Anda di halaman 1dari 20

Al-Urf, al-Adah, Mazhab

Shahaby
Materi Kuliah Ushul Fiqkih Ilmu Falak
 Kata “al-’urf berasal dari kata “’arafa-ya’rifu-ma’ruf” artinya
mengetahui atau mengakui.
 Ma’ruf adalah kebaikan atau perbuatan dan perkataan yang
diketahui/diakui sebagai sebuah kebaikan dan lawan katanya adalah
Munkar.
 Kata al-’adah berasal dari kata ‘ada-ya’udu-I’adah atau adah yang
artinya mengalang atau berulang (tikror).

al-’Urf dan  Perbuatan/perkataan yang terus berulang-ulang pda suatu komunitas


disebut sebagai ‘adat (adat istiadat atau tradisi)  karena terjadi terus
al-’Adat berulang-ulang, maka dipastikan karena kebaikan di dalamnya
menurut akal (pengetahuan) komunitasnya
 Dengan demikian, maka Urf dan Adah terdapat kesamaan secara
Bahasa, namun ada juga ulama yg membedakan dimana setiap urf
pasti sesuai dengan syara’, setiap adat belum tentu sesuai dengan
syara’
1. Abu Zahrah mendefinisikan adata sebagai  apa saja yang
dibiasakan oleh manusia (komunitas) dalam pergaulannya dan telah
mantap daam urusan-urusannya
2. Sebagian ulama mendefinisikan adat sebagai  apa apa yang
dibiasakan oleh manusia dan diikuti oleh orang banyak baik dalam
bentuk ucapan maupun perbuatanberulang ulang dilakukan sehingga

Definisi ‘Adat, berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka.
 Dari definisi terssebut seolah-olah adat adalah sesuatu yang disepakati,
dan bedanya lantas apa bedanya dengan Ijma?

dengan Ijma’ 1. Dari sisi ruanglingkupnya ijma harus disepakati semua pihak,
sementara adat disepakti mayoritas para pihak
2. Dari sisi para pihak yang sepakat, Ijma adalah para mujtahidun,
sementara adat hanya para tetua adat yang disepakati
3. Ijma’ tidak bias dibatalkan sementara adat bias berubah tergantung
situasi dan kondisi
1. Ditinjau dari sisi materi yang biasa dilakukan, adat dibagi
menjadi dua;

a. ‘Urf atau ‘Adat Qauly adalah adat kabiasaan dalam


penggunaan kata-kata, sehingga apabila seseorang berjanji
atau berakad sekalipun tidak sesepurna lafaz yang disyaratkan
dalam fiqh, namun oleh adat tetrentu dengan lafaz tertentu
Macam-macam sudah diketahui (dianggap) sebagai adat, maka jika terjadi
perselisihan ya menggunakan ada yang berlaku
‘Adat b. Urf atau ‘Adat Fi’liy adalah adat istiadat dalam perbuata atau
tindakan, misalnya berlaku tradisi pinjang meminjam barang
tak habis pakai, misalnya minjam cangkul, linggis antar warga
bias dilakukan dengan menggunakan barang tersebut lebih
dulu baru kemudian belakngan meminta izin kepada
pemiliknya dengan lafaz meminjam
2. Ditinjau dari sisi ruang lingkup penggunaannya adat dibagi menjadi
dua;
3. ‘Urf atau ‘Adat Umum adalah adat kabiasaan yang telah berlaku umum
di mana mana bahkan mendunia seperti tindakan menganggukkan
kepada dalam perundingan adalah tanda persetujuan dan
menggelengkan kepada sebagai tindakan tidak setuju….
4. Urf atau ‘Adat khusus adalah adat istiadat yang dilakukan oleg

Macam-macam sekelomok komunitas; etnis, aliran atau organisasi dan sesuai dengan
situasi tertentu dan kegiatan tertentu.
‘Adat 5. Ditinjau ari segi penilaian baik dan buruk adat dibagi menjadi dua
a. Adat shohih yakni adat yang berulangulang dilakukan dan diterimana
oleh banyak orang tdak bertentangan dengan ajaran agama, sopan
santun dan budaya luhur
b. Adat fasid adalah adat yng berlaku disautau tempat meskipun merata
pelaksananannya bertentang dengan agana, peraturan perundang-
undangan negara, sopan santu atau etika dan budaya bangsa
 Islam dating tidak pada ruang social yang hampa budaya, melainkan datang
pada masyarakat yang telah memiliki adat istiadat dan budaya. Perlakukan
syara’ terhadap adat – itiadat yang sudah ada dan cara Islam memperlakukannya
dibagi menjadi 4;
1. Ada ada yang secara substansial dalam peaksanaannya mengandung
kemanfatan/ kemashlahatan; tidak mengandung kemudharatan atau
kemanfatannya lebih besar dari kemudharatannya, sehingga Islam

