Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERANGKAT RUKYAT

MIZWALA

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perangkat Rukyat

DOSEN PENGAMPU: NURNADIYAH SYUHADA, M.T.

Disusun Oleh:

1. MUHAMMAD SYAFIK (200204004)


2. LUTFIAH (200204005)
3. AGISNI RIZKIA (200204006)
4. MAZRATUL AINI (200204010)
5. AGIL ARIANS PERTAMA (200204011)
6. DHEA ANANDA SAPUTRA (200204014)
7. M. ZAINUL WADANI (200204016)

PRODI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ”Mizwala” ini dapat tersusun dengan baik. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman gelap gulita menuju zaman yang terang benderang.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Perangkat
Rukyat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kita mengenai
Mizwala bagi para pembaca dan juga tentunya bagi penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Nurnadiyah Syuhada, M.T selaku dosen mata
kuliah Perangkat Rukyat yang telah memberikan kami tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami. Yang juga telah membantu kami dalam penyusunan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini. Sekian, terima kasih.

Mataram, 19 September 2022

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi terdapat banyak cara
atau metode yang bisa digunakan dalam menentukan arah kiblat. Mulai dari sistem klasik
sampai sistem kontemporer. Diantara sistem klasik yang digunakan adalah kompas,
Rasydul kiblat, rubu mujayyab dan lain sebagainya. Selain metode klasik terdapat pula
metode-metode yang berbasis kontemporer. Seperti metode Ephemiris Hisab Rukyat,
Istiwa’ain, Theodolite dan Mizwala Qibla Finder (MQF), yang merupakan kolaborasi
antara hasil hisab (hitungan) dengan posisi dan bayangan sinar matahari pada suatu
waktu.
Mizwala Qibla Finder atau biasa dikenal Mizwala Qibla Finder, merupakan alat
bantu untuk menentukan arah kiblat yang baru-baru ini ditemukan. Penemu alat ini
adalah Hendro Setyanto, seorang ex-peneliti di Observatorium Boscha, yang juga seorang
dosen di ITB (Institute Teknologi Bandung) dan di Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang.
Mizwala Qibla Finder menjadikan Matahari sebagai acuan dalam
menentukan arah kiblat, menjadikan dalam menggunakan alat ini membutuhkan
sebuah proses perhitungan untuk mengetahui nilai azimuth bayangan Matahari
dan terlebih azimuth kiblat. Mizwala Qibla Finder sendiri telah memberikan paket
perhitungan dalam bentuk file Microsoft Office Excel. Dengan demikian, untuk
menjalankannya membutuhkan sebuah komputer atau sejenisnya.1 Mizwala ini juga
sering disebut dengan Sundial karena sama-sama menggunakan gnomon.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keakuratan Mizwala Qibla Finder dalam menentukan arah kiblat?
2. Bagaimana perhitungan Mizwala dengan aplikasi Mizwala Qibla Finder (MQF)?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mizwala Qibla Finder


