Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM ADAT

BENTUK-BENTUK PERKAWINAN

Makalah Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

DOSEN PENGAMPU HERY ZARKASIH S.H., M.H

Disusun Oleh:

Lalu Bentar Kholid (NIM: 200204002)

Agisni Rizkia (NIM: 200204006)

M. Zainul Wadani (NIM: 200204016)

Ahmad Izul Islam (NIM : 200204025)

Fina Hartika (NIM: 200204027)

PRODI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI(UIN) MATARAM
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Bentu-Bentuk Perkawinan” ini dapat
tersusun dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman gelap gulita menuju zaman yang
terang benderang.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Adat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
kita mengenai bagaimana bentuk-bentuk perkawinan itu bagi para pembaca dan juga
tentunya bagi penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada bapak Hery Zarkasih S.H., M.H. selaku dosen
mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan kami tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami. Yang juga telah membantu kami dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian, terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Mataram, 5 April 2022

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................
A. Latar Belakang.............................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................
C. Tujuan Masalah...........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................

A. Perkawinan Jujur..........................................................................................
B. Perkawinan Semanda...................................................................................
C. Perkawinan Bebas (Mandiri).......................................................................
D. Perkawinan Campuran.................................................................................
E. Perkawinan Lari...........................................................................................

BAB III PENUTUP.................................................................................................

A. Kesimpulan .................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut UU No.1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
hukum adat, arti perkawinan sangatlah penting dalam penghidupan masyarakat kita sebab
perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, namun
juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka
masing-masing. Bahkan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan
peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan merupakan
peristiwa yang penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Para leluhur yang telah tiada
ini diharap dapat memberikan restu kepada calon mempelai wanita dan laki-laki agar
dapat hidup rukun sampai kakek nenek.

Dalam hukum perkawinan adat, sebuah perkawinan tidak hanya menjadi urusan
kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, melainkan juga menjadi urusan
masyarakat sekitarnya dan sukunya, Tujuan dari perkawinan adat ini adalah untuk
melahirkan generasi baru dengan latar belakang budaya yang sama, sehingga suku dan
budaya tersebut masih terasa eksistensinya seiring dengan perkembangan zaman yang
semakin modern ini.

Adapun tujuan perkawinan adat yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal, untuk membangun, membina, memelihara hubungan keluarga/kekerabatan yang
rukunndan menjaga kehormatan keluarga dan kerabat, maka proses pelaksanaan
perkawinan harus diatur dengan tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan
pelanggaran yang memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan
keluarga dan kerabat yang bersangkutan.

Bentuk perkawinan adat di Indonesia sangatlah beragam, hal ini dipengaruhi oleh
perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang ada dianut oleh masing-masing
masyarakat adat di Indonesia. Diketahui perbedaan susunan masyarakat hukum adat di
indonesia ada yang bersifat patrilineal, matrilineal, parental dan lain sebagainya. Oleh
karenanya, bentuk-bentuk perkawinan di indonesia berbeda pula, diantaranya ada bentuk
“perkawinan jujur”, “perkawinan samanda”, perkawinan bebas (mandiri)”, “perkawinan
campuran” dan “perkawinan lari”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan di Indonesia?
C. Tujuan
 Dapat mengetahui bagaimana bentu-bentuk perkawinan di Indonesia dalam
hukum adat
BAB II
PEMBAHASAN

Diketahui bersama susunan masyarakat adat di Indonesia berbeda, ada yang


bersifat patrilineal, matrilinieal, parental, dan campuran. Oleh karenanya, bentuk-bentuk
perkawinan yang berlaku di Indonesia berbeda pula, di Indonesia bentuk-bentuk
perkawinan dibedakan menjadi beberapa di antaranya:

A. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur merukapan perkawinan dengan pemberian uang atau barang
“jujur”, pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang
mempertahankan garis keturunan bapak (patrilineal). Pemberian uang atau barang “jujur”
(Gayo: unjuk; Batak: boli, tuhor, parunjuk, pangoli; Nias:beuli niha; Lampung: Segreh,
seroh, daw, adat; Timor-Sawu: belis, wellie; Maluku: beli, wilin) dilakukan oleh pihak
kerabat calon suami kepada pihak kerabat calon istri, sebagai penggangi pelepasan
mempelai wanita keluat dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan
masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Di Sulawesi di kenal dengan “Doe Panai”
atau uang panai.1