Penyerapan menetapkannnya sebagai dalil hokum


2. Ada adat yang secara prinisp dalam pelaksanaannya tidak mengandung
‘Adat dalam kemudharatan, namun oleh Islam dimodifikasi substansi dan aturannya baru
dapat menjadi dalil hokum
Hukum Syara’ 3. Ada Adat yang dalam pelaksanaannnya tanpa unsur
kerusakan/kemafsadatannya tanpa ada unsur kemashlahatannya, kecuali
semata-mata pemenuhan hawa nafsu, sehingga ditolak menjadi dalil hokum
4. Ada adat istiadat yang berlangsung lama dan diterima khalayak luas karena
mengandung kemashalahatan atau mahslahatnya lebih besar dari mafsadatanya
serta tidak bertentangan dengan agama, budaya masyarakat, maka dipandang
sebagai makruf
 Dari 4 kategori adat dalam proses penyerapan hokum di slide
sebelumnya, maka jelas bahwa jenis adat pertama yag tdk
mengandung kemafsadatan sehingga lsgd ditetapkan sbg dalil
hokum atau adat yg tdak ada unsur kemafsadatan namun
dimodifikasi leh syara’….maka keduanya disepakti sebagai dalil
hokum bukan karena ada tetapi langsung ditetapkan oleh wahyu
Kedudukan  Terhadap jenis ketiga semua ulama sepakat menolak menjadikan

‘Adat sebagai adat sebagai dalil hokum, namun terhadap kejenis ke empat para
ulama berselisih pendapat, jika adatnya shohih maka boleh jadi dalil
Dalil Hukum hokum, namun jika adatnya masuk kategori adat fasid maka tertolak
 Hujjah yg menggunakan adat sebagai dalil hokum antara lain;
kaidah umum yakni “al-’Adatu Muhakkamatun”, dan hadis Nabi
yang dijadikan landasan dalam pengunaan Ijma’ yakni “ma ra’ahu
al-muslimun hasanan fahuwa ‘indallahi hasanun”…namun berlaku
beberapa syarat…..
 Ulama yg mengamalkan adat sebagai dalil hokum atau metode
istinbath hokum syara’ menetapkan beberapa persyaratan dalam
penerimaan adat;
1. Adat itu bernilai mashlahat dan diterima akal sehat
Syarat ada untuk 2. Adat itu berlaku umum dan merata di kalangan orsng yang

bias menjadi berada dalam lingkungan adat itu atau dilakalangan sebagian
besar warganya
Dalil Hukum 3. Adat yang dijadikan sadnaran penetapan hokum sudah ada
terlebih dahulu sebelum penetapan hokum
4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada
atau bertentangan dengan prinsip prinsip yang sudah pasti
 Kata Mazhab Shahabi berasal dari dua kata Mazhab dan Shahabat
 Mazhab adalah aliran atau kelompok dalam beragama khususnya bidang
fiqh berdasarkan pendapat Imam Mazhab dan ulama Mazhabnya atau
berdasarkan metode ijtihad yang dikembangkan oleh Imam mazhab,
sehingga ada istilah Mazhab Qauliyyah dan Mazhab Manhajiyyan
 Shahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan Nabi Muhammad,
iman kepada Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah serta masuk Islam
bersamanya.
Mazhab  Mazhab Shahabi dalam kajian ushul fiqh lebih sering disebut dengan istilah
Shahabi qaul al-shahabat atau fatwa al-shahabat atau singkat pendapat atau fatwa
shahabat
 Mazhab shahabi dalam kajian ushul fiqh masuk dalam kategori dalil hokum
yang diperselishkan bukan yang disepakti, sehingga berbeda dengan ijma’
al-shahabat
 Dengan demikian maka mazhab shahabi adalah pendapat atau fatwa
shahabat secara pribadi-prbadinya dan tidak dalam kapasitas menyampaikan
apa yang disampaikan atau didapatkan langsung dari Nabi Muhammad SAW
 Abu Zahrah menguraikan ada 5 kemungkinan bentuk mazhab shahabi
dilhat dari kapasitas Shahabat (yg memungkinkan meriwayatkan
hadis/Sunnah) sbb
1. Apa yg disampikana oleh sahabat itu adalah berita yg didengarnya dari
nabi namun shahabat tidak menjelaskan bahwa berita itu sebagai Sunnah
Nabi
2. Apa yang disampaikan oleh sahabat itu adalah sesuatu yang ia dengar dari
Bentuk Bentuk yang pernah mendengarnya langsung dari Nabi tetapi tidak ada penjelasan
dari orang tersebut bahwa apa yang didengarnya itu berasal dari Nabi
Mazhab 3. Apa yang disamapikan oleh sahabat itu adalah pemahamannya terhadap
Shahabi ayat al-qur’an yang orang lain tidak memahaminya
4. Apa yang disampaikan oleh sahbaat itu adalah sesuatu yang pernah
disepakati oleh lingkungannya, namun yang menyampaikannya adalah
sahabat itu seorang diri
5. Apa yang disampaikan oleh sahabat itu adalah hasil pemahamannya
terhadai dalil-dalil karena kemapuannya dalam Bahasa dan dalam
penggunaan dalil lafaz
 Secara Bahasa Syar’un Man Qablana artinya Syari’at ummat sebelum
ummat nabi Muhammad SAW
 ?
 Ciri orang bertaqwa atau beriman disebutkan dalam surat al-Baqarah
salah satunya adanya beriman terhadap apa saja (al-Qur’an) yg
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kitab yang atau ajaran
yang telah diturunkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad
Syar’un Man termasuk keberadaan mereka sebagai Nabi dan rasul Allah SWT

Qablana  Diantara yang diturunkan Allah kepada setiap Nabi dan rasulnya
adalah Tauhidullah dan Akhlaq Mulia dan berlaku sama dari Nabi
Adam sampai Nabi Muhammad SAW, dan satu lagi tentang syariah
untuk mewujudkan tauhid menjadi akhlaq, namun syariat yang
diturunkan kepada para Nabi berbeda-beda, jika sama masih ada
modifikasinya
 Lantas, apakah Syar’un Man Qablana menjadi dalil hokum bagi
ummat Nabi Muhammad SAW
 Ada dua pendapat ulama tentang sumber ajaran yang dikerjakan
Muhammad sebelum menerima wahyu atau menjadi Nabi dan Rasul;
1. Muhammad tidak pernah mengikuti syariat salah satu dari Nabi-Nabi
sebelumnya, kecuali ketauhidan dan akhlaq mulia yang berlaku
general pada semua Nabi, sebab jika ada syariat yg pernah diikuti
Muhammad sebelum kenabiannya, maka pasti sudah dinukilkan
Apa Agama kepda generasi setelahnya

Muhammad 2. Sebagian ulama berpendapat bahwa Muhammad telah mengikuti

sebelum jadi syari’at syariah para Nabi dan rasul sebelumnya yang dibuktikan
dengan beberapa tindakan ubudiyah (bukan tindakan biasa-biasa

Nabi/Rasul? seperti Muhammad melaksanakan thawaf di Ka’bah dan senantiasa


memakan daging Qurban
3. Sebagian ulama bersikap tawaqquf, tidak berpendapat seperti no. 1
dan juga seperti no. 2, meskipun mereka juga teteap berkekaikan
masih ada syariat sebelumnya yg masih berlaku sampai Muhammad
mendapatkan syariat baru
 Para ulama yg berpendapat (pendapat no. 2 di atas) bahwa
Muhammad telah mengikuti syariat para Nabi dan rasul
sebelumnya selama beliau belum menjadi Nabi dan rasul,
berbeda pendapat lagi dalam hal syariah Nabi siapa yg diikti?
1. Syariat Nabi Nuh, karena Nuh adalah Nabi pertama yang
menerima syariah (QS. Al-Syura [42], 13)
Apa Agama
2. Nabi Ibrahim karena Nabi Muhammad SAW mengikuti millata
Muhammad sebelum Ibrahim dan beragama Islam (QS Ali Imron [3], 67, dan 95
jadi Nabi/Rasul?
3. Nabi Musa, karena Musa adalah Nabi pertama yang menerima
Lanjutan  kitab
4. Nabi Isa karena Nabi Isa lah yang paling dekat masa
kenabiannya dengan Muhammad
5. (QS. Al-nahl [16], 123 dan al-Maidah [5}, 44)
 Ulama ushul fiqh melebarkan bahasanya pada apakah Nabi Muhammad masih
menerima syariat ummat sebelumnya ketika beliau sudah menjadi Nabi dan Rasul?
Terdapat beberapa pendapat?
1. Sebagian berpendap bahwa nabi Muhammad ada mengikuti syariat yang
disyariatkan kepada ummat dahulu tetapi melalui persyariatan kembali oleh Allah
melalui Wahyu kepda Muhammad SAW, bukan langsung mengutip dari kitab-kitab
terdahulu apalagi kitab yg sudah terdapat perbaikan oleh para pendetanya (QS. Al-
nahl [16], 123 dan al-Maidah [5}, 44)
Apakah Nabi Muhammad 2. Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW setelah menerima
SAW masih menerapkan risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat atau risalah nabi sebelumnya,
syariat Nabi sebelumnya dengan alasan sebagai berikut;

