Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM ISLAM

UNDANG – UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN


AGAMA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam

Dosen Pengampu :

Prof. KH. Dr. Kasuwi Saiban M.Ag

Khotbatul Laila

Disusun oleh :

Sandri Dismas Agung (1601000080)

Aji Kristian Wijaksono (19010000116)

Yuli Kartika Wati (19010000117)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan malakah yang berjudul : “Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Prof.KH.Dr.Kasuwi Saiban, M.Ag dan Bu
Khotbatul Laila, S.H.,M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Islam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama”.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Prof.KH.Dr.Kasuwi Saiban, M.Ag dan Bu Khotbatul Laila, S.H.,M.H selaku dosen pengampu
mata kuliah Hukum Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata kuliah yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 23 April 2020

2
Daftar Isi

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... 2
Daftar Isi ........................................................................................................................................................ 3
BAB I .............................................................................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................................................. 5
2.1 Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Peradilan Agama ....................................................................... 5
2.2 Proses Perancangan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ............................................. 6
2.3 Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ............................................................... 7
BAB III ................................................................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 11
3.2 Saran ........................................................................................................................................... 11

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni


peratama, masa sebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada waktu itu
pemerintahan berbentuk kerajaan. Kedua, masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga, masa
penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca kemerdekaan
setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974. Di Negara yang baru merdeka terdapat gejala
umum, yaitu munculnya kehendak untuk menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah.
Hukum yang diwariskan kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam
kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan hukum penggantinya
itu dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat dalam
negara itu.
Berbicara tentang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah
penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah dilakukan oleh
masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara. Hukum Islam memiliki
kedudukan sendiri dalam massyarakat disamping kebiasaan adat penduduk yang tambah
berkembang dalam masyarakat. Lain dari pada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama
mulai dari masa sebelum colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi
pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan
keputusan. Sebagai salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh penguasa Negara
melalui interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan itu merupakan suatu perubahan
yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan, yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Aktualisasi perkembangan itu di uji dalam cakupan yang lebih luas yaitu
dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan sesuai kedudukannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Peradilan Agama dalam UU No.7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama?
2. Bagaimana Proses Perancangan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama?
3. Bagaimana Lahirnya UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Peradilan Agama dalam UU No.7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
2. Untuk Mengetahui Proses Perancangan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
3. Untuk Mengetahui Lahirnya UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Peradilan Agama


Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu
antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Kedudukan Pengadilan Tinggi Agama diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yaitu :

a) Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu (Pasal 2)
b) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 3 Ayat 1)
c) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi (Pasal 3 ayat 2).

Sedangkan tugas dan wewenang Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 beserta perubahannya yaitu:

1) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-


orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah
i. Ekonomi syari'ah

2) Mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat


banding (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
3) Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-
Pengadilan Agama di daerah hukumnya (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama)
4) Memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada
instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta (Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
5) Memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hijriyah (Pasal 52A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

5
6) Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim. (Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009).
7) Ketua Pengadilan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan perilaku
panitera, sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya (Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009).
8) Ketua Pengadilan Tinggi Agama melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan
di tingkat pengadilan agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya (Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009).

2.2 Proses Perancangan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama


Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah
dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang
tentang. Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah membentuk Tim Inti
Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama serta
RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan
Pembinaan HukumNasional Departemen Kehakiman, beranggotakan unsur-unsur dari
Mahkamah Agung (Imam Anis Busthanul Arifin), Departemen Kehakiman (Santoso
Poedjosoebarto), BPHN (Nur Aini Barda’i, dan Wahiduddin Adam), Departemen Agama
(Muchtar Zarkasyi). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Ny. Habibah
Daud), Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (A. Wasit Aulawi dan Asro Sosroatmodjo).
Tim yang diketuai oleh Hakim Agung, kemudian diganti oleh Ketua Muda Mahkamah Agung
Urusan Lingkungan Peradilan Agama ini, berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan Maret
1984 denga menyusun dua Rancangan Undang-Undang yaitu Rancangan Undang-Undang
tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama (yang terdri dari 204 pasal), dan rancangan
Undang-Undang tentang susunan dan kekuasaan Bada-badan Peradilan Agama (58 pasal).
Jumlah pasal dalam kedua Rancangan Undang-Undang tersebut telah disatukan dan diringkaskan
oleh tim lain menjadi Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang memuat hanya 108
pasal saja, rancangan yang tersebut terakhir inilah yang diproses di dalam Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
Ada perbedaan fundamental antara Rancangan Undang-Udang yang dibuat oleh Tim
Inti tersebut denga Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang sekarang ini, terutama
mengenai kekuasaan atau wewenang Pengadilan Agama. Masalah wewenang Pengadilan Agama
ini adalah masalah inti dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu, karena ia
merupakan jantung Pengadilan Agama perlu dicatat bahwa setelah RUU ini menjadi undang-
undang kelak banyak hal yang akan dicapai dalam sistem hukum dan sistem peradilan nasional
Indonesia. Diantaranya seperti :
(1) Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama yang disebut dalam pasal 10
ayat (1) dan Pasal 12, dalam rangka melaksanakan Pasal 24 Undang- Undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen.