Setelah perkawinan, kedudukan istri berada di bawah kekuasaan suami, hidup


matinya menjadi tanggung jawab kerabat suami, berkedudukan keturunannya
melanjutkan keturunan suaminya, dan harta kekayaan yang di bawa istri ke dalam
perkawinan kesemuanya dikuasai pleh suami, kecuali di tentukan lain oleh pihak istri. 2
Dalam segala perbuatan istri hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami atau atas
nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Istri tidak diperbolehkan bertindak
sendiri, istri tugasnya hanya membantu suami dalam mengatur kehidupan masyarakat,
mengasuh, mendidik anak, serta mendampingi suami dalam hubungan kekerabatan atau
kemasyarakatan.

Pada perkawinan jujur ini pada umumnya berlaku adat “pantang cerai” atau
mengharamkan terjadinya perceraian. Jadi, senang atau susah selama kehidupannya istri

1
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini, dan Akan Datang,
Jakarta, Prenada Media Group, hal.25-26
2
Ibid. hal. 26
di bawah kekuasaan kerabat suami. Maka putusnya perkawinan karena kematian atau
perceraian tidak mengubah pertanggungjawaban kerabat pihak suami terhadap anak dan
istri dari anggota keluarga seketurunan bapak, kakek, dan seterusnya ke atas, oleh anak
dari saudara bapaknya yang lain.

Dalam hak pewarisan, yang berhak mewarisi semua kesatuan harta yaitu semua
anak laki-laki, anak perempuan tidak mendapat warisan karena “Perkawinan Jujur”
tersebut. Seandainya ada anak angkat dan anak kandung maka dianggap sama atau
sederajat, karena saat diangkat akan masuk marga orang tua angkatnya dan dapat
meneruskan marga dalam artian dapat mewaris, dapat mengganti dan digantikan sama
seperti anak kandung sepanjang dia merupakan anak laki-laki. Seandainya bapak kawin
berkali-kali maka seluruh anak-anaknya yang laki-laki dari perkawinan pertama, kedua,
dan seterusnya dapat mewarisi bersama-sama.3

Dalam bentuk perkawinan jujur terdapat beberapa variasi bentuk perkawinan


diantaranya:

1. Perkawinan jujur ganti suami (Levirat)


Perkawinan ganti suami dalam bahasa asing disebut “Leviraat Huwelijk” atau
“Vervang Huwelijk”, perkawinan jenis ini dikarenakan suami wafat, maka istri harus
kawin dengan saudara laki-laki suami yang telah wafat. Dalam bentuk perkawinan ini
tidak diperlukan lagi memberi uang jujur, pembayaran adat dan lain-lain karena istri
memang masij yetap berada di rumah suami.4
2. Perkawinan jujur ganti istri
Perkawinan ganti istri dalam bahasa asing disebut “Vervolg Huwelijk” ialah
disebablan oleh istri meninggal, maka suami kawin lagi dengan kakak atau adil dari istri
yang telah wafat (silih tikar). Dalam Pelaksanaannya itu tidak diberikan lagi uang jujur
karena uang jujur telah diberikan ketika mengambil istri yang telah wafat.5
3. Perkawinan mengabdi
3
Sri Hajati, Ellyne Dwi Poespasari, Soelistyowati, Joeni Arianto Kurniawan, Christiani
Widowati, Oemar Moechtamar, 2019, Buku Ajar Hukum Adat, Jakarta, Prenadamedia Group,
hal. 216
4
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, hal. 74
5
Ibid. hal. 75
Perkawinan mengabdi dalam bahasa asing disebut “Dien Huwelijk”, dalam
perkawinan ini pembayaran jujur ditunda. Si suami sudah bisa hidup bersama dengan
istrinya akan tetapi si suami bekerja mengabdi kepada keluarga mertuanya sehingga
jujurnya lunas. Anak-anak yang lahir selama dalam masa pengabdian adalah masuk
kedalam clan istrinya, akan tetapi apabila jujurnya sudah lunas dibayar mereka kemudian
pindah ke clan suaminya. Ada kemungkinan bahwa salah seorang anak perempuan hasil
dari perkawinan itu diserahkan kepada keluarga istrinya, hal ini dapat terjadi apabila
sebelum jujur lunas terjadi perceraian. Adapun maksudnya adalah agar jujur dari anak
perempuan itu nantinya untuk melunasi jujur dari ibunya.
4. Perkawinan ambil beri
Perkawinan ambil beri atau disebut juga perkawinan bertukar dalam bahasa asing
disebut “Ruilhuwelijk” merupakan perkawinan yang terjadi diantara kerabat yang
bersifat simetris, misalnya dimana pada suatu masa kerabat A mengambil suami dari
kerabat B, maka di masa yang lain kerabat B dapat mengambil istri dari kerabat A.
Dimana didalam perkawinan ini kemudian jujur diperhitungkan. Jadi ada kemungkinan
jujur tidak usah dibayar karena sudah lunas. Perkawinan semacam ini hanya terdapat
apabila didalam masyarakat itu diperbolehkan kawin timbal balik (adik laki laki dari
pihak istri dinikahkan kepada adik perempuan dari pihak suami).
5. Perkawinan ambil anak
Perkawinan ambil anak ialah perkawinan yang terjadi dikarenakan hanya
mempunyai anak perempuan (tunggal), maka anak perempuan itu mengambil laki-laki
dari (anggota kerabat) untuk dijadikan suaminya dan mengikuti kerabat istri untuk selama
perkawinannya guna menjadi penerus keturunan pihak istri. Alasan dilakukannya
perkawinan ini adalah karena dalam masyarakat patrilineal tidak mempunyai anak laki-
laki, sehingga hubungan patrilineal akan punah. Maka menantu laki-laki diangkat sebagai
anak sehingga nantinya anak-anak yang dihasilkan dapat meneruskan patrilineal.6

.B. Perkawinan Semanda

Kebalikan dari perkawinan jujur, perkawinan semanda pada umumnya berlaku di


lingkungan masyarakat adat yang matrilineal, dengan maksud mempertahankan garis
Sri Hajati, Ellyne Dwi Poespasari, Soelistyowati, Joeni Arianto Kurniawan, Christiani
6

Widowati, Oemar Moechtamar, 2019, hal. 224


keturunan pihak ibu (wanita). Dalam perkawinan semanda, calon mempelai pria dan
kerabatnya tidak memberikan pemberian uang jujur kepada wanita, sebagaimana di
minangkabau berlaku adat pelamaran berlaku dari pihak wanita kepada pihak laki-laki.7
Dalam hal ini, kedudukan istri lebih tinggi daripada suami. Penerus keturunan
ialah perempuan, namun ahli waris yakni semua anak baik laki-laki maupun perempuan
yang berasal dari harta ibu. Sang ibu (perempuan) merupakan seorang kepala keluarga,
akan tetapi ia di bantu oleh kakak laki-lakinya untuk mengurus kepentingan keluarganya.
Kewajiban alimentasi bapak sebagai kepala keluarga tidak ada, karena kewajiban
alimentasi menjadi beban ibu, karena ibu memperoleh atau dapat hidup dari harta saudara
laki-lakinya. Kadudukan sang bapak mengurus kepentingan keluarga kakak
perempuannya atau keponakan-keponakan perempuannya. Dalam lingkungan
keluarganya anak perempuan tertua mewaris harra milik keluarga dan ia mengurus dan
menjaga agar kepentingannya dalam keseimbangan dan untuk itu ia dibantu oleh kakak
laki-laki atau pamannya. Perkawinan semanda dalam arti sebenarnya ialah perkawinan
dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di pihak istri dan
melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri.
Dilihat dari kedudukan hukum suami-istri dalam perkawinan semanda, ada beberapa
bentuk perkawinan diantaranya:
1. Semanda raja-raja
Dikalangan masyarakat adat rejang empat petulai, bentuk perkawinan
semanda raja-raja adalah perkawinan dimana suami dan istri dianggap sebagai raja
dan ratu yang dapat menentukan sendiri tempat kedudukan rumah tangga mereka.
Suami tidak ditetapkan untuk berkedudukan dikekerabatan istri dan kedudukan suami
sama berimbang baik terhadap jurai kerabat istri maupun jurai kerabat suami begitu
pula terhadap harta kekayaan yang diperoleh selama dalam perkawinan.
Terjadinya perkawinan semanda raja-raja, karena keseimbangan martabat
kedudukan antar dua kerabat yang bersangkutan. Adakalanya dikarenakan si laki-laki
dan perempuan menginginkan membentuk rumah tangga yang berdiri sendiri atau

