Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

BERACARA DI PERADILAN AGAMA

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

DOSEN PENGAMPU: IMRON HADI, M.H.I

Disusun Oleh:

1. LUTFIAH (200204005)
2. AGISNI RIZKIA (200204006)
3. HUSNUL WARDI (200204007)

PRODI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ”Beracara di Peradilan Agama” ini dapat tersusun dengan
baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman gelap gulita menuju zaman yang terang benderang.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Hukum Acara
Peradilan Agama. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kita
mengenai Beracara di Peradilan Agama bagi para pembaca dan juga tentunya bagi penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada bapak Imron Hadi M.H.I selaku dosen mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Agama yang telah memberikan kami tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami. Yang juga telah membantu kami dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini. Sekian, terima kasih.

Kamis, 8 September 2022

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesiatahun 1945 dalam pasal 24 ayat
2bahwa peradilan agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung Bersama badan peradilan lainnyadilingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.
Peradilan Agama dibawah kekuasaan Mahkamah Agung merupakan sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 yang dirubah menjadi Undang-undang
Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006, yang kemudian dirubah kembali menjadi Undang-
undang Republik Indonesia No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama adanya
kekurangan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan
ketatanegaraan. Hal ini sesuai Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyebabkan Undang-undang peradilan Agama sekarang telah mengalami
beberapa kali perubahan.
Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama sebagai salah satu badan
peradilan untuk menjalankan fungsinya dalam menegakkan hukum dan keadilan atau
untuk melaksanakan tugas pokoknya dalam menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara, adalah hukum acara yang dalam kaitan ini adalah Hukum Acara
Peradilan Agama. Sejak berlakunya undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama, dinyatakan dalam pasal 54 bahwa hukum acara yang berlaku pada
peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang tersebut.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum acara perdata peradilan umum dan peradilan agama?
2. Bagaimana sumber hukum peradilan agama?

1
Roihan A. Rasyid, Penyelesaian Diberlakukannya Hukum Acara Perdata Peradilan Umum sebagai
Hukum Acara Peradilan Agama Khusus di Segi Pembuktian Zina, dalam Mimbar Hukum, No. 7 (Jakarta: al-
Hikmah, Ditban Baperta Islam, 2001), Hal. 35
3. Bagaimana kesulitan beracara di peradilan agama?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Peradilan Umum


Istilah Hukum Acara, sering juga disebut dengan istilah Hukum Proses atau
Hukum Formal. Proses berarti suatu rangkaian perbuatan, yaitu mulai dari memasukan
permohonan atau gugatan sampai selesai diputus dan dilaksanakan. Tujuan dari proses
ialah untuk melaksanakan penentuan bagaimana hukumnya suatu kasus dan bagaimana
hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu sebenarnya dan seharusnya, agar
segala apa yang ditetapkan oleh pengadilan dapat direalisir dengan secara paksa dan
karenanya dapat terwujud secara pasti.2
Hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara
yang tidak bersifat unifikasi, karena berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menentukan :
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Pada dasarnya, dalam mempelajari ilmu hukum atau lebih dikenal degan hukum
dapat dibedakan menjadi hukum materiil dan hukum formil. Hukum acara perdata adalah
hukum perdata formil, yang pada dasarnya berfungsi mempertahankan atau menegakkan
hukum perdata materiil melalui pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum
perdata materiil atau terjadi sengketa. Bahkan hukum acara perdata juga mengatur
bagaimana tata cara memperolah hak dan kepastian hukum manakala tidak terjadi
sengketa melalui pengajuan “permohonan” ke pengadilan. Namun Demikian, secara
umum hukum acara perdata mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim
di pengadilan dalam hal penyusunan gugatan, pengajuan gugatan, pemeriksaan gugatan,
putusan Pengadilan sampai dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam tataran praktik, dapat dikatakan hukum acara perdata mengatur bagaimana
sengketa dalam lapangan keperdataan diselesaikan melalui jalur litigasi (jalur pengadilan)
dan jalur nonlitigasi (jalur di luar Pengadilan). Bahkan lebih jauh dari itu, hukum acara
2
Dr. Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama, IAIN Parepare Nusantara Press, Sulawesi Selatan,
2021. Hal. 16
perdata juga menyiapkan bagaimana tata cara untuk memperoleh kepastian hukum dalam
keadaan tidak bersengketa, atau mencegah terjadinya sengketa di Kemudian hari.
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah,
yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam
tertentu, bagi orang-orang islam di Indonesia.3
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan
Peradilan islam di Indonesia jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-Undangan
negara dan syariat islam sekaligus. Oleh karena Itu, rumusan Acara Peradilan Agama
diusulkan sebagai berikut:
Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara
maupun dari Syariat Islam yang mengatur bagaimana cara bertindak ke muka Pengadilan
Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material islam
yang menjadi kekuasaan peradilan Agama.4
Hukum acara perdata yang digunakan pada peradilan agama mengacu pada
hukum acara di badan peradilan umum, berarti mengacu pada ketentuan hukum formal
yang ada dalam HIR (Herziene Inlandsch Reglement) dan RBg (Rechtreglement Voor De
Suitengewesten), serta BW (Burgerlijke Wetbook voor Indonesia) dan peraturan lainnya
yang berlaku di Peradilan Umum. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 54 UU Nomor 7
Tahun 1989 yang diperbaharui dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan diperbaharui yang
kedua kalinya dengan UU Nomor 50 Tahun 2009, bahwa hukum acara yang berlaku di
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di Peradilan
Umum sepanjang tidak diatur khusus dalam UU peradilan agama ini.5 Diantaranya bahwa
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama Adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama.6
B. Sumber Hukum Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia yang memiliki wewenang
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara

3
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, (PT. Raja Grafindo Persada, 2017). Hal. 6
4
Ibid. Hal. 10
5
Dr. Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Yogyakarta, (K-Media, 2017). Hal. 2
6
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Isalam Dan Peradilan Agama, Jakarta, (Rajawali Pers, 1997) Hal. 273.
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, sedekah dan sebagainya yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Dengan di undangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989, maka Hukum Acara
Peradilan Agama sudah Kongkrit, yaitu: “Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan
Agama Adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
Peradilan Agama”.7
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang besumber (garis
besarnya), yaitu:
1. Yang terdapat dalam UU Nomor 7 tahun 1989 yang dirubah menjadi Undang-undang
Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006, yang kemudian dirubah kembali menjadi Undang-
undang Republik Indonesia No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
2. Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
3. Peraturan perundang-undangan menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum,
antara lain:
a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglement
Indonesia yang di Baharui)
b. Rgb (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglement untuk daerah
Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura.
c. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda
dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.
d. RV (Reglement of de Bugerlijke Rechtsvondering)
d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Eropa
e. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum
Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah:
a. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. UU Nomor 48 tahun 2009, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
c. UU Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung
7
H. Darmansyah Hasyim, Hukum Acara peradilan Agama, Banjarmasin, (Lambung Mangkurat University
Press), 1993. Hal. 4
d. UU No. 49 Tahun 2009, tentang Peradilan Umum yang mengatur susunan serta
kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yang juga sebagai sumber hukum
acara perdata.
e. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
f. Yurisprudensi
g. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan, merupakan sumber hukum acara perdata juga atau
sumber tempat hakim dalam menggali hukum acara perdata. Akan tetapi doktrin itu
sendiri bukanlah sebuah hukum.
h. Peraturan Mahkamah Agung
i. Intruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung.8
Jika demikian halnya, maka Peradilan Agama dalam Hukum Acara minimal harus
memperhatikan UU Nomor 7 tahun 1989, ditambah dengan 8 macam peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan. Selain itu, Peradilan Agama masih harus
memperhatikan hukum proses menurut Islam. Kesemuanya inilah yang dinamakan
sumber Hukum Acara Peradilan Agama.9
C. Kesulitan Beracara di Peradilan Agama
Beracara di Muka Peradilan Agama tidaklah semudah seperti diperkirakan oleh
sementara orang bahkan lebih sulit dari ber-Acara di muka Peradilan Umum. Untuk ber-
Acara di muka Peradilan Agama orang harus memahami secara benar dan baik Hukum
Acara yang termuat dalam UU No. 7 Tahun 1989 sebagai Ketentuan Khusus. Selanjutnya
orang harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-aturan Hukum Acara Perdata
yang digunakan di muka Peradilan Umum sebagai Ketentuan Umumnya, padahal
mempelajari Hukum Acara Peradilan umum saja sudah merupakan suatu hal yang tidak
mudah. Selain dari itu orang juga harus memahami bagaimana cara mewujudkan hukum
material Islam melalui hukum proses islam.10

8
Dr. Endang Hadrian, Dr. Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata Di Indonesia,Sleman, (Deepublish,
2020). Hal. 4
9
H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara peradilan Agama, Jakarta, (PT Raja Grafindo Persada), 2007. Hal.
20-21
10
Ibid Hal. 23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama Adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama.
• Sumber hukum Peradilan Agama antara lain:
1. HIR (Het Herzeine Inlandsch Reglement)/RIB (Reglement Indonesie
Yang diperbarui.
2. RBg (Recht Reglement Buitengewesten).
3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering).
4. RV (Reglement of de Bugerlijke Rechtsvondering).
5. BW (Burgerlijke Wetboek).
6. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum.
7. UU Nomor 7 tahun 1989 yang dirubah menjadi Undang-undang
Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006, yang kemudian dirubah kembali
menjadi Undang-undang Republik Indonesia No. 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
8. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
9. UU Nomor 48 tahun 2009, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
10. UU Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung.
11. UU No. 49 Tahun 2009, tentang Peradilan Umum.
12. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
13. Yurisprudensi.
14. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan.
15. Peraturan Mahkamah Agung.
16. Intruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
• Selain harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-aturan Hukum Acara
Perdata yang digunakan di muka Peradilan Umum sebagai Ketentuan Umumnya,
padahal mempelajari Hukum Acara Peradilan umum saja sudah merupakan suatu
hal yang tidak mudah. Selain dari itu orang juga harus memahami bagaimana cara
mewujudkan hukum material Islam melalui hukum proses islam.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Roihan A. Penyelesaian Diberlakukannya Hukum Acara Perdata Peradilan Umum

sebagai Hukum Acara Peradilan Agama Khusus di Segi Pembuktian Zina, dalam Mimbar

Hukum, No. 7. Jakarta: al-Hikmah, Ditban Baperta Islam. 2001.

L, Dr. Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama. IAIN Parepare Nusantara Press. Sulawesi

Selatan. 2021.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2017.

Erliyani, Dr. Rahmida. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. K-Media. Yogyakarta. 2017.

Ali, H. Mohammad Daud. Hukum Isalam Dan Peradilan Agama. Rajawali Pers. Jakarta. 1997.

Hasyim, H. Darmansyah. Hukum Acara peradilan Agama. Lambung Mangkurat University

Press. Banjarmasin 1993.

Hadrian, Dr. Endang, Dr. Lukman Hakim. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Deepublish.

Sleman. 2020.

Anda mungkin juga menyukai