6
(2) Terjadi pembaruan dan pembangunan hukum dalam makna peningkatan dan
penyempurnaan perangkat hukum nasional dibidang peradilan agama sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional.
(3) Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dala lingkungan Peradilan Agama, Pengadilan
Agama akan mampu secara mandiri melaksanakan keputusan- keputusannya karena
selain dari telah mempunyai hukum acara sendiri juga telah mempunyai kelengkapan juru
sita sebagai pelaksana putusan-putusannya.
(4) Kedudukannya benar-benar (akan) sama dan sederajatnya dengan pengadilan-
pengadilan dalam lingungan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara;
(5) Mempunyai wewenang yang sama di seluruh Indonesia.
(6) Terjadi unifikasi hukum acara Peradilan Agama, yang memungkinkan terwujudnya
ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
(7) lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui
yurisprudensi yang akan dijadikan salah satu bahan baku dalam penyusunan dan
pembangunan hukum nasional.

2.3 Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama


Undang-undang No. 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember
1989. Kemudian ditempatkan dalam Lembaran Negara RI No.49 tahun 1989 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3400. Isi UU No. 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal.
Ketujuh Bab itu adalah Ketentuan umum, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan, Hukum
Acara, Ketentuan- ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Ketika itu
gancarnya tantangan dan hambatan yang datang baik dari perorangan maupun dari kelompok
yang tidak menginginkan terwujudnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu menjadi
undang-undang dengan berbagai alasan bahkan tuduhan yang tidak berdasar, sejak dari
Keterangan Pemerintah mengenai RUU-PA itu disampaikan oleh Menteri Agama Rapat
Paripurna DPR tanggal 28 Januari 1989 sampai dengan akhir bulan Agustus 1989, kehadiran
Undang-Undang Peradilan Agama ini patutlah disyukuri. Selain disyukuri, agaknya lahirnya
undang-undang dimaksud dapat pula dipandang sebagai amal jariah bersama penyelenggara
negara dan warga negara yang telah berupaya memenuhi kebutuhan dasar umat Islam dengan
menyediakan sarana atau fasilitas yang diperlukan umat Islam Indonesia untuk beribadah
mematuhi ajaran agamanya dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum islam yang
disebutkan dalam Undang-Undang Peradilan Agama.
Hukum Islam adalah bagian Agama Islam, dirumuskan dengan tepat oleh orientasi
terkemuka Christian Snouck Hurgronje “Islam is a religion of law in the full meaning of the
word”. Artinya, lebih kurang, Islam adalah agam hukum dalam arti yang sebenarnya. Ini berarti
bahwa agama Islam mengadung norma-norma 1 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia baik
hukum maupun kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Tuhan Yang
Maha Esa yang sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi,
maupun kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam
kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk dapat
melasanakan dengan sempurna, bermakna pula bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak dapat
pisahkan. Dan kalau kenyataan ini dihubungkan dengan kata-kata “Negara menjamin
kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanyitu” seperti
yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, ini berarti pula bahwa negara menjamin,

