Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TARIKH TASYRI

PRINSIP-PRINSIP DASAR PERUNDANG-UNDANGAN ISLAM &


DINAMIKA HUKUM SEBELUM ISLAM

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3


1. HUSNUL WARDI: (200204007)
2. AGISNI RIZKIA: (200204006)
PRODI/KELAS: ILMU FALAK/IIC

DOSEN PENGAMPU: MUHAMMAD NOR, M.H.I

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkah, rahmat, dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah tugas makalah ini dengan baik. Sholawat
beriring salam, semoga tetap tercurahkan atas junjungan Nabi Muhammad SAW. Beserta para
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dengan selesainya makalah ini, kami selaku penulis makalah mengharapkan agar para
pembaca dapat memahami isi makalah ini. Kami pun menyadari dengan sepenuhnya bahwa
makalah yang dibuat ini masih kurang dan bahkan masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran dan solusi yang membangun dalam membuat makalah
yang lebih baik dan sempurna dari para pembaca, kemudian bisa menjadi bahan pembelajaran
bagi kita semua.
Akhir kata, kami mengharapkan permohonan maaf yang setinggi tingginya terhadap
para pembaca, jika di dalam makalah ini terdapat banyak hal yang masih salah atau kurang jelas
serta kekeliruan. Semoga kritik dan saran serta solusi yang membangun dari para pembaca dapat
mendatangkan manfaat yang bisa dijadikan sebagai motivasi untuk berkarya dalam penulisan
makalah berikutnya.

Mataram, 15 Maret 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………..…….
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………........
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah ……………………………….…………………………………
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………..
a) Prinsip-prinsip Dasar Perundang-undangan Islam………………………………....
b) Dinamika Hukum Sebelum Islam…………………………………………..……..
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..
A. Kesimpulan …………………………………………..…………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia telah mengenal syari’at (undang-undang) sejak zaman dahulu kala. Hampir tidak
ada satu kelompok manusiapun yang bisa lepas dari kenyataan ini, bahkan sebuah peradaban
juga memerlukan aturan yang mengatur segala bentuk kehidupan baik agama maupun sosialnya,
Syari’at (perundang-undangan) dengan segala perangkatnya merupakan perkara penting dan
merupakan aturan utama yang menjadi kebutuhan demi keberlangsungan hidup manusia
sekaligus menjadi kaidah dasar dalam mangatur hubungan manusia, menjadi satu keniscayaan
untuk mencapai kemslahatan bersama, menjadi sebuah pilihan utama untuk menghasilkan
perkembangan dan kestabilan dalam mejalin berbagai bentuk hubungan atar sesama manusia
dalam setiap aspek kehidupan.
Dengan dasar inilah, mengapa perundang-undangan Syari’at mendapat perhatian khusus.
Sejarah manusia pernah mengenal berbagai bentuk undang-undang (syari’at) yang telah dimiliki
oleh umat-umat terdahulu. Dan diantaranya ada pula yang telah punah, ada yang telah ditulis dan
diketahui oleh orang banyak, ada yang berbentuk wahyu, dan ada pula yang merupakan hasil
ciptaan manusia.
Dengan adamya campur tangan manusia dalam pembuatan sebuah perundang-undangan
syari’at, maka hal ini berdampak pada perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang tidak
mampu melindungi kepentingan umum dan merealisasikan manfaat bersama, kerana syar;at yang
telah dijalankan bercampur dengan hawa nafsu dan kepentingan manusia yang tergoda oleh
manisnya adat kebiasaan, dan terbatas leh waktu dan keadaan.
Sungguh maha besar Allah SWT yang telah mengutus, seorang nabi di setiap fase hidup. Ia
datang dengan membawa syari’at Islam yang tak lekang oleh lamanya waktu berlaku hingga
akhir zaman dan merupakan syari’at yang datang langsung dari Allah SWT yang disampaikan
kepada manusia melalui perantara seorang nabi.
Syari’at Islam merupakan syari’at yang lengkap, orisinil, valid, dan benar maka menjadi suatu
kewajiban seluruh umat manusia pada umumnya dan seluruh umat Islam pada khususnya untuk
mematuhi syari’at Islam yang datang dari Allah SWT melalui Nabi dan para Rasul-Nya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana prinsip perundang-undangan dalam Islam?