setelah beliau juga a. Hadis Mua’azd ibn Jabal yg menyebutkan tiga sumber dalam penetapan hokum
menerima syariat? ketika belaiu diutus menjadi qadhi di Yaman (al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad dengan
ro’yinya) dan Nabi membenarkan…tanpa menyebut syariah sebelum nabi
Muhammad SAW
b. Kalau Nabi mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, maka pasti diwajibkan
secara kifayaha kepada ummatnya untuk mempelajari syariah ummat terdahulu
c. Ijma ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Muhammad SAW
menaskh syariat sebelumnya
 Syar’un Man Qablana yang menjadi Dalil hokum yang diperselisishkan ulama ushul
adalah hokum-hokum yang belaku untuk ummat sebelum dating Risalah Nabi
Muhammad SAW sejauh yang dapat dibaca dalam al-Qur;an atau dinukilkan oleh
Nabi Muhammad SAW karena memang al-Quran dan al-Hadis banyak yang berbicara
tentang syariah terdahulu
 Dari defines tersbeut, syar’un man qabala dibagi jadi 3;
1. Syariat terdahulu yg terdapat dalam al-Qur’an atau hadist Nabi yang disyariatkan
untuk ummat sebelum Nabi Muhammad SAW dan dijelaskan pula dalam al-Qur’an
dan hadis bahwa yg demikian itu telah dinaskh dan tdk berlaku lagi bagi umat Nabi

Pengertian Muhammad SAW, seperti dalam QS al-An’am [8], 145 dan 146

Syar’un Man 2. Hukum-hokum dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi disyariatkan untuk
ummat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk ummat Nabi Muhammad dan

Qablana dinyatakan berlaku untuk selanjutnya seperti QS, al-Baqarah [2], 183 ttg puasa 
model ini dalil hukumnya bukan syar’un man qablana melainkan langsng al-Qur’an
dan hadis
3. Hukum hokum yg disebutkan dalam al-Qur’an atau hadist Nabi dijelaskan berlaku
untuk ummat sebelum Nabi Muhammad namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku
untuk ummat Nabi Muhammad dan juga tdak ada penjelasan bahwa hokum tersebut
telah dinaskh, mislanaynya ttg qishos dalam QS. Al-Maidah [5], 45
 Dari tiga bagian syariat ummat sebeum Nabi Muhammad, maka bagian ketiga lah
yang dimaksudkan ulama ushul sebagai Syarr’un Man Qablana
 Setiap perbuatan tidak bias berdiri sendiri pasti terdiri dari sederet
perbuatan yang slaing berantai….mislanya
1. belajar adalah perbuatan tetapi pasti ada perbuatan sebelum belajar
misalnya menentukan guru, menyiapkan materi, peralatan serta
tempat dimana akan belajar. Belajar kita sebut sebagai perbuatan
pokok yang jelas hukumnya WAJIB bagi setiap individu, namun
Saddu Al- ada perbuatan pendahuluannya seperti bangun sekolah, lalu

Dzari’ah bagaimana hokum bangun sekolah? Butuh pemikiran


2. Sholat adalah perbuatan pokok dan hokumnya wajib bagi setiap
(Pengantar) individu, tetapi sholat membutuhkan perbuatan pendahuluan yakni
wudhu…maka wudhu haris jelas hukumnya..jika sudah dijelaskan
dalam nash maka hokum sesuai dalam al-qur’, namun jika hokum
perbuatan pendahuluannya tdak jelas dalam nash, maka inilah
yang disebut sebagai dzari’ah dan diperbincangkan sebagai dalil
hokum yang masih dieprselisihkan
 Secara Bahasa al-Dzari’ah adalah jalan yang membawa kepada sesuatu secara
hissi (nyata) maupun maknawi, baik atau buruk
 Ibnu Qayyim mendefinisikan Dzari’ah sebagai makna yang netral yakni apa
apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu
 Para ulama ushul berbeda pendapat dan istilah terhadap segala perbuatan
perantara atau perbuatan pendahuluan menuju perbuatan pokok menjadi dua
istilah yaitu Muqaddimah wajib dan Dzari’ah.