7
dalam makna memberi kesempatan kepada pemeluk agama Islam menaati hukum Islam yang
menjadi bagian mutlak ajaran agamanya.
Hukum Islam diatas yang dimaksud adalah hukum perdata Islam yang disebutkan
dalam Undang- Undang Peradilan Agama itu, terbatas hanya pada hukum perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah menjadi bagian hukum positif di Tanah
Air kita. Bahkan kemudian wewenang sebagai Peradilan Agama, seperti “Aceh” berkembang
pada wewenang pidana. Susunan kekusasaan Undang-undang Peradilan Agama yang disahkan
dan diundangkan itu terdiri dari 7 bab 108 pasal dengan sistematik sebagai berikut :
1) Bab 1 memuat ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan
pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Mengenai pengertian
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-
orang yang beragama Islam, terdiri dari (1) Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat
pertama dan (2) Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan tinggi banding.
Tentang kedudukannya disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu (yang disebut dalam undang-undang itu). Pengadilan Agama
berkedudukan di kota madya atau di ibu kota kabupaten, sedang Pengadilan Tinggi
Agama berkedudukan di ibukota provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah
Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Pembinaan teknis peradilannya, karena itu,
dilakukan oleh Mahkamah Agung di bawah pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung
Bidang Lingkungan Peradilan Agama. Pembinaan organisasi adminitrasi, dan
keuangannya, seperti halnya dengan badan-badan peradilan lain, dilakukan oleh
Departemen Teknis, yaitu Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama.

2) Bab 2 mengatur tentang susunan pengadilan agama dan pengadilan, yakni seorang wakil
ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. Susunan pengadilan tinggi
agama terdiri dari pimpinan, yaitu seorang ketua dan seorang wakil ktua, hakim tinggi
(agama) sebagai hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Bagian kedua mengatur tentang
syarta dan tata cara pengangkatan, pemberhentain ketua, wakil ketua, hakim, panitera,
dan juru sita peradilan agama. Untuk dapat diangkat kedalamlain dari syara jabatan yang
ada dalam susunan pengadilan dalam lingkungan perdailan agama, seseorang harus
memenuhi syarat. Selain dari syarat-syarat umum yang berlaku bagi pengangkatan
pegawai negeri dan pegawai di badan-badan peradilan lain, untuk para pejabat di
lingkungan peradilan agama dan syarat khusus yakni harus beragama Islam. Bagian
ketiga mengatur tentang sekretaris yang memimpin sekretariat pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, panitera pengadilan merangkap sebagai sekretaris
pengadilan. Dalam melaksanakan kesekretariatan ia dibantu oleh wakil sekretaris untuk
dapat diangkat menjadi wakil sekretaris baik di pengadilan agama maupun di pengadilan
tinggi agama.

3) Bab 3 mengatur kekuasaaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Dalam pasal
49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b) warisan wasiat, dan hibah yang dilakukan

8
berdasarkan hukum Islam, (c) wakaf dan sedekah. Dalam penjelasan Undang-undang
Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat 1 diatas dinyatakan cukup jelas mengenai bidang
perkawinan, pasal 49 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan. Pasal 49 ayat (2) ini
dalam penjelasan diperinci lebih lanjut kedalam 202 butir 10 tentang penyelesaian harta
bersama baik karena perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan diluar sengketa. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) soal harta
bersama ini dirumuskan dengan jelas bersama dengan permohonan atau gugatan soal
penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah istri. Ini merupakan penting dan mendasar
kalau dibandingkan dengan keadaan selama ini dimana soal harta bersama itu baru dapat
dimajukan kemudian dan diselesaikan tidak oleh pengadilan agama tetapi oleh
pengadilan negeri.

4) Bab 4 mengatur tentang Hukum Acara, bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat
umum. Diantaranya disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini. Yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama,
disebutkan dalam bagian kedua yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan
dengan (a) cerai talak yang datang dari pihak suami, (b) cerai gugat yang datang baik dari
pihak istri maupun dari pihak suami; dan (c) dengan alasan zina. Kalau diperhatikan
proses pemeriksaan sengketa perkawinan di Pengadilan Agama jelas bahwa undang-
undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan kedudukan wanita dengan
memberikan hak yang sama kepada istri dalam megajukan gugatan serta melakukan
pembelaan di muka pengadilan. Untuk melindungi pihak istri, misalnya gugatan
perceraian yang diajukan pada suaminya (tergugat) tidak harus ditujukan ke pengadilan
di daerah hukum kediaman tergugat seperti yang telah menjadi prinsip dalam hukum
acara perdata umum, tetapi dalam hukum acara perdata peradilan agama ini gugatan itu
ditujukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri
(penggugat) bersangkutan. Sementara itu perlu dicatat pula bahwa di bagian

