Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ASWAJA AN-NAHDLIYAH

Guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Aswaja An-


Nahdliyah
Akhmad Taufiq, M.Pd.

Oleh:

1. Aghni Rozaqi 17900910020020


2. Hendi Prayitno 17950303020028
3. Soleh Marzuki 17980329020046
4. Mohamad Nurofik 17981108020035
5. Slamet Ma’ruf 17950805020045

Semester Dua
Pendidikan Informatika

YAYASAN PENDIDIKAN STKIP NU TEGAL

STKIP NU TEGAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN INFORMATIKA
Jalan Halmahera KM. 1  (0283) 357122
2018

I
KATA PENGANTAR

Pertama dan yang utama, Kami memanjatkan puji dan syukur kepada Allah swt.
Karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini
sesuai waktu yang telah di tentukan.
Kami juga sangat berterima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah, Akhmad Taufiq, M.Pd.

Atas bimbingannya lah kami dapat menulis makalah ini. Makalah ini disusun dalam
rangka memenuhi salah satu tugas Presentasi mata kuliah Aswaja An-Nahdliyah Berharap
makalah ini dapat diterima, dan bermanfaat bagi semuanya saja, tidak hanya kepada kami
saja tetapi kepada setiap yang membacnya.

Kami menyadari makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena memiliki banyak
kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisan. Oleh sebab itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, mohon maaf dan terimakasih kami sampaikan.

Tegal, 05 Mei 2018

II
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................... i

Kata Pengantar .............................................................................................. ii

Daftar Isi ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Pembuatan ................................................................................ 2
D. Manfaat ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ASWAJA …………………………………………. 3


B. RUANG LINGKUP MASUKNYA ISLAM ..……………………... 3
C. SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA …………………….…. 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 22

Daftar Pustaka

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa
Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur
utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan,
Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi
(Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia).
Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali
Sanga. Dari murid – murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun – temurun
menghasilkan Ulama – ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil
Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf
Sulawesi, dan lain – lain.

Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian
keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya
semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin
secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang
diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada
masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.

Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita
yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan
pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang
senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya.
Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah);
yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah
al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja
tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990

IV
tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai
madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?

B. Rumusan Masalah
A. PENGERTIAN ASWAJA
B. RUANG LINGKUP MASUKNYA ISLAM
C. SEJARAH PERKEMBANGAN ASWAJA

B. Tujuan Pembuatan
Pada dasar nya tugas ini saya buat selain untuk memenuhi tugas Kelompok mata
kuliah Aswaja An-Nahdliyah juga untuk mengetahui pengetahuan tentang sejarah
masuknya aswaja di Indonesia.

C. Manfaat
Denagan ada nya makalah ini tenetu kami berharap agar kita semua bisa sama-sama
Mengetahui tentang sejarah masuknya aswaja di indoseia

BAB II

V
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

1. Pengertian Aswaja secara Bahasa

Ahlun : keluarga, golongan atau pengikut.

Ahlussunnah : orang – orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW.)

Wal Jama’ah : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengukut sunnah Rasul.

Dengan demikian secara bahasa \aswaja berarti orang – orang atau mayoritas para ‘Ulama
atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.

2. Secara Istilah

Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam
Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih
menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang
tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.

3. Mazhab

Secara bahasa berasal dari kata madzhabun yang berarti tempat berjalan. Menurut
istilah ialah metode atau cara yang dipakai seorang mujtahid (ulama yang memenuhi
syarat berijtihad) dalam menetapkan hukum berdasarkan Al Qur’an dan Hadits. Maka
bermadzhab ialah menjalankan syariat agama sesuai dengan hasil ijtihad Imam Mujtahid.
Bermadzhab hukumnya wajib bagi yang tidak mampu berijtihad. Adapun yang mampu
berijtihad maka hukumnya boleh sepanjang memenuhi syarat – syarat sebagai mujtahid.
Bermadzhab bukan berarti tidak mengikuti Al Qur’an dan Hadits, sebab ijtihad para
Imam Mujtahid berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, baru jika mereka tidak mendapatkan
nash di dalam keduanya, mereka kemudian berijtihad.
Sebagaimana Hadits Rasul dari Imam Tirmidzi, yaitu ketika Nabi bertanya kepada
Muadz bin Jabal :

Nabi : Dengan apa kamu memutuskan perkara Muadz?

VI
Muadz : Dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah (Al Qur ‘an).

Nabi : Kalau tidak engkau dapati dalam kitabullah?

Muadz : Saya akan memutus sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah (Hadits).

Nabi : Kalau tidak engkau dapati pada apa yang telah kuputuskan?

Muadz : Saya akan berijtihad dengan menggunakan pikiran saya.

Nabi : Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan dari utusan
Nya.

