Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SEJARAH ILMU FALAK SETELAH ISLAM

Diajukan guna memenuhi tugas dalam mata kuliah ILMU FALAK

Dosen Pengampu:

Oleh:

1. Muhammad Aminudin:211560055620
2. Fathur Rozi:211560055597
3. Abdurrohman Wafi:211560055591
4. Khoirul Ibad:211560055603

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


MIFTAHUL ULUM
LUMAJANG
2023/2024

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................2

A.Latar Belakang.................................................................................................................2

B.Rumusan Masalah............................................................................................................2

C.Tujuan..............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3

A.Kemunculan Ilmu Falak (Astronomi) Dalam Islam........................................................3

B.Pentingnya Ilmu Falak Bagi Bangsa Arab.......................................................................4

C.Perkembangan Ilmu Falak Setelah Wafatnya Rosulullah SAW......................................5

BAB III PENUTUP.............................................................................................................7

A.Kesimpulan......................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................8

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Falak tidak terlepas dari benda-benda langit baik itu dalam bentuk fisik benda
dan gerakan serta kaitan dan hubungan keteraturannya antara satu benda langit dengan
benda langit lainnya seperti bumi, bulan dan matahari dalam garis edarnya masing-
masing untuk diperoleh fenomenanya dalam rangka kepentingan manusia khususnya bagi
umat Islam dalam hal menentukan waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah.Yang
dikaji dalam Ilmu Falak yaitu mengenai penentuan awal waktu shalat.

Dalam kajian ilmu Falak, terkhusus dalam penentuan waktu-waktu shalat terdapat
berbagai cara perhitungan baik dengan metode rukyat maupun metode hisab. Akan tetapi
dalam penelitian ini penulis menggunakan metode hisab yaitu dengan melakukan
perhitungan-perhitungan dari data ephemeris, data-data koordinat lokasi serta data-data
deklinasi matahari dengan bantuan kalkulator atau alat hitung lainnya hal tersebut
membuktikan bahwa pelaksanaan shalat dilakukan pada waktu yang telah ditentukan.
Karena shalat adalah Ibadah yang sudah memiliki waktu yang ditetapkan oleh Allah SWT
dan Rasul-Nya.

B. Rumusan Masalah

1. Kapan Kemunculan Ilmu Falak (Astronomi) Dalam Islam?

2. Seberapa Pentingnya Ilmu Falak Bagi Bangsa Arab?

3. Apa Saja Perkembangan Ilmu Falak Setelah Wafatnya Rosulullah Saw?

C. Tujuan

1. Megetahui Kemunculan Ilmu Falak (Astronomi) Dalam Islam

2. Memahami Pentingnya Ilmu Falak Bagi Bangsa Arab

3. Mengetahui Perkembangan Ilmu Falak Setelah Wafatnya Rosulullah Saw

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kemunculan Ilmu Falak (Astronomi) Dalam Islam

Cikal-bakal muncul ilmu falak (astronomi) dalam Islam sudah dimulai ketika Nabi
Ibrahim as mencari Allah swt. Cara yang dilakukan Nabi Ibrahim as adalah dengan
mengamati benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang-bintang yang bergerak
di angkasa. Pengamatan yang dilakukan Nabi Ibrahim as itu belum dapat dikatakan
sebagai menghasilkan ilmu pengetahuan, karena tidak dilakukakan penelitian secara
ilmiah, tetapi hanya sebatas pengetahuan yang ditunjukkan Allah swt kepada Nabi Ibrahin
as. Peristiwa Nabi Ibrahim as mencari Allah swt itu diterangkan Allah swt dalam al-
Qur’an surat al-An’am ayat 75-78, sebagai berikut;

Dan Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami langit dan bumi
dan agar dia (Ibrahim) termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia
(Ibrahim) melihat bintang ia berkata, inilah Tuhanku, tetapi tatkala bintang itu
tenggelam dia (Ibrahim) berkata, saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian
tatkala dia (Ibrahim) melihat bulan terbit dia berkata inilah Tuhanku, tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari
terbit, dia berkata inilah Tuhanku karena lebih besar. Maka tatkala matahari itu
terbenam, dia berkata hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan. (Al-Qur’an surat An’am (6) :75-78).1

Esensi ayat ini adalah bahwa Nabi Ibrahim as mencari Allah swt dengan
memperhatikan alam seperti matahari, bintang dan bulan. Semua benda langit tersebut
muncul kemudian hilang karena semuanya beredar pada orbitnya. Artinya, benda-benda
langit itu bergerak pada porosnya masing-masing, sehingga terjadi perubahan (kadang-
kadang terlihat dan kadang-kadang tidak terlihat).

