Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam
Dosen Pengampu :
Khotbatul Laila
Disusun oleh :
FAKULTAS HUKUM
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan malakah yang berjudul : “Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Prof.KH.Dr.Kasuwi Saiban, M.Ag dan Bu
Khotbatul Laila, S.H.,M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Islam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama”.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Prof.KH.Dr.Kasuwi Saiban, M.Ag dan Bu Khotbatul Laila, S.H.,M.H selaku dosen pengampu
mata kuliah Hukum Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata kuliah yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
2
Daftar Isi
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... 2
Daftar Isi ........................................................................................................................................................ 3
BAB I .............................................................................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................................................. 5
2.1 Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Peradilan Agama ....................................................................... 5
2.2 Proses Perancangan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ............................................. 6
2.3 Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ............................................................... 7
BAB III ................................................................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 11
3.2 Saran ........................................................................................................................................... 11
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
a) Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu (Pasal 2)
b) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 3 Ayat 1)
c) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi (Pasal 3 ayat 2).
5
6) Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim. (Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009).
7) Ketua Pengadilan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan perilaku
panitera, sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya (Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009).
8) Ketua Pengadilan Tinggi Agama melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan
di tingkat pengadilan agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya (Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009).
6
(2) Terjadi pembaruan dan pembangunan hukum dalam makna peningkatan dan
penyempurnaan perangkat hukum nasional dibidang peradilan agama sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional.
(3) Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dala lingkungan Peradilan Agama, Pengadilan
Agama akan mampu secara mandiri melaksanakan keputusan- keputusannya karena
selain dari telah mempunyai hukum acara sendiri juga telah mempunyai kelengkapan juru
sita sebagai pelaksana putusan-putusannya.
(4) Kedudukannya benar-benar (akan) sama dan sederajatnya dengan pengadilan-
pengadilan dalam lingungan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara;
(5) Mempunyai wewenang yang sama di seluruh Indonesia.
(6) Terjadi unifikasi hukum acara Peradilan Agama, yang memungkinkan terwujudnya
ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
(7) lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui
yurisprudensi yang akan dijadikan salah satu bahan baku dalam penyusunan dan
pembangunan hukum nasional.
7
dalam makna memberi kesempatan kepada pemeluk agama Islam menaati hukum Islam yang
menjadi bagian mutlak ajaran agamanya.
Hukum Islam diatas yang dimaksud adalah hukum perdata Islam yang disebutkan
dalam Undang- Undang Peradilan Agama itu, terbatas hanya pada hukum perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah menjadi bagian hukum positif di Tanah
Air kita. Bahkan kemudian wewenang sebagai Peradilan Agama, seperti “Aceh” berkembang
pada wewenang pidana. Susunan kekusasaan Undang-undang Peradilan Agama yang disahkan
dan diundangkan itu terdiri dari 7 bab 108 pasal dengan sistematik sebagai berikut :
1) Bab 1 memuat ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan
pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Mengenai pengertian
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-
orang yang beragama Islam, terdiri dari (1) Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat
pertama dan (2) Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan tinggi banding.
Tentang kedudukannya disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu (yang disebut dalam undang-undang itu). Pengadilan Agama
berkedudukan di kota madya atau di ibu kota kabupaten, sedang Pengadilan Tinggi
Agama berkedudukan di ibukota provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah
Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Pembinaan teknis peradilannya, karena itu,
dilakukan oleh Mahkamah Agung di bawah pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung
Bidang Lingkungan Peradilan Agama. Pembinaan organisasi adminitrasi, dan
keuangannya, seperti halnya dengan badan-badan peradilan lain, dilakukan oleh
Departemen Teknis, yaitu Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama.
2) Bab 2 mengatur tentang susunan pengadilan agama dan pengadilan, yakni seorang wakil
ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. Susunan pengadilan tinggi
agama terdiri dari pimpinan, yaitu seorang ketua dan seorang wakil ktua, hakim tinggi
(agama) sebagai hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Bagian kedua mengatur tentang
syarta dan tata cara pengangkatan, pemberhentain ketua, wakil ketua, hakim, panitera,
dan juru sita peradilan agama. Untuk dapat diangkat kedalamlain dari syara jabatan yang
ada dalam susunan pengadilan dalam lingkungan perdailan agama, seseorang harus
memenuhi syarat. Selain dari syarat-syarat umum yang berlaku bagi pengangkatan
pegawai negeri dan pegawai di badan-badan peradilan lain, untuk para pejabat di
lingkungan peradilan agama dan syarat khusus yakni harus beragama Islam. Bagian
ketiga mengatur tentang sekretaris yang memimpin sekretariat pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, panitera pengadilan merangkap sebagai sekretaris
pengadilan. Dalam melaksanakan kesekretariatan ia dibantu oleh wakil sekretaris untuk
dapat diangkat menjadi wakil sekretaris baik di pengadilan agama maupun di pengadilan
tinggi agama.