2. Bagaimana dinamika hukum sebelum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip-prinsip Dasar Perundang-undangan Islam

Prinsip secara Etimologi adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya S. Praja memberikan
pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan, tempat, pemberangkatan, titik tolak, atau al-
mabda
Adapun secara Terminologi prinsip dasar adalah kebenaran universal yang inheren didalam
hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinannya, prinsip yang membentuk hukum dan setiap
cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip
umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat universal. Adapun prinsip-prinsip
khusus ialah prisip-prinsip setiap cabang hukum Islam.
Prinsip perundang-undangan Islam meliputi:
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia
ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat
La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali
Imran Ayat 64.
ۗ ِ ‫ضنَا بَ ْعضًا اَرْ بَابًا ِّم ْن ُدوْ ِن هّٰللا‬ َ ‫ب تَ َعالَوْ ا ِا ٰلى َكلِ َم ٍة َس َو ۤا ۢ ٍء بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ْم اَاَّل نَ ْعبُ َد اِاَّل هّٰللا َ َواَل نُ ْش ِر‬
ُ ‫ا َّواَل يَتَّ ِخ َذ بَ ْع‬dًًٔ‫ك بِ ٖه َش ْئـ‬ ِ ‫قُلْ ٰيٓا َ ْه َل ْال ِك ٰت‬
َ‫فَا ِ ْن ت ََولَّوْ ا فَقُوْ لُوا ا ْشهَ ُدوْ ا بِاَنَّا ُم ْسلِ ُموْ ن‬

Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu
kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah
dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu
sama yang lain tuhan-tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada
mereka), "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim."

Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah.
Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasi
kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama
manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan
penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya. Prinsip tauhid inipun menghendaki
dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Qur’an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang
tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S.
ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari
prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai berikut :
a) Prinsip Pertama
Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara. Artinya bahwa tak seorang pun manusia
dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di sembah.
b) Prinsip Kedua
Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat
al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur. Artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai
bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah. Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan
azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut
terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut :
1. Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’
Yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu
Hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah danRasul-Nya;
2. Al-masaqqah tujlibu at-taysiir
Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendatangkan kemudahan.

2. Kemaslahatan Orang Banyak


Tujuan syari’at adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat di dunia dan
akhirat. Dalam syari’at tidak ada suatu bidang aktivitas insani yang mangajarkan dalam hal
keburukan akan tetapi syari’at membahas tentang kajian hidup dengan pengan yang luas dan
mendalam.
Hukum Islam digerakkan untuk mengarahkan umat manusia menuju tujuan yang lebih baik
dan benar serta diridhoi oleh Allah SWT. Adapun didalam syari’at Islam tersimpan prinsip amar
ma’ruf nahi munkar berdasarkan Qs. Ali Imran ayat 110, amar ma’ruf nahi munkar dinyatakan
berdasarkan wahyu dan akal. Syari’at Islam selalu mengaitkan hukum dengan ada tidaknya
maslahat. Dengan bahasa lain syari’at Islam memiliki Illat (Alasan legalisasi) dan Illat ini
berputar bersama dengan hukum yang ada baik ada ataupun tidaknya hukum.
Perlu diketahui bersama bahwa cara penetapan satu syari’at (hukum) tidaklah sama dengan
hukum yang lain sesuai dengan perubahan masahat yang ada. Jika sebuah hukum menjelaskan
tentang satu kemaslahatan yang tetap, tidak berubah maka ia termasuk hukum yang tetap atau
wajib sampai kapanpun seperti, sholat, zakat, puasa, dan haji. Namun jika hukum menjelaskan
tentang maslahat yang sudah tetap tetapi bisa berubah sejalan dengan perubahan zaman dan
waktu maka syari’at akan menetapkan aturan atau kaidah dasar yang tidak memberikan
perinciannya kepada para ulama Mujtahid, sehingga syari’at bisa sesuai dengan perubahan dan
perkembangan manusia. Contohnya semua bentuk transaksi jual beli, hubungan sosial, dan
perundang-undangan pemerintahan.