Matahari, bulan, bintang dan benda-benda langit yang diperlihatkan kepada Nabi
Ibrahim as adalah sebagai tanda kebesaran dan keagungan Allah swt sang pencipta alam
semesta. Matahari, bulan dan bintang-bintang merupakan pedoman penting bagi
kehidupan manusia di permukaan bumi, karena matahari sumber kehidupan makhluk di
planet bumi dan bulan sebagai petunjuk waktu. Apa yang diperlihatkan Allah swt kepada
Nabi Ibrahim as merupakan indikasi pentingnya ilmu perbintangan dan mempunyai
hubungan yang erat dengan kehidupan di bumi.

Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa alam semesta sebagai bukti tanda
kekuasaan dan kemurahan Allah swt. Ayat-ayat yang berbicara tentang alam selalu
diakhiri dengan ungkapan kata sesungguhnya yang demikian itu Kami tujukan kepada

1
27Departeman Agama RI., Op cit., h.184
3
orang-orang yang berilmu pengetahuan, dan orang yang mau berfikir, orang yang berakal
dan orang yang mau mengerti”2

B. Pentingnya Ilmu Falak Bagi Bangsa Arab

Bangsa Arab jauh sebelum Islam sudah mengenal ilmu falak, tetapi sebatas kajian nujum
(astrologi). Ilmu ini merupakan ilmu penting, karena dijadikan panduan dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat Arab mengetahui dan mempelajari benda-benda langit (matahari,
bulan dan bintang) lebih banyak bersifat pengetahuan perbintangan praktis untuk
kepentingan pelaksanaan aktivitas kehidupan dan untuk kepentingan petunjuk jalan di
tengah padang pasir, terutama perjalanan di malam hari.

Bangsa Arab lebih dekat hidup dengan dunia perdagangan, mereka berdagang berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain secara berkelompok (kafilah) dengan melintasi
waktu perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka melintasi padang pasir yang luas tanpa
menggunakan alat penentu waktu dan alat penunjuk arah tujuan. Mereka hanya
berpedoman kepada peredaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan dan bintang-
bintang.

Pada siang hari mereka berpedoman kepada matahari, dan waktu malam, mereka
berpedoman kepada bulan dan bintang-bintang, karena matahari, bulan dan bintang
bintang selalu terbit dan terbenam pada posisi yang sama, sehingga dapat dijadikan
pedoman. Selain berdagang, bangsa Arab juga menekuni hidup sebagai petani, yang harus
mengetahui pergantian musim. Pergantian musim sangat tergantung kepada peredaran
matahari dan perubahan waktu serta bulan.3

Pada waktu itu, bangsa Arab belum menguasai ilmu falak sehebat bangsa-bangsa
Babilonia, Yunani, India, Persi dan Cina dalam melakukan perhitungan secara
astronomis. Oleh karena itu, penentuan waktu-waktu ibadah seperti penentuan waktu
salat, awal Ramadan dan hari raya idul fitri dan idul adha, didasarkan kepada melihat
secara langsung benda-benda langit (rukyat fisik), karena inilah cara yang tepat dan
sesuai dilakukan pada zaman itu.4Pada masa itu sebenarnya persoalan rukyat sudah
berkembang, tetapi persoalan hisab belum terkenal atau masyhur. Hal itu ditegaskan Nabi
Muhammad saw. dalam bersabda;

Dari Ibn Umar ra. Nabi saw. bersabda sesungguhnya kami umat yang ummi tidak bisa
menulis dan menghitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, maksudnya (umur hari
dalam sebulan) satu kali 29 hari dan satu kali 30 hari. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).5
2
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Hji Depag. RI., Selayang Pandang Hisab Rukyati, (Jakarta: Dirjen
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), h. 85.
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi kempat, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 943.
4
Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Op cit., h.6
5
Imam al-Bukhāri, Saheh al-Bukhāri, (Qahirah: Dar al-Hadis, 2004), h. 230. Bandingkan Imam Muslim, Saheh
Muslim, (Qahirah: Dar al-Hadis, 1417 H). h. 761.
4
Walaupun Nabi saw. tidak bisa menulis dan menghitung akan tetapi Nabi mempunyai
imajinasi yang kuat dan dibimbing Allah swt dalam menyelesaikan berbagai masalah,
sehingga semua permasalahan dapat di atasinya.

Ketika Islam mulai berkembang, kedudukan ilmu falak menjadi sangat penting dan
mempunyai fungsi ganda, pertama, sebagai pedoman mengharungi padang pasir dalam
kegiatan perdagangan dan kegiatan lainnya, dan sebagai pedoman ketika pergantian
musim. Kedua, pedoman dalam kegiatan pelaksanaan ibadah seperti menentukan waktu
shalat, awal puasa Ramadan, hari raya idul fitri dan idul adha dan pelaksanaan ibadah
haji. Kedua fungsi tersebut terus berkembang sampai Rasulullah saw wafat. Rasulullah
saw telah meletakkan dasar-dasar ilmu falak sebagai pedoman dalam berbagai kegiatan,
terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan.

C. Perkembangan Ilmu Falak Setelah Wafatnya Rosulullah SAW

Setelah Rasulullah saw wafat, agama Islam mulai berkembang di daerah-daerah


kekuasaan Islam, dan di daerah-daerah itu bertemu dengan berbagai pengetahuan baru
dan peradaban bangsa lain yang lebih maju menurut ukuran zaman ketika itu. Islam
mengadopsi pengetahuan dan peradaaban bangsa lain tersebut dan kemudian
dikembangkan sehingga Islam mengalami kemajuan dalam dunia pengetahuan dan
peradaban, termasuk ilmu falak.6

Kajian tentang ilmu falak sudah dimulai pada masa pemerintahan Bani Umayyah,
tepatnya pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan (w.85 H/754
M).7Perhatian Khalifah terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi, terutama mengkaji ilmu
pengetahuan sains, termasuk ilmu falak (astronomi). Pada masa itu dilakukan
penerjemahan buku-buku ilmu falak (astronomi) dari berbagai bangsa luar Islam.8

Kehadiran lmu falak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan mendapat perhatian dari
kalangan ulama. Pembahasan ilmu falak terus mengalami kemajuan terutama yang
berhubungan dengan pelaksanaan ibadah seperti penetapan waktu salat dan awal bulan.
Kalau pada masa Nabi saw penetapan awal bulan hanya dengan rukyat, tetapi pada abad
pertama Hijriah, ulama dari kalangan Tabi’in yang membolehkan penggunaan hisab
dalam menentukan awal bulan Kamariah, yaitu Mutarrif ibn Abdillah ibn Asy-Syihkhir
(w.45 H/714 M). Dengan demikian, studi ilmu falak sudah mengalami perkembangan
pada abad pertama Hijriah.9

Kegiatan usaha penerjemahan kitab-kitab karya bangsa Yunani, Persia dan India
dalam bidang ilmu falak (astronomi) dan ilmu nujum (astrologi) mendapat perhatian
khusus Khalifah Abasiyah. Penguasa bani Abasiyah mengundang dan mendatangkan para
ahli ilmu falak dan ilmu perbintangan (astrologi) ke Istana, hal itu dilakukan untuk
6
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Loc cit.
7
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h. 89.
8
Muhammad Bashi al-Thoiy, Ilmu Falak wa al-Taqwiym, (Mesir: Muassasah al-Misriyyah al-Amamah li al-
Ta’lif, 1998), h. 27.
9
Ehson Mosood, Op cit., h.46-50.
5
mendorong perkembangan ilmu falak dalam dunia Islam. Pada masa itu ilmu falak lebih
berorientasi kepada teori ilmu falak India, Yunani dan Parsia.10

Pada tahun (156 H/773 M), seorang ahli falak India menyerahkan sebuah buku ilmu
falak (astronomi) yang berjudul “Sindhind” atau “Sidhanta” yang dikalangan ahli falak
Islam dikenal dengan “As-Sindhind” kepada Khalifah Abu Ja’far al-Mansur di Baghdad.
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (w.158 H/775 M), memerintahkan agar buku itu
diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Perintah tersebut dilaksanakan oleh Muhammad bin
Ibrahim al-Fazari (w.190/806 M).11

Prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam kitab “As- Sindhind” menjadi acuan dan
pegangan dalam kajian ilmu falak sampai zaman Khalifah al-Makmun berkuasa (w.218
H/833 M). Atas usaha dan kemampuan al-Fazari menerjemahkan buku tersebut membuat
dirinya menjadi terkenal sebagai ahli falak di dunia Islam.12

Kajian ilmu falak pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, mendapat perhatian
khusus, Khalifah menyediakan dana yang besar untuk penelitian dan penerjemahan kitab-
kitab ilmu falak dari Parsia, Yunani dan India.13

Puncak kemajuan dan kejayaan ilmu falak yang dicapai umat Islam, pada masa
pemerintahan Khalifah al-Makmun. Al-Makmun sangat tertarik dengan ilmu falak
(astronomi), sehingga ia mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk kemajuan ilmu
falak (astronomi).14 Kemajuan bidang ilmu falak (astronomi), dapat pula diasumsikan
sebagai bagian untuk mencapai masa kejayaan (zaman ke emasan) Islam. Oleh karena itu,
sumbangan ilmu falak Islam tidak hanya berkembang di dunia Islam, tetapi juga
berkembang di dunia barat. Pemikiran dan teori ilmu falak Islam terus dipelajari dan
dikembangkan di berbagai negara di belahan dunia. Ilmu falak sebagai peradaban Islam
dipandang sudah cukup maju, tetapi ahli falak Islam masih melihat alam (bumi)
mengikuti pandapat Ptolomeus yang menganut paham Geosentris.15

Setelah emam abad kejayaan peradaban Islam berlangsung di bawah pimpinan Islam.
Ketika peradaban Islam mengalami kemunduran yang diperkirakan dimulai sejak abad
ke-15 M, kajian-kajian ilmu falak (astronomi) dalam dunia Islam ikut mengalami
kemunduran juga sampai penghujung abad ke-19 M. Walaupun kemunduran ilmu falak
(astronomi) tidak mengalami penurunan drastis.16 Ilmu ini terus berkembang dari waktu-
kewaktu, karena diperlukan umat Islam dalam kegiatan ibadah
10
Al-Ahwani, Al-Kindi Failosuf al-Arabi, (Mesir: al-Muassasah al-Misriyyah al-Amamah li al-Ta’lif wa al-
Tarjumah wa al-Tiba’ah wan al-Nasyr, t.th)., h. 190.
11
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Op cit., h. 7.
12
Muhyiddin Khazin, Op cit., h. 18.
13
Muhammad Farid Wajdi, Dairatu al-Maarif, juz. VII, (Mesir: 1342 H), h. 485. Dikutip dari, Ahmad Izzuddin,
Op cit., h. 44.
14
Ramhat Abdullah, Op cit., h. 47-48.
15
Muhyiddin Khazin, Op cit., h.19.

16
Anton Ramdan, Op cit., h. 61.
6
Pada awal abad ke-20 M, kajian ilmu falak (astronomi) mulai bangkit kembali, ditandai
dengan munculnya beberapa ahli falak (astronomi) Eropa yang melakukan kajian tentang
planet matahari, bulan dan bintang-bintang, termasuk observasi hilal dan peredaran
planet. Pada tahun 1900-an kajian dalam bidang ilmu falak mendapat perhatian dari umat
Islam, sehingga muncul ahli falak baru, sebut saja seperti Sa’adoeddin Djambek,
Muhammad Manshur, Muhammad Nawawi al-Bantany, Zubir Umar ( Indonesia) dan
Mohammad Ilyas (Malaysia).17

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Cikal-bakal muncul ilmu falak (astronomi) dalam Islam sudah dimulai ketika Nabi
Ibrahim as mencari Allah swt. Cara yang dilakukan Nabi Ibrahim as adalah dengan
mengamati benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang-bintang yang bergerak
di angkasa. Pengamatan yang dilakukan Nabi Ibrahim as itu belum dapat dikatakan
sebagai menghasilkan ilmu pengetahuan, karena tidak dilakukakan penelitian secara
ilmiah, tetapi hanya sebatas pengetahuan yang ditunjukkan Allah swt kepada Nabi Ibrahin
as. Peristiwa Nabi Ibrahim as mencari Allah swt itu diterangkan Allah swt dalam al-
Qur’an surat al-An’am ayat 75-78,