Nama Mizwala Qibla Finder sendiri berasal dari bahasa arab yaitu ( - ‫ َی ُز ْو ُل‬- ‫َزا َل‬
‫ َز ْو ال‬zaala – yazuulu – zaulan) yang berarti pergi atau berlalu. Sedangkan QF berarti
Qibla Finder yang artinya Pencari arah kiblat. Jadi Mizwala Qibla Finder adalah bidang
dial putar yang berisikan angka dalam hitungan busur derajat sebanyak 360 derajat serta
gnomon yang berfungsi untuk menangkap cahaya Matahari dan membentuk bayangan.
Metode penentuan arah kiblat dengan Mizwala Qibla Finder cara kerjanya sama dengan
Theodolite. Keduanya sama-sama menggunakan Matahari sebagai acuan utama untuk
menentukan arah kiblat. Namun perbedaannya adalah jika Theodolite menggunakan arah
Matahari secara langsung sebagai acuan, sedangkan Mizwala Qibla Finder menggunakan
bayangan yang dibentuk Matahari yang diciptakan oleh Gnomon Mizwala Qibla Finder
juga sebagai acuan.2
Dengan adanya Mizwala Qibla Finder ini, menentukan arah kiblat menjadi sangat
praktis, cepat dan keakuratannya pun bisa dipertanggung jawabkan. Karena secara tidak
langsung Mizwala Qibla Finder ini merupakan bentuk miniatur atau tranformasi dari
Theodolite yang saat ini merupakan alat bantu penentuan arah kiblat dengan akurasi yang
paling tinggi, sehingga sudah tidak diragukan lagi akan keakuratannya.
Kelebihan mendasar dari alat ini adalah desain alat ini yang sederhana, yang
hanya terdiri dari bidang dial, bidang level, serta gnomon. Berbeda dengan Theodolite,
meski Theodolite sendiri bentuknya kecil, namun ia tidak bisa bekerja dengan baik tanpa
adanya tripod yang cukup besar. Selain itu, dalam penggunaan Theodolite kita
diharuskan mengolah rumus-rumus yang dibutuhkan melalui kalkulator, sementara
Mizwala Qibla
Finder sudah tersedia paket perhitungan dalam bentuk Microsoft Office Excel
yang didapatkan saat membeli alat ini dalam compact disk (CD). Sehingga pengguna
cukup memasukkan data lintang dan bujur serta jam penentuan arah

2
Bab 1
kiblat dan hasil dari perhitungan langsung ditampilkan dalam komputer. Dari
sinilah yang menjadi nilai lebih kepraktisan Mizwala Qibla Finder daripada
Theodolite dan alat bantu lainnya, serta keakuratannya pun dapat dipertanggung
jawabkan.

A. Kondisi Masyarakat Arab Pra Islam


Sebelum membahas lebih jauh tentang peradilan bangsa arab pada masa pra
Islam, akan di bahas terlebih dahulu mengenai kondisi masyarakat arab pada masa pra
Islam. Secara geografis wilayah arab digambarkan seperti empat persegi panjang yang
berakhir di asia selatan. Wilayah arab dikelilingi oleh wilayah-wilayah lainnya, seperti
sebelah utara oleh Syiria, sebelah timur oleh Nejd, sebelah barat oleh Yaman dan sebelah
selatan oleh Laut Erit.3 Karena letaknya yang strategis, kehidupan perekonomian bangsa
arab berjalan dengan lancar dimana bangsa arab dikenal sebagai pedagang yang
berpengalaman di wilayah sekitarnya, terutama bagi bangsa arab yang hidup di kota.
Selain itu, bangsa arab juga dikenal dengan pertanian dan peternakannya.