3. Mewujudkan keadilan Sosial


Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata
keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti
keadilan di dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.Term keadilan‟
pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,
keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai
prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena
esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan
kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan
untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan
masyarakat. Penggunaan term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a. QSl-Maidah : 8
Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintan dan
kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan
daripada kebenaran (dalam bersaksi).
b. QS. Al-An’am : 152
Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal terutama kepada mereka
yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan dalam
bermuamalah/berdagang.
c. QS. An-Nisa : 128
Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri.
d. QS. Al-Hujrat : 9
Keadilan sesama muslim.
e. QS. Al-An‟am :52
Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia
(mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat
berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum
Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu :
Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas;
apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori „keadilan‟ teologi Mutazilah melahirkan dua teori turunan, yaitu :
1) al-sala’h wa al-aslah dan
2) al-Husna wa al-qubh.
Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
a. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan” perbuatan tanpa
tujuan dan hikmah adalah sia-sia
b. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif sehingga
dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam
perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah
masalah akal.
Syari’at Islam memiliki keistimewaan generalistik, untuk menyatukan urusan ruang linkup
kebenaran dan memadukannay kedalam kebaikan. Syari’at Islam tidak pernah membeda-
bedakan antara orang hitam dan putih, kuning dan merah, orang Arab dan lainnya, tidak ada
batasan ruanglingkupnya untuk siapa dan bahasa manapun, tidak ada keutamaan bagi seseorang
terhadap orang lain dihadapan Allah kecuali dengan takwa dan amal solehnya.
Keterpautan syari’at Islam dengan sifat keadilan menjadikannya sebagai aturan umum dan
sempurna, setiap hukum yang di syari’atkan Allah tegak diatas dasar keadilan. Oleh sebab itu,
tidak ada keadilan tanpa syari’at Allah yang menjamin semua hak tanpa perbedaan dan rasa
sungkan.

4. Tidak Memberatkan Dan Sedikit Beban


Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama atau hukum Islam disiarkan
tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan
yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai
macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam
dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-
Kafirun: 5).
Tidak memberatkan bukan berarti menghilangkan syari’at Islam, akan tetapi meringankan
kesusahan atau masalah yang tidak mungkin bisa kita lakukan. Sesuai dengan sabda Nabi ”Dan
dia akan menghapuskan beban-beban dan belenggu-belengu yang ada pada mereka”. Dan ini
tidak bertentanggan dengan tabiat dan presepsi manusia sebab semua pekerjaan dalam hidup ini
pasti ada masyaqqah (beban) dan sampau kebutuhan primer sekalipun tetap ada bebannya seperti
makan, minum, dan mencari rizqi. Semua beban ini pasti dapat kita laksanakan dan tidak salah
jika ini perintah syari’at, sebagai ujian untuk melihat ketaatan dan kemaksiatan manusia sebagai
penentu keimanan dan ketakwaan manusia.