3) Bab 3 mengatur kekuasaaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Dalam pasal
49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b) warisan wasiat, dan hibah yang dilakukan
8
berdasarkan hukum Islam, (c) wakaf dan sedekah. Dalam penjelasan Undang-undang
Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat 1 diatas dinyatakan cukup jelas mengenai bidang
perkawinan, pasal 49 ayat 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan. Pasal 49 ayat (2) ini
dalam penjelasan diperinci lebih lanjut kedalam 202 butir 10 tentang penyelesaian harta
bersama baik karena perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan diluar sengketa. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) soal harta
bersama ini dirumuskan dengan jelas bersama dengan permohonan atau gugatan soal
penguasaan anak, nafkah anak, dan nafkah istri. Ini merupakan penting dan mendasar
kalau dibandingkan dengan keadaan selama ini dimana soal harta bersama itu baru dapat
dimajukan kemudian dan diselesaikan tidak oleh pengadilan agama tetapi oleh
pengadilan negeri.
4) Bab 4 mengatur tentang Hukum Acara, bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat
umum. Diantaranya disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini. Yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama,
disebutkan dalam bagian kedua yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan
dengan (a) cerai talak yang datang dari pihak suami, (b) cerai gugat yang datang baik dari
pihak istri maupun dari pihak suami; dan (c) dengan alasan zina. Kalau diperhatikan
proses pemeriksaan sengketa perkawinan di Pengadilan Agama jelas bahwa undang-
undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan kedudukan wanita dengan
memberikan hak yang sama kepada istri dalam megajukan gugatan serta melakukan
pembelaan di muka pengadilan. Untuk melindungi pihak istri, misalnya gugatan
perceraian yang diajukan pada suaminya (tergugat) tidak harus ditujukan ke pengadilan
di daerah hukum kediaman tergugat seperti yang telah menjadi prinsip dalam hukum
acara perdata umum, tetapi dalam hukum acara perdata peradilan agama ini gugatan itu
ditujukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri
(penggugat) bersangkutan. Sementara itu perlu dicatat pula bahwa di bagian
9
urusan peradilan agama ini, sehingga dalam melaksanakan putusannya yang tidak mau
dilaksanakan oleh para pihak, terutama oleh mereka yang kalah, pengadilan agama selalu
bergantung pada pengadilan negeri. Dengan kata lain, karena tidak ada juru sita dalam
tubuhnya sendiri, putusan pengadilan agama tidak dapat dilaksanakannya sendiri, tetapi
harus “minta persetujuan untuk dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri. Persetujuan
ini, dalam kepustakaan hukum Indonesia, disebut dengan fiat eksekusi. Karena ketiadaan
juru sita itu pula, maka setiap putusan pengadilan agama di bidang perkawinan selama ini
perlu dikukuhkan oleh pengadilan umum atau pengadilan negeri. Dengan Undang-
undang Peradilan Agama ini, ketergantungan pengadilan agama kepada pengadilan
negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan Madura, diakhiri melalui
undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan ketergantungan peradilan agama
kepada peradilan umum, telah terhapuskan. Kini, peradilan agama tidak lagi seakan-akan
“peradilan semu”, tetapi telah benar-benar menjadi peradilan mandiri.
6) Bab 6 mengenai ketentuan peralihan. Dalam bab ini disebutkan antara lain bahwa (1)
semua badan peradilan agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan peradilan agama
menurut undang-undang ini. Di seluruh Indonesia, peradilan agama itu berjumlah 321
buah, terdiri dari 303 pengadilan agama dan 18 pengadilan tinggi agama. ketentuan
peradilan ini menyatakan pula bahwa (2) semua peraturan pelaksanaan yang telah ada
mengenai peradilan agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan undang-undang ini dan selama ketentuan baru berdasarkan undang-
undang ini belum dikeluarkan.
7) Bab 7 tentang ketentuan penutup. Dalam bab terakhir ini ditegaskan bahwa pada saat
mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan agama, semua peraturan tentang peradilan
agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur,
dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian, terciptalah pula kesatuan hukum yang mengatur peradilan agama diseluruh
Indonesia, sebagai penerapan wawasan Nusantara. Di samping itu, dinyatakan juga
bahwa aturan mengenai pengukuhan yang disebut dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-
Undang Perkawinan, tidak berlaku lagi. Disebutkan pula dalam ketentuan penutup bahwa
pembagian harta peninggalan diluar sengketa antar orang-orang beragama Islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan (juga) oleh pengadilan agama dengan
disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama dan perubahan penting srerta mendasar
terjadi dalam lingkungan peradilan agama.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman
untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Peradilan Agama mulai dari masa sebelum
colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, terjadi
pasang surut baik dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan
keputusan. Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama telah
dimulai sejak tahun 1971. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal
29 Desember 1989.
Isi UU No. 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108 pasal. Ketujuh Bab itu adalah
Bab 1 yang memuat ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan
pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, Bab 2 mengatur tentang susunan
pengadilan agama dan pengadilan, yakni seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera,
sekretaris, dan juru sita, Bab 3 mengatur kekuasaaan pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama, Bab 4 mengatur tentang Hukum Acara, Bab 5 menyebut ketentuan-ketentuan lain
mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan
tugasnya masing- masing, Bab 6 mengenai ketentuan peralihan, dan Bab 7 tentang ketentuan
penutup.
3.2 Saran
Saran kami untuk Peradilan Agama di Indonesia semoga lebih baik lagi dan bijaksana
dalam menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku serta
semakin menjunjung tinggi dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat di
Indonesia yang sedang mengalami suatu perkara.
11