Bangsa Arab jauh sebelum Islam sudah mengenal ilmu falak, tetapi sebatas kajian nujum
(astrologi). Ilmu ini merupakan ilmu penting, karena dijadikan panduan dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat Arab mengetahui dan mempelajari benda-benda langit (matahari,
bulan dan bintang) lebih banyak bersifat pengetahuan perbintangan praktis untuk
kepentingan pelaksanaan aktivitas kehidupan dan untuk kepentingan petunjuk jalan di
tengah padang pasir, terutama perjalanan di malam hari.

Bangsa Arab lebih dekat hidup dengan dunia perdagangan, mereka berdagang berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain secara berkelompok (kafilah) dengan melintasi
waktu perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka melintasi padang pasir yang luas tanpa
menggunakan alat penentu waktu dan alat penunjuk arah tujuan. Mereka hanya
berpedoman kepada peredaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan dan bintang-
bintang.

penentuan waktu-waktu ibadah seperti penentuan waktu salat, awal Ramadan dan hari
raya idul fitri dan idul adha, didasarkan kepada melihat secara langsung benda-benda
langit (rukyat fisik), karena inilah cara yang tepat dan sesuai dilakukan pada zaman itu.
Pada masa itu sebenarnya persoalan rukyat sudah berkembang, tetapi persoalan hisab
belum terkenal atau masyhur. Hal itu ditegaskan Nabi Muhammad saw. dalam bersabda;

17
Mohammad Ilyas dan Gagasannya Tentang Kalender Islam Internasional, dalam Susiknan Azhari, Hisab &
Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Peradaban, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.
24-27.
7
Dari Ibn Umar ra. Nabi saw. bersabda sesungguhnya kami umat yang ummi tidak bisa
menulis dan menghitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, maksudnya (umur hari
dalam sebulan) satu kali 29 hari dan satu kali 30 hari. (H.R. Muttafaqun ‘alaih).

Setelah Rasulullah saw wafat, agama Islam mulai berkembang di daerah-daerah


kekuasaan Islam, dan di daerah-daerah itu bertemu dengan berbagai pengetahuan baru
dan peradaban bangsa lain yang lebih maju menurut ukuran zaman ketika itu. Islam
mengadopsi pengetahuan dan peradaaban bangsa lain tersebut dan kemudian
dikembangkan sehingga Islam mengalami kemajuan dalam dunia pengetahuan dan
peradaban, termasuk ilmu falak.

DAFTAR PUSTAKA

27Departeman Agama RI., Op cit., h.184

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Hji Depag. RI., Selayang Pandang Hisab Rukyati,
(Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), h. 85.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
kempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 943.
Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Op cit., h.6
Imam al-Bukhāri, Saheh al-Bukhāri, (Qahirah: Dar al-Hadis, 2004), h. 230. Bandingkan
Imam Muslim, Saheh Muslim, (Qahirah: Dar al-Hadis, 1417 H). h. 761.

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Loc cit.

Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), h. 89.

Muhammad Bashi al-Thoiy, Ilmu Falak wa al-Taqwiym, (Mesir: Muassasah al-Misriyyah al-
Amamah li al-Ta’lif, 1998), h. 27.

Ehson Mosood, Op cit., h.46-50.

Al-Ahwani, Al-Kindi Failosuf al-Arabi, (Mesir: al-Muassasah al-Misriyyah al-Amamah li al-


Ta’lif wa al-Tarjumah wa al-Tiba’ah wan al-Nasyr, t.th)., h. 190.

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Op cit., h. 7.

Muhyiddin Khazin, Op cit., h. 18.

Muhammad Farid Wajdi, Dairatu al-Maarif, juz. VII, (Mesir: 1342 H), h. 485. Dikutip dari,
Ahmad Izzuddin, Op cit., h. 44.

Ramhat Abdullah, Op cit., h. 47-48.

Muhyiddin Khazin, Op cit., h.19.

8
Anton Ramdan, Op cit., h. 61.
Mohammad Ilyas dan Gagasannya Tentang Kalender Islam Internasional, dalam Susiknan
Azhari, Hisab & Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Peradaban,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 24-27.

Anda mungkin juga menyukai