B. Dinamika Hukum Sebelum Islam

Beberapa kondisi masyarakat Arab pada masa jahiliyyah, antara lain: punya kepercayaan
terhadap hal mistik, mempunyai aturan peradaban, punya gaya hidup tabarruj dan sikap
hamiyyah yang berarti kesombomgan. Kaitannya dengan sistem hukum, rupanya sifat dan
karakteristik dasar orang Arab seperti yang dijelaskan diatas juga mempengaruhi bagaimana
kondisi hukum pada masa itu.
Rasa fanatisme dan rasisme terhadap suku (‘ashabiyyah) dan sikap kebangsaan yang
berlebihan dalam ranah sistem hukum cenderung menimbulkan sikap membela terhadap orang –
orang yang berada dalam satu suku/ kabilahnya. Benar atau salah ia dalam sudut padang hukum
akan lolos jika ia dinilai termasuk bagian dari qabilahnya dan akan selalu dibela mati – matian
dibanding dengan orang yang berbeda dengan qabilahnya.
Ibn Jarir at-Thabari menceritakan sebuah pernikahan dalam masa ini yang didasari degan
sikap rasial. Salah seorang Arab tulen bernama Nu’man ibn Munzhir menolak lamaran Hurqa
yang tak lain adalah anak perempuan dari raja persia yang bernama Kisra Abruwiz. Penolakan
ini terjadi karena dalam adat Arab jahiliyah seseorang dilarang menikahi orang yang bukan dari
bangsanya “ajam”, sekalipun yang melamar adalah bangsawan.
Sikap feodal juga mempengaruhi sistem hukum Arab pra-Islam. Hal ini tergambar dengan
adanya superioritas yang diperuntukkan kepada kalangan kolongmerat dan bangsawan yang
punya otoritas dalam memegang kekuasaan hukum dari pada mereka yang berasal dari golongan
orang – orang miskin dan lemah.
Status budak pada masa ini adalah sebagai manusia rendahan yang tidak punya hak asasi.
Oleh karena itu meski dalam suatu kasus seorang budak bisa saja dikenai hukuman meski ia tak
terbukti bersalah.
Sikap patriakis juga menjadi salah satu yang mempengaruhi sistem hukum pada masa
jahiliyyah. Beberapa fakta bahwa laki-laki memegang kekuasaan tertinggi dibanding perempuan.
Kondisi perempuan pada masa ini mendapat perlakuan diskriminatif (embodiment of sin). Hal
ini terbukti dengan beberapa fakta bahwa perempuan pada masa jahiliyah tidak memperoleh
warisan, bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri. Bahkan sudah menjadi tradisi bahwa
setiap anak perempuan yang lahir akan dikubur hidup hidup karena dianggap sebagai pembawa
sial.
Oleh karena itu, sistem hukum jahiliyyah yang melekat pada masyarakat Arab pra-Islam
seperti yang dijelaskan di atas kemudian menjadi latar belakang kemunculan Islam merubah
kondisi sosial Arab pada saat itu.
Hukum Yang Berlaku Pada Zaman Jahiliyah sebagai berikut:
1. Perkawinan
Ada beberapa jenis perkawinan yang dipraktikan dikalangan masyarakat Arab, sebagian
diakui keabsahannya oleh hukum Islam dan sebagian lain dihapuskan karena tidak bersesuaian
dengan jiwa hukum Islam :
a. Poligami, merupakan praktik yang sudah melembaga di masyarakat Arab, namun poligami
yang dilaksanakan tidak ada aturan dan batas-batasnya. Seorang laki-laki boleh menikahi
perempuan sebayak-banyaknya tanpa batas maksimal
b. Istibdla, yakni seorang suami meminta istrinya untuk berhubungan badan dengan laki-laki
mulia atau mempunyai kelebihan sesuatu, setelah hamil si suami tidak mencampurinya hingga
istrinya melahirkan. Tujuan dari perkawinan ini adalah untuk mendapatkan gen, sifat, atau
keturunan terhormat atau istimewa.
c. Rahthun, atau poliandri, yaitu seorang perempuan mempunyai pasangan laki-laki lebih dari
seorang.
d. Maqthu, seorang anak tiri menikahi ibu tirinya ketika ayahnya meninggal. Isyaratnya, ketika si
ayah meninggal, si anak melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai pertanda ia menyukai ibu
tirinya, dan ibu tiri tersebut tidak dapat menolak.
e. Badal, yaitu tukar menukar istri tanpa ada perceraian terlebih dahulu dengan tujuan untuk
mencari variasi atau suasana baru dalam berhubungan seks.
f. Sighar, seorang wali menikahkan anaknya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain
tanpa mahar dengan kompensasi si wali sendiri menikahi anak perempuan atau saudara
perempuan si laki-laki tersebut.
g. Khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-
sembunyi tanpa adanya akad nikah (kumpul kebo). Masyarakat Arab ketika itu menganggap
perkawinan ini bukan merupakan kejahatan asal dilakukan secara rahasia.
2. Riba
Menurut Muhammad Abduh (w. 1905) dan muridnya, Muhammad Rashid Ridha, ketika
menjelaskan bentuk riba yang dilarang pada masa pra-Islam, mereka menegaskan bahwa riba
pada masa pra-Islam dipraktekkan dalam bentuk tambahan pembayaran yang diminta dari
pinjaman yang telah melewati batas tempo pembayaran, sehingga mengalami penangguhan yang
menyebabkan meningkatnya pembayaran hutang tersebut.
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa “riba pada masa jahiliyah adalah dalam
pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya,
ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, “Bayarlah atau kamu tambah untukku.” Maka
apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak
ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang
pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun
kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua
tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun
keempat), dan seterusnya menjadi jaz’ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut.
Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia
tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya
menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia
mampu membayar.
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan
pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian
peminjam berkata kepadanya “untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan
pembayaran”, maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.
3. Anak angkat
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab
Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat
mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta
peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta diperlakukan
sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji
prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa.
Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan
bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak
mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih
anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan
melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang
mereka miliki.
4. Warisan
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan
dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun
hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan
mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan
peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu
memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta
merampas harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/atau istri saudara
dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan
oleh Islam dengan yang melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan.
Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila
salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia
maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam) dari harta
peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat
mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling
mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya
mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan
Islam hal ini masih berlaku.
5. Haji
Pada masa ini, jama’ah haji terbagi menjadi dua kelompok, pedagang dan non-pedagang.
Jama’ah haji pedagang sudah harus bertolak meninggalkan negerinya pada hilal bulan sebelum
datangnya bulan haji, sebagai contoh, mereka harus sudah meninggalkan negerinya pada
permulaan bulan Dzulqa’dah jika haji itu terjadi pada bulan Dzulhijjah, hal itu dimaksudkan agar
para jama’ah haji bisa ikut berpartisipasi dalam pasar khusus di Ukaz selama dua hari, dari pasar
Ukaz ini, jamaa’ah haji berangkat menuju Majnah untuk berdagang selama sepuluh hari setelah
hilal Dzulhijjah, pasar Majnah ditutup dan rombongan haji pedagang ini berangkat ke Dzul
Majaz untuk melakukan transaksi perdagangan selama delapan hari, pada hari tarwiyah, mereka
bertolak ke Ar afah untuk melakukan wukuf.
Berbeda dengan jama’ah non-pedagang. Pada hari Tarwiyah, jama’ah non- pedagang ini
langsung menuju ke Arafah guna melaksanakan wukuf. Sebagian diantara mereka melaksanakan
di Arafah dan bagian yang lain melakukan wukuf di Namirah (perbatasan tanah haram). Setelah
bermalam ditempat masing- masing, menjelang terbenamnya matahari, mereka bertolak ke
Muzdalifah. Keesokan harinya, setelah matahari terbit, jama’ah haji non-pedagang ini bertolak
ke Mina. Dari sini kemudian mereka pergi ke Mekah guna melaksanakan tawaf. Beberapa suku
menetapkan tradisi bagi anggota yang baru pertama kali melaksanakan haji. Bagi anggota baru
mereka diharuskan melakukan tawaf dalam keadaan tanpa busana, baik laki-laki maupun
perempuan karena mereka berargumentasi bahwa pakaian yang dikenakannya adalah kotor (tidak
suci) sehingga tidak pantas digunakannya untuk ibadah, sedangkan jama’ah yang dihormati oleh
masyarakatnya tetap mengenakan pakaian ketika melaksanakan tawaf, akan tetapi, setelah itu
pakaian tersebut tidak boleh digunakan lagi.
Dari rekonstruksi pelaksanaan haji pada masa jahiliyah terdapat unsur- unsur manasik haji nabi
Ibrahim. Hal ini menandakan bahwa pada waktu itu suku-suku Arab masih mengikuti millah
Ibrahim. Meskipun ajaran Nabi Ibrahim yang murni itu disusupi oleh tradisi-tradisi heterodoks.
6. Qishash
Sudah diketahui bahwa bangsa Arab telah mempunyai aturan-aturan yang didapati oleh adat
dan kebiasaan. Seluruh kabilah telah bertanggung jawab terhadap tindak pidana anggotanya,
kecuali apabila kabilah itu mengumumkan tebusan dalam masyarakat umum. Oleh karena itu,
jarang wali dari orang yang kena pidana cukup menerima qishash dari orang yang melakukan
tindak pidana, lebih-lebih apabila orang yang kena tindak pidana orang yang mulia atau tuan dari
kaumnya, bahkan mereka meluaskan tuntutan mereka dengan suatu perluasan yang kadang-
kadang sampai menjadikan perang antara dua suku. Dan kebanyakan suku dari pelaku pidana
melindunginya, maka yang demikian ini menyebabkan keburukan-keburukan dan perang-perang
yang kadang-kadang penyelesaiannya berkepanjangan (berlarut-larut).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai