Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MACAM – MACAM HUKUM ACARA


Tugas Kelompok Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia/ISIP 4131

Totur : Irwan Rahman,S.H.M.AP

Disusun Oleh : Kelompok 6

1. ANNISA FITRIANI NIM : 044636007


2. EMELDA MUHTIANI NIM : 044636315
3. AFIFAH HUMAIRA NIM : 044635993
4. MUHAMMAD RIDUAN NIM : 044633588

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TERBUKA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga saya bisa menyelesaikan dan bisa
menulis laporan HUKUM ACARA 21 Mei 2023 ini.

Saya menyadari bahwa penulisan laporan ini tidak terwujud tanpa adanya
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Irwan Rahman,S.H,M.AP


2. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan
material.
3. Seluruh teman-teman yang membantu hingga terselesainya laporan
praktek kerja lapangan ini.
4. Semua pihak yang telah membantu, baik langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada saya mendapat


balasan yang setimpal dari Allah SWT. Saya menyadari banyak kekurangan
dalam penyusunan laporan HUKUM ACARA ini baik dalam tehnik penyajian
materi maupun pembahasan. Demi kesempurnaan laporan ini, kritik dan saran
yang sifatnya membangun sangat saya harapkan. Semoga karya tulis ini
bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang
membutuhkan.

Kandangan, 21 Mei 2023

Penulis.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II HUKUM ACARA PERDATA ................................................................ 2
2.1 Pengertian Hukum Acara Perdata ............................................................ 2
2.2 Asas-Asas Hukum Acara Perdata ............................................................. 2
2.3 Ketentuan Saksi Dalam Hukum Acara .................................................... 2
BAB III HUKUM ACARA PIDANA .................................................................. 3
3.1 Pengertian Hukum Acara Pidana.............................................................. 3
3.2 Tujuan Hukum Acara Pidana ................................................................... 3
3.3 Fungsi Hukum Acara Pidana .................................................................... 3
3.4 Asas-Asas Hukum Acara Pidana .............................................................. 4
3.5 Praperadilan .............................................................................................. 4
BAB VI HUKUM ACARA DI PERADILAN TATAUSAHA NEGARA ........ 5
4.1 Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 .......................................................................................... 5
4.2 Keputusan Atau Penetapan Tata Usaha Negara Sebagai Tanah Sangketa5
4.3 Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara (Optn) ..................................... 5
4.4 Upaya Administratif ................................................................................. 5
4.5 Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan ...................................................... 6
4.6 Acara Pemeriksaan Perkara Di Ptun ........................................................ 6
4.7 Alat Pembuktian Di Ptun .......................................................................... 7
4.8 Asas Dalam Hukum Acara Di Ptun .......................................................... 7
BAB V HUKUM ACARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI .......................... 8
5.1 Kewenangan Mahkamah Konstitusi ......................................................... 8
5.2 Permohonan Perkara Di Mahkamah Konstitusi ....................................... 8
5.3 Proses Berperkara Di Mahkamah Konstitusi ........................................... 9

iii
5.4 Alat Bukti ................................................................................................. 9
5.5 Pengambilan Putusan ............................................................................. 10
BAB IV HUKUM ACARA DI PERADILAN AGAMA .................................. 11
6.1 Pengertian Peradilan Agama .................................................................. 11
6.2 Proses Berperkara Di Peradilan Agama ................................................. 11
6.3 Upaya Perdamaian Dalam Perkara Perceraian ....................................... 11
6.4 Putusan Perceraian ................................................................................. 12
6.5 Gugurnya Perkara Perceraian ................................................................. 12
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 13
7.1 Kesimpulan ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum acara pidana adalah peraturan hukum yang mengatur tentang tata
cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum materil.
Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan
hukum materil melalui suatu proses dengan berpedoman kepada peraturan
yang di cantumkan dalam hukum acara. Artinya bahwa hukum acara itu
berfungsi apabila ada masalah yang di hadapi individu-individu dan terhadap
masalah itu perlu di selesaikan secara adil untuk memperoleh kebenaran.

Hukum Acara Pidana yang di sebut juga hukum pidana formal mengatur
cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum
materil. Penyelenggaraan di lakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan hukum acara perdata ?
2. Apa yang dimaksud dengan hukum acara pidana ?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum acara dipradilan tata usaha negara ?
4. Apa yang dimaksud dengan hukum acara di Mahkamah Konstitusi ?
5. Apa yang dimaksud dengan hukum acara di Peradilan Agama ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Hukum acara perdata.
2. Untuk mengetahui Hukum acara pidana.
3. Untuk mengetahui Hukum acara dipradilan tata usaha negara.
4. Untuk mengetahui Hukum acara di Mahkamah Konstitusi.
5. Untuk mengetahui Hukum acara di Peradilan Agama.