Pada waktu Rasulullah masih hidup, segala persoalan dapat diselesaikan oleh beliau.
Perkembangan selanjutnya pada zaman sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya
banyak persoalan baru muncul, yang pada zaman Nabi belum ada. Karena sulitnya cara
menentukan hukum berdasarkan Sumber Hukum yang ada yaitu Al Qur’an, Sunnah
Rasul, Ijma dan Qiyas dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan Ulama penerusnya.
Hal iniberjalan sampai tahun 500 H yaitu hampir ada 10 Madzhab.
Namun setelah itu dari 10 madzhab yang ada meringkas menjadi 4 madzhab yang
besar yaitu : Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang digunakan di dunia
Islam sampai sekarang, kecuali yang anti madzhab.
Jadi bermadzhab disini berarti cara yang ditempuh untuk mendapat kebenaran yang
ada dalam Al Qur’an dan Hadits melalui pemahaman atau hasil pemikiran Imam
Mujtahid. Adapun ciri – ciri orang Islam yang anti Madzhab antara lain mempunyai
sikap sebagai berikut :

 Selalu mengatakan bahwa mereka adalah orang Islam, bukan Islam ini dan islam itu
dan hanya berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits. Dan menganggap sesat kalau
bermadzhab.
 Menganggap semua orang Islam berhak melakukan Ijtihad, menentukan hukum atau
menafsirkan hukum sendiri dari Al Qur’an dan Hadits tanpa memperhatikan syarat –
syarat Ijtihad dan bantuan ‘Ulama.

 Tidak mengakui dan menghargai Ulama (Kyai) sebagai pewaris risalah Nabi.

 Membenci adanya golongan – golongan atau organisasi – organisasi Islam selain


golongannya.

VII
 Keras kepala, tidak mau kalah dalam berdebat walaupun sudah jelas salah,
menganggap dirinya yang paling benar, suci, paling ahli surga dan menganggap
muslim yang lain ahli bid’ah, sesat, kufur, murtad, dan lain-lain.

 Suka menonjolkan identitas keislaman yang berbau Arabisme.

(HR Imam Tirmidzi)

Hukum fiqih Aswaja bersumber pada empat pokok :

Al Qur’an, merupakan sumber hukum utama yang merupakan wahyu dari Allah SWT.

As Sunnah, sember hukum kedua, berupa Hadits (sabda) dan Sunnah (Perilaku) Nabi
yang merupakan penjelasan dan tauladan yang sesuai dengan Al Qur’an.

Al Ijma’, sumber hukum ketiga, yaitu kesepakatan para Ulama atas suatu hukum setelah
watar Nabi.

Al Qiyas, sumber Hukum ke empat, yaitu menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain
dalam hukum, karena adanya ‘illat yang sama antara keduanya.

Ahlussunah wal Jama’ah mempunyai ciri pokok atau karakteristik dalam hal
pengalaman yaitu :

Tawazun (seimbang), keseimbangan antara urusan dunia dan akherat.

Tawasuth (jalan tengah), dalam mengambil keputusan harus menggunakan berbagai


pertimbangan dan tidak memihak sebelah.

Tasamuh (toleransi), sikap saling menghormati, tidak memaksakan kehendak dan


menghargai perbedaan.

I’tidal (lurus), selalu berjalan lurus dengan berpedoman pada kaidah – kaidah agama.

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, mengajak pada kebenaran dan mencegah pada
keburukan.1

1
http://fatahkrezno.blogspot.co.id/2010/05/sejarah-perkembangan-aswaja-di.html

VIII
B. RUANG LINGKUP

1. Masuknya islam ke Indonesia

Sejumlah ilmuan Belanda, memegang teori bahwa asal muasal Islam di Indonesia
adalah Anak Benua India, bukanya Persia atau Arabia. Salah satunya adalah Pijnapel dari
Universitas Leiden. Dia mengatakan asal Islam di Indonesia dari wilayah Gujarat dan
Malabar. Menurutnya adalah orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang menetap di
India yang membawa Islam ke Indonesia.
Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak
kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan, banyak diantara
mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah
dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam
pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab, kebanyakan dari mereka
adalah keturunan Nabi Muhammad. Karena manggunakan gelar sayyid atau syarif, yang
menyelesaikan penyebaran Islam di Indonesia. Dan hal ini terjadi pada sekitar abad ke-
12.
Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang dengan kapal dari
Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam.
Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang wafat pada 698/1297.
seabad kemudian seorang penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayyid Abd. Al-Aziz,
sorang Arab dari Jeddah. Seorang penguasa itu Parameswara mengambil gelar
Mohammad Syah.
Kebanyakan sarjana barat juga memegang teori bahwa penyebar agama Islam tersebut
melakukan pekawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan keluarga muslim
ini, maka nukleus komunitas muslim pun tercipta, yang pada waktunya nanti mempunyai
andil yang besar buat perkembangan Islam di Nusantara. Selanjutnya para pedagang ini
melakukan perkawinan dengan bangsawan lokal sehingga mereka atau keturunanya
memperoleh kekuasaan di dunia politik, untuk penyebaran agama Islam.2

2
DR.azyumardi azra, Jaringan ulama. Bandung ; mizan, 1994

IX
Oleh karena pertumbuhan Islam pertama oleh para pedagang, maka pertumbuhan
komunitas Islam muncul di daerah pesisir Sumatra, jawa dan pulau lainya. Kerajaan
Islam pertama juga muncul didaerah pesisir. Demikian halnya kerajaan Samudra Pasai,
Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana Islam menyebar ke
daerah-daerah sekitar. Menjelang akhir abad ke 17, Islam sudah hampir merata di
Nusantara.
Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’.
Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah
yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti
pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau. Kemudian mereka juga
membuat karya-karya yang tersebar dan di baca di berbagai tempat yang jauh. Karya-
karya itu menunjukan pemikiran islam di Indonesia masa itu. Abad 16-17, merupakan
masa –masa kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika dan teologi rasional
yangtidak ada tolok bandingnya dimana-mana di zaman apapun di Asia Tenggara. Akan
tetapi, perlu diketahui bahwa ketika tradisi kebudayaan Islam sedang berkembang di
Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu telah mapan. Bahkan disana terkenal dengan
masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran karena di galakkanya taklid. Dunia
pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang
bersumber di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.3

2. Gerakan modern islam

Pembaharuan Islam atau gerakan modern Islam merupkan jawaban yang ditunjukan
terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan
Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke 17, melahirkan
kebangkitan Islam dikalangan warga Arab Imperium. Yag terpenting diantaranya adalah
gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiah). Gerakan ini merupakan
sarana yang menyiapkan jembatan kearah pmbaruan yang bernuansa intelektual.
Katalisator terkenal dari gerakan pembaharuan ini adalah Jamaludin Al-Afgani
(1897). Ia mengajarkan solidaritas pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme
Eropa, dengan kembali ke Islam dalam suasana yang secara ilmiah di modernsasi.4

3
DR. Badri Yatim, sejarah peradaban islam , 2001, Jakarta ; raja grafindo jaya, hal 195-197
4
http://fatahkrezno.blogspot.co.id/2010/05/sejarah-perkembangan-aswaja-di.html

X
C. SEJARAH PERKEMBANGAN

1. NU dan ASWAJA

Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan
tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia.
Dengan demikian antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam ‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan
Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.
‘Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam
hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah
bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak
mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa
mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak.”.
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti
orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau
“Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :

 Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada
Allah SWT.
 Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW,
meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.

 Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti : tekun
beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat &
mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.

2. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU : Pejuang Syariah

Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April
1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren.
Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah
selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang,
yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai
Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

11
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini
mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang
besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan
ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren
lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan
(Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di
Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-
Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di
sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di
Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20.
Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama
yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin,
menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan
berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim
Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar
dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan
dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi
Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu,
tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan,
“Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah,
pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai
pengertian dan konsepnya.”
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di
Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal
dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab
Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk
membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924).
Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan

12
oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk
mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal
Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus
1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak.
Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya,
1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam
(SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan
Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah
menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi
perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat
perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah
(cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam
Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan
selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian
masalah Khilafah.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang
tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi
pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah.
Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu
membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari
persoalan Khilafah. Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak
pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah
kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah
cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada
penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah
seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua
janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-
mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan
formalisasi Islam.5

BAB III
5
Ainul Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan)/Sidogiri.com

13
PENUTUP

D. KESIMPULAN
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara
etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi
sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara
evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat
eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini
masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan Al-
Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam
Al-Syafi’i (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua
setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan
diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi
teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode
rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan
sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan Al-
Asy’ari (324 H/935 M) di Mesopotamia, Abu Mansur Al-Maturidi (w.331 H/944 M) di
Samarkand, Ahmad Bin Ja’far Al-Thahawi (331 H/944 M) di Mesir. Pada zaman
kristalisasi inilah Abu Hasan Al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang
dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap
Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham
yang semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya
pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran)
dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said
Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr)
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar
modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah
dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai
tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.

DAFTAR PUSTAKA
http://fatahkrezno.blogspot.co.id/2010/05/sejarah-perkembangan-aswaja-di.html

14
DR.azyumardi azra, Jaringan ulama. Bandung ; mizan, 1994
DR. Badri Yatim, sejarah peradaban islam , 2001, Jakarta ; raja grafindo jaya, hal 195-197
Ainul Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan)/Sidogiri.com

15

Anda mungkin juga menyukai