7
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, hal. 27
dikarenakan suami tidak dapat melepaskan kedudukannya sebagai waris dari orang
tuanya, dan begitu pula istri.8
2. Semanda lepas
Istilah semanda lepas dipakai didaerah lampung pesisir yang pada umumnya
beradat peminggir, dalam arti setelah terjadi perkawinan maka suami melepaskan hak
dan kedudukannya dipihak kerabatnya dan masuk kedalam kerabat istri. Bentuk ini
disumatra selatan disebut perkawinan cambur atau perkawinan nangkon yang tidak
lain adalah sama dengan perkawinan semanda ambil anak (inlijf huwelijk) dimana
suami tidak mempunyai kuasaan apa-apa. Jika terjadi perceraian maka si suami
dipersilahkan meninggakan tempat kediaman dan kekerabatan istri tanpa sesuatu hak
baik berupa hak terhadap harta pencaharian (gono-gini) maupun hak atas anak-anak.
Dalam bentuk perkawinan semacam ini orang lampung mengatakan bahwa
kedudukan suami itu ibarat ”lop batu asahan (lepas batu lepas asahnya)”, dan ia harus
sampai mati mengabdi dipihak kerabat istri (mati tunggu mati manuk). Agak lain di
miangkabau dimana suami dianggap sebagai urang samando yang menurut pribahasa
“urang samando seperti abu diatas tunggul”,jadi jika datang angin maka ia akan
terbang begitu saja karena tidak punya kekuasaan sama sekali.9
3. Semanda nunggu
Semanda nunggu adalah bentuk perkawinan semanda yang sifatnya sementara
dimana setelah perkawinan suami bertempat kedudukan dipihak kerabat istri dengan
ketentuan menunggu sampai tugas pertanggung jawabannya terhadap keluarga mertua
selesei diurusnya. Pertanggung jawaban itu misalnya memelihara mertua dan saudara-
saudara istri yang masih kecil, membiayai kehidupan rumang tangga,membiayai
pendidikan anak-anak yang masih kecil,mendewasakan anak-anak itu sampai mereka
dapat berkeluarga dan berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas kelanjutan hidup
keluarga orang tuanya. Dikarenakan fungsi dari suami itu demikian, maka
perkawinan ini disebut juga sebagai semanda ngebabang (menggendong) atau
semanda ngisik (memelihara) atau juga disebut semanda mengabdi.terjadinya

8
Sri Hajati, Ellyne Dwi Poespasari, Soelistyowati, Joeni Arianto Kurniawan, Christiani
Widowati, Oemar Moechtamar, 2019, Buku Ajar Hukum Adat, Jakarta, Prenadamedia Group,
hal. 228
9
Ibid. hal. 229-230
perkawinan semanda nunggu berdasarkan permintaan orang tua atau kerabat dari
pihak wanita dan jarang sekali tawaran dari pihak pria,atau pula dikarenakan didalam
perkawinan si pria tidak mampu memenuhi permintaan pihak wanita sehingga
terpaksa mengikuti kehendak dari pihak wanita dan menetap dipihak wanita sampai
orang tua atau kerabat pria dapat memenuhi semua permintaan pihak wanita.10
4. Semanda anak dagang
Semanda anak dagang, bentuk perkawinan ini disebut juga sebagai semanda
burung, adalah bentuk perkawinan semanda yang di daerah rejang tergolong kedalam
bentuk semanda tidak beradat.Sifat perkawinan ini tidak kuat ikatannya oleh karena
kedatangan suami dipihak istri tidak bersyarat apa-apa,ia cukup datang dengan tangan
hampa dan begitu pula sewaktu-waktu dapat pergi tanpa membawa apa-apa. Suami
adalah ibarat burung yang tertangkap (semanda temakep burung terbang-rejang) dan
dapat dilepas kembali begitu saja,ia datang sebagai orang numpang hidup saja,yang
mengabdikan diriuntuk kepentingan istri dan mertuanya.Jika sebelum perkawinan
terdapat hutang yang dibuat oleh suamimaka hutang hutang itu dilunasi oleh kerabat
istri,jadi ia bekerja ditempat istri sebagai pembayar utang (semanda masen utang-
rejang). Pelaksanaan perkawinan cukup dilaksanakan secara sederhana saja bahkan
setelah perkawinan ada kalanya kedatangan suami menurut waktu-waktu tertentu
saja,misalnya datang ketempat istri setelah waktu magrib dan pergi kembali setelah
subuh.
5. Semanda ngangkit
Berlakunya perkawinan semanda ngangkit biasanya di kalangan masyarakat
adat yang menganut adat penguasaan atas harya kekayaan yang dipegang oleh
perempuan. Jadi, apabila seseorang tidak mempunyai anak perempuan dan hanya
mempunyai anak laki-laki maka untuk dapat meneruskan kedudukan dan keturunan
serta mengurus harta kekayaan ia harus mencari perempuan untuk dikawinkan dengan
anak laki-lakinya sehingga kedua suami-istri itu nantinya akan menguasai harta
kekayaan dan meneruskan keturunannya.