1
BAB II
HUKUM ACARA PERDATA

2.1 Pengertian Hukum Acara Perdata


Sebuah hukum itu bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman
untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan harus dilaksanakan
dan di taati. Terkait pelaksanaan hukum perdata pada umumnya berada
dalam kekuasaan masing-masing individu yang melakukan hubungan
keperdataan tanpa melalui pejabat atau instansi yang berwenang. Akan
tetapi, sering terjadi hukum perdata dilanggar sehingga ada pihak-pihak
yang merasa dirugikan, sehingga terjadilah gangguan keseimbangan
kepentingan di dalam masyarakat, dalam hal ini maka hukum perdata yang
telah dilanggar haruslah dipertahankan atau ditegakkan dengan suatu
peraturan hukum.

2.2 Asas-Asas Hukum Acara Perdata


1. Hakim bersifat menungg
2. Hakim dilarang menolak perkara
3. Persidangan yang terbuka
4. Mendengar kedua belah pihak,
5. Putusan harus disertai alasan
6. Beracara dikenakan biaya,
7. Objektivitas hakim

2.3 Ketentuan Saksi Dalam Hukum Acara


Saksi adalah orang yang memberikan kererangan/kesaksian di
depan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar
sendiri atau alami sendiri, yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas
suatu perkara.

2
BAB III

HUKUM ACARA PIDANA

3.1 Pengertian Hukum Acara Pidana


Hukum yang mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum
melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana. Hukum acara atau Hukum
Formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
mempertahankan dan menjalankan hukum materiil. Fungsinya menyelesaikan
masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum materiil melalui suatu
proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan dalam
hukum acara.

3.2 Tujuan Hukum Acara Pidana


Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundang-
undangan baru terutama sejak Pemerintah Orde Baru cukup menggembirakan
dan merupakan titik cerah dalam kehidupan hukum di Indonesia, termasuk di
dalamnya adalah disusunnya KUHAP. Apabila diteliti beberapa pertimbangan
yang menjadi alasan disusunnya KUHAP maka secara singkat KUHAP
memiliki lima tujuan sebagai berikut.
1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa).
2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan.
3. Kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana.
4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
5. Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945.

3.3 Fungsi Hukum Acara Pidana


Hukum pidana itu dibagi atas dua macam, yaitu hukum pidana materiil
dan hukum pidana formal. Fungsi hukum pidana materiil atau hukum pidana
adalah menentukan perbuatan- perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa yang
dapat dipidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan, sedangkan fungsi
hukum pidana formal atau hukum acara pidana adalah melaksanakan hukum
pidana materiil, artinya memberikan peraturan cara bagaimana negara dengan

3
mempergunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk
mempidana atau membebaskan pidana.

3.4 Asas-Asas Hukum Acara Pidana


a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
b. Asas in presentia
c. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
d. Asas Persamaan di Muka Hukum (equality before the law)
e. Asas Pengawasan
f. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocent)
g. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
h. Asas Bantuan Hukum (Asas Legal Assistance)

3.5 Praperadilan
Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan
pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan
kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang, oleh sebab itu dalam
pelaksanaannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengawasi menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas pemintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka yang perkaranya tidak
diajukan pengadilan (Pasal 1 butir 10 KUHAP).

4
BAB VI

HUKUM ACARA DI PERADILAN TATAUSAHA NEGARA

4.1 Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986
Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud
dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

4.2 Keputusan Atau Penetapan Tata Usaha Negara Sebagai Tanah Sangketa
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986, bahwa
sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.3 Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara (Optn)


Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1986, pengadilan tata
usaha negara terdiri atas Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(PTTUN) sebagai tingkat banding. Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk
berdasarkan keputusan Presiden (Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1986)Sedangkan
PTTUN dibentuk dengan undang- undang.