3
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2007, hal. 43
Bangsa arab juga dikenal sebagai bangsa yang nomaden, karena mereka sering
hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Karena sebagian besar
wilayah arab dikelilingi gurun pasir yang sangat luas, maka hal itu mempengaruhi dalam
cara hidup dana cara berpikir bagi orang-orang yang tinggal di tempat itu. Hidup mereka
penuh dengan kekerasan dan kezaliman karena ditempa oleh alam yang sangat gersang.
Secara singkat, dapat digambarkan tatanan kehidupan bangsa arab pada masa pra
islam sebagai berikut:
1. Menganut faham kesukuan.
2. Memiliki tatanan sosial politik yang tertutup dengan partisipasi masyarakat
yang terbatas, lebih condong atau lebih mementingkan kepada keturunan
daripada kemampuan.
3. Memiliki hierarki atau kasta yang kuat.
4. Kedudukan perempuan pada masa itu cenderung di rendahkan.4
B. Peradilan Bangsa Arab Pada Masa Pra Islam
Pada masa itu kenyamanan hidup tidak ada, sehingga sering pula dikatakan masa
itu adalah masa kegelapan. Di mana perpecahan suku, penindasan, hidup berfoya-foya
dalam kemegahan dunia bagi orang kaya, dan penderitaan juga kesengsaraan bagi orang
miskin, kebodohan juga buta huruf dimana-mana serta banyak permasalahan lainnya.
Sehingga pada zaman itu dikenal dengan zaman jahiliyah atau kebodohan. Istilah
jahiliyah disini menggambarkan masa kebodohan atau masa kegelapan pada saat itu
ketika bangsa arab tidak memiliki aturan hukum, nadi, kitab suci. Harga diri wanita disia-
siakan bahkan wanita dianggap layaknya binatang. Hak waris dan hak kepemilikan bagi
wanita ditiadakan, bahkan wanita ikut dibagi-bagikan pada ahli waris seolah-olah wanita
adalah benda yang hina. Masa atau zaman jahiliyah ini dibagi menjadi 3 periode.5
Bagi masyarakat pada masa pra Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk
maupun sistem peradilan yang mapan. Pada saat itu mereka belum mempunyai badan
legislatif atau badan yang menyusun, membuat, atau membentuk undang-undang atau
hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan
4
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2000, hal. 19
5
Sejarah bangsa arab memiliki 3 periode yaitu, periode saba dan himyar, periode pra
Islam (masa jahiliyah), dan periode Islam. Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam Jilid 3,
Jakarta, Ichtiar Baru Van Houve, 2005, hal. 271
persoalan dan persengketaan yang sering terjadi di antara mereka. Karena pada saat itu
di arab sama sekali belum terdapat satu kesatuan sosiologis atau kesatuan politik (negara)
secara nyata.
Mereka pada umumnya berpegang pada kebiasaan (tradisi) atau adat istiadat yang
berlaku di masing-masing kabilah atau suku untuk menjadi pedoman utama dalam
menyelesaikan berbagai persoalan. Kemudian kepala-kepala suku atau kabilah masing-
masing suku yang menentukan atau memutuskan hukum antara anggota kabilah. Adat-
adat kebiasaan itu di ambil dari pengalaman atau dari kepercayaan atau bangsa-bangsa
yang berdiam di sekitar mereka, seperti bangsa romawi, persia, atau juga dari orang-
orang yang berdiam diri bersama-sama mereka di daerah tersebut, yaitu orang-orang
nasrani dan yahudi.6
Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku
arab pra Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan
pidana kematian jiwa. Yang dimana pada kenyataannya justru sering kali menyebabkan
semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya sebuah kasus. Hal ini juga
diperkuat dengan adanya realita bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki
kecenderungam fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-
anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.7
Dalam peradilan pada masa pra Islam ini istilah yang mereka pakai dalam
menyebut qadha adalah hukumah sedangkan qadhi mereka sebut hakam. 8 Setiap kabilah
atau suku memiliki hakam dan hukuman (badan peradilan) bagi mereka sendiri.
Kemudian dalam menyelenggarakan peradilan tempat-tempat yang dipakai untuk
memutuskan perkara, sidang-sidangnya dapat dilakukan di mana saja, seperti di bawah
pepohonan atau kemah-kemah yang didirikan.9 Peradilan juga pernah dilakukan di pasar
kota tempat pengadilan bagi hakim pasar. Amir Ibn Zharib duduk untuk memutuskan
hukum di depan rumahnya.10 Sampai akhirnya mereka membangun rumah-rumah atau
6
Zakiyatul Himmiliyah, Peradilan Pada Masa Jahiliyah, Jurnal, 2011
7
Ibid
8
M. Salam Madkur, Alih Bahasa Imron A.M, Al-Qohdo Fil Islam, Darun Nahdhah
Arabiyah, hal. 33
9
T.M Hasby Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, Pustaka
Rizki Putra, 1997, hal. 6
10
Samir Aliyah, Asmuni Shalihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan
Adat Dalam Islam, Jakarta, Khalifa, 2004, hal. 295
bangunan-bangunan yang khusus untuk pengadilan. Diantara bangunan-bangunan yang
termasyhur ialah Darun Nawdah yang berada di Mekah, dan bangunan itulah yang
didirikan pertama kali di sana. Darun Nawdah dibangun oleh Qushay bin Ka’ab dan
pintunya dihadapkan mengarah ke ka’bah. Yang dimana nantinya pada permulaan islam
bangunan itu dijadikan tempat tinggalnya para khalifah dan amir-amir di waktu musim
haji. Pada pertengahan ke-3 Hijriah setelab bangunan itu goyang dan rubuh, maka
khalifah Mu’tadlid al-Abbasy (281 H) memerintahkan bangunan itu di hancurkan sama
sekali dan kemudian di jadikan batasan masjidil haram.11
C. Macam-Macam Peradilan Pada Masa Pra Islam
Peradilan pada masa pra Islam ada beberapa macam bentuk, diantaranya:
1. Badan Hukum (Lembaga Kehakiman)
Badan hukum ini dipegang oleh Banu Saham, yaitu suatu golongan
diantara golongan-golongan Quraisy. Bila ada perselisihan atau persengketaan
pada orang-orang Quraisy mereka kemudian datang ke mekah untuk mengadukan
perkaranya kepada Banu Saham. Diantara orang-orang yang memegang peradilan
pada masa ini adalah Hasyim bin ‘Abdu Manaf, Abu Lahab dari Akhtsam ibn
Shaifi.12
2. Dewan Ikhtikam atau Qur’ah (Paranormal atau Undian)
Dalam suatu kondisi bangsa arab pada masa pra Islam terbiasa
menyelesaikan masalah atau kasus mereka dengan mendatangi paranormal
(Ikhtikam), para dukun (Kahin), dan tukang ramal (‘arraf) yang diyakini
masyarakat arab pada waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan berkaitan hal-hal
gaib atau mistis, baik melalui ketajaman firasat atau melalui hubungan dengan
para jin. Paranormal dianggap memiliki hubungan dengan mahluk halus dan
memiliki pengetahuan mengetahui suatu rahasia melalui perantaraan firasat atau
karinah dari suara atau gerak gerik orang ketika berbicara. Selain itu, mereka juga
melakukan putusan perkara dengan Qur’ah atau undian.13
Diantara dukun yang terkena pada masa itu adalah Rabi’ ibn Rabi’ah ibn
al-Zi’ib atau lebih dikenal dengan Satih al-Kahin. Satih al-Kahin pernah menjadi
11
Ibid hal.6
12
Ibid.
13
Ibid.
arbitrator antara ‘Abd al-Muttalib ibn Hasyim yang memiliki kedudukan sangat
terpandang pada masa itu, dengan sekelompok orang dari suku Qays ‘Aylan
mengenai persengketaan mereka terhadap sumber air di wilayah Thaif.14
3. Dewan Mazhalim
Dewan mazhalim adalah para arbitrator yang dikenal bijak dalam
menyelesaikan persengketaan. Dewan ini ditiru bangsa arab dari bangsa persia.
Diantara tokoh arbitrator pra Islam yang terkenal ialah ‘Abdul Muthalib, Zuhair
bin Abu Salma, Aktsam ibn Syafi, Hajib bin Ziyarah, Qus ibn Sa’idah al-Iyadi,
‘Amir ibn al-Dharib al-Udwain, serta Umayyah ibn Abu Salt. Dari kalangan
perempuan juga terdapat nama ‘Amrah binti Zurayb. Bahkan Rasulullah SAW.
Sendiri sebelum masa kerasulannya pada masa itu pernah di minta menjadi
arbitrator oleh suku Quraisy ketika berselisih siapa yang akan meletakan hajar
aswad pada saat akhir penyelesaian pembangunan ka’bah.
Akan tetapi keberadaan dan keputusan para arbitrator pada masa ini
bersifat subjektif. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena pada saat
itu mereka sendiri tidak memiliki atau mempunyai peraturan untuk mengeksekusi
keputusan mereka. Orang yang bersengketa tidak diharuskan datang kepada para
arbitrator ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk pada
keputusan arbitrator.15
Suatu hari timbul persengketaan antara antara ‘Ash bin Wali dengan
seorang lelaki dari penduduk Zahid, suatu daerah di tanah Yaman. Pada suatu hari
‘Ash membeli sesuatu dengan cara kredit, kemudian ia menunda-nunda
pembayarannya. Orang Zahid jadi tidak sabar kemudian ia pun meneriakkan
dengan suara nyaring bahwa ‘Ash telah menganiayanya. Hal itu dilakukan di
dekat ka’bah dihadapan tokoh-tokoh Quraisy. Namun, tokoh-tokoh Quraisy tidak
menolongnya. Karena hal tersebut, arbitrasi pada masa itu tidak dapat disebut
sebagai proses hukum yang tertata rapi dalam mengatasi persengketaan yang
terjadi. Akhirnya kaum Quraisy memiliki ide untuk membentuk suatu mekanisme
penyelesaian masalah yang disebut dengan Hilf al-Fudhul. Kesepakatan ini di
14
Khairuddin Bin Mahmud, Azzikri al-A’lam, Beirut Dar al-Ilm Li al-Malayin, cet. 15,
Mei 2002, Vol. III, hal. 14
15
Ibid.
buat di rumah ‘Abdullah ibn Jad’an. Mereka bersumpah untuk menolong orang-
orang yang teraniaya. Kesepakatan ini dibuat bertujuan untuk mencegah
perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka
maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang asing, serta melindungi
hak-hak yang terampas.16
Sebenarnya, sebelum Hilf al-Fudhul ini dibentuk telah ada upaya lain yang
dilakukan oleh masyarakat arab pada masa itu. Khususnya untuk menciptakan
sebuah mekanisme penyelesaian sengketa juga perlindungan terhadap hak-hak
warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku
Quraisy pernah memilih beberapa tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator),
misalnya dengan menujuk beberapa tokoh Banu Sahm untuk menyelesaikan
permasalahan internal suku Quraisy, atau menugaskan tokoh-tokoh dari bani
‘Adiy dalam perselisihan yang melibatkan Quraisy dengan suku-suku diluar
mereka.
Dari penjelasan di atas sebenarnya dapat diketahui bahwa sebenarnya
peradilan pada masa pra Islam telah ada walaupun masih bersifat kesukuan yang
artinya bahwa peraturan itu hanya berlaku bagi suku itu sendiri, sementara suku
yang lain tidak.

16
T.M Hasbi Assiddiqi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam. Semarang, Pustaka Rizki
Putra, 1997, Hal. 5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Peradilan pada masa pra Islam
Pada masa pra Islam sistem peradilan bangsa arab masih berlum tertata rapi
bahkan bisa dikatakan belum ada. Karena pada masa ini apabila terjadi suatu
perselisihan maka diselesaikan dengan memanggil penengah (arbitrator) untuk
menyelesaikannya. Dan arbitrator tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah
tidak terkonsep dengan suatu kepastian hukum. Karena Tradisi dan kebiaaan yang
berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama
penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Selain itu, bangsa arab juga melakukan
peradilan dengan cara mendatangi dukun atau peramal yang mereka percayai bisa
menjadi penengah dalam menyelesaikn perkara atau sengketa.
2. Macam-macam peradilan pra Islam, diantaranya:
 Badan Hukum
 Dewan Ikhtikan atau Qur’ah
 Dewan Mazhalim
DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Dedi. Sejarah Hukum Islam. Bandung. Pustaka Setia. 2007.

Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung. Remaja Rosdakarya.

2000.

Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam. Jilid 3. Jakarta. Ichtiar Baru Van Houve. 2005.

Madkur, M. Salam. Imron A.M. Al-Qohdo Fil Islam. Darun Nahdhah Arabiyah.

Ash-Shuddueqy, T.M. Hasby. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang. Pustaka Rizki

Putra. 1997.

Aliyah, Samir. Asmuni Shalihan Zamaksyari. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat

Dalam Islam. Jakarta. Khalifa. 2004.

Mahmud, Khairuddin Bin. Azzikri al-A’lan. Beirut Dar al-Ilm Li al-Malayin. Cet. 15. 2002.

Vol. III.

Himmiliyah, Zakiyatul. Peradilan Pada Masa Jahiliyah. Jurnal. 2005.

Anda mungkin juga menyukai