C. Perkawinan Bebas (mandiri)

10
Ibid
Bentuk perkawinan ini pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat
yang bersifaf parental seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh,
Melayu, Kalimantan, dan Sulawesi serta di kalangan masyarakat Indonesia yang modern,
dimana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam
keluarga/rumah tangga. Bentuk perkawinan ini sejalan dengan Undang-undang No. 1
tahun 1947 dimana kedudukan dan hak suami dan istri berimbang sama, suami adalah
kepala keluarga/rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga.11 Jadi, setalah
perkawinan suami-istri bebas memilih akan menetap di tempat suami atai tempat istri
atau membangun kehidupan baru lepas dari pengaruh orang tua masing-masing.

Setalah perkawinan si suami menjadi anggota kekuarga istrinya dan sebaliknga


istrinya menjadi anggota keluarga suaminya. Pihak suami maupun pihak istri, masing-
masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak-anaknya
yang lahir kelak dan seterusnya. Kedudukan suami-istri itu sejajar sederajat dan seimbang
baik dalam rumah tangga maupun dalam bermasyarakat.

Dalam sistem kekeluargaan parental terdapat juga kebiasaan pihak laki-laki


memberikan sejumlah uang atau mas kawin atau hadiah kepada pihak perempuan, namun
pemberian itu tidak mempunyai arti sebagai uang jujur. Bukan dalam arti uang untuk
membeli istri melainkan sumbangan biaya perkawinan dari pihak laki-laki. Selain itu, ada
juga kebiasaan laki-laki kawin dengan saudara istrinya yang telah wafat yang dikenal
dengan sebutan “medun ranjang” namun, hal tersebut bukan merupakan keharusan
melainkan sebuah kebiasaan saja. Di masa sekarang, hal ini jarang terjadi karena
biasanya perkawinan ganti istri tersebut dilakukan dengan mengambil calon istri dari luar
kerabat.12

D. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara
suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda agama yang di
anut. Undang-undang perkawinan nasional tidak mengatur hal demikian antara suami dan

A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, hal.28-29


11

Sri Hajati, Ellyne Dwi Poespasari, Soelistyowati, Joeni Arianto Kurniawan, Christiani
12

Widowati, Oemar Moechtamar, 2019, hal. 232-233


istri yang berbeda kewarga negaraan sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 57 UU
No. 1 Tahun 1974 – yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang
ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarga negaraan
negara Indonesia.13

Terjadinya perkawinan menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat


dan/atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang diperlakukan dalam
pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya, hukum adat atau hukum agama tidak
membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tetapi di dalam perkembangannya,
hukum adat setempat memberikan jalan keluat untuk mengatasi masalahnya, sehingga
perkawinan campuran dapat dilaksanakan.14

Di Batak, apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antarsuku, adat dan


agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan “marsileban”, yaitu pria atau wanita
yang bukan warga adat batak harus diangkat dan di masukkan lebih dulu sebagai warga
adat batak dalam lingkup “dalihan na tolu” jika calon suami adalah orang luar, maka ia
harus diangkat masuk ke dalam warga adat “namboru”. Sehingga perkawinan adat itu
tetap di dalam jalur “assymmetrish connubium”. 15