4.4 Upaya Administratif


Tidak setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat langsung
digugat melalui peradilan tata usaha negara. Untuk KTUN yang
memungkinkan adanya upaya administratif, gugatan langsung ditujukan
kepada pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN) (Pasal 51 ayat 3),

5
sedangkan bagi KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratif,
gugatan ditujukan kepada PTUN (tingkat pertama). Dengan demikian, terdapat
dua jalur berperkara di muka peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

4.5 Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan


1. Tenggang waktu mengajukan gugatan diberikan saat yang bervariasi dalam
menghitung sejak waktu dimulainya. Terdapat empat kriteria tentang
tenggang waktu pengajuan gugatan.
2. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang memberi kesempatan kepada Administrasi
Negara untuk memberikan keputusannya qnamun ia tidak berbuat apa-apa.
3. Setelah lewat waktu empat bulan, apabila peraturan perundang-undangan
tidak memberikan kepada Administrasi Negara untuk memberikan
keputusan dan ternyata tidak berbuat apa-apa.
4. Sembilan puluh hari sejak pengumuman keputusan TUN, Jika keputusan
TUN itu harus diumumkan.

4.6 Acara Pemeriksaan Perkara Di Ptun


Acara atau pemeriksaan perkara di PTUN dapat digunakan antara lain
berikut ini.
1. Tindakan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan, di antaranya:
a. Pengajuan gugatan oleh si penggugat (Pasal 53 s/d 56).
b. Biaya perkara.
c. Pencatatan perkara dalam daftar (Pasal 59 ayat 2).
d. Pemeriksaan Pendahuluan (Pasal 62 dan 63)
e. Penetapan hari sidang( Pasar 59 ayat 3 dan Pasal 64)
f. Panggilan para pihak yang berperkara
2. Pemeriksaan di sidang pengadilan, di antaranya:
a. Pemeriksaan berkas
b. Putusan pengadilan.
3. Acara Luar Biasa (bukan acara biasa)
a. Acara Cepat (Pasal 64 ayat 2, 98 ayat 9).
b. Acara Singkat (Pasal 62 ayat 4)

6
4.7 Alat Pembuktian Di Ptun
Alat pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara ada lima.
1. Tulisan atau surat-surat.
2. Keterangan Ahli.
3. Keterangan Saksi.
4. Pengakuan Para Pihak.
5. Pengetahuan Hakim

4.8 Asas Dalam Hukum Acara Di Ptun


1. “Asas praduga rechtmatig
2. “Asas pembuktian bebas".
3. "Asas keaktifan hakim (dominus litis)".
4. "Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat (erga omnes)".
5. Asas-asas peradilan lainnya, mislny: asas peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan, objektif
6. "Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)", para pihak
mempunyai kedudukan yang sama;
7. "Asas kesatuan beracara" (dalam perkara yang sejenis);”
8. "Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas" (Pasal 24 UUD
1945 Jo.Pasal 1 UU No4 2004).”
9. "Asas sidang terbuka untuk umum"
10. "Asas pengadilan berjenjang"
11. "Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium)",
12. "Asas objektivitas", lihat Pasal 78 dan 79 UU PTUN).”
13. “Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.”

7
BAB V

HUKUM ACARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

5.1 Kewenangan Mahkamah Konstitusi


Berdasarkan UU No. 24 tahun 2003, perkara yang putusannya menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:
1. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pembubaran partai politik;
4. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
5. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

5.2 Permohonan Perkara Di Mahkamah Konstitusi


Diatur dalam Pasal 32, 33, dan pasal 34 UU No. 8 Tahun 2011, secara
berurutan pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Setiap permohonan perkara yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi
diperiksa oleh Panitera Mahkamah Konstitusi, apabila permohonan tersebut
belum lengkap diberi tenggang waktu selama 7 hari untuk memperbaiki
dokumen permohonan tersebut.
2. Apabila permohonan yang telah memenuhi kelengkapan dan dapat diterima,
maka dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan kepada pemohon
diberikan tanda terima. Apabila kelengkapan Permohonan tidak dipenuhi
dalam jangka waktu sebagaimana yang telah ditentukan diatas, Panitera
Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa Permohonan

8
tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan diberitahukan
kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan.
3. Mahkamah Konstitusi menyampaikan salinan Permohonan kepada DPR dan
Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
Permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
4. Mahkamah Konstitusi menetapkan hari siding pertama dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi dibuat untuk itu dan/atau melalui media cetak
atau media elektronik.
5. Pemberitahuan penetapan hari sidang harus sudah diterima oleh para pihak
yang berperkara dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum
hari persidangan.