Pengertian  Muqaddimah wajid adalah perbuatan perantara atau pendahuluan untuk


menuju perbuatan pokok yang dianjurkan atau diperintahkan (wajib),
Saddu al- sementara Dzari;ah adalah perbuatan perantara atau pendahuluan untuk
menuju perbutaan pokok yang dilarang (haram)
Dzari’ah  Bagi ulama yang mengabil makna netral, maka berlaku istilah Saddu al-
Dzariah (menutup semua perbuatan yang menjadi rantai perbuatan terlarang)
dan Fath al-Dzariah (membuka semua perbuatan perantara yang menuju pada
kebaikanyg dianjurkan
 Sedangkan yang membagi perbuatan perantara menjadi muqaddimah wajib
untuk perbuatan pokok yg diperintahkan (wajib) dan dzariah tuk perbuatan
pokok yang dilarang (haram), maka mereka hanya mengenal satu Istilah
SADDU al-DZARI”AH
 Dengan memandang akibat atau dampak yang ditimbulkan, maka Ibnu
al-Qayyim mebagi dzari’ah menjadi 4;
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan
seperti meinum khamar membawa kerusakan akal, zina membawa
kerusakan keturunan
2. Dzari’ah yang dtentukan untuks esuatu yg mubah namun ditujukan

Macam-Macam untuk perbuatan buruk yang merusak baik sengaja (spt. nikah muhallil)
maupun tidak sengaja (seperti mencaci sesembahan agama lain

Saddu al- sehingga ummat lain mencaci Allah)

Dzari’ah 3. Dzariah yg semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujkan untuk


kerusakan namun samoai juga kepada kerusakan dimana kerusakannya
itu lebih besar dari kebaikannya, seperti tindakan berhais dan bersolej
bagi janda ditinggal matai suaminya dalam masa iddah
4. Dzariah yang dietentikan semula untuk mubah namun terkadnag
membawa kepada kerusakan, sedangkan keruskannya lebih kecil
daripada kebaikannya…seperti melihat wajah perempuan pada saat
peminangan atau khitbah
 Dengan memandang tingkat kerusakan yg ditimbulkan, al-Syatibi
membagu dzari’ah menjadi 4;
1. Dzariah yg membawa kepada kerusakan secara pasti, seperti menggali
lubang di depan rumah sendiri, sehingga pasti akan menyebakan org
terjatuh ke dalamnya
2. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, artinya

Macam-Macam
ajika dzariah itu dilaksanakan maka kemungkinan besar menimbulkan
perbuatan terlarang seperti menjual anggur pada perusahaan minuman

Saddu al- keras

Dzari’ah 3. Dzari’ah yg membawa kepada perbuatan dilarang menurut


kebanyakannya, artinya bila dzariah itu tidak dihindarkan seringkali
setelah itu akan menimbulkan perbuatan yg terlarang
4. Dzariah yg jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan
terlarang, artinya jika dzariah itu dilaksanakan belum tentu akan
menimbulkan perbuatan terlarang atau menyebakan kerusakan, seperti
mebuat lubang pada tempat yang terhindar dari jalan public untuk
keperluan pribadi.
 Berdasrkan pembagian dzariah menjadi 4 oleh al-Syatibi pada
slide di atas, maka Musthofa Salaby mengelompokkan
pednapat pendapat ulama menjadi 3 tentang saddu al-dzari’ah

1. Melarang dzari’ah yang membawa kepada keruskan secara


pasti sebagaimana jenis dzariah no. 1 dan 2 menurut al-Syatibi

Pandangan 2. Sepakat untuk tidak melarang dzari’ah yang kemungkinan


mendatangkan kemudharatan atau larangan seperti jenis
Ulama ttg Saddu dzariah no. 4 menurut al-Syatibi

al-Dzariah 3. Sebagian ulama mengharuskan melarang dzari’ah model no. 3


pendapat al-syatibi yakni dzariah yang terletak di tengah-
tengah antara kemungkinan membawa keruskaan dan tidak
merusak, namuns ebagian ulama lainnya tidak perlu
melarangnya.

Anda mungkin juga menyukai