5) Bab 5 menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian


tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing- masing. Dalam bab ini
disebut dengan jelas tugas juru sita untuk (a) melaksanakan semua perintah yang
diberikan oleh ketua sidang; (b) menyampaikan pengumuman- pengumuman, teguran-
teguran dan pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara
berdasarkan ketentuan undang-undang; (c) melakukan penyitaan atas perintah ketua
pengadilan; (d) membuat berita penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. Juru sita Pengdilan Agama berwenang melakukan
tugasnya di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan. Juru sita, tidak ada dalam

9
urusan peradilan agama ini, sehingga dalam melaksanakan putusannya yang tidak mau
dilaksanakan oleh para pihak, terutama oleh mereka yang kalah, pengadilan agama selalu
bergantung pada pengadilan negeri. Dengan kata lain, karena tidak ada juru sita dalam
tubuhnya sendiri, putusan pengadilan agama tidak dapat dilaksanakannya sendiri, tetapi
harus “minta persetujuan untuk dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri. Persetujuan
ini, dalam kepustakaan hukum Indonesia, disebut dengan fiat eksekusi. Karena ketiadaan
juru sita itu pula, maka setiap putusan pengadilan agama di bidang perkawinan selama ini
perlu dikukuhkan oleh pengadilan umum atau pengadilan negeri. Dengan Undang-
undang Peradilan Agama ini, ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan
negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan Madura, diakhiri melalui
undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan ketergantungan peradilan agama
kepada peradilan umum, telah terhapuskan. Kini, peradilan agama tidak lagi seakan-akan
“peradilan semu”, tetapi telah benar-benar menjadi peradilan mandiri.

6) Bab 6 mengenai ketentuan peralihan. Dalam bab ini disebutkan antara lain bahwa (1)
semua badan peradilan agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan peradilan agama
menurut undang-undang ini. Di seluruh Indonesia, peradilan agama itu berjumlah 321
buah, terdiri dari 303 pengadilan agama dan 18 pengadilan tinggi agama. ketentuan
peradilan ini menyatakan pula bahwa (2) semua peraturan pelaksanaan yang telah ada
mengenai peradilan agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan undang-undang ini dan selama ketentuan baru berdasarkan undang-
undang ini belum dikeluarkan.

7) Bab 7 tentang ketentuan penutup. Dalam bab terakhir ini ditegaskan bahwa pada saat
mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan agama, semua peraturan tentang peradilan
agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur,
dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian, terciptalah pula kesatuan hukum yang mengatur peradilan agama diseluruh
Indonesia, sebagai penerapan wawasan Nusantara. Di samping itu, dinyatakan juga
bahwa aturan mengenai pengukuhan yang disebut dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-
Undang Perkawinan, tidak berlaku lagi. Disebutkan pula dalam ketentuan penutup bahwa
pembagian harta peninggalan diluar sengketa antar orang-orang beragama Islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan (juga) oleh pengadilan agama dengan
disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama dan perubahan penting srerta mendasar
terjadi dalam lingkungan peradilan agama.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman
untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Peradilan Agama mulai dari masa sebelum
colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, terjadi
pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan
keputusan. Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah
dimulai sejak tahun 1971. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal
29 Desember 1989.
Isi UU No. 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab itu adalah
Bab 1 yang memuat ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan
pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, Bab 2 mengatur tentang susunan
pengadilan agama dan pengadilan, yakni seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera,
sekretaris, dan juru sita, Bab 3 mengatur kekuasaaan pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama, Bab 4 mengatur tentang Hukum Acara, Bab 5 menyebut ketentuan-ketentuan lain
mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan
tugasnya masing- masing, Bab 6 mengenai ketentuan peralihan, dan Bab 7 tentang ketentuan
penutup.

3.2 Saran
Saran kami untuk Peradilan Agama di Indonesia semoga lebih baik lagi dan bijaksana
dalam menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku serta
semakin menjunjung tinggi dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat di
Indonesia yang sedang mengalami suatu perkara.

11

Anda mungkin juga menyukai