Tidak dapat diingkari bahwa gejala regionalisasi atau globalisasi di berbagai


bidang kehidupan manusia, mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan
tidak terbatas. Ini berimplikasi pada meningkatnya jumlah perkawinan campuran seiring
dengan gejala tersebut pada kenyataannya juga berdampak terhadap maraknya problem
atau permasalahan dalam sebuah ikatan perkawinan.16

Dalam hal perbedaan agama antar calon suami dan istri, agar perkawinan itu sah
maka salah satu harus mengalah, memasuki agama suami atau istri. Menurut agama
Islam, perkawinan campuran antar-agama di mana calon suami istri tidak bersedia
meninggalkan agama yang dianutnya, maka Islam hanya membolehkan pria Islam kawin

13
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini, dan Akan Datang,
Jakarta, Prenada Media Group, hal. 30
14
Ibid. hal. 30
15
Ibid.
16
Ibid.
dengan wanita yang beragama lain. Jika sebaliknya, suami bergama lain dari Islam
sedangkan istri beragama Islam dilarang. Di dalam agama Kristen Katholik boleh terjadi
perkawinan di mana suami dan istri tetap menpertahankan agama yang dianutnya, hanya
dengan perjanjian suami atau istri yang beragama Katholik harus berjanji akan mendidik
anak-anaknya ke dalam Katholik.17

E. Perkawinan Lari

Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang
terbangak terjadi berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak, Lampung, Bali,
Bugis/Makassar, dan Maluku. Di daerah-daerah tersebut walaupun kawin lari ini
merupakan pelangaran adat, namun terdapat tata tertib cara menyelesaikannya sesuai
dengan hukum adat yang berlaku dalam persekutuan masyarakat. Pada dasarnya
perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran,
oleh karena dari kejadian perkawinan lari inj dapat berlaku bentuk perkawinan jujur,
samanda atau bebas/mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak.18

Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara “perkawinan lari bersama” dan
“perkawinan lari paksaan”. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk
melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan lari bersama, atau si
gadis secara diam-diam di ambil atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak
bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian. Perkawinan lari
paksaan adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu atau dengan paksaan atau
kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan tidak menurut tata tertib adat berlarian.
Sistem perkawinan lari paksaan ini jika terjadi sering kali diteruskan oleh kerabat yang
merasa kehormatannya terganggu kepada pihak kepolisian dengan menggunakan pasal
332 KUH. Pidana sebagai dasar pengaduan.19

Di kalangan masyarakat Lampung beradat pepadun perkawinan lari dilakukan


dengan cara si gadis pergi berlarian harus meninggalkan tanda kepergiannya berupa surat
dan sejumlah uang, pergi menuju tempat kediaman bujang, kemudian pihak bujang

17
Ibid.
18
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, hal. 32
19
Ibid.
mengadakan pertemuan dengan kerabatnya dan mengirim utusan untuk menyampaikan
permintaan maaf dan memohon penyelesaian yang baik kepada pihak kerabat wanita, lalu
diadakan perundingan kedua pihak. Antara pihak laki-laki dan pihak perempuan
mengenai restu perkawinan. Sementara di daerah Lampungg beradat pesisir, setelah gadis
diketahui pergi berlarian, pihak kerabat mengusut jejak (nyusuk tapak, nyusuk luyut) ke
mana gadis itu pergi, kedatangan pencari jejak dari pihak gadis itu harus diberi
kesempatan untuk bertanya kepada anak si gadis mereka, apakah atas kemauan sendiri
atau di paksa.20

20
Ibid.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan Jujur adalah perkawinan dimana pihak laki-laki memberikan jujur
kepada pihak perempuan. Kemudian, perkawinan semanda kebalikan dari perkawinan
jujur. perkawinan semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat
yang matrilineal, dengan maksud mempertahankan garis keturunan pihak ibu
(wanita). Bentuk perkawinan bebas ini pada umumnya berlaku pada lingkungan
masyarakat adat yang bersifat parental. Bentuk perkawinan ini tidak mengatur secara
tegas dimana suami istri harus tinggal, hal ini bergantung pada keinginan masing-
masing pihak. Perkawinan Campuran, perkawinan ini adalah perkawinan yang terjadi
di antara suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda
agama yang dianut. Dan yang terakhir perkawinan lari. Perkawinan lari sesungguhnya
merupakan salah satu pelanggaran adat namun untuk mengatasi permasalahan itu
terdapat tata cara penyelesaiannya. perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan
melainkan merupakan sistem pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu
dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda atau bebas/mandiri, tergantung pada
keadaan dan perundingan kedua pihak. Pada intinya perkawinan adat di berbagai
lingkungan msayarakat adat di Indonesia acara pelaksanaannya berbeda-beda,
tentunya dikarenakan perbedaan adat kekerabatan dan bentuk perkawinan yang
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Suriyaman Mustari Pide, A. 2014. Hukum Adat, Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta.

