surat gugatan
atau permohonan serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).
12. Petugas Meja II mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam
register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan
atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang
diberikan oleh pemegang kas.
13. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan
atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak
berperkara.

9
14. Pendaftaran selesai, Pihak/pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh
jurusita/jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah
ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan
perkaranya (PHS).
 Verzet
Verzet adalah Perlawanan Tergugat atas Putusan yang
dijatuhkan secara Verstek.
a. Tenggang Waktu untuk mengajukan Verzet / Perlawanan :
 Dalam waktu 14 hari setelah putusan diberitahukan (pasal
129 (2) HIR
 Sampai hari ke 8 setelah teguran seperti dimaksud Pasal
196 HIR ; apabila yang ditegur itu datang menghadap
 Kalau tidak datang waktu ditegur sampai hari ke 8 setelah
eksekutarial (pasal 129 HIR). (Retno Wulan SH. hal 26).
b. Perlawanan terhadap Verstek, bukan perkara baru
Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah
dengan gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan
gugatan atau perkara baru, tetapi tiada lain merupakan bantahan
yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan
putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Putusan
MA No. 494K/Pdt/1983 mengatakan dalam proses verzet atas
verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan
sebagai Penggugat(Yahya Harahap,Hukum acara Perdata, hal 407).
c. Pemeriksaan Perlawanan (Verzet)
1. Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula.
Dalam Putusan MA No. 938K/Pdt/1986, terdapat
pertimbangan sebagai berikut:
Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan
kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan
/ penggugat asal.
Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan
ketidakhadiran pelawan/tergugat asal menghadiri
persidangan, tidak relevan, karena forum untuk
memperdebatkan masalah itu sudah dilampaui.
Putusan verzet yang hanya mempertimbangkan
masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat memenuhi
panggilan sidang adalah keliru. Sekiranya pelawan hanya
mengajukan alasan verzet tentang masalah keabsahan atas
ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan, PN yang
memeriksa verzet harus memeriksa kembali gugatan

10
semula, karena dengan adanya verzet, putusan verstek
mentah kembali, dan perkara harus diperiksa sejak semula.

2. Surat Perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil


gugatan.
Berdasarkan Pasal 129 ayat (3) HIR, perlawanan
diajukan dan diperiksa dengan acara biasa yang berlaku
untuk acara perdata. Dengan begitu, kedudukan pelawan
sama dengan tergugat. Berarti surat perlawanan yang
diajukan dan disampaikan kepada PN, pada hakikatnya
sama dengan surat jawaban yang digariskan Pasal 121 ayat
(2) HIR. Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam
proses verzet dianggap sebagai jawaban pada sidang
pertama. (Yahya Harahap,Hukum acara Perdata, hal 409 –
410).

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur
cara menaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim atau cara
bertindak di depan pengadilan agama dan bagaimana cara hakim bertindak
agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu hakim harus
menguasai hukum acara (hukum formal) disamping hukum materiil.
Menerapkan hukum materiil secara benar-benar tentu menghasilkan
putusan yang adil dan benar.
2. Sumber hukum acara peradilan agama, meliputi: HIR (Herzien Inlandsch
Reglement) atau RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten),Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, Kompilasi
Hukum Islam (KHI), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Menteri
Agama, Keputusan Menteri Agama, Kitab-Kitab Fiqh Islam dan Sumber
Hukum Tidak Tertulis Lainnya,Yurisprudensi Mahkamah Agung.
3. Asas-asas hukum acara peradilan agama yaitu: Asas Personalitas
KeIslaman, Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar
kekuasaan kehakiman, Hakim bersifat menunggu, Hakim bersifat pasif,
Sifatnya terbukanya persidangan, Mendengar kedua belah pihak, Putusan
harus disertai alasan-alasan, Beracara dikenakan biaya, Tidak harus
mewakili, Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
4. Ketentuan proses beracara di Peradilan Agama diatur dalam Pasal 54 UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dikutip dari tulisan yang
ditulis oleh Erfaniah Zuhriah yang merujuk pada Bagir Manan
menyebutkan terdapat 3 jenis acara persidangan yang berlaku di
pengadilan agama, yaitu acara biasa, contradictoir, dan verstek.
B. Saran
Makalah ini merupakan bentuk dari hasil kerja kerja keras kami
dalam memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Kami
menyadari masih terdapat banyak kesalahan baik dari redaksi maupun

12
penyusunan makalah secara secara tertulis kami mohon maaf atas
kekurangannya, kami ucapkan Terima kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA
Rosadi, Aden, Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukkan Hukum,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015)
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013)
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cet IX September 2017)
Domiri, Analisis tentang Sistem Peradilan Agama di Indonesia, Jurnal Hukum &
Pembangunan, Vol. 47, No 3, 2016
Manan, Bagir, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
(Bandung:Alumni, 1997)
Makaro, M Taufik, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta, PT. Rineka
Cipta, 2004)
Harahap, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1989)
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2012)
Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014)
https://web.pa-sumber.go.id/prosedur-beracara/ (diakses pada tanggal 27 Mei
2021).

14

Anda mungkin juga menyukai