5.3 Proses Berperkara Di Mahkamah Konstitusi


Dalam menjalankan proses berperkara di Mahkamah Konstitusi diatur dalam
ayat (1dan ayat (4) Pasal 28 UU No24 tahun 2003 yaitu sebagai berikut
1. Acara pemeriksaan pendahuluan
2. Acara Pemeriksaan Persidangan
3. Acara Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
4. Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
5. Acara Pembubaran Partai Politik
6. Acara Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum
7. Acara Presiden dan/atau Wakil Presiden Diduga Telah Melakukan
Pelanggaran Hukum

5.4 Alat Bukti


Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam berperkara di Mahkamah
Konstitusi seperti yang termuat dalam Pasal 36 UU No. 24 tahun 2003,
diantaranya adalah surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli,
keterangan para pihak, Petunjuk,dan alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu.

9
5.5 Pengambilan Putusan
Dalam pengambilan putusan pada acara perkara di Mahkamah Konstitusi
terdapat beberapa dasar pertimbangan berdasarkan pada Pasal 45 UU No24 tahun
2003, yang diantaranya adalah berikut ini.
1. Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti
dan keyakinan hakim.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti
3. Putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno
hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
4. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
5. Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak, atauapabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara
terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau
ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak
7. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis
Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan
8. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang
tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali
terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan. Perihal amar
dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi maka
Mahkamah konstitusi tidak berhak menangani perkara tersebut atau
Mahkamah Konstitusi harus menyatakan bahwa perkara tersebut harus
ditarik kembali oleh pemohon.

10
BAB IV

HUKUM ACARA DI PERADILAN AGAMA


6.1 Pengertian Peradilan Agama
Pengertian dari Peradilan Agama secara jelas terdapat pada Pasal 2 UU
No3 Tahun 2006, yang dimana "Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini".
Lingkup dari kewenangan Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 49 UU
No. 3 Tahun 2006 diantaranya adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di :
Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Dan Hibah, Yang Dilakukan Berdasarkan
Hukum Islam, Wakaf Dan Shadaqah.

6.2 Proses Berperkara Di Peradilan Agama


Berjalannya acara di lingkungan Peradilan Agama yang secara khusus
diatur oleh UU No. 3 Tahun 2006 ialah proses acara dalam bidang perceraian
yang biasa disebut dengan cerai atau talak. Terdapat tiga acara yang diatur oleh
UU No. 3 Tahun 2006, yaitu cerai talak yang dilakukan oleh suami, cerai gugat
yang dilakukan oleh istri dan cerai dengan alasan zina.

6.3 Upaya Perdamaian Dalam Perkara Perceraian


Upaya perdamaian yang dilakukan dalam perkara perceraian di lingkungan
Pengadilan Agama dilakukan sejak sidang pertama pemeriksaan gugatan
perceraian dimana Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam sidang
perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah
satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap
secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk
itu. Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada
sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.Selama perkara
belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan

11
perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat
sebelum perdamaian tercapai, upaya-upaya perdamaian tersebut diatur dalam
Pasal 82 dan 83 UU No. 3 Tahun 2006.

6.4 Putusan Perceraian


Putusan dalam perkara perceraian diatur lebih lanjut dalam Pasal 81UU No3
Tahun 2006, yang dimana suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

6.5 Gugurnya Perkara Perceraian


Proses perceraian dapat saja gugur atau batal bilamana suami atau istri
meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama seperti yang telah diatur
dalam Pasal 79 UU No. 3 Tahun 2006.

12
BAB V

PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Hukum acara (dikenal juga sebagai hukum prosedur atau peraturan
keadilan) adalah serangkaian aturan yang mengikat dan mengatur tata cara
dijalankannya persidangan pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Hukum
acara dibuat untuk menjamin adanya sebuah proses hukum yang semestinya
dalam menegakkan hukum.
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum
perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang
termuat dalam hukum perdata materil. Hukum acara atau hukum formal fungsinya
menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum materil
melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan
dalam hukum acara.

13
DAFTAR PUSTAKA

Darmalaksana, Wahyudin. "Hukum Islam Suatu Tinjauan Filosofis." (2022).


Deliarnoor. Nandang Alamsah. 2022. Sistem Hukum Indonesia. Hukum
Acara. Tanggerang Selatan : Universitas Terbuka.
Yasir, Moch. Pandangan Hakim Tentang Pembuktian Perkara Cerai Talak Akibat
Perselingkuhan Di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri (Studi Putusan
Nomor: 1299/Pdt. G/2020/PA. Kab. Kdr). Diss. IAIN Kediri, 2022.
Aisyah, Nur. "Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam
" Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 5.1 (2018).
Wahyunadi, Yodi Martono. "Kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara
dalam konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan." Jurnal Hukum dan Peradilan 5.1 (2016): 135-
154.

14

Anda mungkin juga menyukai