Prenada Media Group.

Hajati, Sri, Ellyne Dwi Poespasari, Soelistyowati, Joeni Arianto Kurniawan, Christiani

Widowati, Oemar Moechtamar. 2019. Buku Ajar Hukum Adat. Jakarta.

Prenadamedia Group.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar

Maju.

Ardhayani, Nisha, Sofiyatul Amri, Tiffany Ardiati R.U. Hukum Perkawinan Adat. Jurnal

Muhammad, Bushar. 2000. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta. Pradnya Paramita

Hadikusuma, Hilman. 1995. Hukum Perkawinan Adat. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Serizawa, Ali. Hukum Perkawinan Adat ~ Bentuk-bentuk Perkawinan Adat. 7 April

2022 ,http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/hukum-perkawinan-adat-

bentuk-bentuk.html,,(11.00)
LAMPIRAN:

1. Dalam perkawinan semanda, seandainya istri tidak mampu sebagai kepala keluarga,

apakah suami yang akan menggantikan atau melanjutkan nya? (pertanyaan dari

Rahmawati Maharani Nur Alam NIM: 200204018)

Jawaban:

Agisni Rizkia (200204006): Dalam perkawinan semanda kedudukan istri ialah sebagai

kepala keluarga, jika ibu atau istri tidak mampu dalam mengurus rumah tangga atau

menjadi kepala keluarganya ia dibantu oleh kakak laki-lakinya untuk mengurus

kepentingan keluarganya. Kewajiban alimentasi bapak sebagai kepala keluarga tidak ada,

karena kewajiban alimentasi menjadi beban ibu, karena ibu memperoleh atau dapat hidup

dari harta saudara laki-lakinya. Selain itu, dilihat dari lingkungan atau tempat hidup istri

tentunya ia sudah pasti di didik untuk bisa menjadi pemimpin dalam keluarganya karena

ia lah yang menjadi generasi penerus dari keluarganya itu sendiri, siap tidak siap mampu

tidak mampu ia tetap harus menjadi pemimpin di dalam keluarganya. Karena itulah

menurut kelompok kami jika istri tidak mampu tetap suami tidak akan menggantikan

peran atau posisi nya sebagai kepala keluarga.

2. Dengan adanya perkawinan semanda, apakah tidak ada ketimpangan sosial antara istri

dan suami jika kita melihat kondisi zaman sekarang dimana laki-laki memiliki ego atau

gengsi yang cukup besar? (pertanyaan dari Muhimaturrizqi NIM: 200204009)

Jawaban:

Ahmad Izul Islam (200204025) & Agisni Rizkia (200204006): Pertanyaan ini berkaitan

tentang perkawinan semanda, yang dimana suami tinggal di rumah istri. Mengenai
pertanyaan ini menurut kami tidak ada kesenjangan sosial yang akan terjadi. Walaupun di

era sekarang ini, karena itu sudah merupakan ADAT atau tradisi di daerah tersebut, jadi

mereka sudah menggap hal itu adalah hal yang lumrah terjadi di lingkungan mereka. Dan

juga yang melakukan hal tersebut bukan hanya segelintir atau beberapa orang saja, akan

Tetapi semua Masyarakat yang Menerapkan perkawinan semanda di daerah mereka.

Sama seperti yang kita lihat sekarang di ADAT sasak yakni tentang kawin lari, ini

sebenarnnya sudah termakan zaman di era sekarang ini, akan Tetapi itu semua sudah

menjadi ADAT kebiasaan di lingkungan kita, maka hal tersebut adalah hal yang lumrah

terjadi, dan tidak ada yang merasa malu untuk melakukan hal tersebut, karena itu sudah

menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh bisa di bilang hampir seluruh Masyarakat suku

Sasak.

Anda mungkin juga menyukai